Kerugian (Keuangan) Negara di Mata Hukum Tindak Pidana Korupsi

LEGAL OPINION
Question: Sebenarnya apa yang dimaksud dengan ‘kerugian negara’ dalam terminologi Tipikor (tindak pidana korupsi)? Saya dengar ketua Mahkamah Agung pada awal tahun 2017 mengatakan bahwa badan hukum hanya dapat dikenakan sanksi tindak pidana korporasi berupa denda, tidak dapat pidana penjara, benarkah demikian?
Brief Answer: Parameter serta barometernya telah dirumuskan dengan sangat ‘rapat’ oleh Mahkamah Konstitusi RI sebagaimana diterapkan oleh Pengadilan Tipikor di Indonesia, termasuk unsur potential loss. Perinciannya dapat merujuk pada ilustrasi putusan hakim pada bagian pembahasan dibawah ini.
SHIETRA & PARTNERS maupun para hakim pada Pengadilan Tipikor memiliki pendirian berbeda dengan pandangan sang Ketua MA RI, dimana konsepsi tindak pidana korporasi yang tidak memberlakukan doktrin piercing the corporate veil, adalah kontraproduktif terhadap efek penjeraan (deterrent effect). Untuk badan hukumnya memang berupa pidana denda atau “dimatikan” lewat pencabutan izin usaha; namun pengurusnya tidak dapat dibenarkan untuk lepas dari sanksi pidana penjara—karena faktor penyalahgunaan hak/kewenangan badan hukum yang hanya dijadikan sebagai nominee company niat jahatnya belaka.
PEMBAHASAN:
Putusan perkara korupsi korporasi yang menjadi ilustrasi berikut tergolong unik, karena yang dijerat pidana ialah direktur dari badan hukum, sebagaimana tertuang dalam putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung register Nomor 09/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Bdg. tanggal 23 Maret 2016, dimana terhadap dakwaan Jaksa Penuntut, Majelis Hakim membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa kerugian keuangan negara dapat terjadi karena : 1. pengeluaran kekayaan negara dapat berupa uang atau barang, yang seharusnya tidak dikeluarkan. 2. pengeluaran kekayaan negara dapat berupa uang atau barang, yang lebih besar dari yang seharusnya menurut kriteria yang berlaku. 3. Hilangnya kekayaan negara dapat berupa uang atau barang, yang seharusnya diterima termasuk diantaranya penerimaan dengan uang palsu atau barang fiktif. 4. penerimaan kekayaan negara dapat berupa uang atau barang, yang lebih kecil atau lebih rendah dari yang seharusnya diterima, termasuk diantaranya penerimaan barang rusak atau kualitas tidak sesuai dengan spesifikasi/kriteria. 5. Timbulnya kewajiban negara yang seharusnya tidak ada. 6. timbulnya kewajiban yang lebih besar dari yang seharusnya. 7. hilangnya suatu hak negara yang seharusnya dimiliki. 8. hak negara lebih kecil dari yang seharusnya diterima (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 62/PUU-XI/2013, hari Kamis tanggal 18 September 2014, hlm. 211-212);
“Menimbang, bahwa dalam penjelasan pasal 2 Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 tersebut dinyatakan bahwa dalam ketentuan ini kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi, cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat berupa kerugian keuangan negara. Keberadaan kata “dapat” sama sekali tidak menentukan faktor ada atau tidaknya ketidakpastian hukum yang menyebabkan seseorang tidak bersalah dijatuhi pidana korupsi atau sebaliknya orang yang melakukan tindak pidana korupsi tidak dapat dijatuhi pidana; [Note SHIETRA & PARTNERS: Contoh, bila pelaku telah memiliki niat buruk untuk korupsi, lantas telah dilakukan perbuatan pendahuluan, yang tidak berhasil terlaksana karena tertangkap tangan, maka sekalipun kerugian tidak terjadi (karena berhasil dicegah penegak hukum), maka delik telah terjadi secara sempurna. Kita tidak perlu menunggu negara merugi terlebih dahulu untuk dapat menegakkan hukum. Untuk lebih lengkapnya, lihat teori mengenai ‘kesengajaan sebagai kepastian’.]
