ARTIKEL HUKUM
Mahkamah Agung kembali menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung, perihal
rumusan kaidah hukum quasi legislatif, yang sebetulnya merupakan domain / ranah parlemen sebagai pembentuk undang-undang.
Pada tanggal 9 Desember 2016, Ketua Mahkamah Agung RI melalui suratnya Nomor 04/Bua.6/Hs/SP/XII/2016 tentang Surat Edaran MA RI Nomor 4 Tahun 2016, telah menerbitkan Surat Edaran kepada seluruh jajaran
Hakim Pengadilan Negeri maupun Hakim Tinggi seluruh Indonesia.
Banyak terdapat terobosan serta pembaharuan paradigma hukum kontemporer dalam
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) ini—bahkan dapat kita sebut sebagai sudut
pandang baru yang baru sama sekali, terutama oleh Hakim Agung Kamar TUN. Adapun
beberapa kaidah menarik yang akan SHIETRA & PARTNERS kemukakan dari SEMA
tersebut, sebagai berikut:
RUMUSAN HUKUM
RAPAT PLENO KAMAR MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2016
A. RUMUSAN HUKUM KAMAR PIDANA
1. Dalam hal yang mengajukan
kasasi adalah Penuntut Umum sedangkan Terdakwa telah menerima putusan, maka
Majelis Hakim Kasasi dapat mempertimbangkan untuk mengurangi lamanya pidana
yang dijatuhkan oleh Judex Facti kepada Terdakwa apabila terdapat kesalahan
penerapan hukum atau ada keadaan yang meringankan Terdakwa namun belum / kurang
dipertimbangkan oleh Judex Facti, lagi pula Majelis Kasasi tidak terikat kepada
alasan-alasan yang diajukan Pemohon Kasasi sebagaimana ketentuan Pasal 52
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;
2. Bahwa perkawinan yang
dilangsungkan oleh seorang suami dengan perempuan lain sedangkan suami tersebut
tidak mendapatkan izin isteri untuk melangsungkan perkawinan lagi, maka Pasal
279 KUHPidana dapat diterapkan;
3. a. Permintaan peninjauan
kembali diajukan oleh Terpidana atau ahli warisnya ke pengadilan pengaju,
kecuali jika Terpidana sedang menjalani pidana di lembaga pemasyarakatan atau
rumah tahanan negara, permintaan peninjauan kembali dan menghadiri persidangan
peninjauan kembali serta penandatanganan berita acara pemeriksaan dapat
dilakukan oleh Kuasa Terpidana;
b. Dalam hal Terpidana
menjalani pidana di luar daerah hukum pengadilan pengaju, permintaan peninjauan
kembali tetap diajukan di pengadilan pengaju. Pemeriksaan alasan permintaan
peninjauan kembali dapat didelegasikan ke pengadilan di tempat Terpidana
menjalani pidananya. Berkas perkara peninjauan kembali beserta berita acara
pemeriksaan pendapat yang dibuat oleh Hakim penerima delegasi, dikirim kepada
pengadilan pengaju untuk selanjutnya dikirim oleh pengadilan pengaju kepada
Mahkamah Agung;
4. Meskipun Kepala lembaga
pemasyarakatan bukan Pejabat yang berwenang menerima permintaan kasasi tetapi
permintaan kasasi dapat diajukan oleh Terdakwa melalui Kepala lembaga
pemasyarakatan selama masih dalam tenggang waktu pengajuan kasasi (sejak
diterimanya pemberitahuan putusan oleh Kepala lembaga pemasyarakatan) dan
selanjutnya Kepala lembaga pemasyarakatan meneruskan sekaligus melaporkan
adanya permohonan kasasi tersebut kepada Panitera pengadilan pengaju secara
elektronik dan kemudian Panitera pengadilan pengaju melaporkan adanya
permohonan kasasi tersebut ke Mahkamah Agung;
5. Ketentuan batas waktu 60
hari pengembalian kerugian Negara atas rekomendasi Badan Pemeriksa
Keuangan/Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan/Inspektorat sesuai ketentuan
Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara tidak berlaku bagi
Terdakwa yang bukan Pejabat (Swasta) yang mengembalikan kerugian Negara
dalam tenggang waktu tersebut, ketentuan tersebut hanya berlaku bagi
Penyelenggara Pemerintahan. Tetapi tidak bersifat mengikat manakala
pengembalian kerugian negara oleh Penyelenggara Pemerintahan dilakukan setelah
batas waktu 60 hari. Adalah menjadi kewenangan Penyidik melakukan proses
hukum apabila ditemukan indikasi Tindak Pidana Korupsi;
Note SHIETRA & PARTNERS: Mahkamah Agung RI
kembali menerbitkan SEMA dengan substansi yang kontroversial. Membaca redaksional
rumusan kaidah diatas, maka “menjadi mengikat” pejabat negara yang
mengembalikan uang hasil korupsi dalam tempo 60 hari, maka dibebaskan dari
jerat hukum. Secara falsafah, pejabat negara yang menyalahgunakan kekuasaan
lewat korupsi ataupun kolusi, seharusnya dihukum lebih berat ketimbang swasta
yang melakukan korupsi—bukan justru diberi keistimewaan oleh Mahkamah Agung.
