KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Putusan Provisi oleh Mahkamah Konstitusi

LEGAL OPINION
Question: Apa Mahkamah Konstitusi dapat diminta untuk mengabulkan permohonan putusan provisionis?
Brief Answer: Tidak terdapat pengaturan jelas dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi RI, namun dalam praktiknya pernah dimohonkan oleh Pemohon dan dikabulkan oleh Majelis Hakim Konstitusi—meski untuk permohonan dalam perkara lainnya sangat jarang dikabulkan.
PEMBAHASAN:
Sejarah mencatat, Mahkamah Konstitusi RI pernah menjatuhkan putusan sela (provisionil) dalam perkara Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), atas permohonan putusan provisi yang diajukan oleh kedua pimpinan KPK pada saat itu, yakni Bibit S. Rianto dan Chandra M. Hamzah, register Nomor 133/PUU-VII/2009 tanggal 29 Oktober 2009, dimana terhadapnya MK RI kemudian membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Bahwa para Pemohon yang menjelaskan kedudukannya dalam permohonan a quo sebagai perorangan warga negara Indonesia yang menjabat Pimpinan KPK Periode 2007-2011 yang diberhentikan sementara berdasarkan Keppres 74/P Tahun 2009 tertanggal 21 September 2009 karena telah dinyatakan sebagai tersangka oleh penyidik Kepolisian Republik Indonesia, mendalilkan Pasal 32 ayat (1) huruf c UU 30/2002 yang berbunyi, “Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi berhenti atau diberhentikan karena: “...c. menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan”, bertentangan dengan UUD 1945 dengan alasan-alasan hukum sebagai berikut:
a. Ketentuan Pasal 32 ayat (1) huruf c UU 30/2002 melanggar asas praduga tidak bersalah yang diakui dalam berbagai peraturan perundang-undangan maupun dalam instrumen hukum internasional tetapi pasal a quo justru menganut asas “praduga bersalah” karena belum diputuskan oleh hakim melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sepanjang yang bersangkutan telah didakwa tetap harus dihukum dalam bentuk pemberhentian dari jabatannya sehingga melanggar hak para Pemohon atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil;
b. Ketentuan Pasal 32 ayat (1) huruf c UU 30/2002 melanggar hak konstitusional para Pemohon atas persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan serta perlakuan yang sama di hadapan hukum karena membedakan perlakuan dalam pemberhentian pejabat negara dari komisi/badan/lembaga negara yang independen yang tersangkut perkara pidana;
c. Ketentuan Pasal 32 ayat (1) huruf c UU 30/2002 telah membuka peluang bagi kekuasaan eksekutif untuk melakukan intervensi terhadap KPK tanpa kontrol dari cabang kekuasaan yudikatif karena pemberhentian secara tetap Pimpinan KPK hanya membutuhkan keputusan Kepolisian Republik Indonesia dan Kejaksaan Republik Indonesia yang di samping berada di bawah kendali Presiden juga merupakan instansi yang menjadi objek supervisi KPK.
“Menimbang bahwa berdasarkan alasan-alasan hukum sebagaimana diuraikan di atas dan dengan mengingat Pasal 58 UU MK, para Pemohon memohon kepada Mahkamah menjatuhkan putusan provisi yang pada pokoknya agar Mahkamah memerintahkan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk menunda pelimpahan perkara dugaan tindak pidana yang melibatkan para Pemohon dan/atau memerintahkan Kejaksaan Agung Republik Indonesia untuk menolak pelimpahan perkara dugaan tindak pidana yang melibatkan para Pemohon dan/atau memerintahkan Kejaksaan Agung Republik Indonesia menunda pelimpahan perkara dugaan tindak pidana yang melibatkan para Pemohon ke pengadilan dan/atau memerintahkan Presiden Republik Indonesia untuk tidak menerbitkan penetapan pemberhentian tetap untuk para Pemohon sampai ada putusan Mahkamah dalam perkara a quo.