“Menimbang, bahwa hubungan kata “dapat” dengan “merugikan keuangan negara” tergambarkan dalam dua hubungan yang ekstrim : (1) nyata-nyata merugikan negara (actual loss) atau (2) kemungkinan dapat menimbulkan kerugian (potential loss). Hal yang terakhir ini lebih dekat dengan maksud mengkualifikasikan delik korupsi menjadi delik formil. Di antara dua hubungan tersebut sebenarnya masih ada hubungan yang “belum nyata terjadi”, tetapi dengan mempertimbangkan keadaan khusus dan konkret di sekitar peristiwa yang terjadi, secara logis dapat disimpulkan bahwa suatu akibat yaitu kerugian negara akan terjadi;
“Menimbang, bahwa hal demikian ditafsirkan bahwa unsur kerugian negara harus dibuktikan dan harus dapat dihitung, meskipun sebagai perkiraan atau meskipun belum terjadi. Faktor kerugian, baik secara nyata atau berupa kemungkinan, dilihat sebagai hal yang memberatkan atau meringankan dalam penjatuhan pidana, sebagaimana diuraikan dalam Penjelasan Pasal 4, bahwa pengembalian kerugian negara hanya dapat dipandang sebagai faktor yang meringankan. Oleh karenanya persoalan kata ”dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, lebih merupakan persoalan pelaksanaan dalam praktik oleh aparat penegak hukum;
“Menimbang, bahwa perhitungan kerugian keuangan negara dapat dilakukan oleh BPK RI, berdasarkan Pasal 35 ayat (2) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Perbendaharaan Negara juncto Pasal 62 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004, yang berwenang menghitung terjadinya kerugian keuangan negara dan dituangkan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK);
“Menimbang, bahwa selain itu berdasarkan Pasal 49 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah mengatur : BPKP berperan menjadi pengawas internal terhadap keuangan negara atas kegiatan tertentu yang meliputi kegiatan yang bersifat lintas sektoral dan mempunyai tugas pokok : a. Mempersiapkan perumusan kebijaksanaan pengawasan keuangan dan pembangunan; b. menyelenggarakan pengawasan umum atas penguasaan dan pengurusan keuangan; dan c. menyelenggarakan pengawasan pembangunan; juncto Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1983 jo Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001. Kewenangan BPKP juga diatur dalam Pasal 6 ayat (1) UU Nomor 15 Tahun 2006 jo. Nota Kesepahaman antara Jaksa Agung RI, Kapolri dan BPKP Nomor : Kep-109/A/JA/09/2007, Nopol : B/2718/IX/2007 dan Nomor : Kep-1093/K/D6/2007 tanggal 28 September 2007 tentang Kerjasama dalam Penanganan Kasus Penyimpangan Pengelolaan Keuangan Negara yang Berindikasi Tindak Pidana Korupsi termasuk Dana Non Budgeter;
“Menimbang, bahwa sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUUX/2012, 23 Oktober 2012, dalam rangka pembuktian suatu tindak pidana korupsi, penegak hukum tidak hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK, melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain, bahkan bisa membuktikan sendiri di luar temuan BPKP dan BPK, misalnya dengan mengundang ahli atau dengan meminta bahan dari Inspektorat Jenderal atau badan yang mempunyai fungsi yang sama dengan itu. Bahkan, dari pihak-pihak lain (termasuk dari perusahaan), yang dapat menunjukkan kebenaran materiil dalam penghitungan kerugian keuangan negara dan/atau dapat membuktikan perkara yang sedang ditanganinya. Sebab hasil audit merupakan pendapat atau opini auditor, berupa opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) (unqualified opinion), opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) (qualified opinion), opini Tidak Wajar (TW) (adversed opinion), dan pernyataan menolak memberikan opini (disclaimer of opinion) atau Tidak Memberikan Pendapat (TMP). Sehingga walaupun hasil audit terutama audit regular mencapai standar opini WTP secara adminstratif, akan tetapi didalamnya dapat mengandung tindak pidana. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 186 KUHAP, dan pasal 179 KUHAP;
“Menimbang, bahwa sesuai keterangan Ahli Sudirman, SE., dengan adanya perbuatan Terdakwa, selaku Direktur PT. Mangle Panglipur serta Penyedia Barang/Jasa Pemerintah pada Kegiatan Pengadaan Buku Pengayaan, Referensi dan Panduan Pendidik DAK Tahun Anggaran 2010, terdapat kerugian negara sebesar Rp. 1.846.754.780,00-, yang didapat dari jumlah uang yang dicairkan dari SP2D kepada Terdakwa selaku Direktur PT. Mangle Panglipur dikurangi dengan uang yang diterima oleh perusahaan yang mengerjakan pekerjaan Pengadaan Buku Pengayaan, Referensi dan Panduan Pendidik DAK Tahun Anggaran 2010. Sesuai dengan Laporan Hasil Audit (BPKP-RI) dalam rangka Perhitungan Kerugian Negara pada kasus dugaan Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Buku Referensi, Pengayaan dan Panduan Pendidikan DAK pada Dinas Pendidikan Kabupaten Garut Tahun Anggaran 2010, akibat perbuatan Terdakwa telah merugikan keuangan Negara Cq. Pemerintah Kabupaten Garut sebesar Rp.1.846.754.780.00.-
“Menimbang, bahwa oleh karena itu maka unsur “yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara” dalam pasal ini serta sesuai ketentuan pasal 197 ayat (1) huruf h KUHAP, telah terpenuhi;
“Menimbang, bahwa sesuai Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 7 Maret 2012 Nomor 2547 K/PID.SUS/2011 halaman 234-236, dinyatakan : dalam perbuatan yang dilakukan dalam kelompok secara bersama-sama dengan telah terjadinya penyerahan sejumlah uang, oleh salah seorang dari bagian dari kelompok tersebut. Serta dari pihak penerima telah ada salah seorang dari bagian kelompok tersebut yang menerima, dalam perkara ini maka perbuatan tersebut telah selesai dilakukan.
