Sama-Sama Salah = Sama-Sama Benar, Tiada dapat Disengketakan

ARTIKEL HUKUM
Dalam dunia kode pemograman, dikenal istilah “logika biner”. Hanya dikenal dua istilah dalam dunia digital: angka O atau angka 1. “True” or “false”. Namun, dalam sistem digital modern di masa mendatang, logika biner ini akan mulai digantikan dengan logika majemuk, bahkan dikenal pula “fuzzie logic” yang sarat alogaritma dan turut menautkan berbagai variabel bebas serta variabel terikat yang berjumlah masif.
Tidak terkecuali dunia hukum, mengenal istilah: jika tidak benar, berarti salah. logika biner. Tidak dikenal istilah zona “abu-abu”. Demikian tegas garis embarkasi yang dibuat. Demikian tidak berwelas asih, demikian membuta, demikian sadistik.
Namun, mungkinkah terjadi, para pihak yang bersengketa dan saling menggugat, adalah sama-sama saling benar atau sebaliknya, sama-sama saling bersalah? Pertanyaan tersebut bukan “isapan jempol”, namun dalam praktik kerap dijumpai dan memang dapat terjadi.
Penulis berikan sebuah contoh konkret sederhana berikut. Seorang istri menggugat cerai suaminya, dengan alasan bahwa sang suami menelantarkan keluarganya. Sebaliknya, sang suami pun turut memperkarakan sang istri ke ranah pidana dengan alasan suka menghambur-hamburkan harta bersama mereka. Pasangan suami-istri ini saling menuding dan merasa sama-sama tertindas. Gugatan cerai, pasti dikabulkan hakim, karena memang masing-masing menghendaki dan tiada lagi keharmonisan untuk pasutri tersebut. Perkara mudah.
Keduanya sama-sama salah, yang artinya pula, disaat bersamaan, mengartikan bahwa keduanya pun sama-sama benar, sehingga permintaan dalam gugatan agar hubungan perkawinan dinyatakan putus, dapat dikabulkan tanpa kesulitan berarti bagi Majelis Hakim yang memutus.
Akan tetapi akan menjadi demikian membingungkan ketika kemungkinan relasi “sama-sama salah” atau “sama-sama benar” terjadi dalam sengketa perdata non perkara perceraian.
Bagaimana dapat demikian?
Kembali kepada logika berhukum sederhana tadi: sama-sama salah, artinya sama-sama benar. Negatif kali negatif = positif. Rumus matematika sederhana ini, anak Sekolah Dasar pun pasti tentunya telah memahami dengan baik. Namun bagaimana implementasinya dalam konteks sosial?
Lagi-lagi pertanyaan yang sukar dijawab. Pertanyaan satu membawa kita pada rentetan pertanyaan baru lainnya. Alkisah dua orang pengusaha yang semula merupakan rekanan bisnis, kemudian saling menggugat di hadapan persidangan, dengan alasan masing-masing yang cukup berbobot.
Baik Penggugat, maupun Tergugat yang mengajukan gugatan balik, memiliki dalil dan argumentasi lengkap dengan alat bukti pendukung mereka masing-masing. Bila hakim yang memeriksa dan memutus memakai bingkai “kacamata” logika biner, alhasil akan membaut sang hakim frustasi sekaligus “error”. Kehidupan manusia tidak seperti jalannya pertandingan tinju yang hanya mengenal istilah juara atau pecundang, bertahan atau terdegradasi. Aturan pertandingan sepak bola terlampau sederhana bila dibanding dengan kompleksitas kehidupan antar manusia sebagai anggota masyarakat.
Beruntung, berbagai putusan pengadilan telah memecah kebuntuan tersebut dengan dimungkinkannya untuk mengabulkan gugatan penggugat, dan disaat bersamaan mengabulkan pula gugatan balik (rekonpensi) tergugat terhadap pihak penggugat, dalam satu berkas perkara yang diputus bersamaan.
Oke, kamu benar, tapi bukan berarti hanya kamu yang dapat saya benarkan, lantas pihak seberang artinya sudah pasti salah sepenuhnya. Kira-kira begitu bahasa non verbal sang hakim ketika memutus perkara yang diajukan para pihak yang saling menggugat tersebut.
Kamu benar, ia pun benar, jadi sama-sama salah sekaligus sama-sama benar. Putusan ini diharapkan akan membuat para pihak sama-sama puas, dan sang hakim kemudian akan tersenyum melihatnya berakhir proporsional.
Benar, kata kuncinya ialah proporsional. Bisa jadi korban memiliki kontribusi kesalahan yang memicu pelaku melakukan suatu tindakan. Bisa jadi pula, pelaku melakukan suatu perbuatan melawan hukum akibat akumulasi tekanan batin yang dihadapinya.
