LEGAL OPINION
Question: Bila posisi saya selaku pejabat tertentu pada sebuah lembaga swasta, mendadak meja kerja saya diberikan pada pekerja lain, maka artinya sikap perusahaan terhadap saya diartikan sebagai apa? Bila PHK, tiada surat PHK resmi yang saya terima. Tapi kini saya tak ada ruang kerja juga tak ada sesuatu yang dapat saya lakukan di perusahaan itu. Akses saya pun tidak dapat lagi. Saya sudah tidak tahan. Saya musti gimana?
Brief Answer: Salah satu unsur paling esensial dari hubungan industrial, ialah adanya unsur pekerjaan, disamping unsur perintah dan gaji/upah. Bila fungsi tugas pokok Anda dialihkan, tanpa suatu fungsi tugas lain yang diamanatkan pada Anda oleh perusahaan, maka dapat diartikan sebagai pemutusan hubungan kerja (PHK) secara politis.
Untuk itu Anda selaku pekerja berhak menggugat pihak pengusaha dengan kompensasi berupa setidaknya dua kali ketentuan pesangon normal—dimana hakim akan mengkonstruksikan kejadian tersebut sebagai analogi kriteria PHK tanpa kesalahan / efisiensi.
Alih-alih Anda merasa terindimidasi lalu mengundurkan diri tanpa hak pesangon, alangkah lebih bijak bila pekerja/buruh mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial, agar dinyatakan hubungan kerja putus, karena alasan “efisiensi” sebagaimana fakta hukum yang menimpa Anda—disertai kompensasi berupa pesangon 2 kali ketentuan normal. Kaidah ini sudah menjadi yurisprudensi/preseden tetap di Mahkamah Agung RI.
PEMBAHASAN:
Kaidah tersebut dibentuk lewat best practice Pengadilan Hubungan Industrial, sebagaimana diilustrasikan dalam putusan Mahkamah Agung RI sengketa PHK register Nomor 388 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 14 Juni 2016, perkara antara:
- PT. THAMRIN BROTHERS, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Tergugat; melawan
- PHILIPUS PHANTONY, selaku Termohon Kasasi dahulu Penggugat.
Penggugat merupakan karyawan Tergugat yang mulai bekerja sejak tahun 2003, jabatan terakhir Penggugat adalah Kepala Cabang/Manager Sales Cabang. Pada bulan November 2014, secara lisan Tergugat menonaktifkan Penggugat.
Keesokan harinya, ketika Penggugat masuk kantor, ternyata ruangan dan meja kerja yang selama ini dipergunakan oleh Penggugat telah dialihkan dan digunakan oleh orang lain, secara serta merta dan tanpa alasan yang jelas sehingga Penggugat tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana biasanya.
Terhitung sejak bulan November 2014, secara sepihak dan serta merta, Tergugat telah menghentikan dan tidak membayarkan upah Penggugat. Setelah menonaktifkan dan tidak membayarkan hak Penggugat, beberapa kali Tergugat meminta Penggugat untuk melakukan pekerjaan.
Dengan penuh rasa tanggung jawab Penggugat tetap melaksanakan pekerjaan itu dengan baik meskipun dalam kondisi kesehatan yang sedang kurang baik sekalipun sehingga dalam pelaksanaannya Penggugat harus didampingi oleh istri, melakukan pekerjaan untuk kepentingan Tergugat bahkan sampai keluar kota. Namun Tergugat tetap saja tidak melaksanakan kewajibannya untuk membayar upah dan hak-hak normatif Penggugat.
Pasal 93 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur:
“Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku, dan pengusaha wajib membayar upah apabila: a. pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha.”
Karena itu, selama menonaktifkan/tidak mempekerjakan (skoorsing) Penggugat, seharusnya Tergugat membayarkan upah dan hak lainnya yang biasa diterima oleh Penggugat. Penggugat menyimpulkan, dari serangkaian tindakan Tergugat mulai dari penonaktifan secara lisan, penghentian pembayaran upah secara sepihak dan penghentian serta pencabutan fasilitas Penggugat, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya Tergugat ingin mengakhiri hubungan kerja terhadap Penggugat secara melawan hukum, dengan menciptakan kondisi psikologis yang sangat tidak kondusif terhadap Penggugat dengan harapan agar Penggugat mengundurkan diri.
Seharusnya apabila Tergugat ingin mengakhiri hubungan kerja dengan Penggugat, maka Tergugat harus menempuh prosedur permohonan PHK ke PHI sebagaimana telah diatur dalam Pasal 151 Ayat (2) dan Ayat (3) Undang-Undang Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Pasal 155 Ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan mewajibkan Penggugat dan Tergugat untuk tetap melaksanakan kewajiban masing-masing, yakni kewajiban untuk bekerja bagi pekerja dan pengusaha berkewajiban untuk membayarkan upah pekerja sebagai kontraprestasi.
Pasal 155 Ayat (3) Undang-Undang Ketenagakerjaan memberikan kesempatan kepada pengusaha untuk melakukan penyimpangan, dengan tidak mempekerjakan pekerjanya melalui tindakan skorsing namun pengusaha tetap berwajib untuk membayarkan upah dan hak lainnya yang biasa diterima pekerja.
Terhadap gugatan Penggugat, Pengadilan Hubungan Industrial Bengkulu telah memberikan putusan Nomor 01/Pdt.Sus- PHI/2015/PN Bgl tanggal 24 November 2015 yang amarnya sebagai berikut:
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menerima dan mengabulkan permohonan pemutusan hubungan kerja yang dijukan oleh Penggugat;
3. Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat putus/berakhir sejak dibacakan putusan ini;
4. Memerintahkan Tergugat untuk mengembalikan Ijazah Nomor VICI 0890 atas nama Penggugat kepada Penggugat;
5. Menghukum Tergugat untuk membayar hak-hak Penggugat berupa, pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, THR 2014 serta uang pengganti cuti tahunan untuk tahun 2015, upah selama proses 13 (tiga belas) bulan, seluruhnya sebesar Rp232.654.940,00 (dua ratus tiga puluh dua juta enam ratus lima puluh empat ribu sembilan ratus empat puluh rupiah);
6. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp226.000,00 (dua ratus dua puluh enam ribu rupiah);
7. Menolak gugatan Penggugat untuk selebihnya.”
Pihak pengusaha mengajukan kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“Bahwa keberatan-keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 1 Desember 2015 dan kontra memori kasasi tanggal 14 Desember 2015 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bengkulu tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa hubungan kerja antara Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi sejak 1 Juli 2012 dengan jabatan sebagai Kepala Cabang dengan jaminan ijazah TK disimpan oleh Pemohon Kasasi. Dan pada bulan November 2014 secara lisan Pemohon Kasasi menonaktifkan Termohon Kasasi tanpa alasan dan kesalahan yang jelas dan Termohon Kasasi tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya karena jabatan Termohon Kasasi sudah dialihkan kepada orang lain;
“Bahwa sesuai ketentuan Pasal 169 ayat (1) dan Pasal 169 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, Termohon Kasasi mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja karena Pemohon Kasasi tidak melakukan Kewajiban yang telah diperjanjikan kepada Termohon Kasasi karena Termohon Kasasi di PHK oleh Pemohon Kasasi. Maka Termohon Kasasi berhak atas uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja (UPMK) 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang pengganti hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 beserta hak-hak Termohon Kasasi lainnya;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata bahwa Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bengkulu dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi PT Thamrin Brothers tersebut harus ditolak;
“M E N G A D I L I
“Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PT. THAMRIN BROTHERS tersebut.”
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.