Pidana Kekayaan Negara yang Dipisahkan Pada BUMN/D

LEGAL OPINION
Question: Apa benar, pejabat pada badan usaha milik negara, dapat dikriminalisasi dengan alasan terjadi kerugian usaha? Namanya juga bisnis, bisa untung ya bisa juga merugi.
Brief Answer: Tidak se-ekstrem itu. Selama direksi sebuah Persero atau Badan Usaha Milik Negara / Daerah menerapkan sistem tata kelola yang baik, disertai itikad baik dengan berupaya semampunya menjalankan perusahaan (business judgement rules), tidaklah serta-merta resiko usaha dimaknai sebagai resiko hukum pidana “kerugian negara”. Inilah salah satu paradigma yang perlu diluruskan.
PEMBAHASAN:
Mahkamah Konstitusi RI dalam putusannya atas permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, register nomor 62/PUU-XI/2013 tanggal 3 Februari 2014, dimana pihak Pemohon mendalilkan, akibat kekayaan negara yang ditempatkan pada BUMN dianggap sebagai keuangan negara, menjadikan BUMN sebagai subjek pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Menurut Pemohon, BUMN sebagai badan hukum privat yang berbentuk perseroan terbatas (entitas hukum yang berdiri sendiri), hanya tunduk pada ketentuan hukum mengenai Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas dan Undang-Undang tentang BUMN. Hal ini kian rancu, sementara Mahkamah Konstitusi dalam putusan uji materiil sebelumnya register Nomor 77/PUU-IX/2011 tanggal 25 September 2012 tentang pengujian Undang-Undang Panitia Urusan Piutang Negara, Hakim Konstitusi membuat pernyataan sebagai berikut:
“... Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, Pasal 1 angka 1 dan angka 10 menyatakan bahwa Badan Usaha Milik Negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, yaitu kekayaan negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan penyertaan modal negara pada Persero dan/atau Perum serta perseroan terbatas lainnya.
“Dengan demikian BUMN adalah badan usaha yang memiliki kekayaan terpisah dari kekayaan negara, sehingga kewenangan pengurusan kekayaan, usaha, termasuk penyelesaian utang-utang BUMN tunduk pada hukum perseroan terbatas.”
Pemohon mendalilkan pula, dijadikannya BUMN sebagai subjek terperiksa oleh BPK, mengakibatkan setiap kerugian yang timbul dari resiko aktifitas usaha (business loss) pada BUMN diklasifikasi dalam laporan pemeriksaan BPK sebagai kerugian negara (state loss). Padahal, resiko kerugian dalam setiap pelaku usaha akan selalu inheren dalam setiap kegiatan usaha. Sementara bila merujuk paad Pasal 1 Angka (6) UU Perbendaharaan Negara, piutang BUMN bukanlah piutang negara—sehingga menjadi absurb bila kekayaan BUMN disama-artikan sebagai harta negara.
Dimana terhadap permohonan Pemohon, Mahkamah Konstitusi membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa menurut Mahkamah, pada hakikatnya BUMN, BUMD, atau nama lain yang sejenisnya yang seluruh atau sebagian besar sahamnya merupakan milik negara adalah merupakan kepanjangan tangan negara, dalam hal ini pemerintah atau pemerintah daerah, di bidang perekonomian yang modal atau sahamnya sebagian atau seluruhnya berasal dari keuangan negara yang dipisahkan;
“Menimbang, ... Pemisahan kekayaan negara tidak dapat diartikan sebagai putusnya kaitan negara dengan BUMN, BUMD, atau nama lain yang sejenisnya;
“Menurut Mahkamah, subjek hukum yang dapat menjadi objek pemeriksaan oleh BPK adalah semua lembaga yang mengelola keuangan negara, baik keuangan negara yang dikelola secara langsung maupun keuangan negara yang dipisahkan;
“Pertanyaannya adalah, apakah kekayaan negara yang telah dipisahkan, yang kemudian menjadi modal usaha BUMN dan BUMD tersebut adalah tetap sebagai keuangan negara dan dengan demikian BPK berwenang memeriksanya. Pertanyaan lainnya, apakah dengan demikian secara umum berlaku sistem dan mekanisme Pasal 23 UUD RI 1945, padahal BUMN atau BUMD tersebut adalah entitas usaha, yang dengan demikian kekayaan negara yang telah dipisahkan tersebut bertransformasi menjadi bukan lagi keuangan negara, yang secara konstitusional BPK tidak lagi berwenang memeriksa pengelolaannya, tapi pemeriksa (internal audit) yang berwenang;
“Bahwa, menurut Mahkamah, pemisahan kekayaan negara dimaksud dilihat dari perspektif transaksi bukanlah merupakan transaksi yang mengalihkan suatu hak, sehingga akibat hukumnya tidak terjadi peralihan hak dari negara kepada BUMN, BUMD, atau nama lain yang sejenisnya. Dengan demikian kekayaan negara yang dipisahkan tersebut masih tetap menjadi kekayaan negara.
