Makna Pidana Denda dengan Kurungan Pengganti

LEGAL OPINION
Question: Apa yang dimaksud dengan pidana kurungan pengganti?
Brief Answer: Pidana kurungan pengganti merupakan “sanksi tambahan” dalam hukum pidana, yang dijatuhkan oleh pengadilan, dengan suatu sifat fakultatif, dalam arti terdapat alternatif bagi terpidana untuk memilih, apakah akan membayar sejumlah sanksi denda atau akan diganti dengan hukuman kurungan bila denda tersebut tidak dibayarkan. Lamanya kurungan pengganti ditentukan oleh Majelis Hakim dalam rumusan amar putusannya.
Meski demikian, terdapat kontradiktif dalam stelsel pemidanaan “denda dengan hukuman pengganti” ini. Disatu sisi, tujuan denda dengan pidana pengganti ini bertujuan untuk membuat efek jera, namun untuk kasus seperti korupsi maupun penggelapan, sering terjadi bahwa terpidana membayar pidana denda dengan dana yang justru didapatkan olehnya bersumber dari hasil korupsi ataupun penggelapan, bukan dari kekayaan pribadi sang pelaku.
Khusus untuk Tindak Pidana Korupsi (Korupsi), sudah selayaknya sanksi “denda dengan kurungan pengganti” ini dihapus, dan hanya dibolehkan pidana tambahan berupa hukuman untuk mengembalikan dana hasil korupsi. Sanksi tambahan berupa pengembalian dana hasil korupsi, bukanlah jenis pidana kurungan pengganti, karena terpidana yang tidak bersedia mengembalikan dana hasil korupsi tidak mendapat keistimewaan berupa kurungan pengganti, namun “dimiskinkan” secara tanggung renteng.
PEMBAHASAN:
Salah satu ilustrasi sanksi tambahan “denda dengan kurungan pengganti” akan SHIETRA & PARTNERS angkat putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi Maluku register Nomor 08/PID.TIPIKOR/2013/PT.MAL tanggal 03 April 2013, dimana dalam Dakwaan Primair terdakwa dituntut telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara yang dilakukan secara berturut-turut yang ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Dalam Dakwaan Subsidair, Jaksa menuntut bahwa terdakwa telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara yang dilakukan secara berturut-turut yang ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Terhadap tuntutan tersebut, Pengadilan Negeri Ambon telah menjatuhkan Putusan sebagai berikut:
1. Menyatakan Terdakwa HENDRIK J.M ORAPLEAN telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Korupsi”;
2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu terhadap Terdakwa HENDRIK J.M ORAPLEAN dengan pidana penjara selama 1 (satu) TAHUN dan 4 (empat) BULAN dan pidana denda sebesar Rp.50.000.000,- (Lima Puluh Juta Rupiah) dengan ketentuan apabila pidana denda tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) BULAN;
3. Menetapkan masa tahanan kota yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari masa pidana penjara yang dijatuhkan;
4. Menghukum terdakwa HENDRIK J.M ORAPLEAN untuk membayar uang pengganti sebesar Rp.148.500.000.- (seratus empat puluh delapan juta lima ratus ribu rupiah) paling lama 1 (satu) bulan setelah Putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, apabila Terdakwa tidak membayarnya maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa Penuntut Umum dan dilelang untuk menutupi uang pengganti dan apabila harta bendanya tidak mencukupi maka akan diganti dengan pidana penjara selama 1 (satu) BULAN.”
Terdakwa mengajukan upaya hukum banding, dimana terhadapnya Pengadilan Tinggi membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
 “Menimbang, bahwa, setelah Pengadilan Tinggi mempelajari dengan seksama berkas perkara dan turunan resmi Putusan Pengadilan Negeri Ambon tanggal 9 Oktober 2012, Nomor: 505/Pid.B/2011/PN.AB dan Memori banding dari Penasehat Hukum Terdakwa, maka majelis hakim Pengadilan Tinggi pada pokoknya sependapat dengan pertimbangan-pertimbangan hukum dari Majelis Hakim Tingkat Pertama tersebut, akan tetapi tidak sependapat dengan cara mempertimbangkan bentuk dakwaan subsidaritas dari pertimbangan hukum Majelis hakim tingkat pertama tersebut, dan dipandang perlu untuk dilakukan perbaikan dalam pertimbangan hukum dan amar putusan yang selengkapnya sebagaimana tersebut dibawah ini:
“Menimbang, bahwa terdakwa telah diajukan kemuka persidangan dengan dakwaan berbentuk Subsidaritas yaitu:
- Dakwaan Primair; melanggar pasal 2 (1) jo pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP jo. Pasal 64 ayat 1 KUHP.
- Dakwaan Subsidair; melanggar pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP jo. Pasal 64 ayat 1 KUHP.
“Menimbang, bahwa oleh karena terdakwa didakwa dengan dakwaan dalam bentuk subsidaritas, maka dakwaan primair haruslah dibuktikan terlebih dahulu, jika tidak terbukti barulah dakwaan subsidair yang harus dibuktikan, dan sebaliknya apabila dakwaan primair terbukti, maka dakwaan subsidair tidak perlu dibuktikan lagi.
“Menimbang, bahwa majelis hakim Pengadilan Tinggi tidak sependapat dengan pertimbangan Majelis Hakim tingkat pertama yang membaca dan mempertimbangkan dakwaan Subsidaritas sebagai dakwaan Alternatif, karena telah menyalahi hukum acara pembuktian Surat dakwaan.
“Menimbang, bahwa untuk membuktikan dakwaan primair telah terpenuhi, maka haruslah dibuktikan semua unsur yang ada dalam pasal yang didakwakan.
