ARTIKEL HUKUM
Dalam praktik, terdapat dua pertanyaan yang paling mendasar terkait tanggung jawab pidana:
1.) Bila pelaku tindak pidana korupsi mengembalikan kerugian negara, apakah tetap dipidana?
2.) Bila atas perbuatan pelaku tak jatuh korban, meski terdapat korban yang sifatnya potensial, apakah tetap dikenakan delik pidana—dalam arti apakah “tiadanya” korban menjadi alasan penghapus delik?
Untuk menjawab pertanyaan klasik tersebut, ilustrasi kasus pidana berikut dapat menjadi contoh konkret yang menarik, yakni putusan Mahkamah Agung RI register nomor 1796 K/Pid.Sus/2012 tanggal 18 Desember 2012, dimana dalam dakwaan Primair, terdakwa didakwa sebagai orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara—sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 jo. pasal 18 ayat (1) huruf b UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diperbaharui dengan UU Nomor : 20 tahun 2001 jo. pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Kejadian bermula, pada tahun 2008, SMK Negeri 2 Lamongan mendapat bantuan pembangunan Unit Sekolah Baru (USB) dari APBN tahun anggaran 2008. Terdakwa Drs. AGUSTINUS MARKABAN Bin MINREJO sebagai Ketua Tim Pendiri Unit Sekolah Baru, kemudian membentuk tim pelaksana pembangunan yang dipimpin oleh saksi Ir. H. ABU CHAMID Bin TOHA.
Sebagai Ketua Tim Pendiri Unit sekolah Baru, Terdakwa adalah penanggung jawab penbangunan secara keseluruhan. Sedangkan saksi Ir. H. ABU CHAMID Bin TOHA sebagai Ketua Tim Pelaksana Pembangunan bertugas melaksanakan pekerjaan pembangunan Unit Sekolah Baru dengan berpedoman pada gambar rencana dan uraian syarat bangunan yang ditentukan, termasuk menyiapkan bahan bangunan sekaligus tenaga kerjanya.
Pembangunan Unit Sekolah, mulai dikerjakan pada sekitar bulan Maret 2008, dengan waktu pelaksanaan selama 150 hari kerja. Pada tanggal 23 April 2008, Pelaksana Pembangunan atas persetujuan Terdakwa selaku Ketua Tim Pendiri Unit Sekolah Baru, menujuk MX CONSTRUCTION milik saksi ARI SUSANTO, SE., untuk memasang rangka atap dari bahan garvalum (baja ringan) pada unit bangunan sekolah baru, dengan nilai kontrak Rp. 110.000,- per m2 dengan volume 564,078 m2 dan diberikan garansi 8 tahun.
Padahal seharusnya sesuai RAB harga tetap garvalum per m2 ditetapkan Rp. 154.000,- dengan volume 371,8 m2, selisih harga tersebut dipergunakan untuk penambahan volume ruang guru yang semula direncanakan sepanjang 8 m x 15 menjadi sepanjang 8 m x 21 m. Penambahan volume ruang guru tersebut juga atas sepengetahuan Terdakwa.
Untuk pengerjaan rangka atap galvalum yang dikerjakan MX CONSTRUCTION pada waktu penawaran tidak dilengkapi uji mutu/kualitas bahan garvalum dan juga tidak memiliki sertifikat applicator. Tim Pengawas dan Perencana Pembangunan Unit Sekolah pernah memberikan saran kepada Ketua Tim Pendiri (Terdakwa), untuk memerintahkan kepada pelaksana pembangunan Unit Sekolah mengganti kualitas bahan atap garvalum agar tidak cacat material yang dapat menyebabkan kegagalan struktur atap garvalum.
Selain bahan atap, disarankan agar setiap sambungan diberi klem atau box sepanjang 1.5 m dan jarak kuda-kuda saling mengikat. Tim Pengawas dan Perencana Pembangunan Unit Sekolah juga menyarankan agar garansi dari applicator rangka atap galvalum diberikan selama 15 tahun, karena resiko akibat kegagalan struktur galvalum adalah tanggung jawab applicator.
Pembangunan fisik Unit Sekolah akhirnya selesai dilaksanakan sekitar bulan September 2008, dan diserahterimakan oleh Terdakwa selaku Kepala Sekolah SMKN 2 Lamongan sekaligus sebagai Ketua Tim Pendiri Unit Sekolah Baru kepada pemerintah dalam hal ini Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Lamongan, pada tanggal 12 Januari 2009. Bangunan baru tersebut kemudian dipergunakan untuk kegiatan belajar mengajar.
