ARTIKEL HUKUM
Titik Balik Kemunduran Mahkamah Konstitusi RI,
Saatnya Mahkamah Agung Membangkang Mahkamah Konstitusi
sebagai The Last Guardian of Constitution
Bila dahulu, Komisi Pemberantasan Korupsi kerap melakukan aksi “tangkap
tangan” terhadap pelaku korupsi. Aksi “tangkap tangan” sejatinya ialah aksi
preventif/pencegahan terhadap potensi kerugian negara (antisipasi potential loss). Kerugian negara mungkin
belum terjadi, tapi ancaman terhadap kerugian negara telah nyata terjadi
sehingga KPK melakukan aksi “tangkap tangan”.
Kini, bandul MK telah berbalik menjadi berpihak pada pelaku korupsi.
Perilaku korup Akil Mochtar maupun Patrialis Akbar, tidak akan mampu disentuh
oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) karena memang tiada nilai nominal kerugian
negara yang akan mampu dihitung. Perilaku kedua Hakim Konstitusi RI tersebut
masuk dalam kategori kolusi (penyalahgunaan wewenang).
Begitupula dalam kasus OC Kaligis yang menyuap hakim Pengadilan Tata
Usaha Negara Medan agar memenangkan kliennya yang merupakan pejabat negara,
tidak terjadi kerugian negara apapun secara aktual—yang ada ialah kerugian
potensial karena pejabat korup memimpin secara korup. Sejauh apapun BPK membuat
konstruksi hukum, tiada kerugian negara yang terjadi dengan menyuap seorang
pejabat negara.
Tidak terkecuali dalam kasus nepotisme, semisal jual-beli jabatan, atau
terbentuknya fenomena “dinasti kekuasaan berbasis keluarga”, tiada kerugian
negara yang dapat dirumuskan oleh BPK, BPKP, atau instansi sejenis lainnya,
karena seluruh pelaku nepotisme digaji dengan keuangan negara secara legal.
Saat kini, bila KPK melakukan aksi “tangkap tangan” guna mencegah
kerugian negara, maka pelaku korup tidak akan tersentuh hukum, kebal, dan
memiliki imunitas, sebab UU Tipikor telah diamputasi oleh Mahkamah Konstitusi
RI yang menyebut dirinya sebagai “lembaga tunggal penafsir konstitusi”.
Faktanya, tiada lagi sakralitas dari lembaga tersebut.
Menjadi mengerikan, KPK dan para penegak hukum lainnya harus menunggu
terlebih dahulu kehancuran bangsa demi mendapatkan angka nominal kerugian
negara. Semangat pemberantasan korupsi bergeser dari penindakan guna pencegahan
(preventif) kerugian negara menjelma menjadi aksi kuratif upaya
pengembalian kerugian negara—karena MK RI telah menyatakan bahwa UU Tipikor
hanya dapat dimaknai sebagai semangat pemberantasan korupsi yang telah sempurna
terjadi dimana kerugian negara harus sudah riel terjadi.
Artinya pula, pasal-pasal lainnya dalam UU Tipikor yang mengatur perihal
suap, kolusi, nepotisme, bahkan tindak pidana percobaan korupsi yang tidak lain
ialah “delik formil”, DIAMPUTASI. Perlu kita sadari pula, delik
percobaan sebagaimana diatur dalam beberapa pasal UU Tipikor, merupakan delik
formil, dimana kerugian belum terjadi, namun terdapat suatu permulaan
perbuatan melawan hukum yang tidak selesai bukan karena kesadaran
pribadi si pelaku, namun adalah akibat tertangkap-tangannya pelaku oleh
aparatur penegak hukum.
