Pidana Denda yang Diperdatakan, Mempersengketakan Vonis Pidana Denda secara Perdata

LEGAL OPINION
Question: Bila seorang terdakwa dijatuhi sanksi pidana denda atau pidana pengganti, bisakah jumlah nominal denda ini dipersengketakan secara perdata?
Brief Answer: Tidak bisa. Bila tetap dipaksakan untuk menggugat secara perdata terhadap nominal sanksi pidana denda ataupun uang pengganti, maka pengadilan akan menyatakan bahwa gugatan Anda absurb (obscuur libel). Sesuatu yang timbul sebagai konsekuensi dari putusan perkara pidana, hanya dimungkinkan untuk menempuh upaya hukum berdasarkan hukum acara pidana—semisal Peninjauan Kembali berdasarkan temuan atau munculnya bukti-bukti baru (novum).
PEMBAHASAN:
Kaedah hukum tersebut disarikan dari putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sengketa register Nomor 439/Pdt.G/2015/PN.Jkt Pst. tanggal 22 Maret 2016, perkara antara:
- MARKUS SURYAWAN, sebagai Penggugat; melawan
- KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA cq. KEJAKSAAN TINGGI DKI JAKARTA cq. KEJAKSAAN NEGERI JAKARTA PUSAT, cq. JAKSA PENUNTUT UMUM (JPU), selaku Tergugat.
Pada tanggal 15 September 2015, Penggugat menerima surat Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 547 K/PID.SUS/2015. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Ayat (6) huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana jo. Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan, Tergugat adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melaksanakan isi putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap (in kracht).
Sehubungan dengan putusan pengadilan dalam tindak pidana korupsi dimana Penggugat sebagai Terdakwa telah berkekuatan hukum tetap berdasarkan Putusan Mahkamah Agung, maka Tergugat selaku Eksekutor (Pelaksana Putusan) sudah dapat menjalankan kewenangannya.
Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan:
Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.”
Lebih lanjut Pasal 18 ayat (2) mengatur:
Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dapat dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.”
Ide yang mengilhami Penggugat mengajukan gugatan, didasarkan pada ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf b UU No. 31 Tahun 1999, diketahui bahwa pembebanan hukuman tambahan berupa uang pengganti kepada terdakwa tindak pidana korupsi bersifat “limitatif”, yaitu jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan jumlah harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi yang didakwakan kepada terdakwa. Ketentuan tersebut mengandung konsekuensi logis bahwa jika terdakwa dibebani hukuman tambahan berupa pembayaran uang pengganti melebihi dari jumlah harta yang diperolehnya dari tindak pidana korupsi tersebut, maka demi hukum, hukuman tersebut haruslah dianggap cacat hukum.
Penggugat merasa keberatan karena “dimiskinkan” oleh Mahkamah Agung lewat putusannya. Adapun yang menjadi amar Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 547 K/PID.SUS/2015 tertanggal 26 Februari 2015, berbunyi:
MENGADILI:
- Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Terdakwa I: MARKUS SURYAWAN dan Pemohon Kasasi/Terdakwa II : BENNY ANDREAS SITUMORANO tersebut;
- Memperbaiki Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Tinggi DKI Jakarta Nomor: 36/PID/TPK/2014/PTDK1, tanggal 25 Agustus 2014, yang mengubah Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 37/Pid.B/TPK/2012/PN.JKT.PST, tanggal 28 Januari 2013 yang dimintakan banding tersebut, sekedar mengenai penjatuhan pidana, denda dan Uang Pengganti, sehingga selengkapnya sebagai berikut:
1. Menyatakan Terdakwa I MARKUS SURYA WAN dan Terdakwa II BENNY ANDREAS SITUMORANG terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “korupsi secara bersama-sama sebagai perbuatan berlanjut” dan tindak pidana “pencucian uang secara bersama-sama sebagai perbuatan berlanjut”;
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa I MARKUS SURYAWAN dan Terdakwa 11 BENNY ANDREAS SITUMORANG oleh karena itu dengan pidana penjara masing-masing 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda masing-masing sebesar Rp. 5.000.000.000,- (Lima milyar rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan masing-masing 1 (satu) tahun dan 4 (empat) bulan;