Sekedar kembali mengingatkan, dalam menetapkan perspektif dalam memahami dan mengamati kehidupan sosial, tidaklah semudah memakai kacamata “hitam atau putih”, namun penuh “warna”. Apa jadinya bila kita masih menggunakan televisi layar tabung yang hanya mengenal tiga warna: hitam, putih, dan abu-abu? Dan kita pun perlu ingat, warna abu-abu memiliki gradasi jenis warna yang lembut hingga yang pekat.
Oke, Anda saya salahkan, tapi bukan berarti Anda salah sepenuhnya. Kira-kira inilah pesan yang coba disampaikan oleh pengadilan ketika gugatan para pihak saling dibenarkan, saling dikabulkan, sekaligus saling dikalahkan.
Bukankah menang artinya kalah, dan kalah artinya menang? Karena kita hidup dalam dunia penuh “warna”, maka kita tak dapat memaksakan untuk selalu menang. Setidaknya setengah menang, atau setengah kalah, sudah cukup untuk menghibur.
Secara tak langsung, penulis hendak menyampaikan, bila kita hendak menang secara mutlak, menang telak, maka tiada jalan lain selain tidak membuka ruang kesalahan untuk kita buat selama menjalin hubungan.
Contoh, baru-baru ini penulis menghadapi calon klien yang hendak memidana istrinya sendiri dengan alasan telah menggelapkan mobil yang menjadi harta gono-gini. Polisi telah melakukan penyelidikan dan penyidikan, namun setelah lewat satu tahun kasus pidana ini mangkrak, karena sang mantan istri yang telah diceraikannya ini memegang kuitansi tanda bukti bahwa sang suami menyatakan telah menjual mobil tersebut pada sang istri, sehingga sah saja bila sang istri kemudian menjualnya.
Sang suami bersikeras bahwa istrinya bersalah, begitu, begitu, ingin agar sang istri dipenjara, ingin mobilnya kembali pada dirinya. Dsb dsb ...
Mengerikan sekali, betapa mengenaskan sang (mantan) istri.
Penulis kemudian dalam sesi konsultasi menyampaikan, bahwa kasus laporan pidana yang diajukannya kepada istrinya itu, takkan bisa berlanjut. Yang salah ialah dirinya sendiri, mengapa mau menandatangani kuitansi kosong? Mengapa Anda hanya dapat melihat kesalahan orang lain?
Alhasil, klien satu ini pergi begitu saja, bahkan tanpa membayar fee konsultasi. Apa yang bernama klien harus selalu dibodohi agar senang sementara kantung sakunya saya “rogoh”?
Tapi lebih bagus demikian, membela orang jahat sama artinya menabung jalan menuju neraka. Semakin besar fee-nya, semakin cepat lajunya di jalan tol menuju neraka. Penulis memiliki kebijakan untuk memfilter klien, karena apalah artinya fee, bila menabung perbuatan buruk untuk dituai dikemudian hari. Hidup hanya untuk menggali lubang kubur sendiri, alangkah bodohnya.
Bila kita memakai logika biner, kita hanya akan mampu melihat bahwasannya sang istri telah menggelapkan (bahasa yang penulis pinjam dari pernyataan sang suami), meski tidak jelas atas dasar apa tuduhan penggelapan itu dialamatkan, yang artinya sang istri adalah penjahat tulen, tanpa pernah mau mendengar penjelasan dan klarifikasi dari pihak istri.
Seorang konsultan hukum lebih menyukai menjadi seorang mediator, yang mempertemukan para pihak yang bertikai dan saling bersengketa, untuk dicari jalan keluar bersama, atau setidaknya saling mundur satu langka, memberi ruang untuk tercipta win-win solution.
Seorang konsultan hukum memiliki paradigma yang sedikit berbeda dengan seorang litigator, yang menutupi segala keburukan kliennya, yang penting menang dengan fokus pada kelemahan dan kesalahan sang lawan. Yang penting libas, bantai, menang. Menang sepenuhnya, atau kalah sepenuhnya, pilihan yang ada hanyalah kedua hal ini.
Bila sang litigator berhasil memenangkan sang klien, sama artinya ia telah menumbalkan pihak lawan yang bisa jadi tidak salah sepenuhnya—artinya disaat bersamaan pihak lawan memiliki kebenaran juga yang sayangnya tidak mendapat keadilan.
Seorang litigator dibayar mahal untuk memenangkan yang membayar. Sebaliknya, seorang legal consultant, dibayar mahal untuk jasanya menjembatani, saling memenangkan dan mendinginkan kepala bersama untuk sejenak, dan sebisa mungkin merekatkan kembali hubungan yang sempat retak. Konsultan hukum yang baik ialah seorang mediator dan mengarahkan untuk melihat secara apa adanya dari berbagai sudut pandang.
Penulis hendak membangun reputasi sebagai sarjana hukum yang berimbang, bukan dikenal sebagai pembatai yang membantai lawan kliennya tanpa kenal ampun. Meneduhkan, bukan memanasi yang telah panas.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.