“Menimbang bahwa terhadap permohonan provisi para Pemohon dikaitkan dengan dalil-dalil para Pemohon beserta bukti-bukti yang diajukan, Mahkamah berpendapat sebagai berikut.
“Bahwa putusan provisi lazim dikenal dalam praktek hukum acara perdata yaitu permohonan Penggugat kepada pengadilan agar mengeluarkan tindakan hukum sementara dengan maksud untuk mencegah suatu kerugian yang semakin besar bagi penggugat dan memudahkan pelaksanaan putusan hakim jika penggugat dimenangkan, oleh karenanya tindakan sementara ini diperintahkan pelaksanaannya terlebih dahulu sedangkan perkara masih sedang berjalan (Prof. R. Subekti, S.H., Praktek Hukum:71) juncto Pasal 180 HIR.
“Bahwa meskipun pada awalnya permohonan provisi adalah ranah hukum acara perdata, namun hukum acara Mahkamah juga mengatur permohonan provisi dalam perkara sengketa kewenangan lembaga negara sebagaimana dimuat dalam Pasal 63 UU MK yang berbunyi, “Mahkamah dapat mengeluarkan penetapan yang memerintahkan pada pemohon dan/atau termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi”.
“Selain itu, jika diperlukan untuk melindungi hak-hak konstitusional warga negara, Pasal 86 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Penjelasannya memberikan kewenangan kepada Mahkamah untuk mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan jika terjadi kekosongan/kekurangan dalam hukum acara. Dalam praktik selama ini, Mahkamah telah menggunakan Pasal 86 tersebut untuk memutus perkara perselisihan hasil pemilihan umum melalui beberapa putusan sela yang berlaku mengikat dan telah dilaksanakan.
“Tambahan pula, dalam perkara pengujian undang-undang terhadap UUD, berdasarkan Pasal 16 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Pengujian Undang-Undang juga dibuka kemungkinan bagi Mahkamah untuk menerbitkan ketetapan atau putusan di dalam permohonan provisi.
“Menimbang bahwa sesuai dengan kewenangan Mahkamah yang diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yakni, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final diantaranya menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945, Mahkamah tidak hanya bertugas menegakkan hukum dan keadilan tetapi secara preventif juga berfungsi melindungi dan menjaga hak-hak konstitusional warga negara agar tidak terjadi kerugian konstitusional yang disebabkan oleh praktik penyelenggaraan negara yang tidak sesuai dengan UUD 1945.
“Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 58 UU MK yang berbunyi, ”Undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
“Dari ketentuan Pasal 58 UU MK prima facie, Mahkamah tidak berwenang untuk memerintahkan penghentian, walaupun bersifat sementara, terhadap proses hukum yang sedang berlangsung, namun, dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 Mahkamah dapat mengatur pelaksanaan kewenangannya, yaitu berupa tindakan penghentian sementara pemeriksaan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 atau penundaan putusan atas permohonan tersebut apabila permohonan dimaksud menyangkut pembentukan undang-undang yang diduga berkait dengan suatu tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.
“Bahwa Mahkamah secara terus menerus mengikuti perkembangan kesadaran hukum dan rasa keadilan yang tumbuh di masyarakat yang menjadi dasar agar Mahkamah tidak berdiam diri atau membiarkan terjadinya pelanggaran hak konstitusional warga negara. Oleh karenanya, meskipun dalam UU MK tidak dikenal putusan provisi dalam perkara pengujian undang-undang, seiring dengan perkembangan kesadaran hukum, kebutuhan praktik dan tuntutan rasa keadilan masyarakat serta dalam rangka memberikan perlindungan dan kepastian hukum yang adil, Mahkamah memandang perlu menjatuhkan putusan provisi dalam perkara a quo dengan mendasarkan pada aspek keadilan, keseimbangan, kehati-hatian, kejelasan tujuan, dan penafsiran yang dianut dan telah berlaku tentang kewenangan Mahkamah dalam menetapkan putusan sela.