3. Menjatuhkan pidana tambahan kepada Terdakwa I MARKUS SURYAWAN untuk membayar uang pengganti sebesar Rp. 148.308.958.783,00 (seratus empat puluh delapan milyar tiga ratus delapan juta sembilan ratus lima puluh delapan ribu tujuh ratus delapan puluh tiga rupiah) dengan ketentuan apabila uang pengganti tersebut tidak dibayar oleh Terpidana I dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan setelah putusan ini memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta benda milik Terpidana I dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut, sedangkan dalam hal Terpidana I tidak mempunyai harta benda yang cukup untuk membayar uang pengganti tersebut, maka diganti dengan pidana penjara selama 6 (enam) tahun;
4. Menjatuhkan pidana tambahan kepada Terdakwa II BENNY ANDREAS SITUMORANG untuk membayar uang pengganti sebesar Rp. 24.683.789. 153.00 (dua puluh empat milyar enam ratus delapan puluh tiga juta tujuh ratus delapan pulu sembilan ribu seratus lima puluh tiga rupiah), dengan ketentuan apabila uang pengganti tersebut tidak dibayar oleh Terpidana II dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan setelah putusan ini memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta benda milik Terpidana II dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut, sedangkan dalam hal Terpidana II tidak mempunyai harta benda yang cukup untuk membayar uang pengganti tersebut, maka diganti dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun;
5. Menetapkan masa penahanan Rutan dan Kota yang telah dijalani oleh para Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.”
Pembebanan hukuman tambahan berupa pembayaran uang pengganti kepada terdakwa Tipikor diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf b UU No. 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, secara tersurat berbunyi:
“Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah: b. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.”
Mengenai penjatuhan pidana tambahan uang pengganti, Mahkamah Agung Republik Indonesia telah pula menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Pidana Tambahan Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi. Pasal 4 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia tersebut, mengatur:
“Apabila harta benda yang diperoleh masing-masing terdakwa tidak diketahui secara pasti jumlahnya, uang pengganti dapat dijatuhkan secara peroporsional dan objektif sesuai dengan peran masing-masing terdakwa dalam tindak pidana korupsi yang dilakukannya.”
Pasal 5 PERMA dimaksud, mengatur pula:
“Dalam hal harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi tidak dinikmati oleh terdakwa dan telah dialihkan kepada pihak lain, uang pengganti tetap dapat dijatuhkan kepada terdakwa sepanjang terhadap pihak lain tersebut tidak dilakukan penuntutan, baik dalam tindak pidana korupsi maupun tindak pidana lainnya, seperti tindak pidana pencucian uang.”
Penggugat tampaknya memiliki argumentasi yang kuat. Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1513 K/Pid.Sus/2013 tertanggal 26 September 2013, diketahui bahwa salah seorang penerima/pengguna dana investasi dari PT. JI/Penggugat (terdakwa I) telah divonis hukuman penjara selama 15 tahun dengan hukuman tambahan membayar uang pengganti sebesar Rp.62.500.000.000,00. Berpijak pada fakta hukum ini, maka seharusnya Majelis Hakim mengurangi pembebanan jumlah uang pengganti kepada terdakwa I sebesar Rp. 62.500.000.000,00, Dengan demikian, maka kekeliruan Majelis Hakim dalam menerapkan hukuman tambahan uang pengganti kepada terdakwa I (Penggugat) telah terkonfirmasi, sehingga sangat beralasan hukum untuk mengurangi jumlah uang pengganti yang dibebankan kepada Penggugat.
Selain itu, Sdr. CHAIDI THE (Dirut PT. Indowan Investama Group), salah seorang pengguna/penerima dana investasi sebesar Rp. 39.887.335.952,00 yang didakwa telah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut bersama dengan Penggugat telah dan masih berstatus tersangka oleh Penyidik Polda Metro Jaya. Berpijak pada asas hukum “equility before the law’’, maka patut diduga bahwa apabila berkas perkara yang bersangkutan diajukan kepada pengadilan untuk diperiksa dan diadili, maka sangatlah mungkin mendapat hukuman yang sama dengan para terpidana lain dalam perkara pidana yang sama, yang sudah diputus dan telah berkekuatan hukum tetap. Oleh karena itu, menurut Penggugat telah terdapat alasan hukum yang patut bagi Majelis Hakim yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara ini untuk memperhitungkan dana investasi sebesar Rp. 39.887.335.952,00 untuk mengurangi jumlah hukuman tambahan uang pengganti bagi Penggugat (terdakwa I).