6. Instansi yang berwenang
menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan Negara adalah Badan Pemeriksa
Keuangan yang memiliki kewenangan konstitusional sedangkan instansi lainnya
seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan/Inspektorat/Satuan Kerja
Perangkat Daerah tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan
keuangan Negara namun tidak berwenang menyatakan atau men-declare adanya
kerugian keuangan Negara. Dalam hal tertentu Hakim berdasarkan fakta
persidangan dapat menilai adanya kerugian Negara dan besarnya kerugian Negara;
Note SHIETRA & PARTNERS: Kini, keliru jika
kita berasumsi bahwa lembaga superbody
ialah KPK. Yang kini superpower ialah
BPK, karena diberi monopoli penentu “rugi” atau “tidak”-nya negara. Kedepannya kaidah
MA RI tersebut dapat memasung langkah KPK maupun penegak hukum lainnya. Sebaliknya
juga dapat kita katakan, apa yang dinyatakan BPK sudah menjadi suatu vonis “mati”
atau vonis “bebas” sekalipun tersangka belum dibawa ke persidangan.
7. Manakala Terdakwa tidak
pernah hadir di sidang Pengadilan dengan alasan sakit permanen, yang diperkuat
dengan surat keterangan Dokter, maka sikap Majelis Hakim yang mengadili dapat
memerintahkan dilakukan pemeriksaan kesehatan ulang (second opinion) oleh Tim
dokter Rumah Sakit Umum Pusat atau Daerah;
8. Dalam hal terjadi tindak
pidana / korupsi yang ada kaitannya dengan perkara yang sedang diperiksa secara
perdata, maka putusan Perdata tidak mengikat sesuai ketentuan Pasal
3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1956;
Note SHIETRA & PARTNERS: Seakan tidak belajar
dari pengalaman, untuk menentukan apakah putusan perdata memiliki relevansi dan
kontribusi dalam pembuktian perkara pidana atau tidaknya, adalah kewenangan
hakim itu sendiri yang memeriksa perkara pidana karena bagaimana pun ragam
dinamika kasus demikian kasuistik dan tak dapat dilakukan pendekatan secara kaku.
B. RUMUSAN HUKUM KAMAR PERDATA
PERDATA UMUM
1. Penentuan mengenai
batas usia dewasa seseorang dalam melakukan perbuatan hukum tidak dapat
ditentukan pada usia yang sama tetapi ditentukan berdasarkan undang-undang atau
ketentuan hukum yang mengaturnya dalam konteks perkara yang bersangkutan
(kasuistis).
Note SHIETRA & PARTNERS: Kepala Badan
Pertanahan Nasional pada tahun 2015 menerbitkan Surat Edaran Nomor 1 Tahun 2015
yang menyebutkan dalam konsideransnya, bahwa batas usia minimum pelaku
perbuatan hukum keperdataan dalam pertanahan ialah merujuk pada kaidah dalam SEMA.
Namun Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) sendiri menyatakan kasuistis, dimana
hukum perdata menyatakan cakap hukumnya perikatan perdata ialah 21 tahun, maka
menjadi janggal bila BPN membuat pengaturan yang salah kaprah dengan menyatakan
batas usia minimum ialah 18 tahun.
2. Derden verzet atas sita
terhadap boedel waris ditentukan sebagai berikut:
a. Derden verzet atas sita
boedel waris yang belum dibagi waris akibat perbuatan hukum pewaris tidak dapat
dikabulkan;
b. Derden verzet serupa akibat
perbuatan hukum salah seorang ahli waris dapat dikabulkan.