Mari kita telaah putusan sang Lembaga Negara “Perusak” Konstitusi
berikut, yakni putusan Mahkamah Konstitusi RI perkara pengujian undang-undang (judicial review) register Nomor 25/PUU-XIV/2016
tanggal 8 September 2016, perihal Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Pemohon Uji Materiil berkeberatan terhadap frasa “dapat” dan frasa “atau orang
lain atau suatu korporasi” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor,
karena merasa dapat dikriminalisasi akibat tiadanya kepastian bila merujuk pada
frasa “dapat merugikan keuangan negara” dalam suatu tata kelola anggaran
pemerintahan. Adapun bunyi selengkapnya dari kedua Pasal UU Tipikor tersebut,
yakni:
Pasal 2 Ayat (1):
“Setiap orang yang secara
melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
Pasal 3:
“Setiap orang yang dengan
tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
Selengkapnya, SHIETRA & PARTNERS kutipkan pertimbangan hukum Mahkamah
Konstitusi, sebelum tiba pada amar putusannya yang mengejutkan, sebagai
berikut:
“[3.9] Menimbang bahwa para
Pemohon mengajukan pengujian konstitusionalitas terhadap norma Undang-Undang a
quo sebagaimana disebutkan pada paragraf [3.8] di atas dengan alasan-alasan
yang pada pokoknya sebagai berikut:
1. Bahwa Mahkamah dalam Putusan Nomor 003/PUU-III/2006, bertanggal 25
Juli 2006, yang telah mempertimbangkan ada atau tidak adanya tindak pidana
korupsi tidak tergantung pada ada atau tidaknya kerugian negara tetapi cukup
dibuktikan telah ada perbuatan melawan hukum sehingga ada atau tidak ada kata
“dapat” tidak penting lagi, menurut para Pemohon tidak sesuai lagi dengan
perkembangan politik hukum pemberantasan korupsi, yakni dengan lahirnya
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP)
yang mengutamakan dari pendekatan pidana menjadi pendekatan hukum administrasi
dan dari penghukuman pidana penjara menjadi pengembalian uang negara; [Note SHIETRA & PARTNERS: Koruptor
mana yang tidak senang dengan ‘angin surga’ demikian. Suatu permintaan dan
harapan pelaku korup yang sangat istimewa dan tidak berpihak kepada semangat
pemberantasan korupsi, dimana escape
clause menjadikan sakralitas dan ketajaman UU Tipikor tidak lagi memiliki
efek deterent. Karena pelaku korupsi
akan berani “mencoba-coba”, coba-coba bila tak tertangkap maka uang korupsi ‘dikantungi’,
sementara bila ketahuan maka cukup dikembalikan. Dari dipidana penjara menjadi
cukup dipecat. Inilah korupnya mindset
Aparatur Sipil Negara (ASM).]
2. Bahwa mahkamah dalam Putusan Nomor 003/PUU-III/2006 menjadikan delik
korupsi sebagai delik formil dengan merujuk pada United Nation Convention
Against Corruption 2003 yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2006, Konvensi Anti Korupsi tersebut tidak memasukkan unsur
merugikan keuangan negara karena cakupan delik korupsinya sudah diuraikan
secara limitatif. Berbeda dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor yang
apabila menghilangkan unsur kerugian negara sebagai delik maka menjadi delik
“keranjang sampah”, artinya seluruh perbuatan yang dilakukan oleh Aparatur Sipil
Negara (ASN) yang melanggar, lalai, atau tidak sesuai dengan kepatutan
merupakan delik korupsi. Akibatnya, banyak ASN tidak berani mengambil kebijakan
sehingga merugikan perekonomian negara; [Note SHIETRA & PARTNERS: Faktanya warga
negara tetap berlomba-lomba menjadi Pegawai Negeri Sipil. Bila Pemohon
berkeberatan, tentunya akan ada pegawai negeri lainnya yang akan bersedia
mengambil alih jabatan atau bahkan pekerjaannya.]
3. Bahwa ... Menurut para Pemohon, unsur kerugian negara adalah unsur
esensial dalam tindak pidana korupsi, tidak ada korupsi tanpa kerugian negara;
4. Bahwa menurut para Pemohon, Mahkamah dapat mengubah pandangannya atas
suatu pasal atau norma yang telah diuji sebelumnya karena pertimbangan
perkembangan politik hukum dan situasi sosial yang berubah;
7. Bahwa frasa “atau orang lain atau suatu korporasi” mengandung makna
yang ambigu dan tidak pasti, karena akan menjaring seluruh perbuatan yang
disengaja, tidak disengaja, atau bahkan perbuatan yang diawali dengan maksud
baik. Rumusan frasa “atau orang lain atau suatu korporasi” dalam Pasal 2 ayat
(1) dan Pasal 3 UU Tipikor tersebut memungkinkan seseorang dikenai tindak
pidana korupsi walaupun seorang aparatur sipil negara mengeluarkan suatu
kebijakan dengan itikad baik dan menguntungkan negara atau rakyat dan pada saat
yang lain menguntungkan orang lain atau korporasi, padahal kebijakan tersebut
sama sekali bukan merupakan perbuatan jahat. [Note SHIETRA & PARTNERS: Sejak kapan ada
perbuatan korup yang dilandasi itikad baik? Sama seperti Patrialis Akbar yang
akan menyatakan perlu dibolehkannya importasi sapi dari India demi menurunkan
harga daging sapi di Indonesia, meski mengakibatkan warga tewas terjangkit
antraks. Tiada maling yang akan mengakui perbuatannya sebagai keliru. Sang
maling dapat berkata, ia mencuri demi menafkahi keluarganya, dan itu sama
mulianya dengan seorang tokoh terkenal bernama Robinhood.]
