KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Cacat Kehendak Pengunduran Diri Pekerja, dapat Dibatalkan

LEGAL OPINION
Question: Pak Hery (dari SHIETRA & PARTNERS) mengatakan bila ada cacat kehendak dari pihak pegawai, maka surat pengunduran diri boleh dicabut. Maksudnya apa?
Brief Answer: Apa yang menjadi latar belakang sehingga pekerja/buruh mengajukan pengunduran diri, apakah benar secara sukarela tanpa tekanan sosial-politis dari pihak manajemen ataupun lingkungan perusahaan, itulah yang menjadi titik tumpunya.
Namun juga bukan berarti sang pekerja/buruh dapat memperoleh kembali posisi biasa ia bekerja, meski pengunduran diri dicabut. Ketika pengusaha telah memiliki karyawan baru untuk posisi tersebut, maka yang dapat dituntut tentu hanyalah pesangon sebagai akibat tiada lagi unsur pekerjaan disamping terjadinya konstruksi hukum pemutusan hubungan kerja yang menjadi konsekuensi tidak murninya dorongan niat pekerja/buruh untuk mengundurkan diri.
Bila masih dalam tempo hitungan hari surat pengunduran diri dibuat, tentunya peluang untuk kembali bekerja masih terbuka—meski dapat saja pihak pengusaha menolak untuk kembali mempekerjakan dengan alasan disharmoni dengan kompensasi pesangon.
Untuk itu bukti konteks keadaan yang melatarbelakangi sang pekerja/buruh untuk mengundurkan diri perlu disampaikan kepada hakim di persidangan, apakah pengunduran diri tersebut datang dari kehendak murni diri sendiri ataukah terdapat sebentuk tekanan psikis dari pihak pengusaha.
Contoh sederhana yang kerap dijumpai dalam praktik: pihak pengusaha yang merumahkan karyawan tanpa batas waktu tanpa memberi upah selama masa skoorsing secara penuh, mutasi kerja, pemberian upah dibawah upah minimum, dsb, merupakan sebentuk “cacat kehendak” pekerja yang terpancing/terdorong untuk mengundurkan diri secara tidak murni karena keadaan yang memang sudah dikondisikan oleh pihak pengusaha sedemikian rupa untuk membuat pekerjanya tidak betah untuk tetap bekerja.
PEMBAHASAN:
Lebih jauh lagi, Mahkamah Agung memberi Upah Proses bagi pekerja yang mencabut pengunduran dirinya yang mengandung “cacat kehendak”, sebagaimana dapat kita jumpai dalam putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 538 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 9 Agustus 2016, perkara antara:
- PT. SAKTI MAIT JAYA LANGIT, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Tergugat; melawan
- SURIADI, selaku Termohon Kasasi dahulu Penggugat.
Penggugat adalah pekerja pada Tergugat dengan pekerjaan terakhir sebagai Mandor. Yang menjadi awal perselisihan dalam perkara ini adalah, dimana gaji Penggugat bulan Juli, Agustus, September 2015 selalu terlambat, dan tanggal gajian yang dijanjikan Tergugat selalu tidak ditepati, akibatnya Penggugat sangat sulit membiayai hidup bersama keluarga.
Surat HRD tanggal 15 Agustus 2015, perihal keterlambatan penggajian, dalam isi surat ini, perusahaan Termohon dengan alasan kesulitan teknis maka pembayaran gaji Periode bulan Juli 2015 akan dibayar paling lambat tanggal 25 Agustus 2015.
Surat HRD tanggal 24 Agustus 2015, perihal perubahan pembayaran gaji Periode bulan Juli 2015, dalam surat ini Termohon berubah lagi, janji gajian tanggal 25 Agustus 2015 dirubah menjadi tanggal 31 Agustus 2015. Dan karyawan termasuk para Pemohon hanya akan mendapat PINJAMAN GAJI JULI sebesar Rp500.000,00 pada tanggal 25 Agustus 2015.
Karena itu Penggugat sangat kesulitan membiayai hidup keluarga, namun kejadian yang sama terulang lagi pada bulan September 2015, pada tanggal 16 September 2015 Tergugat membuat surat perihal pembayaran gaji periode bulan Agustus 2015 hanya dapat pinjaman Rp1.000.000,00 tanggal 19 September 2015 sisanya dijanjikan dilunasi tanggal 30 September 2015.
Surat HRD tanggal 16 September 2015, perihal pembayaran gaji Periode bulan Agustus 2015, dalam surat ini disampaikan bahwa tanggal 19 September 2015 Karyawan termasuk para Pemohon hanya akan mendapat pinjaman gaji Rp1.000.000,00 sisa gaji periode bulan Agustus 2015 akan dibayarkan tanggal 30 September 2015.