3. Sengketa hak milik
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 tentang Peradilan Agama merupakan kewenangan Pengadilan Agama sepanjang
sengketa kepemilikan tersebut timbul akibat dari transaksi pertama yang
dilakukan oleh salah seorang ahli waris dengan pihak lain. Dalam hal
sengketa kepemilikan yang timbul akibat dari transaksi kedua dan seterusnya,
maka sengketa kepemilikan tersebut merupakan kewenangan peradilan umum untuk
memutus dan mengadili.
4. Mengenai pengertian pembeli
beriktikad baik sebagaimana tercantum dalam kesepakatan kamar perdata tanggal 9
Oktober 2014 pada huruf a disempurnakan sebagai berikut:
Kriteria pembeli yang beritikad baik yang perlu
dilindungi berdasarkan Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah sebagai berikut:
a. Melakukan jual beli atas
objek tanah tersebut dengan tata cara/prosedur dan dokumen yang sah
sebagaimana telah ditentukan peraturan perundang-undangan yaitu:
- Pembelian tanah melalui
pelelangan umum, atau:
- Pembelian tanah dihadapan
Pejabat Pembuat Akta Tanah (sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah
Nomor 24 tahun 1997, atau;
- Pembelian terhadap tanah
milik adat / yang belum terdaftar yang dilaksanakan menurut ketentuan hukum
adat yaitu:
- dilakukan secara tunai dan
terang (di hadapan / diketahui Kepala Desa/Lurah setempat).
- didahului dengan
penelitian mengenai status tanah objek jual beli dan berdasarkan penelitian
tersebut menunjukkan bahwa tanah objek jual beli adalah milik penjual.
- Pembelian dilakukan dengan
harga yang layak.
Note SHIETRA & PARTNERS: Perhatikan rumusan
istilah “harga yang layak”, memiliki makna: jual-beli dengan harga yang
terlampau rendah dari harga pasaran, atau sebaliknya, dapat menjadi suatu
praduga adanya itikad tidak baik dari salah satu pihak atau keduanya.
b. Melakukan kehati-hatian
dengan meneliti hal-hal berkaitan dengan objek tanah yang diperjanjikan antara
lain:
- Penjual adalah orang yang
berhak/memiliki hak atas tanah yang menjadi objek jual beli, sesuai dengan
bukti kepemilikannya, atau;
- Tanah/objek yang
diperjualbelikan tersebut tidak dalam status disita, atau;
- Tanah objek yang
diperjualbelikan tidak dalam status jaminan/hak tanggungan, atau;
- Terhadap tanah yang
bersertifikat, telah memperoleh keterangan dari BPN dan riwayat hubungan hukum
antara tanah tersebut dengan pemegang sertifikat.
Note SHIETRA & PARTNERS: Surat Keterangan
Tanah / Surat Keterangan Pendaftaran Tanah menjadi salah satu asas kehati-hatian
dalam rumusan SEMA ini. Meski janggalnya, tanah yang telah bersertifikat resmi otentik dari Kantor Pertanahan, mengapa justru syaratnya lebih berat ketimbang jual-beli tanah girik milik adat?
5. Ketentuan terhadap angka 2
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2009 tanggal 12 Juni 2009 dilengkapi
sebagai berikut: “Demi keadilan, permohonan peninjauan kembali kedua terhadap
dua putusan yang berkekuatan hukum tetap, yang saling bertentangan satu
dengan yang lain dan salah satu diantaranya adalah putusan peninjauan
kembali, dapat diterima secara formil walaupun kedua putusan tersebut pada
tingkat peradilan yang berbeda, termasuk putusan pidana, agama dan tata usaha
negara”.
6. Proses eksekusi atau
lelang eksekusi secara hukum telah selesai jika objek eksekusi atau objek
lelang telah diserahkan kepada pemohon eksekusi atau pemenang lelang. Keberatan
terhadap penyerahan tersebut harus diajukan dalam bentuk gugatan, bukan
perlawanan.
7. Peralihan hak atas tanah
berdasarkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) secara hukum terjadi jika
pembeli telah membayar lunas harga tanah serta telah menguasai objek jual beli
dan dilakukan dengan itikad baik.
Kaidah hukum diatas penting sebagai bentuk
perlindungan hukum bagi pembeli hak atas tanah. Artinya, sekalipun PPJB belum disempurnakan
dalam AJB, selama unsur telah “lunas” dan “kuasai secara fisik”, maka peralihan
hak atas tanah telah terjadi.