“[3.10.1] Bahwa Pasal 2 ayat
(1) dan Pasal 3 UU Tipikor telah dimohonkan pengujian dan telah diputus
Mahkamah dalam Putusan Nomor 003/PUU-III/2006, bertanggal 25 Juli 2006,
sehingga dalam hal ini berlaku ketentuan Pasal 60 UU MK, yaitu bahwa terhadap
materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam Undang-Undang yang telah
diuji, tidak dapat dimohonkan pengujuan
kembali, kecuali jika materi muatan dalam UUD RI 1945 yang dijadikan dasar
pengujian berbeda. Untuk itu perlu dipertimbangkan terlebih dahulu apakah
permohonan a quo ne bis in idem ataukah tidak;
“Bahwa dasar pengujuan yang
digunakan permohonan Nomor 003/PUU-III/2006 adalah Pasal 28 D ayat (1) UUD RI
1945, sedangkan dalam permohonan a quo menggunakan juga Pasal 1 ayat (3), Pasal
27 ayat (1), Pasal 28 G ayat (1), dan Pasal 28 I ayat (4) dan ayat (5) UUD RI
1945, sehingga terdapat perbedaan dasar pengujian konstitusionalitas dengan
permohonan Nomor 003/PUU-III/2006. Berdasarkan pertimbangan tersebut serta
dikaitkan dengan Pasal 60 Ayat (2) UU MK, Mahkamah menilai permohonan a quo
tidak ne bis in idem sehingga selanjutnya Mahkamah memeriksa pokok permohonan a
quo;
“[3.10.2] Bahwa kata “dapat”
dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor sebagaimana disebutkan di atas
pernah diputus Mahkamah dalam Putusan Nomor 003/PUU-III/2006, bertanggal 25
Juli 2006, dengan menyatakan tidak bertentangan dengan hak atas kepastian hukum
yang adil sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 28 D ayat (1) UUD RI 1945
sepanjang ditafsirkan sesuai dengan tafsiran Mahkamah (conditionally
constitutional), yakni bahwa unsur kerugian negara harus dibuktikan dan harus
dapat dihitung, meskipun sebagai perkiraan atau meskipun belum terjadi.
“[3.10.3] Bahwa setelah Putusan
Mahkamah Nomor 003/PUU-III/2006, pembentuk undang-undang mengundangkan Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU Administrasi
Pemerintahan) yang di dalamnya memuat ketentuan antara lain: Pasal 20 ayat (4)
mengenai pengembalian kerugian negara akibat kesalahan administratif yang
terjadi karena adanya unsur penyalahgunaan wewenang oleh pejabat pemerintahan;
Pasal 21 mengenai kompetensi absolut peradilan tata usaha negara untuk
memeriksa ada atau tidak adanya dugaan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan
oleh pejabat pemerintahan; Pasal 70 ayat (3) mengenai pengembalian uang ke kas
negara karena keputusan yang mengakibatkan pembayaran dari uang negara dinyatakan
tidak sah; dan Pasal 80 ayat (4) mengenai pemberian sanksi administratif berat
kepada pejabat pemerintahan karena melanggar ketentuan yang menimbulkan
kerugian negara.
“Dengan demikian berdasarkan
ketentuan-ketentuan tersebut, maka dengan adanya UU Administrasi Pemerintahan,
kesalahan administratif yang mengakibatkan kerugian negara dan adanya unsur
penyalahgunaan wewenang oleh pejabat pemerintahan tidak selalu dikenai tindak
pidana korupsi. Demikian juga dengan penyelesaian yang tidak selalu dengan cara
menerapkan hukum pidana, bahkan dapat dikatakan dalam penyelesaian kerugian
negara, UU Administrasi Pemerintahan tampaknya ingin menegaskan bahwa penerapan
sanksi pidana sebagai upaya terakhir (ultimum
remedium); [Note SHIETRA & PARTNERS: Delik non Tipikor memang mengedepankan
asas ultimum remedium, namun Tipikor adalah
extra ordinary crime sehingga meamng
dirancang untuk tajam setajam-tajamnya.]
“[3.10.4] Bahwa dengan
keberadaan UU Administrasi Pemerintahan dikaitkan dengan kata “dapat” dalam
Pasal 2 ayat (1) dan ayat (3) UU Tipikor menurut Mahkamah menyebabkan
terjadinya pergeseran paradigma penerapan unsur merugikan keuangan negara dalam
tindak pidana korupsi. Selama ini, berdasarkan Putusan Mahkamah Nomor
003/PUU-IV/2006 pemahaman kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor
menyebabkan perbuatan yang akan dituntut di depan pengadilan bukan saja karena
perbuatan tersebut “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara secara
nyata” akan tetapi hanya “dapat” menimbulkan kerugian saja pun sebagai
kemungkinan atau potential loss, jika unsur perbuatan tindak pidana korupsi
dipenuhi, sudah dapat diajukan ke depan pengadilan.
