Pencabutan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Industri

LEGAL OPINION
Question: Bila sudah berhasil dapat Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Industri, apa ada resiko dicabut izin ini? Dapatnya izin bukan berarki kami bisa langsung operasional, karena sarat izin rententannya yang sukar kami dapatkan hingga saat ini.
Brief Answer: Pada prinsipnya setiap hak atas tanah maupun hak pengelolaan diatas tanah yang dibengkalaian oleh pemegang hak, berpotensi dicabut oleh otoritas dengan alasan penelantaran. Hal ini dapat terjadi disetiap perizinan yang berdiri diatas hak atas tanah berupa Hak Guna Usaha, baik berupa hak pengelolaan perkebunan, hutan tanaman industri, dsb.
Memang menjadi agak membingungkan, pada satu sisi terancam pencabutan izin dengan alasan tiada operasional. Namun operasional pemegang izin acapkali terkendala oleh perizinan teknis turunannya yang sudah diurus namun belum juga terbit. Hal ini menjadi semacam “lingkaran setan” yang tidak jelas mana yang harus terlebih dahulu dipenuhi.
PEMBAHASAN:
Pasal 70 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 menyatakan:
“Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan hutan berhak melakukan kegiatan dan memperoleh manfaat dari hasil usahanya sesuai dengan izin yang diperolehnya.”—Namun setiap hak berkelindan dengan kewajiban.
Kasus pencabutan izin pengelolaan hutan industri pernah terjadi dalam putusan Mahkamah Agung RI sengketa perizinan kehutanan register Nomor 693 K/TUN/2015 tanggal 25 Februari 2016, perkara antara:
- MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Tergugat; melawan
- PT MERAUKE RAYON JAYA, selaku Termohon Kasasi dahulu Penggugat.
Yang menjadi objek gugatan dalam perkara adalah Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 625 Republik Indonesia tanggal 17 Juli 2014 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 5/KPTS-II/1998 tentang Pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri Pulp atas Areal Hutan Seluas ± 206.800 Hektar di Provinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya kepada PT Maharani Rayon Jaya (selanjutnya akan disebut “SK 625”), yang berbunyi:
KESATU : Mencabut Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 5/Kpts-II/1998 tanggal 5 Januari 1998 tentang Pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri Pulp atas areal hutan seluas ± 206.800 (dua ratus enam ribu delapan ratus) Hektar di Provinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya kepada PT Maharani Rayon Jaya sebagaimana Telah Diubah dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK. 251/Menhut-II/2008 tanggal 1 Juli 2008;
KEDUA : Memerintahkan kepada PT Merauke Rayon Jaya untuk:
1. Menghentikan semua kegiatan dalam bentuk apapun di dalam areal kerja IUPHHK-HTI sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 5/Kpts-II/1998 tanggal 5 Januari 1998 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.251/Menhut-II/2008 tanggal 1 Juli 2008;
2. Memenuhi semua kewajiban finansial yang belum diselesaikan dan membuat serta melaporkan pertanggung jawaban yang meliputi seluruh aspek kegiatan teknis dan financial yang telah dilaksanakan kepada Pemerintah cq. Kementerian Kehutanan, dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak Keputusan ini ditetapkan;
KETIGA : Apabila PT Merauke Rayon Jaya tidak dapat menyelesaikan kewajiban sebagaimana tersebut pada Amar KEDUA, maka akan dilakukan tindakan hukum sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
KEEMPAT: Menugaskan kepada Gubernur Papua, untuk:
1. Mengawasi dan mengamankan pelaksanaan Amar KESATU dan Amar KEDUA Keputusan ini;
2. Mengurus dan mengawasi areal hutan eks IUPHHKK-HTI PT Merauke Rayon Jaya seluas ± 206.800 (dua ratus enam ribu delapan ratus) hektar, yang telah dikuasai oleh Negara sebagaimana dimaksud pada Amar KESATU, sampai ada penetapan lebih lanjut;
3. Mengurus serta mengawasi barang-barang tidak bergerak yang terdapat di dalam eks areal IUPHHK-HTI PT Merauke Rayon Jaya, yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan menjadi milik Pemerintah tanpa ganti rugi, sedangkan terhadap barang-barang bergerak digunakan sebagai jaminan apabila masih ada tunggakan atau kewajiban lain yang belum dilunasi oleh Pemerintah;
4. Melakukan serah terima barang-barang tidak bergerak sebagaimana dimaksud angka 3 (tiga), dengan membuat Berita Acara Serah Terima dan melakukan pengurusan serta pengawasan;
KELIMA : Memerintahkan kepada Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan untuk melaksanakan pengawasan umum terhadap pelaksanaan Keputusan Menteri Kehutanan ini;
KEENAM : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.”
