ARTIKEL HUKUM
Pernah terjadi (meski sebenarnya jamak terjadi), seorang tenaga kerja dipekerjakan pada sebuah pengusaha selama hampir belasan tahun, dengan diikat sebagai pekerja kontrak. Menjelang tahun berikutnya, pekerja di-putus hubungan kerjanya (PHK), dengan alasan habis masa berlaku kontrak kerja. Alhasil, bahkan pengadilan menolak gugatan permintaan pesangon sang pekerja.
Penyalahgunaan hukum ini terjadi, lantaran pihak pengusaha dengan cerdik menyiasati kelemahan hukum (celah hukum) yang dibuka oleh undang-undang tentang ketenagakerjaan itu sendiri. Ketika masa kerja tahun ketiga berakhir, sang pekerja di putus hubungan kerja selama satu bulan, sebelum kemudian diikat kontrak kerja kembali.
Ketika tiga tahun berikutnya kembali akan habis jangka waktu kerja, sang pekerja diberhentikan lalu dijadikan sebagai pekerja harian, setelah beberapa bulan kemudian diikat kembali dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Praktis, selama belasan tahun pekerja hanya berstatus sebagai pekerja kontrak, tanpa hak pesangon. Inilah vonis yang sudah diberikan oleh hukum. Dan sangat mudah memprediksi perkara sejenis ini.
Sang buruh merasa terculasi. Telah hampir belasan tahun atau bahkan hampir puluhan tahun bekerja pada pengusaha yang sama, namun kemudian diberhentikan tanpa hak pesangon apapun, dengan alasan habis masa berlaku kontrak kerja.
Namun, apakah sang pengusaha tersebut telah bertindak salah? Jika memang bersalah, mengapa pengadilan tak menghukumnya dengan mengabulkan gugatan pegawainya diatas?
Sang pekerja / buruh mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial, bahkan hingga Mahkamah Agung, yang berujung pada vonis ditolaknya gugatan sang buruh. Inilah yang disebut dengan “keadilan hukum”, yakni keadilan dalam perspektif kacamata sempit peraturan perundang-undangan. Tidak perduli peraturan perundang-undangan tersebut cacat secara falsafah ataupun cacat uji moril, maka standar moral dalam hukum adalah koridor hukum itu sendiri.
Ketika seseorang pelaku mengikuti rambu-rambu peraturan hukum, sekalipun dampaknya merugikan pihak lain, sebagaimana contoh kasus diatas, maka perbuatan sang pelaku dikategorikan hukum sebagai benar, tak tercela, dan sahih secara hukum. Mengerikan, bukan ?!
Keadilan dalam persepktif hukum, cenderung membuta, bahkan dapat dikatakan kolot serta ortodoks dan bertendensi pada pembodohan masyarakat. Seakan, keadilan dan kebenaran adalah hukum itu sendiri.
Dalam kesadaran manusia beradab, antara keadilan dan hukum, merupakan dua postulat yang saling terpisah, yang bisa jadi saling bertolak belakang—sementara dalam perpektif kacamata hukum, antara keadilan dan hukum adalah satu kesatuan.
Dalam kacamata hukum, keadilan dan hukum tak mungkin bertolak belakang, karena keduanya adalah satu kesatuan. Hukum adalah keadilan itu sendiri. Melawan hukum, artinya bersikap tidak adil. Sesuai hukum artinya telah adil, meski secara akal sehat bisa jadi sangat tercela.
Oleh karena hukum adalah keadilan, dan keadilan adalah hukum, dalam kacamata seorang sarjana hukum, tak heran bila ilmu dan praktik hukum merupakan bentuk karakter yang tinggi instrumentalis dan teknikalisasinya. Hukum menjadi demikian deterministik, serta disaat bersamaan bernuansa absurb sekaligus naif.
Hukum seyogianya dan semestinya mencerdaskan manusia. Namun dalam kenyataannya, hukum telah membawa peradaban umat manusia menuju terkungkungnya akal sehat serta kesadaran manusia. Yang tak sesuai hukum, adalah salah. Sebaliknya, yang sesuai dengan kaidah hukum, adalah benar adanya dan harus didahulukan keberlakuannya, jika perlu dengan alat pemaksa.
Bagaimana mungkin hendak mencerdaskan bangsa, sementara hukum itu sendiri dalam praktiknya bersifat naif?