“Dalam perkembangannya dengan
lahirnya UU Administrasi Pemerintahan maka kerugian negara karena kesalahan
administrasi bukan merupakan unsur tindak pidana korupsi. Kerugian negara
menjadi unsur tindak pidana korupsi jika terdapat unsur melawan hukum dan
penyalahgunaan kewenangan. Dalam hal adanya penyalahgunaan kewenangan, suatu
perbuatan baru dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana korupsi apabila
berimplikasi terhadap kerugian negara (kecuali untuk tindak pidana korupsi
suap, gratifikasi atau pemerasan), pelaku diuntungkan secara melawan hukum, masyarakat
tidak dilayani, dan perbuatan tersebut merupakan tindakan tercela. [Note SHIETRA & PARTNERS:
Seharusnya Mahkamah Konstitusi menafsirkan undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar, mengapa justru menafsirkan UU Tipikor terhadap UU Administrasi
Pemerintahan? Bagaimana jika sejatinya UU Administrasi Pemerintahan memiliki
cacat yuridis dan cacat falsafah yang belum tentu sejalan dengan nafas konstitusi
RI? Seharusnya Mahkamah Konstitusi cukup menafsirkan UU Tipikor terhadap UUD RI
1945, bukan menafsirkan UU Tipikor terhadap UU Administrasi Pemerintahan yang
belum tentu sejalan dengan semangat konstitusi.]
“Dengan demikian bila dikaitkan
dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, maka penerapan unsur merugikan
keuangan negara telah bergeser dengan menitikberatkan pada adanya akibat, tidak
lagi hanya perbuatan. Dengan perkataan lain kerugian negara merupakan implikasi
dari: 1) adanya perbuatan melawan hukum yang menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikorl
dan 2) penyalahgunaan kewenangan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU Tipikor.
“Berdasarkan hal tersebut
menurut Mahkamah unsur merugikan keuangan negara tidak lagi dipahami sebagai
perkiraan (potential loss) namun harus dipahami benar-benar sudah terjadi atau
nyata (actual loss) untuk dapat diterapkan dalam tindak pidana korupsi;
“[3.10.5] Bahwa pencantuman
kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor membuat delik dalam
kedua pasal tersebut menjadi delik formil. Hal itu menurut Mahkamah dalam
praktik seringkali disalahgunakan untuk menjangkau banyak perbuatan yang diduga
merugikan keuangan negara, termasuk terhadap kebijakan atau keputusan diskresi
atau pelaksanaan asas Freies Ermessen yang diambil bersifat mendesak dan belum
ditemukan landasan hukumnya, sehingga seringkali terjadi kriminalisasi dengan
dugaan terjadinya penyalahgunaan wewenang. [Note SHIETRA & PARTNERS: Cobalah kita
bayangkan siapa Hakim Konstitusi yang membuat pernyataan tersebut diatas, yakni
5 (lima) orang Hakim Konstitusi, dan salah seorang diantaranya ialah Patrialis
Akbar.]
“Demikian juga terhadap
kebijakan yang terkait dengan bisnis namun dipandang dapat merugikan keuangan
negara maka dengan pemahaman kedua pasal tersebut sebagai delik formil
seringkali dikenakan tindak pidana korupsi. Kondisi tersebut tentu dapat
menyebabkan pejabat publik takut mengambil suatu kebijakan atau khawatir
kebijakan yang diambil akan dikenakan tindak pidana korupsi, sehingga di
antaranya akan berdampak pada stagnasi proses penyelenggaraan negara, rendahnya
penyerapan anggaran, dan terganggunya pertumbuhan investasi.
“Kriminalisasi kebijakan
terjadi karena terdapat perbedaan pemaknaan kata “dapat” dalam unsur merugikan
keuangan negara dalam tindak pidana korupsi oleh aparat penegak hukum, sehingga
seringkali menimbulkan persoalan mulai dari perhitungan jumlah kerugian negara
yang sesungguhnya sampai kepada lembaga manakah yang berwenang menghitung
kerugian negara.