Pada hari Kamis tanggal 28 Januari 2010 sekitar jam 23.30 WIB, atap salah satu bangunan yang terdiri dari 3 (tiga) ruang kelas runtuh, menyebabkan kerangka atap hancur dan sebagian gentengnya juga hancur. Instalasi listrik yang sudah terpasang ikut rusak. Runtuhnya atap bangunan kelas baru tersebut dikarenakan kesalahan konstruksi akibat pengurangan mutu bahan galvalum yang kurang baik, yang tidak sesuai dengan RAB yang telah ditetapkan yaitu sebesar Rp. 154.000,- per-m2, karena bahan galvalum yang dipasang hanya senilai Rp.110.000,- per-m2 dan tidak sesuai standar SNI. Rangka atap tersebut dipasang oleh applicator yang tidak memiliki sertifikat applicator. Kerusakan 3 (tiga) ruang kelas akibat runtuhnya atap ruangan tersebut beserta dengan atribut gedung yang ada dibawahnya.
Akibat perbuatan Terdakwa menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, dengan tidak mengalokasikan bantuan Unit Sekolah tahun 2008 sesuai dengan petunjuk dan RAB yang ditetapkan, menguntungkan SMKN 2 Lamongan, dalam bentuk penambahan volume ruang guru sehingga menjadi lebih luas, yaitu dari ukuran 8 m x 15 m menjadi berukuran 8 m x 21 m—namun penambahan volume tersebut menyebabkan runtuhnya atap bangunan akibat dikuranginya mutu bahan galvalum sehingga berpotensi merugikan Negara sejumlah kurang lebih Rp 116.869.282,-.
Note SHIETRA & PARTNERS: Dengan kata lain, demi menambah luas ruang guru, dana pembangunan ruang belajar-mengajar yang telah dialokasikan oleh APBN kemudian oleh terdakwa dipangkas untuk penambahan luas ruang guru.
Sementara dalam dakwaan Sekundair, uniknya, Jaksa Penuntut mendakwa pelaku telah melakukan perbuatan sebagai pemborong, ahli bangunan atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b UU No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diperbaharui dengan UU Nomor : 20 Tahun 2001 jo. pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Adapun putusan Pengadilan Negeri Lamongan Nomor 419/Pid.B/ 2010/PN.LMG., tanggal 13 Juni 2011, yang amar lengkapnya sebagai berikut:
1. Menyatakan Terdakwa Drs. AGUSTINUS MARKABAN, MM., Bin MINREJO tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan Primair;
2. Membebaskan Terdakwa oleh karena itu dari dakwaan Primair tersebut;
3. Menyatakan Terdakwa Drs. AGUSTINUS MARKABAN, MM., Bin MINREJO telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “KORUPSI SECARA BERSAMA-SAMA” sebagaimana didakwakan dalam dakwaan Subsidair;
4. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan;
5. Menetapkan agar pidana tersebut tidak perlu dijalankan kecuali jika dikemudian hari ada putusan Hakim lain yang menyatakan Terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebelum habis masa percobaan selama 1 (satu) tahun.”
Dalam tingkat banding atas permohonan jaksa, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor: 108/Pid.Sus/2011/PT.Sby., tanggal 13 Oktober 2011, kemudian menjatuhkan putusan dengan pertimbangan hukum serta amar sebagai berikut:
“Terdakwa menyetujui bahan galvalum sebagai atap bangunan dan penambahan volume pekerjaan itu menyimpang dari RAB (Rencana Anggaran Belanja) dan RKS (Rencana Kerja dan Syarat) serta Site Plant (Rancang Bangun), merupakan penyalahgunaan wewenang yang menguntungkan orang lain yakni SMK Negeri 2, ternyata kemudian kerangka atap galvalum telah runtuh dan mengakibatkan kerugian Negara;
“Bahwa pembangunan kembali kerangka atap yang runtuh oleh Terdakwa bersama dengan saksi Ir. ABU CHAMID Bin TOHA tidaklah serta merta menghapuskan kesalahan Terdakwa dalam perkara a quo;
“MENGADILI:
- Menerima permintaan banding dari Jaksa Penuntut Umum;
- Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Lamongan tanggal 13 Juni 2011 Nomor : 419/Pid.B/2010/PN.Lmg., yang dimintakan banding tersebut;
“M E N G A D I L I S E N D I R I
1. Menyatakan Terdakwa Drs. AGUSTINUS MARKABAN, MM., Bin MINREJO terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana KORUPSI secara bersama-sama, sebagaimana tersebut pada dakwaan PRIMAIR;
2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa tersebut oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan pidana denda sebesar Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan.”
