ARTIKEL HUKUM
Ketidaktahuan hukum yang mengatur, bukanlah alasan pembenar ataupun pemaaf dalam pemidanaan. Dalam artikel sebelumnya SHIETRA & PARTNERS menguraikan perbedaan konsepsi antara “mala in se” dengan “mala prohibita”. Dalam konsepsi “mala in se”, sebuah perbuatan adalah jahat berdasarkan dasariah karakteristiknya (sebagaimana conscience bangsa-bangsa beradab), sekalipun hukum negara tidak mengatur dan tidak melarang atau menyatakan sanksi atas perbuatan jahat tersebut.
Dengan kata lain, sekalipun hukum negara tidak mengatur suatu perbuatan tertentu, selama akal sehat dan nurani berkesadaran masyarakat menginsafi bahwa suatu perbuatan adalah jahat, maka setiap orang dewasa yang mampu berpikir jernih pastilah mampu menginsafinya pula. Semisal pembunuhan, perampokan, fitnah, penjarahan, pembakaran hutan oleh korporasi; sekalipun bila hukum negara tidak mengatur, perbuatan tersebut tetap keliru dan tidak dibenarkan adanya pembenaran diri.
Akan lebih berat derajatnya bila hukum negara ternyata mengatur dan mengancam sanksi atas suatu tindakan tertentu, sehingga bila suatu perbuatan seperti corat-coret Bendera Merah-Putih yang menjadi lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia diinsafi oleh para penduduk NKRI sebagai suatu kejahatan yang dapat disadari oleh setiap orang dewasa berakal sehat, maka tiada lagi terbuka ruang bagi alasan untuk menyatakan bahwa dirinya tidak mengetahui adanya aturan hukum negara yang ternyata juga melarang perbuatan aksi pelecehan terhadap lambang negara.
Tak perlu jugalah, pelakunya mendalilkan praktik di negara Amerika Serikat yang menjadikan gambar bendera sebagai “mainan”, karena Bangsa Indonesia kerapkali menistakan Negeri Paman Sam tersebut sebagai negeri tak beradab—sehingga bukankah tidak pada tempatnya kita menirukan sikap tidak beradab demikian?
Pembenaran diri menjadi musuh dari penegakan hukum. Setiap Warga Negara Indonesia mengetahui dan menginsafi bahwa Burung Garuda adalah lambang negara dengan atribut simbol-simbolnya. Melecehkan simbol dan lambang negara adalah pelecehan terhadap markat dan martabat Bangsa Indonesia itu sendiri. Kita mungkin dapat dinistakan oleh bangsa lain, namun tidak dapat dibenarkan pelaku penistaan adalah warga negara sendiri yang dibiarkan oleh sesama warga negara lainnya—yang dapat kita sebut sebagai tindakan “desertir”.
Dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat perkara pidana Register Nomor 1359/PID.B/2014/PN.Jkt Pst tanggal 9 Desember 2014, Majelis Hakim membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Kesenggajaan memiliki 2 (dua) sifat, yaitu:
1). Kesenggajaan berwarna (gekleurd);
“Sifat kesengajaan itu berwarna dan kesengajaan melakukan sesuatu perbuatan mencakup pengetahuan si pelaku bahwa perbuatanya melawan hukum (dilarang).
“Jadi harus ada hubungan antara keadaan batin si-pelaku dengan melawan hukumnya perbuatan. Dikatakan, bahwa sengaja disini berarti dolus malus, artinya sengaja untuk berbuat jahat. Jadi menurut pendirian yang pertama, untuk adanya kesengajaan perlu bahwa si pelaku menyadari bahwa perbuatannya dilarang. Penganutnya antara lain Zevenbergen, yang mengatakan bahwa: ‘Kesengajaan senantiasa ada hubungannya dengan dolus molus, dengan perkataan lain dalam kesengajaan tersimpul adanya kesadaran mengenai sifat melawan hukumnya perbuatan’;
“Untuk adanya kesengajaan, di perlukan syarat, bahwa pada si pelaku ada kesadaran, bahwa perbuatannya dilarang dan/atau dapat dipidana;
2). Kesengajaan tidak berwarna (kleurloos);
“Kalau dikatakan bahwa kesengajaan itu tak berwarna, maka itu berarti bahwa untuk adanya kesengajaan cukuplah bahwa si pelaku itu menghendaki perbuatan yang dilarang itu. Ia tak perlu tahu bahwa perbuatannya terlarang / sifat melawan hukum. Dapat saja si pelaku dikatakan berbuat dengan sengaja, sedang ia tidak mengetahui bahwa perbuatannya itu dilarang atau bertentangan dengan hukum;
“Di Indonesia sendiri menganut kesengajaan tidak berwarna karena di Indonesia menganut doktrin fiksi hukum (seseorang dianggap mengetahui hukum yang ada).”