8. Pelaksanaan eksekusi hak
tanggungan dan fiducia yang akadnya berdasarkan prinsip syariah merupakan
kewenangan peradilan agama sedangkan yang selainnya merupakan kewenangan
peradilan umum.
PERDATA KHUSUS PHI
- Pengadilan Hubungan
Industrial (PHI) berwenang memeriksa dan memutus perselisihan pemutusan
hubungan kerja antara tenaga kerja/pekerja/ pegawai/staf lokal dengan
perwakilan Negara asing (Kedutaan Besar, Kuasa Usaha, dan lain-lain) yang
ada di Indonesia karena Perwakilan Negara asing adalah pemberi kerja
sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
Note SHIETRA & PARTNERS: Asas hukum
teritorial kedaulatan hukum tampaknya telah disimpangi dalam kaidah bentukan MA
RI ini, sehingga PHI Indonesia tetap berwenang putuskan sengketa tenaga kerja
lokal yang bekerja pada suatu kedutaan besar di Indonesia.
- Oleh karena itu terhadap perjanjian
kerja yang dibuat perwakilan Negara asing dengan tenaga kerja/pekerja/pegawai/staf
lokal berlaku ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
PARPOL
- Perselisihan partai politik
akibat ketentuan Pasal 32 ayat (5) dan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Partai Politik, sepenuhnya merupakan kewenangan Mahkamah Partai Politik atau
sebutan lain. Putusan pengadilan negeri adalah putusan tingkat pertama dan
terakhir.
ARBITRASE
- Sesuai dengan ketentuan Pasal
72 ayat (4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
penjelasannya, terhadap putusan pengadilan negeri yang menolak permohonan
pembatalan putusan arbitrase tidak tersedia upaya hukum baik banding maupun
peninjauan kembali.
- Dalam hal putusan
pengadilan negeri membatalkan putusan arbitrase, tersedia upaya hukum banding
ke Mahkamah Agung, terhadap putusan banding tersebut Mahkamah Agung memutus
pertama dan terakhir sehingga tidak ada upaya hukum peninjauan kembali.
Note SHIETRA & PARTNERS: Inilah yang kemudian
disebut sebagai standart ganda.
C. RUMUSAN HUKUM KAMAR AGAMA
1. Gugatan wanprestasi di
bidang akad ekonomi syar’iah, hakim secara ex officio tidak boleh membatalkan
akad yang dinilai tidak sesuai dengan prinsip syariah jika tidak ada gugatan
pembatalan akad dari para pihak dalam perkara yang bersangkutan.
2. Pelaksanaan eksekusi hak
tanggungan dan fidusia yang akadnya berdasarkan prinsip syariah merupakan
kewenangan peradilan agama sedangkan yang selainnya merupakan kewenangan
peradilan umum.
3. Hak tanggungan dan
jaminan utang lainnya dalam akad ekonomi syariah tetap dapat dieksekusi jika
terjadi wanprestasi meskipun belum jatuh tempo pelunasan sesuai dengan yang
diperjanjikan setelah diberi peringatan sesuai ketentuan yang berlaku.
Note SHIETRA & PARTNERS: Mayoritas gugatan
debitor kepada kreditornya, ialah mendasarkan diri pada dalil bahwa masa
berlaku perjanjian kredit ialah masih berlaku untuk beberapa tahun ke depan,
namun agunan sudah akan dilelang eksekusi oleh sang kreditor.
4. Pengadilan tingkat
pertama harus melakukan penyumpahan dan membuat berita acara sumpah terhadap
penemuan alat bukti tertulis yang diajukan sebagai novum oleh pemohon
peninjauan pembali atau yang menemukan novum sesuai dengan ketentuan Pasal
69 huruf (b) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan
kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, tanpa harus menilai alat
bukti tersebut memenuhi syarat novum atau tidak.
5. Pengadilan Agama secara ex
officio dapat menetapkan nafkah anak kepada ayahnya apabila secara nyata anak
tersebut berada dalam asuhan ibunya, sebagaimana hal tersebut diatur dalam
Pasal 156 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam.
8. Dalam hal terjadi
pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai Mediasi dapat dimintakan ke pengadilan tingkat pertama dengan putusan
sela dan hasilnya dikirim kembali ke pengadilan tingkat banding (Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Mediasi).