Terdakwa mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Bahwa alasan-alasan kasasi Terdakwa tersebut dapat dibenarkan, Judex Facti telah salah menerapkan hukum atau menerapkan hukum tidak sebagaimana mestinya, dengan alasan sebagai berikut :
- Bahwa atas usaha Terdakwa, ruang Guru menjadi lebih luas. Semula 371,8 m2 menjadi 564,078 m2;
- Atap yang runtuh telah diperbaiki oleh Terdakwa dengan biaya sendiri, sehingga dapat dimanfaatkan oleh para Guru;
- Terdakwa tidak memperoleh keuntungan materiil apapun justru yang diuntungkan adalah SMKN 2 Lamongan yang tidak dapat diidentikkan sebagai korporasi;
- Seharusnya Terdakwa hanya didakwa dengan Undang–Undang Konstruksi Bangunan bukan Tindak Pidana Korupsi;
- Seharusnya juga Terdakwa tidak diajukan ke Pengadilan karena Terdakwa melapor kepada Kepala Dinas Pendidikan, dan perbaikan selesai dengan keuntungan ruangan yang lebih kuat;
- Menurut hemat Majelis pendekatan restorative justice dalam penuntasan perkara ini justru lebih tepat;
“Bahwa dengan demikian segala unsur Pasal pada Dakwaan Primair maupun Subsidair telah tidak terpenuhi dalam perbuatan Terdakwa dan Terdakwa tidak terbukti melakukan perbuatan pidana sebagaimana dakwaan Jaksa/Penuntut Umum, karenanya Terdakwa harus dibebaskan dari segala dakwaan dan dipulihkan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;
“MENGADILI :
“Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : Terdakwa / Drs. AGUSTINUS MARKABAN, MM., Bin MINREJO tersebut;
“Membatalkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor: 108/Pid.Sus/2011/PT.Sby., tanggal 13 Oktober 2011., yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Lamongan Nomor : 419/Pid.B/ 2010/PN.LMG., tanggal 13 Juni 2011;
“M E N G A D I L I S E N D I R I :
1. Menyatakan Terdakwa AGUSTINUS MARKABAN, MM., Bin MINREJO tersebut tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan Jaksa/Penuntut Umum dalam Dakwaan Primair maupun Dakwaan Subsidair;
2. Membebaskan Terdakwa oleh karena itu dari dakwaan Primair maupun dakwaan Subsidair tersebut;
3. Memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya.”
Sebagai penutup, cobalah kita renungkan dua pertanyaan berikut ini:
- Bila (seandaikan) bangunan konstruksi tidak rubuh, maka apakah dapat dipastikan perbuatan terdakwa selaku penanggung jawab kontraktor akan merugikan keuangan negara dimana jaksa dalam tuntutannya menyatakan bahwa terdakwa telah mengurangi kualitas bahan konstruksi (sehingga dapat rubuh sewaktu-waktu) demi keuntungan pribadi para guru? Delik Tipikor tidak hanya bertumpu pada keuntungan sang pelaku, namun dapat berupa adanya keuntungan bagi pihak lain.
- Bila pada saat bangunan rubuh, terdapat korban terluka atau bahkan tewas tertimpa oleh bangunan yang tidak laik tersebut, apakah dengan dibangun-ulang bangunan oleh terdakwa dapat menjadi alasan penghapus dan pemaaf tindak pidana?
- Apa yang menjadi niat/motif batin utama dari terdakwa ketika pertama kali membangun konstruksi secara mengurangi kualitas bahan bangunan? Bila tujuan utamanya ialah untuk merugikan keuangan negara, maka UU Tipikor cukup mensyaratkan delik formil, bukan delik materiil, sehingga yang difokuskan ialah pada (proses) perbuatan, bukan hasil akhir.
- Apakah harus menunggu jatuh korban terlebih dahulu, baru menghukum pelaku? Mengapa proses pembangunan ulang justru diserahkan kepada terdakwa yang telah membangun secara tidak patut sehingga mengakibatkan runtuh? Apakah hendak mengulangi runtuh untuk kedua kalinya?
- Apakah putusan yang membebaskan kesalahan pidana demikian memiliki fungsi edukatif yang mendidik?
- Memang mungkin pelaku ataupun afiliasinya tidak mendapat keuntungan, namun bukankah nilai potensi sebuah nyawa yang terancam luka atau bahkan tewas adalah lebih jahat dari sekedar tuduhan adanya kerugian negara? Isu ada atau tidaknya kerugian negara, justru menjadi isu yang diangkat untuk mengalihkan isu sebenarnya: faktor keselamatan.
Fakta hukum dalam kasus diatas, baru dibangun tidak sampai hitungan lima tahun, konstruksi atap telah runtuh. Ruang kelas dapat berisi setidaknya 10 orang murid. Bila runtuh 3 kelas, artinya 30 kepala berpotensi luka/tewas. Terkadang, hukum dan moralitas tidak saling serangkai.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.