“Terkait dengan kewenangan BPK untuk memeriksa, menurut Mahkamah, oleh karena masih tetap sebagai keuangan negara dan BUMN atau BUMD sesungguhnya adalah milik negara dan, sebagaimana dipertimbangkan di atas, adalah juga kepanjangan tangan negara maka tidak terdapat alasan bahwa BPK tidak berwenang lagi memeriksanya. Meskipun demikian, supaya BUMN dan BUMD dapat berjalan sesuai dengan prinsip good corporate governance, pengawas internal, selain Dewan Komisaris atau Dewan Pengawas masih tetap relevan;
“Bahwa benar, kekayaan negara tersebut telah bertransformasi menjadi modal BUMN atau BUMD sebagai modal usaha yang pengelolaannya tunduk pada paradigma usaha (business judgement rules), namun pemisahan kekayaan negara tersebut tidak menjadikan beralih menjadi kekayaan BUMN atau BUMD yang terlepas dari kekayaan negara, karena dari perspektif transaksi yang terjadi jelas hanya pemisahan yang tidak dapat dikonstruksikan sebagai pengalihan kepemilikan, oleh karenanya tetap sebagai kekayaan negara dan dengan demikian kewenangan negara di bidang pengawasan tetap berlaku. Meski demikian, paradigma pengawasan negara dimaksud harus berubah, yaitu tidak lagi  berdasarkan paradigma pengelolaan kekayaan negara dalam penyelenggaraan pemerintahan (government judgement rules), melainkan berdasarkan paradigma usaha (business judgement rules).”
Dalam amar putusannya Mahkamah Konstitusi menjatuhkan amar putusan: “Menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.”
Namun, yang menarik ialah, terhadap putusan diatas yang tidak dijatuhkand dengan suara bulat para hakim, terdapat seorang Hakim Konstitusi, yakni Hakim Konstitusi Harjono yang memiliki pendapat berseberangan (dissenting opinion), yang menyebutkan:
“Bahwa terhadap permohonan para Pemohon a quo, sebelum memeriksa pokok perkara, perlu mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut:
“Pasal 1 angka 1 UU BUMN menyatakan, ‘Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.’
“Pasal 1 angka 2 UU BUMN menyatakan, ‘Perusahaan Perseroan, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.’
“Pasal 1 angka 3 UU BUMN menyatakan, “Perusahaan Umum, yang selanjutnya disebut Perum, adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan.’
