Akibat Membuka Ruang / Celah Kesalahan

LEGAL OPINION
Question: Pak Hery (dari SHIETRA & PARTNERS) menyebutkan agar tidak membuka ruang kesalahan. Maksudnya apa?
Brief Answer: Celah ruang kesalahan yang kita buka atau buat sendiri, dapat sewaktu-waktu menjadi bumerang bagi diri kita. Untuk itu, pastikan setiap warga negara menghormati hak-hak warga negara lain, tidak merugikan baik secara moril maupun materiel, serta telah menaati seluruh kaidah hukum negara yang berlaku.
PEMBAHASAN:
Untuk lebih memperjelas, mungkin lewat beberapa ilustrasi berikut akan dapat memberi gambaran. Seorang pemilik rumah membongkar rumahnya hingga kerangka beton dirubuhkan sepenuhnya. Kegiatan tersebut membuat kegaduhan bagi tetangga yang berbatasan dengan rumah yang dibongkar. Alhasil, aktivitas bongkar bangun rumah menimbulkan ketidaknyamanan bagi tetangganya.
Namun, pelaku renovasi rumah tidak pernah sebelumnya mengkomunikasikan rencana ataupun tindakannya pada sang tetangga. Kegiatan roboh dan bangun rumah dilakukan, dan sepanjang itu pula berbagai kerusakan dan kekotoran dialami kediaman sang tetangga.
Merasa dizolimi, sang tetangga menegur aktivitas bongkar bangun yang gaduh menimbulkan kerusakan pada tembok serta property milik sang tetangga ini. Namun tetap saja yang pelaku bongkar bangun rumah bersikap masak bodoh, bahkan dengan arogan bersikap menjadi-jadi.
Kesalahan pertama telah diciptakan sendiri oleh sang pelaku: rencana hingga aktivitas bongkar bangun rumah dilakukan tanpa terlebih dahulu dilakukan pemberitahuan dan tanpa seizin dari sang tetangga.
Kesalahan kedua yang terjadi: sang pelaku bongkar bangun rumah tidak memiliki Izin Mendirikan bangunan (IMB). Namun, sang pelaku merasa hebat, merasa selalu benar, merasa tidak tersentuh hukum, kebal oleh kekuatan materi yang dimilikinya, alhasil terus melakukan bongkar bangun dengan sikap pongahnya.
Sang tetangga hanya mampu bersikap pasrah menghadapi arogansi pelaku bongkar muat yang semakin besar kepala. Sang tetangga mencoba melaporkan kepada Dinas Perumahan dan Pemukiman Pemerintah Daerah setempat, namun tidak ditanggapi sebagaimana mestinya. Kultur aparatur birokrasi pegawai negeri di Indonesia masih bersifat “makan gaji buta”, alias digaji hanya untuk memeras dan memungli warga pembayar pajak yang seharusnya mereka layani.
Bukan hanya terjadi kesalahan kedua, namun pelaku kesalahan pun menjadi berganda: sang pelaku bongkar muat, sekaligus tersangkut pula sikap abai atau absennya peran negara dalam memberi perlindungan terhadap warga negaranya.
Jika sang tetangga berkonsultasi kepada seorang sarjana hukum: Apakah bisa sang pelaku bongkar bangun rumah tersebut digugat?
Jawabnya: Bisa, dan dipastikan menang, bila mengingat fakta hukum yang terjadi lengkap dengan dua kesalahan yang tak dapat lagi dipungkiri sebagaimana telah diurai diatas.
Struktur gugatan yang kemudian disusun, ialah menjadikan pihak sang pelaku bongkar-bangun rumah sebagai tergugat, disertakan pula pihak Pemda cq. Dinas Perumahan dan Pemukiman, karena telah lalai menjalankan tugas amanat dan perannya menertibkan serta untuk memberi perlindungan disamping pengayoman bagi warga negaranya.
Bila pengadilan mendapati fakta hukum, bahwa: aktivitas terjadi tanpa komunikasi apapun terhadap para tetangganya, juga tanpa mengantungi IMB, maka sang pelaku bongkar-bangun tak lagi dapat berkelit. Perbuatan melawan hukum bukan hanya merupakan jenis pelanggaran hukum keperdataan yang bersifat materiel semata, kerugian moril seperti kegaduhan yang menimbulkan hilangnya kedamaian dan ketenangan hidup, dapat diminta sebentuk ganti-rugi kepada pengadilan. Bongkar bangun rumah bukanlah urusan sepele semacam renovasi belaka. Disini terjadi pengabaian komunikasi etis serta sikap congkak yang merasa kebal hukum.
Pelaku pelanggar kedua, tidak lain ialah pihak Pemda cq. Dinas Perumahan dan Pemukiman itu sendiri, yang karena lalai dan abai, dapat dihukum untuk diperintahkan agar memerintahkan pembongkaran secara paksa bangunan ilegal tersebut. Bahkan Penggugat dapat meminta majelis hakim agar melarang “pemutihan” proses pembangunan secara melawan hukum tersebut. Kemenangan semacam ini sudah dapat diprediksi akan dikabulkan oleh Majelis Hakim.
