LEGAL OPINION
Question: Katanya untuk bisa menggugat ke pengadilan terkait karyawan yang dipecat seenaknya oleh atasan, boleh diajukan kapan saja. Apa benar begitu?
Brief Answer: Tidak benar. Gugatan yang boleh diajukan kapan saja terkait sengketa hak/kepentingan hubungan industrial hanyalah terkait hak normatif atas upah, uang pisah, serta pesangon. Terkait sengketa pemutusan hubungan kerja (PHK), maka yang berlaku ialah ketentuan mengenai kadaluarsa (berakhirnya hak karena lewatnya waktu) paling lama 1 (satu) tahun sejak PHK secara sepihak tersebut menimpa sang pekerja/buruh.
Hanya saja perlu diwaspadai, jangan sampai Majelis Hakim terkecoh oleh skoorsing / dirumahkannya pegawai sebagai mulai dihitungnya PHK. PHK dan skoorsing adalah dua hal yang berbeda. “PHK secara sepihak” hanya dapat dihitung terjadi sejak dua unsur berikut terpenuhi: 1.) tidak diizinkan masuk kerja; dan 2.) tidak diberi upah sebagaimana biasanya.
“PHK secara sepihak” bukan hanya dapat terjadi ketika pengusaha memberi surat pemecatan/penghentian kerja, namun dapat pula berupa skoorsing yang disertai tanpa pemberian upah sama sekali—dan pada tanggal hari itu pula “PHK secara sepihak” terjadi serta dihitung.
PEMBAHASAN:
Pasal 171 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan:
“Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), dan Pasal 162, dan pekerja/buruh yang bersangkutan tidak dapat menerima pemutusan hubungan kerja tersebut, maka pekerja/buruh dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal dilakukan pemutusan hubungan kerjanya.”
Pasal 171 UU Ketenagakerjaan:
“Tenggang waktu 1 tahun dianggap merupakan waktu yang cukup layak untuk mengajukan gugatan.”
Kita perlu belajar pada pengalaman pahit sebagaimana terjadi dalam putusan Mahkamah Agung RI sengketa PHK register Nomor 72 K/Pdt.Sus-PHI/2015 tanggal 19 Juni 2015, perkara antara:
- PT. DIMAS UTAMA, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Tergugat; melawan
- MERCYLIA MOCHTAR, selaku Termohon Kasasi dahulu Penggugat.
Terhadap gugatan Penggugat yang merupakan pegawai Tergugat, Pengadilan Hubungan Industrial telah memberikan putusan Nomor 126/PHI.G/2013/PN.JKT.PST, tanggal 10 Oktober 2013, dengan pertimbangan hukum serta amar sebagai berikut:
“Menimbang, Majelis Hakim memperoleh fakta bahwa Penggugat dan Tergugat mengakui memiliki hubungan kerja, namun hubungan kerja tersebut diakui kedua belah pihak telah berakhir karena alasan PHK dan sebagai konsekuensinya Penggugat menuntut agar Tergugat membayar uang pesangon 2 kali Pasal 156 ayat (2);
“Menimbang bahwa apabila dalil tuntutan Penggugat dikaitkan dengan jawaban Tergugat Majelis Hakim menemukan fakta, bahwa Penggugat dan Tergugat memiliki keinginan yang sama terkait pengakhiran hubungan kerja tersebut. Tergugat di dalam jawaban butir 6 dengan tegas mengakui bersedia memberi kompensasi PHK kepada Penggugat sebesar 2 kali Pasal 156 ayat (2);
“Menimbang, bahwa oleh karena Tergugat mengakui telah melakukan PHK terhadap Penggugat dan dari tuntutan Penggugat diketahui bahwa Penggugat bersedia menerima PHK tersebut sepanjang diberikan kompensasi sebesar 2 kali Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sesuai Pasal 156 ayat (3) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003, karenanya Majelis Hakim berkesimpulan bahwa dalam pemutusan hubungan kerja tersebut hal yang belum disepakati para pihak adalah perhitungan kompensasi PHK. Oleh karena para pihak mengakui tentang PHK tersebut, maka dalam perkara a quo Majelis Hakim tidak perlu lagi mempertimbangkan alasan-alasan PHK tersebut. Paralel dengan itu maka Majelis Hakim tidak perlu mempertimbangkan keterangan para saksi yang terdapat dalam perkara a quo. Berdasarkan alasan tersebut maka dalam perkara a quo Majelis Hakim akan mempertimbangkan langsung kompensasi yang wajib dibayar oleh Tergugat dengan merujuk pada hukum yang berlaku;
“Menimbang, bahwa oleh karena Penggugat dan Tergugat berbeda pendapat tentang dasar perhitungan pesangon maka sesuai Pasal 151 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Majelis Hakim mempertimbangkan bahwa, pemutusan hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha dianggap sah setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Pasal 155 ayat (1) Undang Undang Nomor 13 tahun 2003 mengatur, PHK yang dilakukan bertentangan dengan Pasal 151 ayat (3) Undang Undang Nomor 13 tahun 2003 maka PHK batal demi hukum. Selanjutnya Pasal 170 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 mengatur, pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/Penggugat ketika PHK dinyatakan batal demi hukum;
“Menimbang, bahwa oleh karena Penggugat dan Tergugat sama-sama menerima PHK, maka dengan berpedoman pada ketentuan tersebut di atas hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat dinyatakan putus terhitung sejak putusan ini diucapkan. Dengan demikian, masa kerja Penggugat sampai pada saat putusan ini diucapkan adalah 6 tahun lebih tetapi kurang dari tujuh tahun.
