Pembengkalaian Sejatinya adalah Korupsi, Melalaikan Tanggung Jawab untuk Melayani Masyarakat

ARTIKEL HUKUM
Dalam kesempatan kali ini, SHIETRA & PARTNERS mengangkat topik mengenai hal yang pastilah sedang atau pernah kita alami dalam kehidupan sehari-hari sebagai warga negara. Artikel singkat kali ini akan membuka mata kita mengenai praktik korupsi yang kerap tidak kita sadari, yakni korupsi dengan cara membengkalaian hak-hak warga negara.
Di Amerika Serikat, aparatur sipil negeri yang diupah bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun APBD, disebut dengan istilah civil servant, oleh karena itu sang tuan tidak lain adalah warga negara para pembayar pajak (tax payer). Oleh karenanya, para aparatur negara di negeri tersebut sangat menjiwai peran dan tugas mereka.
Sebaliknya di Indonesia, seakan warga negara yang membutuhkan pelayanan publik, justru diposisikan sebagai hamba dari pegawai negeri sipil (PNS) yang merasa “direpotkan” oleh para warga negara yang meminta pelayanan publik. Oleh sebab itu, kalangan PNS kerap kali tanpa malu merasa berhak untuk meminta upeti ketika warga negara meminta pelayanan publik—meski mereka lupa: PNS memegang jabatan monopoli sehingga masyarakat tak dapat mencari pelayanan publik di tempat lain, serta mereka digaji oleh “Uang Rakyat”, bukan “Uang Negara”.
Kalangan PNS, polisi, aparatur negara, pejabat, atau istilah lainnya, merasa mereka adalah pegawai negara, bukan pegawai rakyat. Mereka pun memiliki perspektif, bahwa mereka digaji oleh Negara—maka timbullah istilah “Uang Negara”, bukan digaji oleh Rakyat sehingga mereka tak mengenal istilah digaji oleh “Uang Rakyat” dalam kamus mereka.
Pernahkah Anda melaporkan suatu pelanggaran hukum yang merugikan Anda kepada aparatur negara maupun kepada pihak kepolisian?
Apa yang menjadi respon mereka atas laporan Anda? Tiada tindak lanjut, seperti yang sudah diduga. Dengan kata lain, terjadi aksi “makan gaji buta”. Anda hanya akan membuang waktu, energi, dan biaya. Praktik “makan gaji buta” yang menghabiskan anggaran negara (baca: anggaran Uang Rakyat yang diakumulasi oleh Negara), tidak lain merupakan praktik korupsi itu sendiri.
Dalam hal ini terjadi dua jenis korupsi, yakni: korupsi Uang Rakyat yang menjadi sumber gaji mereka, dan disaat bersamaan terjadi kolusi karena mengabaikan tanggung jawabnya sementara dirinya memegang kekuasaan monopoli untuk menangkap, menyegel, memeriksa, menyita, menerbitkan penetapan, dsb.
Kolusi bukan hanya dapat terjadi tatkala seorang pemangku jabatan menyalahgunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi, tapi bisa juga berupa pembengkalaian, atau absen dikala warga masyarakat membutuhkan bantuan dan pelayanan publik.
Pertanyaannya, apakah berani, parlemen bersama pemerintah merevisi undang-undang tentang anti korupsi dengan menggunakan perspektif luas demikian mengenai “pembengkalaian dan absennya fungsi negara adalah korupsi dan kolusi”?
Dari fakta lapangan sebagaimana pengalaman pribadi penulis, wujud penyalahgunaan kekuasaan lebih banyak kearah pembengkalaian dan absennya negara saat warga negara membutuhkan peran dan kehadiran fungsi negara lewat otoritas aparaturnya.
Filter paling awal dari berbagai pungli ialah: ancaman dari sang aparatur negara atau kepolisian, bilamana warga pelapor atau peminta layanan publik tidak memberikan sejumlah “upeti”, maka laporan atau permohonan takkan ditindaklanjuti. Alhasil, warga negara terdorong (baca: terpaksa) untuk menuruti keinginan sang “pemakan Uang Rakyat”.
Pembengkalaian, penelantaran, dan absennya peran otoritas negara, adalah pintu gerbang dari berbagai praktik korupsi dan kolusi.
Korupsi terbesar bukanlah sebagaimana kita saksikan di layar televisi bagaimana seorang pejabat Dewan Perwakilan Rakyat melakukan manipulasi tender anggaran dan proyek, namun dilakukan oleh berbagai aparatur negeri sipil, polisi, petugas dinas, hingga pejabat negara, secara masif dan berjemaah dalam arti penelantaran terhadap berbagai hak atas pelayanan publik warga negara.
