MALA IN SE Versus MALA PROHIBITA

ARTIKEL HUKUM
Sesuatu disebut “jahat”, karena ia memang berkarakter “jahat” secara natural-iahnya, atau “jahat” karena hukum negara mengaturnya sebagai perbuatan “jahat”? Demikian kerap kali celah hukum dijadikan sebagai isu klasik yang tak henti diperdebatkan. Hukum menjadi panglima, diluar hukum berarti adalah suatu kebolehan sekalipun tak lolos uji moril.
Meski hukum memiliki asas fiksi berbunyi: semua orang dianggap tahu hukum, namun secara rasional asas hukum demikian adalah absurb adanya. Bahkan seorang hakim dan sarjana hukum tak mampu mengetahui segala hukum positif yang berlaku di suatu negara.
Para warga negara menyadari (sense) suatu keberlakuan hukum, ialah berdasarkan watak kemanusiaan sebagai bangsa beradab, dimana pembunuhan, pemerasan, korupsi, pencurian, penelantaran, penipuan, adalah jahat adanya—diatur atau tidaknya perbuatan tersebut dalam kitab hukum pidana. Warga masyarakat tersebut tidak pernah membaca Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, namun semua orang tahu perbuatan demikian adalah patut dan wajib diberi sanksi hukum secara tegas dan keras. Inilah yang dalam kamus hukum dikenal dengan istilah “mala in se”.
Makna dari terminologi hukum “mala in se”, sebagaimana dikutip dari Wikipedia: (https://en.wikipedia.org/wiki/Malum_in_se)
Malum in se (plural mala in se) is a Latin phrase meaning wrong or evil in itself. The phrase is used to refer to conduct assessed as sinful or inherently wrong by nature, independent of regulations governing the conduct. It is distinguished from malum prohibitum, which is wrong only because it is prohibited.
“For example, most human beings believe that murder, rape, and theft are wrong, regardless of whether a law governs such conduct or where the conduct occurs, and is thus recognizably malum in se. In contrast, malum prohibitum crimes are criminal not because they are inherently bad, but because the act is prohibited by the law of the state. For example, law in the United States require drivers to drive on the right side of the road. This is not because driving on the left side of a road is considered immoral, but because consistent rules promote safety and order on the roads.
“Another way to describe the underlying conceptual difference between ‘malum in se’ and ‘malum prohibitum’ is ‘iussum quia iustum’ and ‘iustum quia iussum’, namely something that is commanded (iussum) because it is just (iustum) and something that is just (iustum) because it is commanded (iussum).”
Sebaliknya, Legal Information Institute memberikan kutipan pernyataan yang menarik mengenai apa yang disebut “mala prohibita”: (https://www.law.cornell.edu/wex/malum_prohibitum)
Malum Prohibitum. An act which is immoral because it is illegal; not necessarily illegal because it is immoral. See, e.g. United States v. Bajakajian, 524 U.S. 321 (1998).”
Senada dengan itu, Legal Dictionary memberi makna Mala Prohibita sebagai: (http://legal-dictionary.thefreedictionary.com/malum+prohibitum)
Malum Prohibitum. Latin meaning ‘wrong due to being prohibited,’ which refers to crimes made so by statute, compared to crimes based on English Common Law and obvious violations of society's standards which are defined as ‘malum in se.’ Statutory crimes include criminal violations of regulatory acts, ‘white collar crimes’ such as improper use of insider information, issuance of stocks without a permit which are intentionally not supported by real assets, and tax avoidance.”
Wikipedia memberikan doktrin mengenai distingsi antara “kejahatan yang dasariahnya buruk” dengan “kejahatan berdasarkan hukum negara”, sebagai berikut: (https://en.wikipedia.org/wiki/Malum_prohibitum)
“Criminal offenses can be broken down into two general categories malum in se and malum prohibitum. The distinction between malum in se and malum prohibitum offenses is best characterized as follows: a malum in se offense is ‘naturally evil as adjudged by the sense of a civilized community,’ whereas a malum prohibitum offense is wrong only because a statute makes it so. State v. Horton, 139 N.C. 588, 51 S.E. 945, 946 (1905).”