Tergugat menyatakan bahwa Penggugat telah melakukan pelanggaran berupa tidak melaksanakan kegiatan nyata di lapangan sebagaimana diatur dalam Pasal 71 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 sebagaimana diubah Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan.
Namun Penggugat mendalilkan dirinya pada kaedah Putusan Mahkamah Agung Nomor 505K/TUN/2007 tanggal 13 Mei 2008 antara PT Rokan Erasubur Plantations melawan Menteri Kehutanan Republik Indonesia yang dalam pertimbangannya menyatakan:
Kelambatan ataupun kesalahan birokrasi tidak dapat dilimpahkan kepada Pemohon Kasasi/penggugat apalagi hal tersebut menimbulkan kerugian bagi Pemohon Kasasi/Penggugat.”
Begitupula kaidah dalam Pertimbangan Putusan Mahkamah Agung Nomor 505K/TUN/2007:
“Pemohon Kasasi/Penggugat sudah mengajukan permohonan Hak Guna Usaha (HGU) beberapa kali, tetapi Hak Guna Usaha (HGU) belum terbit hal itu karena bukan kesalahan Pemohon Kasasi tetapi faktor birokrasi, oleh karena itu kelambatan ataupun kesalahan birokrasi tidak dapat dilimpahkan kepada Pemohon Kasasi/penggugat apalagi hal tersebut menimbulkan kerugian bagi Pemohon Kasasi/Penggugat dengan demikian penerbitan objek sengketa tentang ‘Keputusan Menteri Kehutanan tanggal 11 April 2006 Nomor SK.96/Menhut-II/2006 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 323/Kpts-II/1991 tanggal 18 Juni 1991 tentang Pelepasan kawasan Hutan seluas 12.650 Ha yang terletak di Kelompok Hutan Sungai Rokan-Sungai Air Hitam Kabupaten Daerah Tingkat II Kampar, Provinsi Daerah Tingkat I Riau untuk usaha perkebunan coklat atas nama PT Rokan Erasubur Plantations’ telah bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan, karenanya harus dinyatakan batal.”
Tergugat dinilai telah melanggar ketentuan Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan karena tidak memperhatikan aspek kepastian usaha, mengingat Penggugat sudah beritikad baik dalam memenuhi semua persyaratan yang ditentukan dan mengeluarkan biaya investasi yang tidak sedikit dalam melaksanakan perizinan IUPHHK-HTI. Pasal 31 ayat (1) menyatakan:
“Untuk menjamin asas keadilan pemerataan, dan lestari, maka izin usaha pemanfaatan hutan dibatasi dengan mempertimbangkan aspek kelestarian hutan dan aspek kepastian usaha”.
Penjelasan Pasal 31 ayat (1):
“Yang dimaksud dengan aspek kepastian usaha meliputi: a. kepastian kawasan, b. kepastian waktu usaha, dan c. kepastian jaminan hukum berusaha.”
Penerbitan SK 625 juga dinilai bertentangan dengan filosofi yang terkandung dalam Pasal 134 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 yang memberikan kesempatan kepada pemegang IUPHHK-HTI untuk memberikan tanggapan dan memberikan kesempatan untuk memenuhi kewajiban yang belum dilakukan. Pasal 134 ayat (1) menyatakan:
“Untuk memberikan kesempatan bagi pemegang IUPK, IUPJL, IUPHHK alam, IUPHH restorasi ekosistem dalam hutan alam, IUPHHK pada HTI, IUPHHK pada HTR, IUPHHK pada HTHR, IUPHHK dalam hutan kemasyarakatan, IUPHHBK, IPHHK, atau IPHHBK melaksanakan kewajibannya, sebelum izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 dicabut terlebih dahulu diberikan peringatan tertulis paling banyak 3 (tiga) kali secara berurutan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari untuk setiap kali peringatan, kecuali pencabutan izin akibat sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan atau dinyatakan pailit oleh pengadilan negeri.”
Penggugat merasa telah mempersiapkan prasarana pengembangan Rencana Industri dengan menyediakan lahan untuk industri pabrik pengolahan kayu (pulp) dan pelabuhan seluas ± 1.826 Hektar dengan status Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB).
Jika memang Penggugat dalam melakukan kegiatan nyata di lapangan kurang optimal, lebih disebabkan karena terkendala tidak disahkannya Usulan Rencana Kerja Tahunan (URKT) Penggugat mulai tahun 2011 sampai 2013, belum turunnya Izin Penggunaan Koridor dari Gubernur Papua dan Izin Pendaratan Alat dari Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Merauke. Tentu saja, hal ini diluar kekuasaan Penggugat.