Penggugat merasa, vonis pidana yang dijatuhkan negara justru telah “merampok” para pelaku korupsi—dan memang inilah dinamika yang menarik dalam semangat pemberantasan korupsi. Terhadap gugatan Penggugat, Majelis Hakim membuat pertimbangan serta amar putusan yang menarik untuk disimak, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa dalam eksepsinya Tergugat mendalilkan bahwa Gugatan Penggugat salah pihak (error in persona), oleh karena substansi uang pengganti adalah bagian dari pidana tambahan, sehingga harus dipahami bahwa uang pengganti tersebut adalah bagian dari upaya pemidanaan terhadap mereka yang melangggar hukum, sehingga tidak tepat kalau gugatan mengenai uang pengganti tersebut ditujukan kepada Tergugat;
“Bahwa tujuan penjatuhan uang pengganti adalah untuk memidana dengan seberat mungkin para pelaku korupsi agar mereka jera dan juga dalam rangka mengembalikan keuangan negara yang hilang akibat suatu perbuatan korupsi.
“Bahwa fakta dipersidangan Penggugat (dahulu Terdakwa I) adalah Direktur PT. Jakarta Asset Management / PT. Jakarta Investment dan PT. Jakarta Securities pada periode antara tahun 2006–2009, telah menandatangani perjanjian-perjanjian investasi KPD dan REPO saham atau perpanjangannya atau menerima instruksi pembelian obligasi dengan PT. Askrindo, sehingga Penggugat (dahulu Terdakwa I) mengetahui dan menyadari penempatan investasi PT. Askrindo di PT. Jakarta Asset Management / PT. Jakarta Investment sejak awal sudah ditentukan penggunaannya yaitu untuk menyelesaikan persoalan penjaminan nasabah PT. Askrindo yang gagal bayar atau berpotensi gagal bayar sehingga tidak menimbulkan klaim kepada PT. Askrindo, namun akibat dari penggunanaan dana PT. Askrindo yang dilakukan tanpa kehati-hatian menyebabkan dana PT. Askrindo yang ditempatkan di PT. Jakarta Asset Management / PT. Jakarta Investment maupun PT. Jakarta Securites menjadi macet dan tidak tertagih karena tidak didukung dengan instrumen investasi yang aman.
“Bahwa sampai dengan perjanjian investasi jatuh tempo meskipun sudah diperpanjang berkali-kali, PT. Jakarta Asset Management / PT.  Jakarta Investment tidak dapat mengembalikan dana investasi PT. Askrindo sebesar Rp 265.605.523.871,- setelah dikurangi dengan pembayaran-pembayaran yang dilakukan PT. Jakarta Investment harus mengembalikan sejumlah nilai piutang yang belum tertagih yaitu sebesar Rp 131.137.335.952,- yakni senilai PN yang belum dibayar oleh penerima dana, yaitu PT. Tranka Kabel sebesar RP 62.500.000.000,-; PT. Vitron International Rp 21.000.000.000,-; PT. Multi Megah Internusa Rp 7.750.000.000,-;, PT.Indowan Investama Group Rp 39.887.335.952,-; begitu juga untuk membayar para nasabah PT. JI yang seluruhnya berjumlah Rp 17.171.623.831,- (Y.Baytu, Ary Vaduta, Celeste OC, Sumaryono, Tarakanita dll) (vide halaman 227 putusan Nomor 37/Pid.B/TPK/2012/ PN.Jkt,Pst) sehingga total keseluruhan uang pengganti yang harus dibayarkan oleh Penggugat (dahulu Terdakwa I) selaku Direktur PT. Jakarta Investment adalah sebesar Rp 148.308.958.783,-.