“... Terkait hal ini Mahkamah
perlu menegaskan bahwa terlepas dari pada penggunaan hasil korupsi untuk kepentingan
pelaku sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, akan tetapi nyatanya
korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga merupakan pelanggaran
terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas serta dampak dari
besaran nilai kerugian negara yang sangat berpengaruh terhadap terganggunya
pembangunan dan perekonomian negara/daerah, oleh karenanya setiap tindak pidana
korupsi digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan
secara luar biasa atau biasa disebut sebagai perbuatan yang bersifat extra
ordinary crime. Berdasarkan hal tersebut, dalil para Pemohon terhadap frasa “atau
orang lain atau suatu korporasi” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal
3 UU Tipikor tidak beralasan menurut hukum. [Note SHIETRA & PARTNERS: Bukankah menjadi
kontradiktif dengan pertimbangan sebelumnya diatas?]
AMAR PUTUSAN
Mengadili,
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
2. Menyatakan kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal
3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150) bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat;
3. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;
4. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya.”
“PENDAPAT
BERBEDA (DISSENTING OPINIONS)
“Terhadap putusan Mahkamah ini
sepanjang mengenai kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor terdapat
4 (empat) Hakim Konstitusi yaitu I Dewa Gede Palguna, Suhartoyo, Aswanto, dan
Maria Farida Indrati memiliki pendapat berbeda (dissenting opinions), sebagai
berikut:
“Para Pemohon mendalilkan bahwa,
dalam praktik hukum, kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor
telah menimbulkan ketidakpastian dalam penerapan hukum pidana oleh penegak
hukum yang implikasinya menimbulkan ketidakpastian bagi warga negara sehingga
harus dinyatakan bertentangan dengan UUD RI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat.
“Kami berpendapat, keberadaan
kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor tidak bertentangan
dengan kepastian hukum, sebagaimana didalilkan para Pemohon. Berkenaan dengan
kata “dapat” tersebut, dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor dikatakan,
antara lain, “... Dalam ketentuan ini, kata ‘dapat’ sebelum frasa ‘merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara’ menunjukkan bahwa tindak pidana
korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan
dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan
timbulnya akibat”.
“Sementara itu, dalam
Penjelasan Pasal 3 UU Tipikor dikatakan, “Kata ‘dapat’ dalam ketentuan ini
diartikan sama dengan Penjelasan Pasal 2’. Dengan demikian, menghilangkan kata ‘dapat’
dari rumusan kedua norma pasal tersebut akan mengubah secara mendasar
kualifikasi delik dari tindak pidana korupsi, dan dari formil menjadi delik
materiil. Konsekuensinya, jika akibat yang dilarang, yaitu ‘merugikan keuangan
negara atau perekonomian’ negara belum atau tidak terjadi meskipun unsur ‘secara
melawan hukum’ dan unsur ‘memperkaya diri sendiri dan ‘orang lain atau suatu
korporasi’ telah terpenuhi, maka berarti belum terjadi tindak pidana
korupsi.
[Note SHIETRA & PARTNERS: Inilah kecemasan utama menjadi kebal hukumnya pelaku
kolusi dan nepotisme.]
“Sesungguhnya terhadap kata ‘dapat’
dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor tersebut telah pernah dimohonkan
pengujian dan telah dinyatakan ditolak, sebagaimana tertuang
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006. Dalam pertimbangan hukum
putusan Mahkamah tersebut dikatakan, antara lain:
‘Menimbang
bahwa dengan memperhatikan seluruh argumen yang disampaikan oleh semua pihak
sebagaimana tersebut di atas dikaitkan dengan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK,
maka persoalan pokok yang dijawab adalah:
1.
Apakah pengertian kata ‘dapat’ dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK yang
pengertiannya dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) bahwa dengan
penambahan kata ‘dapat’ tersebut menjadikan tindak pidana korupsi dalam Pasal 2
ayat (1) a quo menjadi rumusan delik formil;
2.
Apakah dengan pengertian sebagaimana dijelaskan pada butir 1 tersebut di atas,
frasa ‘dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara’, yang
diartikan baik kerugian yang nyata (actual loss) maupun hanya yang bersifat
potensial atau berupa kemungkinan kerugian (potential loss), merupakan unsur
yang tidak perlu dibuktikan atau harus dibuktikan;
‘Menimbang
bahwa kedua pernyataan tersebut akan dijawab dengan pemahaman bahwa kata ‘dapat’
dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU PTPK menyebabkan perbuatan yang akan
dituntut di depan pengadilan, bukan saja karena pebuatan tersebut ‘merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara secara nyata’, akan tetapi hanya ‘dapat’
menimbulkan kerugian saja pun sebagai kemungkinan atau potential loss, jika
unsur perbuatan tindak pidana korupsi dipenuhi, sudah dapat diajukan ke
pengadilan.