Mark up, penggelapan anggaran, pada prinsipnya menggerus “Uang Negara” (baca: “Uang Rakyat”) yang mana seyogianya dapat disalurkan dan dianggarkan kepada pembangunan fasilitas publik atau program pengentasan kemiskinan rakyat. Lagi-lagi hak publik atas kehidupan yang layak, terbengkalai.
Lihatlah, berbagai pengaduan tidak mendapat tindak lanjut sebagaimana mestinya, sampai-sampai timbul antipati dari masyarakat. Tidak jarang terjadi, korban pencurian pada sebuah kediaman memilih untuk tidak melapor pada kepolisian karena dipastikan tiada membuahkan hasil karena tidak ditindaklanjuti, bahkan yang terjadi kemudian ialah berbagai pungutan liar dari oknum kepolisian itu sendiri.
Nominal pembengkalaian ini bisa jadi sebesar nilai nominal APBN/D yang dianggarkan untuk gaji para pegawai negeri ataupun aparatur negara lainnya yang memang digaji untuk melayani publik—namun senyatanya diabaikan. Itulah yang disebut sebagai korupsi terselubung yang sebenarnya.
Sekali lagi perlu penulis tegaskan, setiap pegawai negeri sipil ataupun aparatur negara lain yang diupah oleh Uang Rakyat, namun membengkalaian hak pelayanan publik warga negara, bahkan menelantarkan dan mengabaikan laporan publik, adalah korupsi itu sendiri.
Ambil contoh, negara bisa membuat wacana pembangunan proyek sentra pelaporan, kemudian dibangun infrastruktur, sistem, dan pegawainya. Namun proyek hanya sekedar menjadi proyek simbolistik belaka. Faktanya tidak berjalan secara efektif dalam melayani masyarakat. Yang terjadi kemudian ialah tersedotnya Uang Rakyat untuk program dan proyek pembodohan demikian (baca: proyek pemiskinan rakyat lewat pemborosan Uang Rakyat).
Bukti, cobalah Anda tengok program laporan berbasis daring lapor. go.id dimana pastilah menyedot anggaran “negara” yang sangat besar untuk infrastruktur IT Lapor. Namun cobalah Anda adukan berbagai pelanggaran hukum dan penelantaran pejabat negara ataupun pegawai negeri. Jangan terkejut ketika Anda kecewa dibuatnya.
Aplikasi online tersebut hanya sekadar menjadi polesan bibir yang menawan, namun senyatanya hanya gimmick, program pembodohan rakyat yang hanya memiskinkan rakyat karena Uang Rakyat tersedot untuk proyek demi proyek yang memang dibuat hanya sekedar sebagai “objek-kan” belaka.
Penulis sempat mengadukan pembangunan rumah tetangga yang tidak menggunakan Izin Mendirikan Bangunan sehingga dikhawatirkan akan membahayakan penghuninya sendiri serta para tetangga di lingkungan perumahan bila rumah ilegal tersebut sewaktu-waktu roboh. Penulis melaporkan pada Dinas Pemukiman dan Perumahan Pemda DKI Jakarta via situs lapor.go.id—namun proses pembangunan rumah secara ilegal tersebut terus berlangsung tanpa ada tindak lanjut dari pemerintah.
Ironis dan memprihatikan hidup di negeri bernama Indonesia ini. Kaya akan sumber daya alam, kaya akan sumber daya ekonomi, namun para aparaturnya mendudukkan diri sebagai raja dari masyarakat, bukan hamba masyarakat. Meminta dilayani, bukan melayani. Untuk apa warga negara membayar pajak, bila hanya untuk memberi makan para pelaku “makan gaji buta” demikian? Bukankah ini merupakan sebentuk praktik yang menyakitkan hati?
Disini, kita bicara pada ranah mental, yakni mental “miskin” para aparatur negara yang selalu menengadahkan tangan keatas (meminta dan menuntut untuk diberi). Bukan jiwa untuk melayani. Entah bagaimana sistem seleksi rekruitmen CPNS di negeri ini, sehingga yang lolos seleksi untuk menjadi pegawai negeri sipil maupun pihak kepolisian, ialah mereka yang bermental miskin demikian, bukan mereka yang bermental melayani.
Ataukah, memang tiada warga masyarakat Indonesia yang bermental melayani, sampai-sampai negara “meng-obral” posisi pegawai negeri dan kepolisian, yang terpenting ada yang menjadi pegawai negeri dan polisi, apapun mental mereka saat mengajukan diri sebagai hamba masyarakat.
Menyedihkan bila benar demikian keadaannya. Cobalah tengok perlakuan para tetangga Anda, Anda akan menemukan sebentuk pola keseragaman sikap dan karakter perilaku bangsa ini. Inilah fakta wajah Indonesia dibalik segala polesan wajahnya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.