Sebagai perbandingan, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Bandung register Nomor 103/Pid.Sus-TPK/2015/PN.Bdg. tanggal 21 September 2015, Majelis Hakim membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa dipidananya seseorang sesuai ketentuan pasal 197 (1) KUHAP jo pasal 6 (2) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, tidaklah cukup perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur-unsur pasal yang didakwakan. Untuk mendapat keyakinan seseorang yang dapat dianggap bertanggungjawab secara pidana haruslah terdapat penyataan kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya, sesuai azas hukum pidana tiada pidana tanpa kesalahan (Geen Straf Zonder Schuld);
“Menimbang, bahwa kesalahan dalam suatu tindak pidana adalah merupakan perhubungan keadaan jiwa atau niat para Terdakwa dengan terwujudnya unsur-unsur tindak pidana karena perbuatannya. Adanya hubungan batin antara para Terdakwa dengan perbuatannya;
“Menimbang, bahwa unsur-unsur kesalahan meliputi : kemampuan bertanggungjawab, hubungan psikis pelaku dengan perbuatan yang dilakukan, yang melahirkan kesengajaan maupun kealpaan, tidak ada alasan pengapusan pertanggungjawaban pidana. (Prof. Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2014, halaman 127).
“Dari “kesengajaan” (opzet) yaitu : “menghendaki dan mengetahui” (wilens en wetens) sebagaimana dimuat dalam Memorie van Toelichting (MvT) (Moeljatno 1983 : 7 dalam Drs. Adami Chazawi, SH., Bagian 1 Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana, Pelajaran Hukum Pidana, RajaGrafindo Persada, 2008, Jakarta, halaman 93 dan 95).
“Dalam kesengajaan terdapat kesengajaan berwarna dan kesengajaan tidak berwarna (opzetkleurloss). KUHP menganut kesengajaan tidak berwarna berupa fiksi hukum, meskipun tidak ada pasal yang menjelaskannya. Tapi berdasarkan Memorie van Toelicthing dikatakan melakukan suatu perbuatan dengan sengaja, tidak memerlukan pengetahuan pelaku, apakah perbuatan yang dilakukannya merupakan suatu perbuatan pidana ataukah tidak (Prof. Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2014, halaman 139);
“Menimbang, bahwa dengan demikian kesalahan adalah unsur subyektif yang melekat pada bathin para Terdakwa, yang menentukan arah dari perbuatan para Terdakwa. Sesuai azas hukum, perbuatan jahat dimulai dari pikiran yang jahat. Unsur batin tersebut berupa pengetahuan para Terdakwa tentang perbuatannya dilarang oleh hukum. Akan tetapi walaupun keadaan jiwa atau pikiran para Terdakwa mengetahui perbuatannya dilarang oleh hukum, tapi para Terdakwa tetap menghendaki dalam alam pikiran atau alam batin para Terdakwa untuk mewujudkan perbuatannya, sehingga para Terdakwa dapat dihukum karena perbuatan tadi;
“Menimbang, bahwa kesalahan mengandung pengertian yang menunjukan tindak pidana ini harus dilakukan dengan kesengajaan (dolus). Yaitu para Terdakwa sengaja dengan sadar (niat) bermaksud atau bertujuan (opzet als oogmerk) untuk melakukan tindakan sehingga menciptakan keadaan yang terlarang oleh hukum atau melawan hukum, atau sengaja dengan sadar (niat) melakukan tindakan dengan kepastian menimbulkan akibat yang dilarang oleh hukum atau melawan hukum, atau sengaja dengan sadar (niat) melakukan tindakan dengan kemungkinan menimbulkan akibat yang dilarang oleh hukum atau melawan hukum. Kesalahan tersebut haruslah dinilai oleh orang lain bukan oleh para Terdakwa itu sendiri;
“Menimbang, bahwa walaupun merupakan unsur subyektif (bathin), kesalahan dapat dinilai secara obyektif dengan memperhatikan segala keadaan lahir yang terjadi yang menyertai perbuatan para Terdakwa. Serta dihubungkan dengan perilaku para Terdakwa. Sebab perbuatan sudah merupakan bentuk pernyataan kehendak yang diwujudkan. Oleh karena itu pada dasarnya hukum tidak menghiraukan apa yang ada dalam pikiran seseorang, tetapi hukum mengatur perilaku atau perbuatan manusia dalam kehidupan bermasyarakat.