‘Kata
‘dapat’ tersebut harus dinilai pengertiannya menurut Penjelasan Pasal 2 ayat
(1) tersebut di atas, yang menyatakan bahwa kata ‘dapat’ tersebut sebelum frasa
‘merugikan keuangan negara atau perekonomian negara’, menunjukkan bahwa tindak
pidana tersebut merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi,
cukup hanya dengan dipenuhinya unsur perbuatan yang dirumuskan, bukan dengan
timbulnya akibat. Karena itu Mahkamah dapat menerima penjelasan Pasal 2 ayat
(1) sepanjang menyangkut kata ‘dapat’ sebelum frasa ‘merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara’’
‘Menimbang
bahwa Mahkamah berpendapat, kerugian yang terjadi dalam tindak pidana
korupsi, terutama yang berskala besar, sangatlah sulit untuk dibuktikan secara
tepat dan akurat. Ketepatan yang dituntut sedemikian rupa, akan menimbulkan
keraguan, apakah jika satu angka jumlah kerugian diajukan dan tidak selalu
dapat dibuktikan secara akurat, namun kerugian telah terjadi, akan
berakibat pada terbukti tidaknya perbuatan yang didakwakan. Hal demikian
mendorong antisipasi atas akurasi kesempurnaan pembuktian, sehingga menyebabkan
dianggap perlu mempermudah beban pembuktian tersebut.
‘Dalam
hal tidak dapat diajukan bukti akurat atas jumlah kerugian nyata atau perbuatan
yang dilakukan adalah sedemikian rupa bahwa kerugian negara dapat terjadi,
telah dipandang cukup untuk menuntut dan memidana pelaku, sepanjang unsur
dakwaan lain berupa unsur memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi
dengan cara melawan hukum (wederrechtelijk) telah terbukti.
‘Karena,
tindak pidana korupsi digolongkan oleh undang-undang a quo sebagai delik
formil. Dengan demikian, kategori tindak pidana korupsi digolongkan sebagai
delik formil, di mana unsur-unsur perbuatan harus terpenuhi, dan bukan sebagai
delik materiil, yang mensyaratkan akibat perbuatan berupa kerugian yang timbul
tersebut harus telah terjadi.
‘Kata
‘dapat’ sebelum frasa ‘merugikan keuangan negara atau perekonomian negara’,
dapat dilihat dalam arti yang sama dengan kata ‘dapat’ yang mendahului fasa ‘membahayakan
keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang’,
sebagaimana termuat dalam Pasal 387 KUHP. Delik demikian dipandang terbukti,
kalau unsur perbuatan pidana tersebut telah terpenuhi, dan akibat yang dapat terjadi
dari perbuatan yang dilarang dan diancam pidana tersebut, tidak perlu harus
telah terjadi;
‘Menimbang
bahwa menurut Mahkamah hal demikian tidaklah menimbulkan ketidakpastian hukum (onrechtzeherheid)
yang bertentangan dengan konstitusi sebagaimana yang didalilkan Pemohon. Karena,
keberatan kata ‘dapat’ sama sekali tidak menentukan faktor ada atau tidaknya
ketidakpastian hukum yang menyebabkan seseorang yang tidak bersalah dijatuhi
pidana korupsi atau sebaliknya orang melakukan tindak pidana korupsi tidak dapat
dijatuhi pidana;
‘Menimbang
bahwa dengan asas kepastian hukum (rechtszekerheid) dalam melindungi hak
seseorang, hubungan kata ‘dapat’ dengan ‘merugikan keuangan negara’
tergambarkan dalam dua hubungan yang ekstrim: (1) nyata-nyata merugikan negara;
atau (2) kemungkinan dapat menimbulkan kerugian. Hal yang terakhir ini lebih tepat
dengan maksud mengkualifikasikan delik korupsi menjadi delik formil.
‘Di
antara dua hubungan tersebut sebenarnya masih ada hubungan yang ‘belum
nyata terjadi’, tetapi dengan mempertimbangkan keadaan khusus dan kongkret di
sekitar peristiwa yang terjadi, secara logis dapat disimpulkan suatu akibat
yaitu kerugian negara akan terjadi. Untuk mempertimbangkan keadaan
khusus dan kongkret di sekitar peristiwa yang terjadi, yang secara logis dapat disimpulkan
kerugian negara terjadi atau tidak terjadi, haruslah dilakukan oleh ahli dalam keuangan
negara, perekonomian negara, serta ahli dalam analisis hubungan perbuatan
dengan kerugian;
‘Menimbang
bahwa dengan adanya penjelasan yang menyatakan bahwa kata ‘dapat’ sebelum frasa
‘merugikan keuangan negara atau perekonomian negara’, kemudian
mengkualifikasikannya sebagai delik formil, sehingga adanya kerugian negara
atau perekonomian negara tidak merupakan akibat yang harus nyata terjadi,
Mahkamah berpendapat bahwa hal demikian ditafsirkan bahwa unsur kerugian negara
harus dibuktikan dan harus dapat dihitung, meskipun sebagai perkiraan atau
meskipun belum terjadi.