“Menimbang, bahwa sesuai dengan bukti P. 6=bukti T A Majelis Hakim memperoleh fakta bahwa terhitung tanggal 22 Februari 2012 Tergugat menjatuhkan sanksi skorsing kepada Penggugat. Mencermati redaksi surat skorsing tersebut nyatalah bahwa skorsing tersebut dilakukan menuju PHK terhadap Penggugat;
“Menimbang bahwa tindakan skorsing Tergugat tersebut merupakan tindakan hukum yang dibenarkan dalam Pasal 155 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Pengusaha berdasarkan Pasal 155 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dapat melakukan skorsing kepada pekerja menuju PHK. Selanjutnya, ketentuan di atas tidak mengatur batas berlakunya sanksi skorsing. Sebagai konsekuensinya, Pasal 155 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 mewajibkan pengusaha membayar upah skorsing kepada pekerja tanpa batas waktu;
“Menimbang, bahwa memperhatikan bukti dalam perkara a quo Majelis Hakim tidak menemukan bukti adanya tindakan dari Tergugat mencabut surat skorsing yang ditujukan terhadap Penggugat. Kenyataan itu memastikan bahwa sanksi skorsing terhadap Penggugat dalam bukti P.6=bukti T.4 masih berlaku sampai putusan perkara a quo diucapkan;
“Menimbang, bahwa Penggugat mendalilkan tidak menerima upah lagi dari Tergugat sejak Juni 2012. Memperhatikan jawaban Tergugat pada butir 24 yang mengatakan pada bulan Juni 2012 sampai sekarang Penggugat tidak lagi bekerja merupakan bentuk pengakuan bahwa Tergugat benar tidak lagi membayar upah Penggugat sejak Juni 2012 sampai sekarang Penggugat tidak lagi bekerja merupakan bentuk pengakuan bahwa Tergugat benar tidak lagi membayar upah Penggugat sejak Juni 2012;
“Menimbang bahwa oleh karena Tergugat mengaku tidak membayar upah Penggugat sejak Juni 2012 maka Majelis Hakim berpendapat bahwa tindakan Tergugat tersebut bertentangan dengan Pasal 155 ayat (3) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003. Mengingat skorsing Penggugat dimaksudkan untuk tujuan melakukan PHK dan pada bagian pertimbangan di atas Majelis Hakim menyatakan putus hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat sejak putusan ini diucapkan maka dengan mengingat gugatan Penggugat ternyata hanya meminta pembayaran upah sampai dengan Juni 2012, maka sesuai Pasal 178 ayat (3) HIR beralasaan mengabulkan tuntutan upah skorsing tersebut selama 13 bulan terhitung sejak Juni 2012-2013;
“MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan putus hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat sejak putusan ini diucapkan;
3. Menghukum Tergugat membayar kepada Penggugat berupa uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak, tunjangan hari raya (THR) 2012, upah skorsing selama 13 bulan seluruhnya sebesar US$ 51.331,5 (lima puluh satu ribu tiga ratus tiga puluh satu koma 5 dolar Amerika Serikat);
4. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
Tergugat mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung kemudian membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“bahwa keberatan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 6 November 2013 dan kontra memori kasasi tanggal 27 November 2013 dihubungkan dengan pertimbangan judex facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa alasan dan keberatan Pemohon Kasasi dapat dibenarkan, oleh karena Judex Facti telah salah menerapkan hukum;
“Bahwa gugatan Penggugat telah kadaluarsa sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 82 Undang Undang Nomor 2 Tahun 2004, karena pengajuan gugatan yang diajukan oleh Pemohon telah melewati tenggang waktu yang ditentukan;
“Bahwa berdasar pembuktian Judex Facti telah didapatkan pembuktian bahwa Pemohon Kasasi telah melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap Termohon Kasasi pada tanggal 22 Januari 2012, sedangkan gugatan baru diajukan oleh Termohon Kasasi pada tanggal 17 Juli 2013;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, Mahkamah Agung berpendapat, terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PT. Dimas Utama tersebut dan membatalkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 126/PHI.G/2013/PN.JKT.PST, tanggal 10 Oktober 2013 selanjutnya Mahkamah Agung akan mengadili sendiri dengan amar sebagaimana yang akan disebutkan di bawah ini;
“M E N G A D I L I
“Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PT. DIMAS UTAMA tersebut;
“Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 126/PHI.G/2013/PN.JKT.PST, tanggal 10 Oktober 2013;
“MENGADILI SENDIRI :
1. Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan gugatan telah melewati tenggang waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang merupakan gugatan telah daluarsa.”
Hukum itu kejam, namun demikianlah adanya. Hanya mekanisme uji materiil yang dapat membatalkan ketentuan normatif hukum yang tidak tahan terhadap uji moril.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.