Karena Penggugat tidak punya penghasilan yang lain selain mengharap gaji dari Tergugat, maka pada tanggal 26 September 2015 Penggugat datang ke kantor HRD mengeluh masalah keterlambatan gaji, namun jawaban HRD sangat menyinggung perasaan “kalau tidak kuat bertahan silakan mundur” kalimat itu membuat Penggugat tersinggung dan emosi akhirnya Penggugat meminta agar surat pengunduran diri diketik oleh staf HRD dan ditandatangani oleh Penggugat.
Surat pengunduran diri yang ditandatangani Penggugat, Penggugat memberi tanggal 28 September 2015 dimajukan 2 (dua) hari dengan maksud agar mempunyai tenggang waktu berpikir dan waktu penyelesaian hak dan kewajiban menyesuaikan dengan ketentuan Ayat (3) Pasal 162 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang mengatur:
“Mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga pulu) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri.”
Namun, setelah Penggugat pulang dan mendapati anak istri di rumah, Penggugat menyesal bagaimana nasib anak istri kalau Penggugat berhenti bekerja. Lagi pula dalam isi surat pengunduran diri Penggugat yang diketik staf HRD, Tergugat hanya mengakui masa kerja Penggugat mulai 1 Agustus 2014, padahal sejak 1 Oktober 2011 Penggugat bekerja tidak pernah terputus, sehingga ada 2 (dua) tahun masa kerja Penggugat yang dihilangkan oleh Tergugat.
Karena penyesalan itu maka pada tanggal 27 September 2015 Penggugat mencabut surat pengunduran diri melalui bapak M. Verdinor bagian humas perusahaan, namun setelah bapak M. Verdinor menghadap dan menyampaikan surat Penggugat kepada HRD, HRD Tergugat berkeras menolak pencabutan sebagaimana keinginan Penggugat karena menurut HRD surat pengunduran diri sudah diproses.
Penggugat merasa kurang puas dengan jawaban HRD melalui bapak M. Verdinor, maka Penggugat mendatangi sendiri kantor HRD. Dan HRD menjawab bahwa surat pengunduran diri Penggugat tidak boleh lagi dicabut, prosesnya sudah selesai dan langsung menyerahkan Surat Keputusan bertanggal 26 September 2015, artinya surat keputusan dari Tergugat dibuat sebelum tanggal Penggugat mengundurkan diri tanggal 28 September 2015—bentuk kecerobohan pihak pengusaha yang membuka aib itikad buruk pihaknya sendiri.
Menurut Agus Asisten Kepala sebagai atasan langsung Penggugat di perusahaan Tergugat, memang surat pengunduran diri diterima tanggal 28 September 2015, tetapi proses administrasi mengenai pengunduran diri Penggugat DISEGERAKAN untuk memproses pem-bayaran gajinya.
Penggugat menolak pemberhentian pengunduran diri karena sudah dibatalkan (dicabut) tetapi malah prosesnya DISEGERAKAN, maka berdasarkan Pasal 162 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 sudah jelas bahwa Surat Keputusan manajemen perusahaan tentang pengunduran diri terhadap Penggugat adalah telah melanggar hukum Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Penggugat merasa, proses Surat Keputusan manajemen perusahaan yang DISEGERAKAN adalah tindakan Pemutusan Hubungan Kerja dengan PEMAKSAAN. Alasan mensegerakan proses pengunduran diri untuk mempercepat proses pembayaran gaji, nyatanya tidak terbukti karena faktanya sampai gugatan diajukan, Tergugat belum membayar gaji Penggugat bulan September 2015.
Selanjutnya Penggugat menempuh upaya mediasi dan telah mendapat anjuran dari Dinas Tenaga Kerja dan Sosial Kabupaten Kapuas yang menyatakan Penggugat yang belum dibayar dan agar Tergugat mempekerjakan Penggugat seperti semula, tetapi HRD Tergugat menolak untuk patuh.
Sejak terbitnya surat keputusan Tergugat, gaji Penggugat tidak lagi dibayar oleh Tergugat termasuk gaji/upah kerja bulan September 2015 yaitu gaji Penggugat ketika masih aktif bekerja sebelum terbitnya surat keputusan Tergugat dimaksud. Atas perbuatan Tergugat tersebut, Penggugat saat ini pengangguran sementara kehidupan keluarga makin terancam, bon di warung tidak bisa bayar, cicilan kredit sepeda motor Penggugat sejak bulan September 2015 tidak terbayarkan.
