Efek Bumerang Peraturan Mahkamah Agung tentang Tindak Pidana Korporasi

ARTIKEL HUKUM
Dengan telah diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) perihal Tindak Pidana Korporasi, apakah artinya perjuangan aparatur penegak hukum menghadapi korporasi nakal baru dimulai? Sebaliknya, terbitnya PERMA tersebut justru menjadi “titik mundur” praktik penindakan terhadap aksi korporasi yang tidak sehat.
Dalam kesempatan kali ini SHIETRA & PARTNERS akan mengupas pembahasan wacana hukum pidana korporasi secara esklusif, oleh sebab tidak tersentuh oleh berbagai publikasi hukum pada media lainnya, dan akan membuat kita “tersentak” ketika menyadari maksud dibalik pengaturan konsep “Tindak Pidana Korporasi” sebagai suatu “pesan sponsor” dari korporasi pelaku tindak pidana itu sendiri. Mari kita simak bersama.
 Bila PERMA tentang pidana korporasi dimaknai sebagai peralihan tanggung jawab direksinya menjadi tanggung jawab badan hukum, berarti itu suatu kemunduran yang amat sangat, karena dari pidana penjara fisik menjadi sebatas pidana denda semata, mengingat badan hukum kerap dan rentan disalahgunakan para pengurus/pemiliknya.
Badan hukum adalah personifikasi dari niat batin dan kehendak aksi para pengurusnya—dan tidak dapat dimaknai lain dari pada konstruksi logis rasional tersebut. Badan hukum tidak pernah dapat berdiri sendiri lepas dari peran para pelaku “aktor/otak intelektualnya”—karena korporasi / badan hukum itu sendiri adalah benda mati, sehingga menghukum benda mati adalah suatu kebodohan dalam berhukum, sebab benda mati tidak pernah memiliki mens rea (niat/maksud batin).
Tidak ada yang perlu dibanggakan dari menghukum benda mati !!!
Bagaikan seorang manusia pribadi (natuurlijk persoon) yang melakukan suatu kejahatan, lantas menempatkan sebuah boneka (benda mati) bernama badan hukum (rechts persoon) berupa perseroan terbatas, koperasi, atau bahkan yayasan untuk dijadikan sebagai boneka “manekin” untuk menggantikan tanggung jawab kesalahan pidana sang pelaku (“otak/aktor” sesungguhnya), sementara sang pelaku (orang) itu sendiri menyelinap pergi secara diam-diam dan membiarkan para aparatur negara yang dengan bodohnya merasa bangga menghukum benda mati.
Aparatur penegak hukum yang dengan bangga dikecoh oleh benda mati bernama korporasi !!!
Badan hukum tidak memiliki suatu niat batin sendiri—dan tidak akan pernah dapat terjadi—karena badan hukum adalah benda mati. Sehingga antara aksi korporasi dengan aksi pengurusnya adalah dua hal yang merupakan satu kesatuan tak terpisahkan. Memidana badan hukum, artinya wajib turut memidana pengurusnya, tidak bisa salah satunya saja secara parsial.
Terdapat pihak yang menyatakan, “mengingat saat ini banyak terjadi korporasi menggunakan natuuralijk person sebagai tools of crime dengan maksud menguntungkan korporasi, akan tetapi yang dipidana hanya pengurus korporasinya saja”—adalah sebuah pernyataan yang patut disesalkan.
Sebaliknya, pelaku kejahatan akan berlomba-lomba untuk melakukan kejahatan karena diberikan “insentif” berupa pelimpahan/pengalihan kesalahan dari pribadi manusia kepada benda mati bernama korporasi yang sejatinya hanyalah boneka (nominee) belaka. Ibarat memberi escape clause bagi para pelaku kejahatan “kerah putih”.
Entah apa juga yang dipikirkan para profesor dan Doktor dibidang hukum sehingga dipromosikan dan diterbitkannya peraturan yang demikian salah kaprah dan berpotensi menyengsarakan rakyat ataupun perekonomian dan keuangan negara demikian.
Baik Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas, Yayasan, hingga Koperasi, telah menyatakan dengan tegas bahwa entitas hukum tersebut merupakan badan hukum (rechts persoon), dimana doktrin ilmu hukum menyatakan bahwa badan hukum memiliki ciri-ciri berupa memiliki kekayaan sendiri terpisah dari para pengurusnya, dapat digugat dan menggugat, dan dapat melakukan hubungan hukum atas nama badan hukum tersebut.