“Bahwa dengan mendasarkan pada ketentuan tersebut di atas, saya berpendapat, hubungan negara terhadap BUMN (Persero) adalah hubungan kepemilikan sebagai pemegang saham Perseroan Terbatas yang hak dan kewajibannya tunduk pada UU Perseroan Terbatas. Negara tidak lagi mempunyai kekuasaan yang bebas terhadap sebagian kekayaan negara yang dipisahkan untuk menjadi modal perseroan karena telah dikonversi menjadi hak pemegang saham sebagaimana diatur dalam UU Perseroan Terbatas;
“Bahwa, dengan telah dikonversi menjadi kepemilikan pemegang saham dalam persentase yang tercermin sebagai hak suara dalam RUPS dan hak untuk mendapatkan deviden, maka hubungan negara dengan kakyaan yang semula dimilikinya menjadi putus. Apabila negara dalam pembentukan Persero memisahkan kekayaannya yang berupa barang atau benda dengan nilai uang tertentu sebagai modal Persero yang kemudian dikonversi menjadi saham, maka hubungan kepemilikan negara dengan baran atau benda tersebut telah putus, artinya barang atau benda tersebut tidak lagi milik negara tetapi bagian dari harta kekayaan Persero, sebab apabila kepemilikan negara masih tetap melekat, maka negara akan mempunyai dua titel hak atas satu barang atau benda yang sama. Hak pemegang saham menggantikan hak kepemilikan yang sebelumnya dipunyai oleh negara;
“Bahwa, tujuan BUMN adalah untuk mengejar keuntungan, demikian dinyatakan dalam Pasal 1 angka 2 UU BUMN. Undang-Undang tidak menentukan bagaimana caranya untuk mendapatkan keuntungan tersebut karena memang tidak mungkin untuk dirumuskan secara ketat dalam sebuah pasal dengan rinci perihal perbuatan yang dapat mendatangkan keuntungan dan hanya dirumuskan secara umum yaitu dengan melakukan usaha.
“Cara berusaha dapat dilakukan dengan bermacam-macam, seperti usaha perbankan, usaha produksi, usaha perkebunan, usaha perdagangan atau usaha jasa. Dalam berbagai macam usaha itu pun caranya berbeda-beda untuk mendapatkan keuntungan, bahkan satu tindakan yang menguntungkan untuk satu usaha belum tentu menguntungkan untuk usaha yang lain, demikian juga satu tindakan yang sama untuk bidang usaha yang sama tidak selalu mendapatkan hasil yang sama yaitu keuntungan jika saat atau moment tindakan itu berbeda situasinya;
“Bahwa Pasal 5 ayat (1) UU BUMN menyatakan, ‘Pengurusan BUMN dilakukan oleh Direksi.’ Direksi mempunyai kewajiban untuk melakukan pengurusan BUMN, dalam hal ini melakukan suatu usaha. Dalam melaksanakan tugasnya, Direksi melakukan perbuatan korporasi dan yang penting adalah perbuatan korporasi tersebut ditujukan ke luar berdasarkan hak-hak yang telah ditentukan dalam UU BUM. UU Perseroan Terbatas, dan AD/ART BUMN. Hubungan hukum yang dibangun Direksi dengan pihak luar sebagai pihak ke dua adalah berdasarkan perbuatan yang tunduk pada prinsip kesamaan derajat, yaitu otonomi para pihak. Oleh karenanya, bersifat kontraktual sehingga hukum yang berlaku untuk kedua belah pihak adalah hukum perdata biasa;
“Bahwa demi kepastian hukum, pihak ke dua harus dijamin bahwa memang hubungan hukum yang timbul dengan Direksi BUMN adalah hubungan perdata dalam melakukan usahanya. Kedudukan Direksi BUMN berbeda dengan organ pemerintah dalam melakukan perbuatan hukum kepemerintahannya.