“Menimbang bahwa dalam perkara a quo, terlepas apakah pasal yang dimohonkan pengujian nantinya akan dinyatakan bertentangan atau tidak dengan UUD 1945, Mahkamah memandang terdapat cukup potensi terjadinya pelanggaran atas kepastian hukum yang adil, perlakuan yang sama di hadapan hukum [vide Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945], dan kebebasan dari ancaman dari rasa takut untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi [vide Pasal 28G ayat (1)], sehingga Mahkamah harus memainkan peran yang besar dalam mempertegas dan memberikan rasa keadilan dalam perkara a quo melalui putusan provisi yang selengkapnya akan dimuat dalam amar putusan ini.
“Bahwa proses hukum yang sedang dihadapi oleh para Pemohon adalah proses hukum pidana yang juga menggunakan instrumen hukum pidana yang bukan menjadi ranah kewenangan Mahkamah. Karenanya, Mahkamah tidak berwenang memberikan penilaian terhadap proses hukum yang sedang berjalan sehingga Mahkamah tidak berwenang untuk memerintahkan Kepolisian Negara Republik Indonesia maupun Kejaksaan Agung Republik Indonesia untuk menghentikan sementara proses hukum pidana para Pemohon yang sedang berjalan. Oleh karena itu, Mahkamah tidak dapat mengabulkan permohonan provisi sejauh menyangkut penghentian proses pidana di kepolisian dan kejaksaan.
“Bahwa dalam praktik pemeriksaan perkara pengujian undang-undang seringkali untuk kasus-kasus tertentu dirasakan perlunya putusan sela dengan tujuan melindungi pihak yang hak konstitusionalnya amat sangat terancam sementara pemeriksaan atas pokok pemohonan sedang berjalan.
“Bahwa Mahkamah berpendapat putusan sela perlu untuk diterapkan apabila dengan putusan tersebut tidak akan menimbulkan kerancuan hukum di satu pihak, sementara di pihak lain justru akan memperkuat perlindungan hukum.
“Menimbang bahwa relevansi dan signifikansi diterbitkannya putusan provisi dalam perkara pengujian undang-undang terhadap UUD adalah untuk mencegah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia apabila suatu norma hukum diterapkan sementara pemeriksaan atas pokok permohonan masih berjalan padahal hak-hak konstitusional Pemohon yang dirugikan tidak dapat dipulihkan dalam putusan akhir. Dalam perkara a quo putusan sela diperlukan untuk mencegah kemungkinan kerugian konstitusional para Pemohon apabila menjadi terdakwa karena diberhentikan (tetap) oleh Presiden padahal dasar hukum atau pasal undang-undang tentang itu sedang diperiksa dalam pengujian terhadap UUD 1945 di Mahkamah.
“Menimbang bahwa dalam permohonan provisi para Pemohon memohon, antara lain, agar Mahkamah, “… memerintahkan kepada Presiden Republik Indonesia untuk tidak menerbitkan surat keputusan penghentian terhadap para Pemohon terkait dengan perkara dengan nomor laporan Polisi: No.Pol: LP/482/VIII/2009/Bareskrim tanggal 25 Agustus 2009 yang menyatakan para Pemohon sebagai tersangka setidak-tidaknya sampai adanya Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara a quo yang berkekuatan hukum tetap ...”.
“Menimbang bahwa karena permohonan provisi tersebut terkait dengan pengujian undang-undang, meskipun permohonan beralasan, namun yang dapat dikabulkan oleh Mahkamah hanya menunda penerapan Pasal 32 ayat (1) huruf c juncto Pasal 32 ayat (3) UU KPK oleh Presiden, yakni tindakan administrative berupa pemberhentian Pimpinan KPK yang menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan.
AMAR PUTUSAN
Mengadili
“Mengabulkan permohonan provisi para Pemohon untuk sebagian;
- Sebelum menjatuhkan Putusan Akhir, menyatakan menunda pelaksanaan berlakunya Pasal 32 ayat (1) huruf c dan Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yakni pemberhentian Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan, sampai ada putusan akhir Mahkamah terhadap pokok permohonan a quo;
- Menolak permohonan provisi untuk selain dan selebihnya.”
© SHIETRA & PARTNERS Copyright.