“Rangkaian perbuatan itu dapat menunjukan keadaan sikap bathin para Terdakwa yang menunjukan para Terdakwa mengetahui dan menghendaki (wetten en willen) perbuatannya yang diwujudkan, dilaksanakan oleh diri sendiri dan atau orang lain, mempunyai sifat melawan hukum. Sehingga dari perbuatan-perbuatannya yang nampak salah karena dilarang oleh hukum tersebut itulah, kemudian disimpulkan tentang adanya pikiran atau niat jahat untuk melakukan tindak pidana dalam batin para Terdakwa sesuai Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 813 K/Pid/1987 tanggal 29 Juni 1989;
“Menimbang, bahwa siapa yang menyebabkan timbulnya keadaan terlarang, dia wajib mengakhiri keadaan terlarang itu, jika tidak ada tindakan mengakhiri keadaan terlarang itu, maka dialah yang harus bertanggungjawab dan dipidana atas penciptaan keadaan terlarang itu;
“Menimbang, bahwa oleh karena itu, perbuatan para Terdakwa telah memenuhi unsur-unsur pasal tersebut diatas, serta terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana korupsi tersebut tidak terlepas dari peran serta dari para Terdakwa, serta tidak ada niat dari para Terdakwa untuk mengakhiri keadaan terlarang yang diciptakannya, maka dalam perbuatan para Terdakwa tersebut terdapat kesalahan para Terdakwa, yang kepadanya dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.”
Para profesor hukum yang mengaku sebagai pakar hukum pidana, menyatakan pelaku pelecehan lambang negara yang tidak memiliki niat batin untuk melecehkan (mens rea) adalah alasan pemaaf, bertentangan dengan pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Negeri Meulaboh dalam putusannya perkara pidana korporasi pembakaran hutan yang dilakukan oleh PT. KALLISTA ALAM register perkara Nomor 131/Pid.B/2013/PN.MBO., dimana Majelis Hakim membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa selanjutnya apakah adanya kebakaran tanggal 23 Maret 2012 dan kebakaran pada tanggal 17 Juni 2012 sampai dengan 24 Juni 2012 seluas 8 hektar di Blok E42B Divisi VIII tersebut dapat tidaknya dikategorikan sebagai membuka lahan dengan cara membakar;
“Menimbang, ... kedudukan saksi Ir.Khamidin Yoesoef adalah sah sebagai Manager Pengembangan dilahan PT. Kallista Alam yang memiliki tanggung jawab untuk melakukan pengawasan terhadap kebakaran yang terjadi untuk melakukan upaya-upaya penyelamatan terhadap lahan yang ada tersebut;
“Menimbang, bahwa dari fakta-fakta yang terungkap dipersidangan sebagaimana telah diuraikan diatas, kebakaran di lahan milik terdakwa PT.Kallista Alam dimana saksi Ir.Khamidin Yoeseof sebagai Managernya, dikarenakan tidak dilaksanakannya pengawasan maksimal pada area kebun tersebut meskipun terungkap fakta terdakwa PT.Kallista Alam telah mengeluarkan surat No. 03.02/KA/1999 tertanggal 09 Maret 1999 perihal bahaya api serta saksi Ir.Khamidin Yoesoef Bin Muhamad Yusuf menyampaikan kepada saksi Elvis selaku kontraktor agar berhati-hati pada musim kemarau;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan maka majelis hakim tidak sependapat dengan ahli yang diajukan terdakwa Prof.Dr.Andi Hamzah,SH. yang menerangkan terdakwa tidaklah dapat dipertanggungjawabkan karena tidak adanya actus reus maupun mens rea pada terdakwa tersebut, oleh karena dalam hukum pidana pun tidak berbuat sesuatu pun dapat dipidana atau yang dikenal delic ommisi;
“Menimbang, bahwa dalam hukum pidana dalam memahami kesengajaan pun dikenal adanya teori “apa boleh buat” in kauf nauhmen theori” atau “op de koop toe nemen theori” yaitu keadaan batin si pelaku terhadap perbuatannya adalah sebagai berikut :