Hukum yang paling adil, adalah hukum yang paling naif, sekaligus hukum yang paling buta. Hal ini tak terlepas dari hakekat karakter paling mendasar dari hukum, yakni sarat teknikalisasi. Karena sifatnya deterministik, hukum dibentuk sedemikian sistematis, dimana kepastian hukum menjadi panglima serta ujung tombaknya.
Hal tersebut tak dapat terhindarkan. Hukum dalam derajat tertentu, menjaga kepastian hukum demi memberi rasa aman bagi warga negara agar tidak berjalan dalam “buta” atau kegelapan. Manusia perlu tahu koridor bagi mereka untuk melangkah. Kepastian hukum adalah prasyarat mutlak untuk sampai kepada esensi utama dari hukum, yakni: sebagai ilmu tentang prediksi.
Kepastian hukum menjadikan derajat tertentu akan prediksi menjadi andalan utamanya yang mampu menenangkan warga negara. Bahwa seorang warga negara mengetahui apa yang akan terjadi padanya seandainya ia mengambil suatu langkah tertentu atau konsekuensi yang akan dihadapinya bila seandainya ia memilih alternatif langkah lain. Itulah sebabnya, segala bentuk karakter ilmu hukum, memiliki tendensi kearah kepastian hukum.
Celakanya, kepastian hukum demi menetapkan suatu derajat tertentu akan prediktabilitas bagi segenap warga negaranya, memiliki harga mahal yang harus dibayar. Itulah sebabnya, hukum tidak pernah efesien—dan tidak akan pernah. Hukum mungkin dapat menjadi efektif sepanjang efektifitas penerapan kaidah normatif hukum. Namun semakin efektif hukum, semakin jauh hukum dari sifat efesien. Semakin efektif penerapan norma hukum, semakin mahal harga yang harus dibayar oleh warga negaranya.
Kembali kepada salah satu contoh kasus yang paling jamak penulis jumpai di tengah masyarakat, kepastian hukum berujung pada penyalahgunaan hukum. Ingat, hukum tiada yang sempurna. Selalu terbuka ruang celah hukum untuk disalahgunakan.
Kepastian hukum memandang daya lenting dari penerapan hukum adalah sebentuk anomali yang harus dilawan, karena merusak tataran tertentu dari prediktabilitas hukum. Benar, bahwa tak dapat dipungkiri, tanpa prediktabilitas hukum, kekacauan (chaos) dapat terjadi di tengah masyarakat. Hakim dapat menjadi pembentuk hukum yang sewenang-wenang. Tidak terjadi keseragaman putusan, bahkan unifikasi hukum menjadi semakin jauh dari kenyataan. Kepastian hukum sejatinya dibentuk tak lain untuk “menjinakkan” daya koruptif dari hakim itu sendiri. Hukum bukanlah apa yang akan dijatuhkan hakim dalam vonisnya, tapi adalah berdasarkan hukum itu sendiri.
Karena hukum tidak mungkin sempurna, semakin ia berat kearah kepastian hukum, maka ia akan semakin jauh dari keadilan sanubari warga negara yang diaturnya. Untuk itu kita perlu membuat pilihan: kepastian hukum, ataukah keadilan sosial yang bisa jadi bertentangan dengan keadilan hukum. Sama-sama kutub ekstrem. Maksud hati lepas dari mulut singa, masuk mulut buaya.
Mengagungkan keadilan sosial, sekali lagi, hanya akan merusak sendi hukum. Demokrasi tanpa hukum, adalah kekacauan sosial yang laten. Hukum tanpa demokrasi, adalah otoriter yang cenderung mengarah pada kediktatoran lembaga negara dan peradilan. Teorinya begitu, mudah untuk diucapkan untuk membuat kita tertegun. Tapi sejatinya tak membawa solusi apapun, selain menambah kusut dan keruh.
Lantas, dimanakah letak titik tengah yang dapat menjadi titik keseimbangan (equilibrium) antara keadilan hukum dan keadilan sosial?
Sukar untuk menjawabnya. Mengapa sukar untuk menjawab pertanyaan yang tampaknya mudah tersebut?
Sekali lagi, hukum kental akan teknikalisasi serta instrumentalisasi. Dalam derajat tertentu, setiap warga negara selalu mengandalkan sifat prediktabilitas dari hukum sebagai instrumen paling hakiki dari hekekat hukum. Hukum tanpa teknikalisasi yang tinggi, adalah omong kosong.