Penggugat dalam gugatannya menyatakan, bahwa Penggugat tidak menuntut kompensasi pesangon tetapi agar hakim menghukum Tergugat untuk melakukan suatu perbuatan tertentu, yakni memanggil dan mempekerjakan Penggugat pada kedudukan dan Jabatan semula.
Terhadap gugatan tersebut Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Palangka Raya kemudian menjatuhkan putusan Nomor 10/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Plk. tanggal 17 Pebruari 2016, dengan amar sebagai berikut :
Dalam Pokok Perkara
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan Surat Keputusan Tergugat Nomor 851/SK-SKB/HRD-SMJL/IX/2015 tentang pengunduran diri bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 162 ayat (3) adalah batal demi hukum;
3. Memerintah Tergugat untuk memanggil dan mempekerjakan Penggugat pada kedudukan dan Jabatan semula, serta membayar upah selama proses perselisihan berupa gaji pokok dan tunjangan makan, yang perinciaannya sebagai berikut :
- Untuk bulan Oktober 2015 Rp 2.565.856,00
- Untuk bulan Nopember 2015 Rp 2.565.856,00
- Untuk bulan Desember 2015 Rp 2.565.856,00
- Untuk bulan Januari 2016 Rp 2.565.856,00
- Untuk bulan Pebruari 2016/17 hari @Rp.85.529,-
(sampai dengan tanggal pengucapan putusan) Rp 1.453.993,00
Jumlah Seluruhnya Rp 11.717.417,00 (sebelas juta tujuh ratus tujuh belas ribu empat ratus tujuh belas rupiah);
4. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
Tergugat mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan hukum yang menarik untuk disimak, serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan kasasi tidak dapat dibenarkan, oleh karena Judex Facti dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industri pada Pengadilan Negeri Palangka Raya tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa oleh karena terbukti Surat Keputusan Pemberhentian Pengunduran Diri atas nama Penggugat oleh Tergugat tanggal 26 September 2015 adalah tidak sah dan batal demi hukum karena bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 162 ayat (3), maka Penggugat berhak untuk bekerja kembali pada kedudukan dan jabatan semula, serta berhak atas upah proses, yang besarnya sebagaimana telah tepat dipertimbangkan oleh Judex Facti;
“Menimbang, bahwa namun demikian dalam musyawarah Majelis Hakim Agung terdapat perbedaan pendapat (Dissenting Opinion) dari Anggota Majelis yang memeriksa dan memutus perkara ini, yaitu Pembaca I (H. Dwi Tjahyo Soewarsono, S.H., M.H.) berpendapat bahwa alasan-alasan kasasi dari Pemohon Kasasi / Pelawan dapat dibenarkan, karena Judex Facti telah salah dan keliru serta tidak tepat dalam menilai, menimbang dan menerapkan hukumnya;
“Bahwa Termohon Kasasi telah mengajukan surat pengunduran diri tertanggal 26 September 2015 yang diajukan pada tanggal 28 September 2015 atas kemauan sendiri tanpa ada paksaan dari pihak-pihak lain dan telah disetujui oleh Pemohon Kasasi dengan Surat Keputusan Nomor 851/SCSKB/HRD-SMJL/IX/2015 tanggal 26 September 2015 maka pengunduran diri adalah sah dan mengikat atas diri pengaju dan tidak dapat dilakukan pembatalan oleh Termohon Kasasi;
“Menimbang, bahwa oleh karena terjadi perbedaan pendapat dalam Majelis Hakim dan telah diusahakan musyawarah dengan sungguh-sungguh tetapi tidak tercapai mufakat, maka berdasarkan Pasal 30 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Majelis Hakim mengambil putusan dengan suara terbanyak;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata bahwa Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Palangka Raya dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi : PT. SAKTI MAIT JAYA LANGIT (PT.SMJL) tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : PT. SAKTI MAIT JAYA LANGIT (PT.SMJL) tersebut.”
Memang mengherankan, staf HRD yang juga merupakan sesama karyawan, mengapa harus dan tega menindas sesama karyawan. Dari pengalaman pribadi penulis, karyawan yang bersedia menjadi alat dari pengusaha untuk menindas karyawan lain, akan bernasib serupa: diperlakukan hal yang sama pada gilirannya—menjadi korban kelicikan sang pengusaha itu sendiri.
Memperlakukan sesama karyawan lain secara manusiawi, sesuai hak-hak normatif masing-masing, sejatinya melindungi harkat-martabat serta posisi hukum kita sendiri
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.