Secara lebih mendalam, Duhaime's Law Dictionary menguraikan: (http://www.duhaime.org/LegalDictionary/M/Malumprohibitum.aspx)
“Malum prohibitum are acts which are illegal that are not inherently wrong but are so because they are prohibited by society in order to advance some reason of public policy.
“As Judge Jackson of the Saskatchewan Provincial Court proposes in Doepker Industries v Chetty, acts which are malum prohibitum are, ‘unlawful because prohibited by statute’.
“Malum prohibitum acts are generally less serious than those crimes which are mal in se.
“Example of an act that are malum prohibitum are plentiful: copyright infringement, speeding, etc.
“Or possession of a firearm as Justice MacFarland of the Ontario Court of Appeal wrote, in R. v. Rattray:
‘An assault, such as (a) grievous one ... is an act malum in se. The mere possession of a firearm is an act which may be perfectly legal or subject to varying degrees of regulation. It is not wrong by its very nature.’
“The classic distinction between mal in se and malum prohibitum is fading, as explained by Justice Hutcheon of the British Columbia Court of Appeal in R. v. Adkins:
‘In the early days, the courts distinguished for this purpose between an act that was malum in se and one that was malum prohibitum. Not much has been heard of this qualification in later English law, because it is generally agreed that the distinction between mala in se and mala prohibita is of doubtful philosophic validity ... Sometimes the cases say that the act must be malum in se and not merely malum prohibitum.
‘This test no longer seems useful, as not all persons agree on what acts are intrinsically wrong.’”
Richard L. Gray, dalam artikelnya berjudul “Eliminating the (Absurd) Distinction Between Malum In Se and Malum Prohibitum Crimes”, Volume 73. Washington University Law Review, (1995) Page 1395—1394, menguraikan:
“Examining whether a crime is malum in se or malum prohibitum should play no part in the administration of criminal justice. These terms denote whether a crime is morally wrong. Today, it is easier to distinguish between moral wrongs and legal wrongs. The moral and legal systems are two distinct checks on human behavior. The moral system keeps human behavior in check internally, through informal social mechanisms. The legal system keeps human behavior in check externally, through the formal social mechanisms that govern the administration of ‘justice’-whether the offending behavior is murder or a parking violation.
“If the answer to the question, ‘Why is murder wrong?,’ is that, ‘It just is,’ no rational basis supports the response. The response is most easily explained as a manifestation of individual morality.”
Konsep mengenai “mala in se”, berkembang dalam konteks Perbuatan Melawan Hukum Perdata. Namun demikian, dalam praktik hukum pidana materiil di Indonesia, konsep tersebut masih belum dibuka ruang untuk diterapkan, dikarenakan keberlakuan secara kaku ketentuan Pasal 1 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana:
“Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.”
Namun, yang menjadi masalah paling utama yang belum terpecahkan oleh doktrinal hukum hingga saat ini, ialah pertanyaan besar: apakah dapat dibenarkan terbentuknya “mala prohibita” yang mana perbuatan yang diaturnya tersebut secara hakekatnya bahkan tidak dapat dikategorikan sebagai “mala in se” ?
Sebagai contoh, memberi derma pada gelandangan, merupakan perbuatan baik, maka ia bukan termasuk dalam kategori “mala in se”. Maka menjadi suatu dilematika, apakah dapat pemerintah membentuk regulasi, yang mengatur larangan bagi warga negara untuk memberi dana bagi para gelandangan di jalanan?
Praktis, selama ini perbenturan konsepsi mengenai “mala in se” dengan “mala prohibita” hanya dapat dielaborasi secara bebas oleh Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi dalam perkara permohonan uji materiil suatu peraturan perundang-undangan.
Namun, bukan berarti tertutup kemungkinan bagi hakim peradilan umum untuk mengelaborasi konsepsi hukum yang telah dikenal luas dalam kancah hukum internasional ini. Sebagai ilustrasi, dapat kita jumpai putusan Pengadilan Negeri Langsa register perkara pidana Nomor 243/Pid.B/2013/PN-LGS tanggal 24 Februari 2014 yang membuat pertimbangan hukum:
“Menimbang, bahwa dalam mengadili sebuah perkara, secara yurudis hakim terlebih dahulu harus mengkonstatir, mengkualifisir, dan mengkonstituir dari fakta hukum secara keseluruhan. Mengkonstatir artinya menilai apakah peristiwa yang diajukan benar merupakan perkara hukum bila jawaban “ya” perkara yang dikonstatirnya sebagai peristiwa yang telah benar-benar terjadi itu.