9. Sengketa hak milik
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 tentang peradilan agama merupakan kewenangan pengadilan agama
sepanjang sengketa kepemilikan tersebut timbul akibat dari transaksi pertama
yang dilakukan oleh salah seorang ahli waris dengan pihak lain. Dalam hal
sengketa kepemilikan yang timbul akibat dari transaksi kedua dan seterusnya,
maka sengketa kepemilikan tersebut merupakan kewenangan peradilan umum untuk
memutus dan mengadili.
D. RUMUSAN HUKUM KAMAR MILITER
1. Dalam hal hakim mengadili
dan menjatuhkan pidana pada tindak pidana desersi, hakim wajib
memperhatikan dengan sungguh-sungguh hal-hal sebagai berikut:
a. pengaruh atau akibat dari
ketidakhadiran yang bersangkutan terhadap pelaksanaan tugas-tugas kesatuan
dalam pengelolaan pertahanan negara;
b. lama waktu pelaku melakukan
tindak pidana desersi;
c. latar belakang pelaku
melakukan tindak pidana desersi;
d. pernah tidaknya pelaku
dipidana dalam perkara desersi sebelumnya atau perkara lain, atau apakah selama
waktu desersi pelaku melakukan kejahatan;
e. tindak pidana desersi
merupakan kejahatan serius sebagai kejahatan terhadap kewajiban dinas.
2. Dalam mengadili dan
memeriksa perkara pidana terhadap seorang prajurit dalam kualifikasi perintah
dinas atau melaksanakan perintah atasan (Pasal 103 KUHPM), hakim harus menggali
dan mempertimbangkan fakta hukum yang mempengaruhi berat ringannya pidana bagi
prajurit bawahan dalam melaksanakan perintah atasan tersebut, antara lain:
a. kemampuan intelektualitas
prajurit selaku bawahan pada saat menerima perintah atasan tersebut;
b. situasi dan kondisi
prajurit bawahan pada saat menerima perintah atasan tersebut;
c. hubungan kedinasan antara
prajurit bawahan dengan atasan pemberi perintah;
d. kewenangan atasan untuk
memberikan perintah tersebut.
3. a. Terhadap putusan yang
menjatuhkan pidana tambahan berupa pemecatan dari dinas militer yang telah
berkekuatan hukum tetap, dapat diajukan permohonan peninjauan kembali oleh
terpidana atau ahli warisnya, sekalipun secara administratif telah terbit surat
keputusan pemberhentiannya dari pejabat yang berwenang.
b. Dalam hal permohonan
peninjauan kembali dikabulkan, putusan peninjauan kembali tersebut digunakan
untuk membatalkan surat keputusan pemberhentian, dan secara administratif
berlaku sesuai tanggal putusan peninjauan kembali.
4. Dalam hal terdakwa didakwa
dengan bentuk dakwaan kumulatif dimana putusan Judex Facti yang amarnya
menyatakan Terdakwa terbukti dan dipidana dalam dakwaan kesatu dan membebaskan
dari dakwaan kedua, apabila Terdakwa tidak mengajukan banding maka Oditur
Militer dapat secara langsung mengajukan upaya hukum kasasi. Apabila terdakwa
mengajukan banding maka didahulukan pemeriksaan ditingkat banding, permohonan
kasasi oleh Oditur Militer dicatat dalam akta pernyataan kasasi sesuai tenggang
waktu menurut undang-undang. Terhadap putusan bebas berkas akan dikirim ke
Mahkamah Agung setelah turunnya putusan tingkat banding.
5. Dalam pemeriksaan perkara
pidana pengguna nark*tika, hakim harus sungguh-sungguh memperhatikan ketentuan
pasal 183 dan pasal 184 KUHAP bukan semata-mata hanya berdasarkan pada satu
alat bukti yaitu hasil uji laboratorium yang menyatakan urine/darah Terdakwa
positif mengandung zat nark*tika/nark*ba.
E. RUMUSAN HUKUM KAMAR TATA USAHA NEGARA
Perubahan paradigma beracara di
Peradilan Tata Usaha Negara pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP):
1. Kompetensi Peradilan Tata
Usaha Negara:
a. Berwenang mengadili perkara
berupa gugatan dan permohonan.
b. Berwenang mengadili
perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah, yaitu perbuatan melanggar hukum yang
dilakukan oleh pemegang kekuasaan pemerintahan (Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan) yang biasa disebut dengan onrechtmatige
overheidsdaad (OOD).
c. Keputusan tata usaha negara
yang sudah diperiksa dan diputus melalui upaya banding administrasi menjadi
kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara.