Untuk melaksanakan kegiatan nyata di lapangan, Penggugat telah mengajukan Usulan Rencana Kerja Tahunan (URKT) tahun 2011 sampai 2013, tetapi tidak mendapat pengesahan dari Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua.
Terhadap gugatan tersebut, Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta telah mengambil putusan, yaitu Putusan Nomor 223/G/2014/PTUN.JKT tanggal 17 Maret 2015 yang amarnya sebagai berikut:
I. DALAM PENUNDAAN:
1. Mengabulkan permohonan penundaan Penggugat;
2. Menunda Pelaksanaan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (d/h Menteri Kehutanan Republik Indonesia) Nomor SK.625/MENHUT-II/2014 tanggal 17 Juli 2014tentang Pencabutan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 5/KPTSII/1998 tanggal 5 Januari 1998 tentang Pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri Pulp atas Areal Hutan Seluas + 206.800 (dua ratus enam ribu delapan ratus) Hektar di Provinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya kepada PT Maharani Rayon Jaya sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.251/Menhut-II/2008 tanggal 1 Juli 200, sampai perkara ini berkekuatan hukum tetap atau dicabutnya penundaan tersebut dikemudian hari;
II. DALAM POKOK PERKARA:
1. Mengabulkan Gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan batal Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (d/h Menteri Kehutanan Republik Indonesia) Nomor SK.625/MENHUT-II/2014 tanggal 17 Juli 2014 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 5/KPTSII/ 1998 tanggal 5 Januari 1998 tentang Pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri Pulp atas Areal Hutan Seluas + 206.800 (dua ratus enam ribu delapan ratus) Hektar di Provinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya kepada PT Maharani Rayon Jaya sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.251/Menhut-II/2008 tanggal 1 Juli 2008;
3. Mewajibkan Tergugat untuk mencabut Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (d/h Menteri Kehutanan Republik Indonesia) Nomor SK.625/MENHUT-II/2014 tanggal 17 Juli 2014 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 5/KPTS-II/1998 tanggal 5 Januari 1998 tentang Pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri Pulp Atas Areal Hutan Seluas + 206.800 (Dua Ratus Enam Ribu Delapan Ratus) Hektar di Provinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya kepada PT Maharani Rayon Jaya sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.251/Menhut-II/2008 tanggal 1 Juli 2008.”
Dalam tingkat banding atas permohonan Pembanding/Tergugat, Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut telah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta dengan Putusan Nomor 150/B/2015/PT.TUN.JKT tanggal 18 Agustus 2015. Pemerintah mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“Bahwa alasan-alasan tersebut dapat dibenarkan, karena Putusan Judex Facti mengandung kesalahan dalam penerapan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara objek sengketa telah sesuai dengan Pasal 71 ayat (1) huruf b angka 3, huruf f, Pasal 133 huruf f, Pasal 134 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan secara khusus pada Izin HPHTI (vide bukti T.6, T.7) dengan alasan sebagai berikut:
“Bahwa berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan Kegiatan Pemegang IUPHHK-HT terhadap PT Merauke Rayon Jaya pada tanggal 5 Agustus 2012 (vide bukti T.10), ternyata Termohon Kasasi tidak memenuhi salah satu kewajiban utama yang dicantumkan pada Surat Izin HPHTI (vide bukti T.6 dan T.7), yaitu tidak melakukan kegiatan nyata paling lambat dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak diterbitkannya Surat Izin HPHTI yang bersangkutan, sehingga Pemohon Kasasi telah memberikan peringatan ke-I, ke-II dan ke-III kepada Termohon Kasasi (vide bukti T.11, T.12, T.13) dan selanjutnya Pemohon Kasasi telah mengundang rapat Termohon Kasasi untuk membicarakan tanggapan atas peringatan ke-III PT Merauke Rayon Jaya (vide bukti T.7, T.18), namun tetap tidak dilaksanakan sehingga terbitlah Keputusan Tata Usaha Negara objek sengketa sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, menurut pendapat Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA;
“Menimbang, bahwa oleh sebab itu Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 150/B/2015/PT.TUN.JKT, tanggal 18 Agustus 2015 yang menguatkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 223/G/2014/PTUN-JKT, tanggal 17 Maret 2015 tidak dapat dipertahankan dan harus dibatalkan. Selanjutnya Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara ini sebagaimana disebut dalam amar putusan di bawah ini;
M E N G A D I L I:
“Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA tersebut;
“Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 150/B/2015/PT.TUN.JKT, tanggal 18 Agustus 2015 yang menguatkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 223/G/2014/PTUNJKT, tanggal 17 Maret 2015;

MENGADILI SENDIRI:

Menolak gugatan Penggugat seluruhnya.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.