‘Faktor
kerugian, baik secara nyata atau berupa kemungkinan, dilihat sebagai hal yang
memberatkan atau meringankan dalam penjatuhan pidana, sebagaimana diuraikan dalam
Penjelasan Pasal 4, bahwa pengembalian kerugian negara hanya dapat
dipandang sebagai faktor yang meringankan. Oleh karenanya persoalan
kata ‘dapat’ dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, lebih merupakan persoalan
pelaksanaan dalam praktik oleh aparat penegak hukum, dan bukan menyangkut
konstitusionalitas norma;
‘Menimbang
dengan demikian Mahkamah berpendapat bahwa frasa ‘dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara’, tidaklah bertentangan dengan hak atas kepastian
hukum yang adil sebagaimana dimaksud oleh Pasal 28D Ayat (1) UUD RI 1945,
sepanjang ditafsirkan sesuai dengan tafsiran Mahkamah di atas (conditionally
constitutional).
“Hingga saat ini, tidak
terdapat perubahan mendasar dalam pandangan akademik berkenaan dengan nature
perbuatan korupsi yang, apabila dibiarkan mengakar kuat, dalam skala besar
sesungguhnya ia bukan hanya telah bermetamorfosis menjadi kejahatan luar
biasa (extraordinary crime) melainkan juga dapat diposisikan sebagai hostis
humani generis, musuh bersama umat manusia, mengingat proliferasinya yang
tidak memandang negara, baik negara maju maupun negara berkembang, dan daya
rusaknya terhadap mentalitas manusia serta terhadap kemampuan negara dalam
menunaikan kewajiban konstitusionalnya bagi pemenuhan hak-hak ekonomi dan
sosial warganya.
“Oleh karena itu, pernyataan
mantan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, Kofi Annan, yang menilai
korupsi sebagai ‘wabah berbahaya dengan efek merusak yang sangat besar terhadap
masyarakat’ sama sekali bukan pernyataan yang berlebihan. Dalam kata
pengantarnya untuk menyambut kehadiran Konvensi PBB Melawan Korupsi (United
Nations Convention Against Corruption), Kofi Annan antara lain mengatakan:
‘Corruption is an insidious
plague that has a wide range of corrosive effects on societies. It undermines
democracy and the rule of law, leads violations of human rights, distorts
markets, erodes the quality of life and allows organized crime, terrorism and
other threats to human security to flourish. This evil phenomenon is found in
all countries—big and small, rich and poor—but it is in the developing world
that its effects are most destructive.
‘Corruption hurts the poor
disproportionately by diverting funds intended for development, undermining a
Government’s ability to provide basic services, feeding inequality and
injustice and discouraging foreign aid and investment. Corruption is a key
element in economic underperformance and a major obstacle to poverty
alleviation and development.
‘I am therefore very happy that
we now have a new instrument to address this scourge at the global level. The
adoption of the United Nations Convention against Corruption will send a clear
message that the international community is determined to prevent and control
corruption. It will warn the corrupt that betrayal of the public trust
will no longer be tolerated. And it will reaffirm the importance of
core values such as honesty, respect for the rule of law, accountability and
transparency in promoting development and making the world a better plave for
all.’
“Dengan demikian, meskipun
berdasarkan kaidah penafsiran teleologis atau sosiologis dalam penafsiran hukum
pada umumnya dan penafsiran konstitusi pada khususnya tersedia justifikasi bagi
Mahkamah untuk mengubah pendiriannya, kami berpendapat, dalam konteks
persoalan a quo tidak terdapat alasan mendasar dalam kondisi empirik-sosiologis
yang secara rasional dapat digunakan sebagai alasan kuat bagi Mahkamah sehingga
perlu meninggalkan pendiriannya sebagamana dinyatakan dalam Putusan di atas.
“Lagipula, dengan telah diundangkannya
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU Administrasi
Pemerintahan) kekhawatiran bahwa adanya kata ‘dapat’ dalam Pasal 2 ayat (1) dan
Pasal 3 UU Tipikor berpotensi menjadikan seseorang pejabat pemerintah, termasuk
para Pemohon, dapat dijatuhi pidana tanpa adanya kesalahan yang berupa kerugian
negara, menurut kami tidaklah beralasan.