Kian tahun, hukum bukan bergerak kearah kian efisiennya norma-norma hukum, justru kian menjelma rimba hutan belantara. Demikian masifnya peraturan perundang-undangan dibentuk dan diterbitkan. Bahkan seorang sarjana hukum yang telah terspesialisasi pada satu sub topik bidang hukum tertentu, merasa kewalahan menghadapi serbuan berbagai peraturan baru yang diterbitkan oleh berbagai lembaga negara. Belum lagi menelaah dan mendalami tendensi penafsiran lembaga peradilan atas keberlakuan peraturan hukum tersebut.
Adalah sebentuk sifat gegabah, memandang menguasai ilmu dengan menghafal setiap pasal dari undang-undang. Karena, bisa jadi hakim memiliki tafsiran sendiri atas keberlakuan pasal tersebut yang besar kemungkinan tidak pernah terpikirkan oleh kita sebelumnya.
Belajar ilmu hukum bukanlah mendalami pasal suatu aturan tertulis, namun menelaah dan mendalami tendensi, kecenderungan hakim dalam memutus, dan pandangan makro serta mikro dari peradilan serta Mahkamah Agung atas keberlakuan suatu norma hukum. Itulah sebabnya, sistem pendidikan tinggi hukum di Indonesia telah mengadopsi sistem yang salah besar. Semua orang dapat membaca undang-undang sendiri tanpa perlu menginjak bangku pendidikan tinggi hukum.
Dari gambaran sederhana ini saja, penulis sudah dapat memperkirakan bahwa masa depan dari hukum adalah: kepastian hukum, dalam arti keadilan dalam perspektif hukum, bukan keadilan sosial.
Hal ini tak dapat terhindarkan. Adalah mustahil pemerintah dan parlemen justru mencabut dan mengurangi berbagai peraturan hukum yang telah mereka terbitkan. Tak mungkin juga mereka melakukan langkah kebijakan moratorium penerbitan undang-undang dan peraturan lainnya.
Semakin masif suatu peraturan hukum diterbitkan, kian kental nuansa teknikalisasi hukum yang terbentuk wataknya. Inilah masa depan hukum yang dapat penulis prediksi, yakni “matinya” keadilan sosial.
Mari kita ucapkan selamat datang pada keadilan hukum, hukum yang buta, dan hukum yang kejam. Negara sudah dapat disebut bersikap adil ketika berbagai aturan hukum tersebut diberlakukan secara tajam dan ganas. Mereka menyebutnya sebagai, “tanpa diskriminatif”, dan cukup bangga terhadapnya—suatu istilah yang acapkali membuat penulis tersenyum dibuatnya.
Bila tugas sarjana hukum untuk memahami hukum saja sudah demikian beratnya pada dekade belakangan ini ketimbang beban para sarjana hukum satu abad lampau, maka bagaimana mungkin lagi bagi masyarakat awam untuk mengetahui hukum apa saja yang mengikat dan mengatur mereka? Terjadilah yang yang disebut “paranoid”, serba takut untuk melangkah.
Sebagai penutup, hukum memiliki satu asas fiksi yang diberlakukan bagi seluruh warga negara, tanpa pandang bulu, dengan sadisnya menyatakan dan menegaskan: seluruh warga negara dianggap tahu hukumnya.
Inilah yang dimaksud dengan vonis mati bagi peradaban manusia oleh hukum yang mengikat dan kian membebani pundak peradaban. Sebuah era baru: manusia untuk hukum, bukan hukum untuk manusia. Tidak akan pernah ada utopia: hukum yang manusiawi ataupun keadilan sanubari dalam hukum di masa depan. Itulah akhir kisah dari hukum.
Hukum dimasa depan hanya akan cocok untuk robot. Manusia menciptakan hukum yang justru menjerat peradaban umat manusia itu sendiri. Rasanya, tak ada yang lebih ironis ketimbang hukum yang semakin kaya tingkat teknikalisasinya.
Kabar baiknya, agar terdengar lebih optimistik, dimasa depan, kaum yang dapat disebut sebagai paling pandai dari berbagai bidang profesi lainnya, bukanlah seorang programmer, namun seorang sarjana hukum yang berisi miliaran peraturan di kepalanya yang saling taut-menaut secara abstrak. Sarjana hukum robot, yang tentunya takkan dapat Anda andalkan untuk berperasaan.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.