“Lalu dikualifisir artinya harus dinilai, peristiwa itu termasuk hubungan hukum apa, atau peristiwa hukum yang mana, dengan rumusan lain, menemukan hukumnya bagi peristiwa yang telah dikonstatir dengan jalan menerapkan peraturan hukum terhadap peristiwa itu, ini berarti bahwa hakim menerapkan hukumnya kepada yang berperkara, yaitu memberi keadilan, disini hakim mengambil kesimpulan dari adanya premiss mayor (peraturan) hukum dan premiss minor yaitu peristiwanya, inilah yang disebut hakim mengkonstituir (memberi konstitusinya).
“Namun terdapat segi lain yang perlu dilihat sehubungan dengan hakim mengkonstituir sebuah perkata itu, bahwa secara metodelogis serta ajaran filsafat ilmu, kebenaran hukum itu adalah kebenaran koherensi, artinya sebuah kebenaran yang bisa ditelusuri secara logika, bahwa hukum itu adalah logis dan bernalar, itu artinya bahwa kebenaran hukum bukanlah merupakan kebenaran korespodensi (kebenaran mutlak), yang meniscayakan sebuah fenomena sebagai absolut atau harga mati sebagai mana dianut dalam dunia keilmuan pengetahuan alam (eksakta).
“Berdasarkan paradigma demikian dalam memahami serta memaknai sebuah bangunan hukum perlu dilihat konteks perfektif dan spiritnya, mengapa sebuah aturan itu dibentuk (berkarakter mala inse atau mala prohibita dan sebagainya) dan yang tak boleh dilupakan adalah bahwa karakter sebuah peraturan itu adalah umum dan abstrak, belum berwajah konkret-individual, yang menjadi masalah sekarang apakah kita cukup memperlakukan hukum dalam perkara in concreto secara deduktif dan linear saja dengan tanpa melihat perspektif, konteks dan latar belakang sosial kemasyarakatan in concreto yang melingkupinya.
“Takkala terjadi suatu perkara dan dihadapkan ke pengadilan, maka menjadi kewajiban pengadilan untuk mewarnai ruh keadilannya; Adalah menjadi tugas dan tanggung jawab hakim untuk menjaga kelenturan sebuah undang-undang agar tidak lekas usang melalui interpretasi.
“Untuk itulah perlu dipahami pentingnya metodelogi penyusunan putusan yang benar sekaligus baik, agar sebuah putusan hakim tidak jauh dan kering akan nilai-nilai keadilan. Putusan yang benar adalah putusan yang sesuai denga kaidah-kaidah dan ketentuan hukum yang ada. Sedang putusan yang baik adalah putusan yang disamping menyandarkan pertimbangan putusan pada kaidah-kaidah dan ketentuan hukum yang ada tetapi juga dalam batas-batas tertentu masih perlu melihat dimensi kehukuman lain yang melingkupinya.
“Bila keadilan adalah tujuan dan hukum menjadi jalan menuju keadilan, maka pandangan yang membedakan hukum dan keadilan secara diamitral sudah tak sesuai lagi dengan pandangan terkini tentang hukum. Perlu menafsirkan ketentuan sebuah undang-undang baik mengenai sejarahnya, gramatikanya maupun tujuan dan konsepnya agar sebuah putusan hakim realiable dengan konteksnya, serta visi dan misinya. Namun demikian, dalam menafsirkan sebuah peraturan perundangan, kita tidak boleh melanglah begitu rupa tanpa arah, makna dan tanggung jawab.”
Sebuah pemaknaan yang indah dan tampak ideal untuk didengar. Hukum, bisa jadi terletak pada rasio berpikir manusia yang berakal sehat itu sendiri. Negara yang baik selalu memiliki hakim yang baik dalam mengadili.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.