a. akibat itu sebenarnya tidak dikehendaki, bahkan ia benci atau takut akan kemungkinan timbulnya akibat itu;
b. akan tetapi meskipun ia tidak menghendakinya, namun apabila keadaan itu timbul, ia harus berani mengambil resiko;
“Menimbang, bahwa dengan demikian kejadian yang terjadi pada lahan terdakwa adalah jelas-jelas merugikan terdakwa karena telah kehilangan keuntungan serta biaya yang dikeluarkan untuk menanam sawit-sawitnya maupun terjadi kebakaran tersebut;
“Menimbang, bahwa lebih lanjut dalam undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam Pasal 2 mengenai asas diatur adanya asas kehati-hatian, sehingga dengan demikian dengan tidak hati-hatinya pengelolaan perkebunan PT.Kallista Alam karyawan dan staf terdakwa tidak mampu memadamkan api, haruslah dinyatakan pembukaan lahan telah dilakukan dengan cara membakar;
“Menimbang, bahwa selanjutnya berdasarkan pendapat ahli Prof.Dr.Bambang Hero Saharjo,M.Agr. setelah melakukan pengamatan dilakukan bahwa lapangan terlihat dengan jelas dimana areal terbakar penuh dengan arang dan abu hasil pembakaran dan masih menghitam pada log yang terbakar hal ini dilakukan selain untuk memudahkan dalam melakukan pekerjaan / pengolahan lahan berikutnya juga untuk mendapatkan abu hasil pembakaran yang kaya mineral yang dapat berfungsi sebagai pengganti pupuk untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman dengan fakta sebagai berikut :
- Terdapat log sisa tebangan dengan menggunakan chainsaw dengan diameter dan panjang yang bervariasi telah ditebang dan ditumbangkan berserakan di permukaan tanah dalam kondisi telah terbakar baik pada blok A di Divisi VII maupun Blok E di Divisi VII;
- Log sisa tebangan yang ditumbangkan, hasil tebasan tumbuhan bawah dan log bekas tebangan terdahulu menjadi bahan bakar dalam proses pembakarannya;
- Penumpukan abu dan arang pada lokasi terbakar relatif merata hal ini memang yang diharapkan agar supaya tidak timbul bagian-bagian yang tidak terbakar yang nantinya justru akan merugikan karena merupakan sarang hama dan penyakit yang akan menyerang tanamannya;
- Pembakaran dilakukan dengan sengaja dengan cara membiarkan log-log bekas tebangan yang terdapat di permukaan lahan yang sedang dalam proses land clearing tersebut terbakar ... , hal itu didukung karena minimnya sarana dan prasarana pengendalian kebakaran yang tersedia demikian pula halnya dengan tidak adanya system pencegahan kebakaran atau SOP, organisasi pemadam maupun personil pemadam itu sendiri seperti diakui oleh saksi Sujandra, meskipun menurut penanggungjawab UKL dan UPL Sdri Niken Sawitri dan diketahui oleh Direktur PT. Kalista Alam Sdr. Subianto Rusid bahwa PT. Kalista Alam akan melaksanakan UPL seperti tercantum dalam Bagian Program Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup dan bersedia secara berkala melaporkan hasilnya kepada instansi terkait, bersedia dipantau dampak dan kegiatan usahanya sebagaimana tercantum dalam program Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup, apabila lalai untuk melaksanakan Upaya Pengelolaan sebagaimana tercantum dalam UKL dan UPL bersedia untuk menghentikan kegiatan operasional kebun sawit dan bila terjadi kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan yang disebabkan kegiatan kebun kelapa sawit yang belum termasuk dalam formulir isian bersedia untuk bertanggungjawab dan ditindak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku namun nyatanya tidak demikian dilapangan bahkan kebakaran tersebut sudah terjadi berlanjut dan faktanya pola api pada saat kebakaran tidak bebas bergerak namun mengikuti pola tertentu yang menunjukkan adanya campur tangan manusia;