Note SHIETRA & PARTNERS: Kaidah dalam Butir
(b) diatas menjadi bentuk keberpihakan Hakim Agung Kamar Tata Usaha Negara.
2. Subjek Gugatan/Permohonan
Pasal 53 ayat (1), Pasal 1
angka 9 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara (Undang-Undang Peratun), dan
Pasal 21 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan:
1) Penggugat/Pemohon : Orang
atau Badan Hukum Perdata, dan Badan/Pejabat Pemerintahan.
2) Tergugat/Termohon:
Badan/Pejabat Pemerintahan.
3) Objek Gugatan/Permohonan:
a. Objek gugatan pada
Pengadilan Tata Usaha Negara meliputi:
1) Penetapan tertulis dan/atau
tindakan faktual.
2) Dikeluarkan oleh
Badan/Pejabat Pemerintahan.
3) Diterbitkan berdasarkan
peraturan perundang-undangan dan/atau asas-asas umum pemerintahan yang baik
(keputusan tata usaha negara dan/atau Tindakan yang bersumber dari
kewenangan terikat atau kewenangan bebas).
4) Bersifat:
- Konkret-Individual (contoh:
keputusan izin mendirikan bangunan, dsb).
- Abstrak-Individual
(contoh: keputusan tentang syarat-syarat pemberian perizinan, dsb).
- Konkret-Umum (contoh: keputusan
tentang penetapan upah minimum regional, dsb).
Note SHIETRA & PARTNERS: Langkah terobosan Hakim Agung Kamar TUN yang
mencoba mencairkan kekakuan dalam hukum sebagaimana rumusan diatas, patut
mendapat apresiasi.
5) Keputusan Tata Usaha Negara
dan/atau Tindakan yang bersifat Final dalam arti luas yaitu
Keputusan Tata Usaha Negara yang sudah menimbulkan akibat hukum meskipun masih
memerlukan persetujuan dari instansi atasan atau instansi lain (contoh:
perizinan tentang fasilitas penanaman modal oleh Badan Koordinasi Penanaman
Modal (BKPM), Izin Lingkungan, dsb).
6) Keputusan Tata Usaha
Negara dan/atau Tindakan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum
(contoh: LHP Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dsb).
b. Keputusan Tata Usaha Negara
dan/atau Tindakan Fiktif-Positif.
c. Keputusan Lembaga Aparat
Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) permohonan pengujian penyalahgunaan
wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan.
4. Pembuktian
Alat bukti yang diatur dalam
Pasal 100 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, ditambah dengan alat
bukti elektronik dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 (Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik) dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam
hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara.
Lebih khusus dasar hukum Kamar
Tata Usaha Negara menggunakan bukti elektronik sebagai bukti yang sah dalam
hukum acara adalah ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
informasi dan Transaksi Elektronik pasal 5 ayat (1) dan (2) : “Informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana
dimaksud ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah dan sesuai hukum
acara yang berlaku di Indonesia”.
5. Putusan Pengadilan Tata
Usaha Negara
Sehubungan dengan gugatan yang
diajukan oleh pihak yang kemudian terbukti tidak memiliki “kepentingan” diputus
dengan amar putusan “menolak gugatan”.
6. Pembatasan Upaya Hukum
Kasasi
Kriteria pembatasan upaya hukum
kasasi dalam Pasal 45A ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 adalah
bagi keputusan pejabat daerah yang berasal dari sumber kewenangan
desentralisasi. Tetapi terhadap keputusan pejabat daerah yang bersumber dari
kewenangan dekonsentrasi ataupun bersumber dari kewenangan perbantuan terhadap
pemerintah pusat (medebewin) tetap bisa dilakukan upaya hukum kasasi.
Catatan Penutup dari SHIETRA
& PARTNERS: Telah terdapat banyak kemajuan serta terobosan oleh Hakim Agung Kamar Perdata
dan TUN. Meski untuk Hakim Agung Kamar Pidana masih kerap membuat kaidah yang
kontroversial seperti halnya berbagai SEMA rumusan rapat pleno sebelumnya. SEMA
ini dapat disebut sebagai tonggak baru era hukum modern yang lebih rasional. SHIETRA
& PARTNERS mengucapkan selamat atas prestasi Mahkamah Agung RI atas
keberaniannya membuat terobosan.
© SHIETRA & PARTNERS Copyright.