“UU Administrasi Pemerintahan telah
memberikan perlindungan terhadap pejabat pemerintah apabila yang bersangkutan
diduga melakukan penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara. Sebab,
menurut Undang-Undang a quo, terhadap adanya dugaan penyalahgunaan wewenang dapat
dilakukan mekanisme pengujian melalui Pengadilan Tata Usaha Negara, sedangkan
ada atau tidaknya penyalahgunaan wewenang yang diduga menimbulkan kerugian
negara, hal tersebut akan diputuskan berdasarkan hasil pengawasan aparat intern
pemerintah (vide Pasal 19 dan Pasal 20 UU Administrasi Pemerintahan).
“Ketentuan demikian jelas
merupakan penegasan akan adanya bentuk perlindungan terhadap pejabat pemerintah
karena dengan adanya mekanisme tersebut aparat penegak hukum tidak serta-merta
dapat mendalilkan adanya penyalahgunaan wewenang oleh pejabat pemerintah,
termasuk ada atau tidaknya kerugian negara.
“Berdasarkan seluruh
pertimbangan di atas, kami berpendapat bahwa terhadap permohonan para Pemohon
sepanjang berkenaan dengan kata ‘dapat’ dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor,
Mahkamah seharusnya menolak permohonan a quo.” [Note SHIETRA &
PARTNERS: Lebih tepatnya, seharusnya Mahkamah menyatakan permohonan ‘tidak
dapat diterima’.]
Penulis memiliki bukti bahwa Pemohon Uji Materiil memiliki itikad buruk
dalam mengajukan uji materiil tersebut diatas, yakni untuk tujuan apa, serta
atas dasar urgensi apakah, sehingga mengajukan permohonan agar frasa “dapat” dan
frasa “korporasi” untuk dianulir oleh MK? Sebagaimana dalil para
Pemohon Uji Materiil tersebut diatas, diskresi dapat berujung kriminalisasi
berdasarkan frasa “dapat” dalam UU Tipikor. Jika memang demikian latar belakang
keberatannya, lantas apa yang menjadi motif dibalik permohonan agar frasa “korporasi”
juga turut agar diamputasi oleh MK RI? Berdasarkan bukti persangkaan ini, dapat
ditarik kesimpulan bahwa para Pemohon memiliki itikad tidak baik dalam
mengajukan uji materiil yang besar kemungkinan dilatarbelakangi pesan sponsor
atau untuk ‘memutihkan’ kejahatannya sendiri.
Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016 seyogianya dicabut dan diputuskan ulang,
mengingat Hakim MK RI terdiri dari majelis hakim dengan komposisi 9 (sembilan)
orang Hakim Konstitusi, dimana dalam perkara tersebut 4 orang hakim menyatakan
pendapat berbeda (dissenting opinion)
berupa menolak permohonan Pemohon, dimana 5 orang hakim mengabulkan permohonan
Pemohon. Namun beruntunglah, Penjelasan Resmi dari kedua pasal yang telah
diamputasi MK RI tersebut sama sekali tidak disentuh oleh Pemohon ataupun MK
RI, sehingga para penegak hukum masih dapat menjangkau pelaku korup dengan
merujuk pada Penjelasan Resmi kedua pasal UU Tipikor tersebut.
Yang perlu kita ingat, salah satu dari ke-5 Hakim Konstitusi yang
mengabulkan permohonan Pemohon, ialah Hakim Konstitusi Patrialis Akbar (saat
masih aktif menjabat), yang justru tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi, sehingga terjadi “benturan kepentingan” (conflict of interest) antara pihak Pemohon dengan pihak Pemutus
(Mahkamah secara kolegial).
Hal kedua yang perlu kita ingat, seorang hakim tak dapat memeriksa dan
memutuskan perkara yang menyangkut kepentingan dirinya sendiri. Patrialis Akbar
memiliki kepentingan agar perilaku korupnya tidak tersentuh oleh hukum, namun
disaat bersamaan Patrialis Akbar menjadi Hakim Konstitusi yang menyatakan frasa
“dapat” dalam UU Tipikor diamputasi keberlakuannya—sehingga dengan kata lain
Patrialis Akbar telah menjadi hakim pemutus bagi dirinya sendiri.
Bila suara Patrialis Akbar dalam rapat pleno
pengambilan keputusan dalam internal MK RI dianulir, maka susunan suara menjadi
4 : 4 (empat berbanding empat), sehingga sejatinya perkara uji materiil No. 25/PUU-XIV/2016
belum dapat diputuskan dan harus dicabut dari publik untuk diputuskan ulang,
dimana seorang anggota hakim konstitusi pengganti Patrialis Akbar memegang
suara penentu untuk menjadikan komposisi suara tetap 5 : 4 atau sebaliknya
berbalik menjadi 4 : 5.
…
© SHIETRA & PARTNERS Copyright.