“Menimbang, bahwa dalam dakwaan Primair yaitu melanggar pasal 2 (1) jo. Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP jo. Pasal 64 ayat 1 KUHP, yang mana salah satu unsur yang esensial dari pasal 2 ayat 1 tersebut yaitu Unsur Melawan Hukum.
“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta dalam persidangan yang mana terdakwa HENDRIK J.M.ORAPLEAN selaku Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), tidak tepat dibuktikan telah melakukan perbuatan melawan hukum, tetapi yang lebih tepat dan terbukti adalah unsur menyalah gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan terdakwa HENDRIK J.M. ORAPLEAN selaku Anggota DPRD.
“Menimbang, bahwa karena salah satu unsur dakwaan primair tidak terbukti, maka haruslah terdakwa dibebaskan dari dakwaan Primair tersebut, dan selanjutnya akan dipertimbangkan dakwaan Subsidair yaitu melanggar pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP jo. Pasal 64 ayat 1 KUHP.
“Menimbang, bahwa setelah Majelis hakim Pengadilan Tinggi mempelajari dengan seksama pertimbangan dari Putusan pengadilan tingkat Pertama dalam pertimbangan hukumnya tentang perbuatan terdakwa yang telah terbukti dalam perkara aquo, sudah tepat dan benar, oleh karena itu diambil-alih dan dijadikan sebagai pendapat sendiri oleh majelis hakim Pengadilan tinggi dalam memeriksa dan memutus perkara ini dalam tingkat banding.
“Menimbang, bahwa dengan demikian Majelis hakim pengadilan tingkat banding sependapat jika yang terbukti adalah dakwaan Subsidair yaitu melanggar pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP jo. Pasal 64 ayat 1 KUHP.
“Menimbang, bahwa mengenai pidana yang telah dijatuhkan oleh majelis hakim Pengadilan Tingkat Pertama, menurut majelis hakim Pengadilan Tinggi terlalu ringan, akan menjadi adil apabila terdakwa dipidana seperti tersebut dalam amar putusan dibawah ini;
“Menimbang, bahwa pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa tidak hanya untuk mendidik terdakwa sendiri, tetapi juga sebagai pedoman bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang lainnya agar tidak berbuat serupa dengan terdakwa.
“Menimbang, bahwa, terdakwa sebagai Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang seharusnya memperjuangkan kepentingan/kesejahteraan rakyat di daerahnya, tetapi terdakwa justru sebaliknya yaitu melakukan korupsi, yang berakibat dapat menyengsarakan kehidupan rakyat.
“Menimbang, bahwa perbuatan korupsi yang dilakukan oleh terdakwa adalah termasuk kejahatan luar biasa, yang mendapat perhatian khusus dari masyarakat dan pemerintah, sehingga perlu dijatuhi hukuman yang membuat efek jera bagi pelakunya.
“Menimbang, bahwa oleh karena itu pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa haruslah setimpal dan adil sesuai dengan perbuatannya.
“Menimbang, bahwa masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa akan dikurangkan seluruhnya dengan pidana yang dijatuhkan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka Majelis Hakim Pengadilan Tinggi berpendapat bahwa terhadap putusan Pengadilan Negeri Ambon tanggal 9 Oktober 2012 Nomor: 505/Pid.B/2011/PN.AB, dapat dikuatkan dengan perbaikan pertimbangan hukum dan pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa, dan amar putusan yang selengkapnya adalah sebagaimana tersebut dibawah ini.
M E N G A D I L I
“Menerima permintaan banding dari Penasehat Hukum Terdakwa;
“Mengubah Putusan Pengadilan Negeri Ambon, tanggal 9 Oktober 2012, Nomor 505/Pid.B/2011/PN.AB, mengenai amar putusannya, sehingga selengkapnya sebagai berikut;
MENGADILI SENDIRI :
1. Menyatakan Terdakwa HENDRIK J.M.ORAPLEAN tersebut tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan primair;
2. Membebaskan terdakwa oleh karena itu dari dakwaan primair tersebut;
3. Menyatakan Terdakwa HENDRIK J.M.ORAPLEAN tersebut terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ”Korupsi yang dilakukan secara bersama-sama dan berlanjut”;
4. Menjatuhkan pidana oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan, dan pidana denda sebesar Rp.50.000.000 (lima puluh juta rupiah), dengan ketentuan apabila pidana denda tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan;
5. Menetapkan agar masa Penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa, akan dikurangkan seluruhnya dengan pidana yang dijatuhkan;
6. Menghukum Terdakwa HENDRIK J.M.ORAPLEAN untuk membayar uang pengganti sebesar Rp. 148.500.000,- (seratus empat puluh delapan juta lima ratus ribu rupiah) paling lama 1 (satu) bulan setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap, apabila Terdakwa tidak membayarnya maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa Penuntut Umum dan di lelang untuk menutupi uang pengganti, dan apabila harta bendanya tidak mencukupi, maka akan diganti dengan pidana penjara selama 1 (satu) bulan.”
Bila melihat rumusan amar putusan diatas, sejatinya menjadi sumir, antara perbedaan “denda” dengan “uang pengganti” yang sama-sama dilekati embel-embel “pengganti kurungan/penjara”. Absurb, serta membingungkan.
Namun yang paling menarik dari kasus ini, upaya banding yang diajukan terdakwa justru berbuah pahit dan menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Perlu dipahami oleh setiap terpidana, tidak selamanya upaya hukum dalam kasus pemidanaan akan ditafsirkan memihak kepada pihak yang mengajukan banding ataupun kasasi.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.