“Hubungan antara organ pemerintah dengan pihak ke dua dalam hal warga dalam lapangan pemerintahan adalah hubungan antara ‘overheid’ dengan ‘burger’ yaitu antara penguasa dengan rakyat dan tidak sederajat yang aturannya bukan hukum perdata tetapi hukum administrasi negara;
“Bahwa perbuatan organ pemerintahan termasuk dalam kategori bestuurshandelingen dan bukan privat handelingen yang tunduk hukum perdata. Dalam negara hukum, perbuatan organ pemerintahan tersebut berdasar pada kewenangannya sehingga wetmatigheid menjadi penting. Untuk perbuatan yang ditujukan ke luar, perbuatan organ pemerintah harus berdasar pada Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB) atau Algemene Beginselen van Behoorlijke Bestuurs;
“Bahwa Direksi BUMN secara internal dalam melakukan perbuatan korporasinya tunduk pada business judgement rules (BJR) yang tujuannya adalah supaya perbuatan korporasi yang dilakukannya memenuhi kriteria pengambilan keputusan bisnis yang baik yang tidak akan bertentangan dengan tujuan korporasi yang diwakilinya. Di samping itu BJR juga berfungsi untuk menjaga campur tangan pihak luar bahkan campur tangan pemegang saham perorangan untuk mempengaruhi Direksi dalam pengambilan keputusan yang dapat merugikan kepentingan korporasi;
“Bahwa pengangkatan Direksi didasari pada prinsip fiducia artinya pemegang saham percaya bahwa seseorang mampu untuk melakukan pengurusan pada BUMN tertentu dan calon Direksi mempunyai kebebasan penuh untuk menerima atau menolak kepercayaan tersebut, sedangkan, pengangkatan seseorang untuk jabatan publik lebih bersifat promotif-internal yang disertai dengan persyaratan tertentu. Seseorang diangkat dalam jabatan pemerintahan tertentu diangkat oleh atasannya secara administratif tidak sebagaimana pada pengangkatan Direksi BUMN yang lebih bersifat hubungan kesetaraan. Seorang Direksi dapat dengan bebas mengundurkan diri dari jabatannya tanpa didasari atas suatu kesalahan yang dibuatnya dan pemegang saham dapat secara bebas juga memberhentikan seorang Direksi. Tidak demikian halnya untuk jabatan pemerintahan;
“Bahwa Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 7 UU BUMN telah secara tegas mengatur kewajiban dan tanggung jawab Direksi. Apa yang diatur dalam Pasal 5 ayat (3) UU BUMN secara substantif adalah penerapan BJR yang berlaku secara internal yang wajib dilakukan oleh Direksi. Sebagai perbuatan korporasi, apa yang dilakukan oleh Direksi tidak terhindar dari kemungkinan risiko usaha, artinya meskipun telah menerapkan BJR tidak dapat dipastikan akan mendapatkan keuntungan, bahkan dapat terjadi sebaliknya yaitu menderita kerugian.
“Permasalahannya, bagaimana jika terjadi kerugian akibat suatu perbuatan korporasi yang dilakukan oleh Direksi? Pasal 7 UU BUMN telah jelas mengatur hal tersebut, bahwa, ‘Para anggota Direksi, Komisaris, dan Dewan Pengawas dilarang mengambil keuntungan pribadi baik secara langsung amupun tidak langsung dari kegiatan BUMN selain penghasilan yang sah.’
“Larangan tersebut tidak saja berlaku jika BUMN mengalami kerugian kemudian Direksi mengambil keuntungan pribadi, tetapi juga berlaku saat BUMN memperoleh keuntungan dengan tetap melarang para anggota Direksi, Komisaris, dan Dewan Pengawas untuk mengambil keuntungan pribadi baik langsung maupun tidak langsung. Direksi hanya berhak atas penghasilan yang sah saja;
“Bahwa ketentuan lain yang memberikan ancaman pidana kepada Anggota Komisaris, Dewan Pengawas, Direksi, dan Karyawan BUMN adalah sebagaimana diatur dalam psal 89 UU BUMN yang menyatakan, ‘Anggota Komisaris, Dewan Pengawas, Direksi, karyawan BUMN dilarang untuk memberikan atau menawarkan atau menerima, baik langsung maupun tidak langsung, sesuatu yang berharga kepada atau dari pelanggan atau seorang pejabat pemerintah untuk mempengaruhi atau sebagai imbalan atas apa yang telah dilakukannya dan tindakan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.’
“Bahwa Pasal 71 UU BUMN menyatakan sebagai berikut:
(1) Pemeriksaan laporan keuangan Perseroan dilakukan oleh auditor eksternal yang ditetapkan oleh RUPS untuk Persero dan oleh Menteri untuk Perum.
(2) Badan Pemeriksa Keuangan berwenang melakukan pemeriksaan terhadap BUMN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum di atas, saya berpendapat bahwa kewenangan BPK untuk melakukan pemeriksaan sebagaimaan disebutkan oleh ketentuan di atas haruslah didasarkan atas norma pemeriksaan yang berlaku dalam sebuah Perseroan Terbatas untuk BUMN Persero dan tidak berdasarkan pada norma pemeriksaan keuangan pada instansi pemerintahan. BUMN Persero sebagai badan hukum perdata yang tunduk pada ketentuan yang berlaku pada Perseroan Terbatas memberi kedudukan yang sangat kuat kepada RUPS sebagai forum pemberian keputusan tertinggi.