Karena pihak tergugat itu sendiri yang membuka ruang kesalahan—Inilah salah satu kelebihan utama hidup di negara hukum. Masalahnya, ialah kembali pada perihal penegakan hukum, apakah konsisten atau tidak ditegakkan oleh aparatur yang berwenang. Itu yang menjadi masalah utama, yakni budaya hukum yang sakit.
Sekadar memberi gambaran contoh lain, sebagaimana kerap SHIETRA & PARTNERS jumpai dalam praktik, ialah sebuah grub usaha yang memekerjakan seorang / para pegawainya pada berbagai anak usaha miliknya, bahkan tak jarang terjadi dibebankan tanggung jawab untuk puluhan anak usaha miliknya, sementara sang pegawai hanya tercatat dan mendapat upah dari satu badan hukum perseroan terbatas.
Praktik pemerasan sumber daya manusia seperti contoh kasus diatas, marak terjadi, akibat lemahnya pengawasan Dinas Tenaga Kerja. Pada prinsipnya, satu badan hukum adalah satu entitas hukum yang berdiri sendiri, sehingga karyawan pada badan hukum tersebut berhak menolak bila diberi tanggung jawab untuk berbagai badan hukum lainnya. Grub usaha bukanlah badan hukum.
Karyawan / pegawai yang menolak untuk dibeban-tugaskan secara tidak manusia demikian, diancam akan dipecat bila tak menuruti perintah pemilik sang grub usaha. Ketika dirinya benar-benar di-putus hubungan kerja (PHK), dengan alasan melawan perintah atasan, maka sang pekerja/buruh berhak menggugat ke Pengadilan Hubungan Industrial dengan kompensasi sebesar 2 (dua) kali ketentuan pesangon normal—hal ini sudah dapat diprediksi sebagai sebentuk kepastian putusan lembaga pengadilan atas sengketa hubungan industrial dengan karakter jenis eksploitasi sumber daya manusia tersebut.
Atau, pada contoh lain, pihak pengusaha dengan seenaknya memutasi karyawannya dari satu badan hukum ke badan hukum lain, dengan alasan: masih satu grub usaha. Perbuatan sewenang-wenang demikian, menimbulkan hak bagi pekerja yang berkeberatan dimutasi untuk menggugat dan meminta pesangon 2 (dua) kali ketentuan normal. Hal ini sudah dapat diprediksi sebagai suatu kepastian hukum yang timbul akibat perbuatan sewenang-wenang yang tidak dilandasi kesepakatan maupun itikad baik dari pihak pengusaha.
Selama suatu pihak membuka ruang kesalahan, tidak dapat pula pihak tersebut meminta pertanggungjawaban pihak lain ketika pihak lain kemudian turut melakukan kesalahan sebagai reaksinya. Asas resiprositas/resiprokal berlaku dalam setiap sendi negara berhukum.
Contoh, dua pihak saling mengikatkan diri dalam suatu hubungan kontraktual. Ketika satu pihak sebagai pengguna jasa, tak juga membayar sejumlah biaya atas jasa layanan sebagaimana disepakati sebelumnya, maka tak menimbulkan kewajiban apapun bagi pihak pemberi layanan jasa untuk merahasiakan data terkait sang klien. Sang klien selaku pengguna jasa yang wanprestasi, tak dapat menggugat sang pemberi jasa dengan alasan telah membocorkan rahasia dirinya. Ruang kesalahan yang dibuka dan diciptakan sendiri, sejatinya menutup hak dirinya untuk menuntut prestasi ataupun penghormatan dari pihak lain. Bahkan dapat disebutkan sebagai menutup haknya sendiri untuk mengajukan gugatan, karena sama artinya akan membuka “aib/borok” dirinya sendiri.
Warga negara yang baik hendaknya saling menghormati hak dan kewajiban masing-masing satu sama lain. Warga negara yang baik menyadari, bahkan bukan hanya dirinya yang berhak atas hidup yang baik, namun setiap warga negara berhak atas hidup yang baik pula sebagaimana dirinya sendiri berekspektasi untuk memiliki hidup yang baik.
Seorang pemilik tempat usaha, tidaklah dilarang berusaha, sepanjang usahanya tidak mengganggu ataupun merugikan pengguna jalan, penduduk setempat, ataupun pihak lainnya yang terkait kegiatan usaha tersebut.
Alangkah indahnya SHIETRA & PARTNERS mengutip ketentuan yang tercantum dalam ketentuan UUD RI 1945 berikut guna sebagai pengingat kembali bagi kita untuk bersikap mawas diri, menghindari diri dari membuat / membuka celah kesalahan. Hendaknya kita tidak lagi mengagungkan hak asasi manusia yang telah cenderung kebla-blasan, namun kewajiban asasi manusia, sebagaimana tersirat dalam kaidah berikut dibawah ini:
Pasal 28J UNDANG - UNDANG DASAR REPUBLIK INDONESIA 1945
1. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
2. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokaratis.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.