KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Kekuatan Mengikat Pertimbangan Hukum Hakim dalam Putusan

ARTIKEL HUKUM
Sebenarnya apakah yang mengikat, hanya amar putusan hakim atau pertimbangan hukumnya juga?
Pertanyaan tersebut kerap terlontar dari masyarakat, dimana sebagian konsultan hukum di indonesia secara serampangan (dan memang memprihatinkan) membuat jawaban:
“Hanya amar putusan yang mengikat, sehingga terhadap putusan pengadilan ataupun putusan Mahkamah Konstitusi, tidak perlu buang waktu untuk membaca putusan secara utuh, cukup baca amar putusannya saja.”
Pandangan sebagian konsultan hukum (bahkan diantaranya adalah konsultan hukum ternama) di tanah air tersebut patut kita sesali dan sayangkan, bahkan dapat SHIETRA & PARTNERS sebut sebagai menyesatkan masyarakat.
Artikel sederhana dalam kesempatan ini, SHIETRA & PARTNERS akan memberi ilustrasi konkret bahwa “amar putusan tidak lepas dari pertimbangan hukum hakim yang menjadi dasar dari putusan pengadilan”.
Mahkamah Konstitusi RI dalam putusannya perkara pengujian undang-undang (judicial review) register perkara Nomor 3/PUU-XIV/2016 tanggal 21 November 2016, terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang menjadi amar putusan Mahkamah atas permohonan uji materiil Pemohon, ialah:
“AMAR PUTUSAN
“Mengadili
“Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima.”
Apakah artinya putusan ini lantas dimasukkan ke “tong sampah” dan tidak mendapat sentuhan tangan masyarakat untuk disimak? Ternyata, terdapat sebuah kaidah normatif menarik yang tertuang secara tersurat dalam putusan tersebut, dimana majelis Hakim Konstitusi membuat pertimbangan hukum sebagaimana kutipan berikut:
“[3.5] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya telah dirugikan oleh berlakunya ketentuan Pasal 2 Ayat (4) UU 14/2008 dengan alasan yang pada pokoknya sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 2 Ayat (4) UU 14/2008, yang menyatakan, “Informasi Publik yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai dengan Undang-undang, kepatutan, dan kepentingan umum didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat serta setelah dipertimbangkan dengan saksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya”, telah merugikan hak konstitusional para Pemohon yang ditentukan dalam Pasal 28 F UUD RI 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”;
2. Ketentuan Pasal 2 Ayat (4) UU 14/2008, digunakan sebagai dasar hukum oleh Direktorat Jenderal Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan pada Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia, untuk menerbitkan Surat Edaran Nomor B.20/PPK/I/2014 tanggal 23 Januari 2014, yang mengkualifikasikan Nota Pemeriksaan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan yang merupakan bagian dari penegakkan hukum sebagai dokumen yang bersifat rahasia. Padahal, Nota Pemeriksaan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan pada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan setempat, bertujuan untuk menjamin pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang ketenagakerjaan yang berlaku, dan untuk memberikan kepastian hukum bagi pekerja/buruh, pengusaha dan pemberi kerja;
“Dari pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Nomor 7/PUU-XII/2014 tersebut maka nota pemeriksaan adalah nota yang berisi hal-hal menyangkut hasil pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan terhadap pengusaha atau perusahaan pemberi kerja yang di dalamnya disertakan pula petunjuk-petunjuk untuk meniadakan pelanggaran atau untuk melaksanakan peraturan ketenagakerjaan yang sifatnya anjuran dan tidak memiliki sifat eksekutorial.