“Bahwa nilai uang pengganti yang harus dibayarkan oleh Penggugat sebesar Rp 148.308.958.783,- tersebut telah berkekuatan hukum tetap sesuai dengan Putusan Pengadilan Negeri Nomor 37/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst tanggal 28 Januari 2013 jo. Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No.36/PID/TPK/2014/PT.DKI tanggal 25 Agustus 2015 Jo. Putusan Mahkamah Agung No.547K/PID.SUS/2015 tanggal 26 Februari 2015.
“Bahwa dalam ketentuan pasal 1 angka 6 huruf a KUH Pidana dinyatakan bahwa Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” , dan dalam ketentuan pasal 1 angka 1 Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, secara tegas dinyatakan bahwa Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan Undang-undang”;
“Bahwa berdasarkan hal-hal sebagaimana diuraikan di atas, maka gugatan Penggugat adalah salah pihak (error in persona), oleh karena Jaksa adalah eksekutor putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kraht), dan oleh karenanya terhadap gugatan Penggugat tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke verklaard);
“Menimbang, bahwa gugatan in casu adalah mengenai perhitungan uang pengganti yang dibebankan kepada Penggugat berdasar atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 37/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst tanggal 28 Januari 2013 Jo. Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No.36/PID/TPK/2014/PT.DKI tanggal 25 Agustus 2015 jo. Putusan Mahkamah Agung No.547K/PID.SUS/2015 tanggal 26 Februari 2015 yang menurut Penggugat adalah menjadi kewenangan Tergugat selaku Penuntut Umum;
“Menimbang, bahwa setelah mencermati isi gugatan in casu, ternyata antara posita (fundamentum petendi) dengan tuntutan (petitum) tidak ada korelasi yang jelas, sehingga menimbulkan kekaburan dan pertanyaan kepada siapa sebenarnya gugatan tersebut ditujukan?
“Bahwa dalam petitum gugatan poin 2,3,4 dan 5 Penggugat hanya memohon perhitungan nilai kerugian yang benar, sedangkan berdasarkan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (vide: putusan Mahkamah Agung No.547K/PID.SUS/2015 tanggal 26 Februari 2015) Penggugat dijatuhi hukuman pidana tambahan untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 148.308.958.783,- terhadap selisih perhitungan tersebut;
“Menimbang, bahwa berdasarkan hal-hal sebagaimana telah dipertimbangkan diatas, seharusnya Penggugat tidak mengajukan keberatan melalui proses gugatan in casu, akan tetapi melalui proses upaya hukum pidana yang tersedia yaitu Peninjauan Kembali (PK), sehingga tidak menimbulkan kerancuan dalam memformulasikan dasar hukum gugatan (posita) dengan petitum (tuntutan);
“Menimbang, bahwa oleh karena antara posita dengan petitum gugatan in casu tidak jelas dan tidak saling mendukung, maka Majelis berpendapat bahwa gugatan Penggugat kabur (obscuur libel), sehingga terhadap keberatan (eksepsi) Tergugat tersebut harus dikabulkan;
DALAM POKOK PERKARA :
“Menimbang, bahwa oleh karena keberatan (eksepsi) Tergugat tersebut dikabulkan (diterima) dan gugatan Penggugat dinyatakan kabur (obscuur libel), maka Pengadilan tidak akan mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan oleh kedua belah pihak baik Penggugat maupun Tergugat, sehingga terhadap gugatan Penggugat tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima;
 “M E N G A D I L I
Dalam Eksepsi :
- Mengabulkan keberatan (eksepsi) Tergugat;
Dalam Pokok Perkara :
- Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima.”
Sebagai penutup, korupsi tidak akan membuat Anda mampu mencurangi negara dan hak-hak rakyat. Justru korupsi membawa konsekuensi merugi dan dimiskinkannya sang pelaku. Itulah paradigma yang perlu mulai kita tanamkan sedini mungkin.
Putusan Mahkamah Agung yang terkesan sadistik, hanya dapat kita maknai sebagai law as a tool of social engineering guna membuka mata seluruh kalangan, bahwasannya korupsi sama sekali tidak akan dapat menguntungkan sang pelaku.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.