“Sebagai pemegang saham BUMN, Negara akan menunjukkan wakilnya dalam RUPS. Dengan demikian, seharusnya kepentingan negara benar-benar dibawakan oleh mereka yang mewakili negara tersebut dalam pengambilan keputusan di RUPS Persero. UU BUMN menyebutkan bahwa pada BUMN yang sahamnya dimiliki oleh negara sepenuhnya, wakil pemegang sahamnya adalah Menteri BUMN, artinya negara hanya diwakili oleh seorang saja.
“Saya berpendapat, bahwa negara sebagai pemegang saham seluruh saham dalam sebuah BUMN yang hanya diwakili oleh satu orang sangatlah tidak memadai, apalagi ketentuan ini berlaku untuk seluruh BUMN. Stakeholder BUMN sangatlah banyak dan pengelolaan BUMN diperlukan transparansi. Oleh karenanya, tidaklah cukup RUPS hanya berada di satu tangan saja;
“Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum di atas, saya berpendapat, bahwa permohonan para Pemohon seharusnya dikabulkan untuk sebagian dengan memberikan tafsir konstitusional khususnya terhadap frasa ‘Badan Usaha Milik Negara’ dalam Pasal 6 ayat (1), Pasal 9 ayat (1) huruf b, dan Pasal 11 huruf a UU BPK dan frasa ‘BUMN/BUMD’ dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (3) UU BPK dengan menyatakan bahwa, ‘BPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya untuk memeriksa BUMN/BUMD Persero didasarkan atas norma pemeriksaan keuangan yang berlaku sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang Perseroan Terbatas dan tidak didasarkan pada norma pemeriksaan keuangan pada instansi pemerintah.”
Sekalipun telah diuraikan dissenting opinion Hakim Konstitusi Harjono, Mahkamah Konstitusi RI belum juga membuat langkah korektif dalam putusannya atas permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, register nomor 48/PUU-XI/2013 tanggal 18 September 2014, membuat pertimbangan hukum yang mengutip pernyataan penafsiran otentik mengenai frasa “kerugian negara” dari sudut pandang pihak pemerintah, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah memberikan keterangan yang pada pokoknya menerangkan bahwa berdasarkan notulen pembahasan amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang dimaksud dengan keuangan negara pada Pasal 23 ayat (1) bukannya hanya APBN, tetapi mencakup pula keuangan daerah, kekayaan negara yang dipisahkan pada BUMN, BUMD, serta kekayaan negara lainnya. Dengan demikian, APBN bukanlah merupakan satu-satunya wujud pengelolaan negara;
“Dalam melaksanakan pemeriksaan, BPK membedakan secara tegas atas kerugian BUMN yang timbul karena resiko bisnis dan kerugian BUMN  yang timbul karena perbuatan melawan hukum. Kerugian BUMN yang timbul karena adanya perbuatan melawan hukum inilah yang disebut sebagai kerugian negara.
Adapun kerugian BUMN yang timbul karena risiko bisnis tidak disebut sebagai kerugian negara, tetapi sebagai kerugian bisnis.”
Selanjutnya, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Berdasarkan uraian tersebut maka BHMN PT, badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha milik daerah (BUMD), atau nama lain, atau yang lebih khusus lagi yang menyelenggarakan amanah konstitusional dalam Pasal 31, Pasal 32, dan Pasal 33 UUD RI 1945 adalah sebagai kepanjangan tangan dari negara dalam menjalankan sebagian dari fungsi negara untuk mencapai tujuan negara, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, atau memajukan kesejahteraan umum.
“Oleh karena itu, dari perspektif modal badan hukum, atau nama lain yang sejenis, yang menjalankan sebagian dari fungsi negara tersebut, keuangan yang menjadi modalnya sebagian atau seluruhnya berasal dari keuangan negara. Dari perspektif ini dan fungsi badan hukum dimaksud tidak dapat sepenuhnya dianggap sebagai badan hukum privat.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.