- Lahan yang terbakar terkonsentrasi pada areal yang telah dibuka / di land clearing;
- Data hasil analisa hotspot juga menunjukkan bahwa areal yang terbakar cenderung memiliki hotspot yang mengelompok pada periode tertentu (contoh pada blok E pada divisi VIII);
- Minimnya peralatan yang tersedia di PT. Kalista Alam dari jumlah standar minimal yang harus dimiliki termasuk tidak tersedianya menara pengawas api yang seharusnya ada, menunjukkan kepedulian yang rendah terhadap ancaman terjadinya kebakaran lahan baik yang dilakukan secara sengaja maupun akibat kelalaian sehingga areal yang terbakar makin luas;
- Perusahaan melakukan kegiatan penyiapan lahan dengan pembakaran secara sistematis dan terencana melalui pembiaran terhadap terjadinya kebakaran khususnya pada areal yang tengah dilakukan land clearing dan hal ini telah terjadi bertahun-tahun;
- Akibat terjadinya kebakaran tersebut telah merusak lapisan permukaan gambut dengan tebal rata-rata 5-10 cm sehingga 1.000.000 m³ terbakar dan tidak kembali lagi sehingga akan mengganggu kesetimbangan ekosistem di lahan bekas terbakar tersebut;
- Akibat terjadinya kebakaran di PT. Kalista Alam maka telah berhasil dilepaskan Gas Rumah Kaca selama berlangsungnya kebakaran yaitu 13.500 ton karbon, 4.725 ton CO2, 49,14 ton CH4, 21,74 ton NOx, 60,48 ton NH3, 50,08 ton O3, 874,12 ton CO serta 1050 ton partikel, maka bila dibandingkan dengan standar baku mutu yang ada maka gas yang dilepaskan selama kebakaran berlangsung telah melewati batas ambang yang berarti telah mencemarkan lingkungan di lahan terbakar dan sekitarnya serta gambut yang terbakar tidak mungkin kembali lagi karena telah rusak;
- Dalam rangka pemulihan lahan gambut yang rusak akibat kebakaran lahan di PT. Kalista Alam seluas 1000 ha melalui pemberian kompos, serta biaya yang harus dikeluarkan untuk memfungsikan faktor ekologis yang hilang maka dibutuhkan biaya sebesar Rp. 366.098.669.000,-.;
“M E N G A D I L I
I. Menyatakan perbuatan terdakwa PT.KALLISTA ALAM telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “LINGKUNGAN HIDUP YANG DILAKUKAN SECARA BERLANJUT”;
II. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa PT KALLISTA ALAM oleh karena itu dengan pidana denda sebesar Rp. 3.000.000.000,- (tiga milyard rupiah).”
SHIETRA & PARTNERS memiliki pandangan sedikit konservatif dalam hal ini, yakni hanyalah jenis perbuatan derivatif yang sarat teknikalisasi yang dapat dibenarkan untuk mendalilkan dirinya tidak mengetahui hukum yang mengatur dan melarang atau mewajibkan suatu perbuatan.
Bila perbuatan tersebut diatur dalam kriteria derajat primer, seperti kejahatan pembunuhan, korupsi, kolusi, pencurian, fitnah, termasuk pada pelecehan terhadap simbol negara, maka tiada dapat berlindung dibalik alasan: tidak tahu hukumnya. Hanya derajat peraturan sekundair atau tersier yang sarat teknikalisasi yang masih dapat berkelit dibalik argumentasi: “Tidak tahu hukumnya”.
Untuk lebih jelasnya dapat merujuk pada artikel SHIETRA & PARTNERS dengan judul “Kelalaian Berat Sama Derajatnya Dengan Kesengajaan Itu Sendiri”. Baik sengaja maupun lalai, dalam hukum pidana sama-sama termasuk dalam kualifikasi kesalahan—salah karena sengaja atau salah karena lalai (untuk mengetahui hukumnya), dan keduanya merupakan delik pidana kecuali ditentukan sebaliknya oleh peraturan perundang-undangan.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.