Seorang mahasiswa fakultas hukum paling junior sekalipun tahu bahwa subjek hukum terbagi menjadi dua: manusia pribadi (natuurlijk persoon) dan badan hukum (rechts persoon); sehingga setiap subjek hukum dapat dipidana, dan tanpa PERMA demikian pun praktik peradilan tetap dapat menjatuhkan pidana bagi subjek hukum manapun tanpa terkecuali—dengan demikian patah sudah dalil yang menyebutkan bahwa PERMA Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tindak Pidana Korporasi dilahirkan berdasarkan kebutuhan, adalah salah kaprah besar; atau bahkan dapat kita sebutkan sebagai maksud yang diragukan.
Kembali perlu penulis tegaskan: Bila PERMA tentang pidana korporasi dimaknai sebagai peralihan tanggung jawab direksinya menjadi tanggung jawab badan hukum, berarti hal tersebut merupakan suatu bentuk kemunduran—karena dari pidana penjara fisik menjadi sebatas pidana denda semata, mengingat badan hukum kerap dan rentan disalahgunakan para pengurus/pemiliknya.
Badan hukum adalah personifikasi dari niat batin dan kehendak aksi para pengurusnya.
Badan hukum tidak memiliki suatu niat batin sendiri, karena badan hukum adalah benda mati—menjadi aneh bila terdapat “pakar” hukum yang mencoba untuk membantah postulat aksioma tersebut. Sehingga antara aksi korporasi dengan aksi pengurusnya adalah dua hal yang merupakan satu kesatuan tak terpisahkan.
Mem-pidana badan hukum, artinya wajib turut memidana pengurusnya, tidak bisa salah satunya saja secara parsial, berdasarkan prinsip piercing the corporate veil yang sudah dikenal oleh berbagai praktik peradilan negara-negara maju.
Manakah yang lebih menakutkan bagi Anda, pengurusnya yang “dipidana penjara” ataukah badan hukumnya yang “dipidana denda”?
Pengurus yang menyadari bahwa dirinya dapat dipidana penjara bila menggunakan korporasi untuk melakukan kejahatan, akan mengurungkan niatnya—atau setidaknya dirinya akan berpikir untuk kesekian kalinya sebelum benar-benar pada akhirnya menjerumuskan diri.
Sementara bila pemegang saham yang mencoba menyalahgunakan korporasi, akan dikenakan pidana penjara berdasarkan doktrin ultra vires sehingga tanggung jawabnya tidak lagi bersifat “terbatas” namun renteng, dan pengurus yang beritikad baik tidak akan turut dipidana—kecuali Dewan Komisaris yang tidak boleh bersikap lalai mengawasi setiap bentuk itikad ataupun gelagat aksi korporasi yang menyimpang / menyerempet hukum.
Dimiskinkannya badan hukum tak berbeda dengan pailitnya sebuah badan hukum, tiada yang menakutkan, bahkan menjadi ajang cuci tangan para pengurusnya—lihatlah “tren” (anomali yang sebenarnya sudah lama dapat diprediksi) para debitor yang justru berlomba-lomba mempailitkan dirinya sendiri demi lepas dari tanggung jawab kepada para kreditornya.
Sementara dimiskinkannya para pengurus korporasi dalam suatu kasus tindak pidana korupsi (Tipikor), mengakibatkan pelakunya “mati segan hidup pun enggan”. Dipailitkannya korporasi, masih membuka peluang pemiliknya untuk membuka korporasi baru, mengingat demikian mudahnya untuk mendirikan badan hukum di Indonesia.
Yang paling berbahaya dalam konsepsi salah kaprah tindak pidana korporasi di Indonesia, ialah digunakannya frasa “atau” dalam kalimat selengkapnya: “dipidana pengurus dan/atau korporasi yang melakukan tindak pidana”.
Dalam konteks ini, justru membuka praktik transaksional antara pelaku kejahatan “kerah putih” (white collar crime) dengan aparatur penegak hukum untuk transaksi “jual-beli” ancaman sanksi pidana: penjara fisik ataukah cukup dipidana denda?
Tawaran yang sungguh menggiurkan seluruh pelaku tindak pidana korupsi, tentunya. Ternyata, hukum memang bergerak seperti bandul, kadang bergerak maju, dan kadang bergerak menuju kemunduran. Kita seharusnya bersedih atas terbitnya PERMA salah kaprah demikian, bukan justru merasa “merdeka” dijajah oleh otak pelaku dibalik aksi para korporasi nakal demikian.
Menyedihkan sekali para penyusun regulasi di negeri ini. Itulah akibatnya bila mereka yang bukan ahlinya diangkat sebagai “ahli”. Seseorang bukanlah ahli hanya karena disebut atau diberi jabatan sebagai seorang “ahli”. Seorang ahli adalah mereka yang memahami benar konsep dan sendi-sendi paling mendasar dalam suatu bidang disiplin ilmu.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.