“Oleh karena nota pemeriksaan tidak memiliki sifat eksekutorial maka Mahkamah (dalam putusan sebelumnya) memberi tafsir terhadap frasa ‘demi hukum’ sehingga dimaknai pekerja/buruh dapat meminta pengesahan nota pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan kepada Pengadilan Negeri setempat dengan syarat:
1. Telah dilaksanakan perundingan bipartit namun perundingan bipartit tersebut tidak mencapai kesepakatan atau salah satu pihak menolak untuk berunding; dan
2. Telah dilakukan pemeriksaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan berdasarkan peraturan perundang-undangan;”
“[3.7.2] Bahwa selanjutnya sebelum mempertimbangkan tentang nota pemeriksaan PPK yang bersifat rahasia, Mahkamah terlebih dahulu mempertimbangkan, apakah Pasal 2 ayat (4) UU 14/2008 merugikan hak konstitusional para Pemohon untuk mendapatkan informasi sehingga bertentangan dengan Pasal 28F UUD RI 1945. Terhadap hal tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
1. Dalam Penjelasan Umum UU 14/2008 disebutkan tujuan dibentuknya UU 14/2008 adalah untuk memberikan jaminan terhadap semua orang dalam memperoleh informasi, mengingat hak untuk memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia sebagai salah satu wujud dari kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis. Keberadaan Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik sangat penting sebagai landasan hukum yang berkaitan dengan: (1) hak setiap orang untuk memperoleh informasi; (2) kewajiban Badan Publik menyediakan dan melayani permintaan informasi secara cepat, tepat waktu, biaya ringan/proporsional, dan cara sederhana; (3) pengecualian bersifat ketat dan terbatas; (4) kewajiban Badan Publik untuk membenahi sistem dokumentasi dan pelayanan informasi. Dari Penjelasan Umum tersebut dapat disimpulkan bahwa keterbukaan informasi publik perlu bagi pemenuhan hak asasi manusia, namun keterbukaan informasi publik tersebut tidak berarti sebebas-bebasnya tetapi ada pengecualian keterbukaan informasi publik yang bersifat ketat dan terbatas.
2. Pasal 2 Ayat (4) UU 14/2008 memuat asas bahwa informasi publik yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai dengan Undang-Undang, kepatutan, dan kepentingan umum didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat serta setelah dipertimbangkan dengan saksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya. Adapun kriteria informasi yang bersifat rahasia ditentukan dalam Pasal 17 UU 14/2008 yang menyatakan: ‘Setiap Badan Publik wajib membuka akses bagi setiap Pemohon Informasi Publik untuk mendapatkan Informasi Publik, kecuali : ... ‘
“Ketentuan Pasal 2 Ayat (4) UU 14/2008 tersebut merupakan derivasi dari Pasal 28F UUD RI 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”;
“Dengan demikian, dalam mempergunakan hak memperoleh informasi, setiap orang juga tidak dapat sebebas-bebasnya memperoleh informasi dengan alasan hak tersebut diberikan langsung oleh UUD RI 1945, tetapi hak tersebut juga dibatasi dengan alasan untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, ketertiban umum, dan hukum dalam suatu masyarakat demokratis. Oleh karena itu, dengan mendasarkan pada pertimbangan di atas, Pasal 2 Ayat (4) UU 14/2008 merupakan ketentuan yang tidak bertentangan dengan UUD RI 1945;
“[3.7.3] Bahwa selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan nota pemeriksaan PPK merupakan informasi yang bersifat rahasia sebagaimana ditentukan oleh Surat Direktorat Jenderal Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan pada Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor B.20/PPK/I/2014, tanggal 23 Januari 2014, sebagai berikut;
“Sehubungan dengan nota pemeriksaan yang oleh Surat Direktorat Jenderal Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan pada Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor B.20/PPK/I/2014, tanggal 23 Januari 2014, dipersamakan sebagai dokumen rahasia, menurut Mahkamah, dalam nota pemeriksaan terdapat keterangan hasil pemeriksaan dari suatu perusahaan dalam rangka penegakan hukum di bidang ketenagakerjaan yang di dalamnya tidak dibedakan bersifat pidana atau bersifat perdata (vide keterangan saksi Yuli Adiratna yang diajukan oleh Presiden).
“Terlebih lagi berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk Seluruh Indonesia menyatakan, ‘Pegawai-pegawai beserta pegawai-pembantu tersebut dalam Pasal 2 di luar jabatannya wajib merahasiakan segala keterangan tentang rahasia-rahasia di dalam suatu perusahaan, yang didapatnya berhubung dengan jabatannya.’
“Demikian pula dalam Pasal 181 huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Pasal 20 huruf a dan huruf b Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2010 tentang Pengawas Ketenagakerjaan menyatakan bahwa PPK dalam melaksanakan tugasnya wajib merasiakan segala sesuatu yang menurut sifatnya patut dirahasiakan dan tidak menyalahgunakan kewenangannya.
“Selain itu, nota pemeriksaan PPK merupakan surat yang bersifat rahasia baik dari sisi substansi maupun administrasi persuratannya. Nota pemeriksaan yang dikeluarkan oleh Dinas Ketenagakerjaan dalam tata persuratannya ada yang memberikan kode rahasia berupa huruf “R” pada penomoran suratnya yang berarti ‘rahasia’ (vide tambahan keterangan Presiden).
“Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan tersebut dan melihat sifatnya yang rahasia nota pemeriksaan PPK tersebut telah sesuai dengan Pasal 17 UU 14/2008, namun demikian tidak berarti bahwa setiap kementerian dan/atau lembaga dapat secara sewenang-wenang menyatakan bahwa sesuatu informasi bersifat rahasia. Jika suatu kementerian dan/atau lembaga ingin menetapkan suatu informasi bersifat rahasia maka harus memperhatikan ketentuan Pasal 2 juncto Pasal 17 UU 14/2008.
Permasalahannya adalah apakah terhadap nota pemeriksaan PPK tersebut dapat dibuka untuk publik. Menurut Mahkamah, oleh karena hasil pemeriksaan yang terdapat di dalam nota pemeriksaan tidak dibedakan antara pidana dan perdata maka dengan mendasarkan pada Pasal 22 ayat (1) UU 14/2008 yang menyatakan, ‘Setiap Pemohon Informasi Publik dapat mengajukan permintaan untuk memperoleh Informasi Publik kepada Badan Publik terkait secara tertulis atau tidak tertulis.’
“Dengan demikian berdasarkan Pasal 22 ayat (1) UU 14/2008 para Pemohon dapat mengajukan permintaan secara tertulis kepada Badan Publik Ketenagakerjaan untuk mendapatkan nota pemeriksaan PPK tersebut. Apabila dalam jangka waktu paling lambat 10 hari sejak diterimanya permintaan, Badan Publik tidak memberikan informasi yang diminta maka pemohon informasi dapat mengajukan upaya keberatan kepada atasan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi, dan apabila tidak puas dengan tanggapan dari atasan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi, pemohon Informasi dapat mengajukan penyelesaian sengketa kepada Komisi Informasi Publik (vide Pasal 35 sampai dengan Pasal 39 UU 14/2008).
“Persoalannya adalah apakah para Pemohon sudah menggunakan Pasal 22 ayat (1) UU 14/2008. Apabila memperhatikan fakta yang terungkap di persidangan para Pemohon belum menggunakan Pasal 22 ayat (1) UU 14/2008 untuk mendapatkan nota pemeriksaan PPK dimaksud.
“Dengan demikian, apabila memperhatikan permohonan para Pemohon serta bukti dan fakta yang terungkap di persidangan, hal yang didalilkan oleh para Pemohon adalah penerapan norma dan bukan konstitusionalitas norma.”
Mahkamah Konstitusi sebenarnya telah berbaik hati memberi pertimbangan hukum demikian secara panjang lebar, meski sebenarnya Mahkamah Konstitusi berwenang untuk secara seketika menyatakan “keliru kompetensi absolut”, dikarenakan peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang yang bila dihendak diuji-materil adalah berupa peraturan menteri, peraturan presiden, atau peraturan teknis lain, merupakan yurisdiksi Mahkamah Agung RI, bukan Mahkamah Konstitusi.
Meski secara yuridis permohonan Pemohon pupus pada akhirnya, namun secara politis tujuan utama dari para Pemohon uji materiil tersebut diatas telah tercapai, yakni tiadanya lagi dalil bagi oknum aparatur pemerintah untuk menyalahgunakan kekuasaan dengan menutup rapat-rapat akses atas dokumen yang memiliki karakter public domain sebagaimana dalam praktik banyak terjadi.
Perlu kita pahami, sepanjang peraturan teknis tersebut masih belum dicabut atau dinyatakan batal, maka peraturan perundang-undangan tersebut tetap berlaku secara sah. Karena secara falsafahnya telah dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya sebagai “dapat” diakses publik dengan membawa masalah ini ke hadapan KIP, maka perjuangan ini akan disempurnakan dengan mudah lewat langkah lanjutan berupa uji materiil ke Mahkamah Agung, berbekal dasar argumentasi pertimbangan Mahkamah Konstitusi diatas.
Melihat hasil putusan yang didapat sebagai buah dari perjuangan para Pemohon, SHIETRA & PARTNERS mengucapkan selamat, bahwa sejatinya para Pemohon telah menang “secara politis” dalam uji materiil yang mereka mohonkan.
Ketika sengketa keterbukaan informasi terkait Nota Pemeriksaan ini dihadapkan ke KIP, KIP dapat memilih—karena disaat bersamaan memang terdapat dua instrumen hukum yang sama-sama sahih, yakni peraturan teknis Kementerian Tenagakerja yang menyatakan dokumen tersebut adalah rahasia, atau menggunakan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi—tentunya, akan lebih aman bagi kalangan pekerja/buruh untuk mengajukan uji materiil terhadap peraturan teknis tersebut ke Mahkamah Agung agar dinyatakan batal demi hukum sehingga tiada lagi dalil bagi aparatur sipil negara (ASN) untuk berkelit.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.