“Serta merujuk pada Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 7 Maret 2012 Nomor 2547 K/PID.SUS/2011, halaman 233 : sebagai suatu permufakatan jahat, apabila dalam penyertaan perbuatan tersebut haruslah dipandang sebagai perbuatan dalam kelompok secara bersama-sama, yang memperlihatkan kerjasama yang erat.
Tanpa peran Terdakwa tidak dapat uang dibayarkan kepada Terdakwa sendiri selaku Direktur PT. Mangle Panglipur serta Penyedia Barang/Jasa. Tanpa perlu terdakwa pun menggerakan anggota kelompok yang lain karena telah terjadi kerjasama yang erat yang cukup diketahui oleh masing-masing anggota kelompok termasuk terdakwa, berupa kesepakatan diam-diam yang saling mengetahui mereka bekerjasama.
“Terlebih sesuai fakta hukum terdapat perbuatan Terdakwa secara aktif mengikuti lelang walaupun tidak mempunyai kemampuan dasar berupa kemampuan teknis berupa tenaga kerja serta peralatan yang memadai untuk ikut dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, pengalaman kerja sesuai dengan nilai kontrak, menandatangani dokumen yang dapat digunakan untuk melakukan permintaan pembayaran. Tidak perlu kesepakatan itu diperjanjikan terlebih dahulu baik secara lisan ataupun tertulis, karena kejahatan tidak akan diperjanjikan secara terang-terangan lisan maupun tertulis;
“Menimbang, bahwa sesuai fakta tersebut diatas perbuatan kerjasama tersebut telah terjadi secara sistematis dan terstruktur, dimana peran dari Terdakwa selaku Direktur PT. Mangle Panglipur serta Penyedia Barang/Jasa Pemerintah dalam Kegiatan Pengadaan Buku Referensi, Pengayaan dan Panduan Pendidik DAK pada Dinas Pendidikan Kabupaten Garut Tahun Anggaran 2010, bekerjasama dengan Saksi Hendi Yatna, bersama-sama Saksi Drs. Entik Karyana selaku KPA/PPK, Saksi Heri Suherman, SE.MM, serta Saksi Budi Setiawan selaku Direktur CV. Tenjolaya Cipta Pratama, merupakan mata rantai perbuatan yang mempunyai hubungan sebab akibat (causalitas) atau berkaitan, dimana tanpa peran serta Terdakwa perbuatan tersebut tidak akan pernah selesai dilakukan. Sehingga fakta-fakta hukumnya satu dengan yang lain tidak dapat dipisah-pisahkan;
“Menimbang, bahwa dengan memperhatikan hubungan sebab akibat (kausalitas) atau keterkaitan Terdakwa tersebut diatas, maka Terdakwa berperan sebagai orang yang melakukan perbuatan dalam kelompok tersebut secara bersama-sama;
“Menimbang, bahwa sesuai ketentuan UU Nomor 31 Tahun 1999 Pasal 15 : Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14;
“Menimbang, bahwa dengan demikian unsur “mereka melakukan, yang menyuruh melakukan atau yang turut melakukan perbuatan itu”, dalam pasal ini serta sesuai ketentuan pasal 197 ayat (1) huruf h KUHAP, telah terpenuhi;
M E N G A D I L I :
1. Menyatakan Terdakwa Drs. OEDJANG DARAJATOEN BIN H. OETON MUCHTAR, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dalam dakwaan primer;
2. Membebaskan Terdakwa dari dakwaan primer tersebut;
3. Menyatakan Terdakwa Drs. OEDJANG DARAJATOEN BIN H. OETON MUCHTAR, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama sebagaimana dalam dakwaan subsider;
4. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun serta denda sejumlah Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 1 (bulan) bulan;
5. Menghukum Terdakwa untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp. 38.000.00,- (Tiga puluh delapan juta rupiah), paling lama dalam waktu satu bulan sesudah putusan ini berkekuatan hukum tetap, jika tidak membayar maka harta bendanya disita dan dilelang oleh Jaksa untuk menutupi uang pengganti tersebut dengan ketentuan apabila Terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi maka dipidana dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun;
6. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
7. Menetapkan Terdakwa tetap ditahan.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.