Makna Hukum sebagai sebuah Sistem

ARTIKEL HUKUM
Tentu, kita sering mendengar atau bahkan mengucapkan istilah “sistem”. Namun, apakah yang dimaksud dengan sistem? Apa pula korelasinya antara “sistem” dengan “hukum”?
Dalam dunia digital, seorang programer ketika menyusun sebuah aplikasi komputer, menciptakan serangkaian alogaritma yang terdiri dari kumpulan perintah-perintah. Perintah-perintah berupa bahasa pemograman yang sejatinya tidak berbeda dengan ketentuan-ketentuan dalam hukum negara yang disusun oleh ahli peraturan perundang-undangan. CIri khas sistem: adanya pola.
Ketika kita mencoba untuk membedah ‘perut’ dari sebuah gudang kode aplikasi sebuah program, maka kita akan menjumpai serentetan struktur berwujud aturan-aturan (rules) yang secara garis besarnya berbunyi: “Bila ... maka ...”; dimana sekumpulan aturan ini saling kait-mengait dengan aturan-aturan lainnya yang telah ditetapkan sang pemogram. Aturan-aturan ini saling kait-mengkait membentuk wujud menyerupai jaring laba-laba yang tidak kasat mata.
Untuk memudahkan pengguna awam, dibentuklah apa yang disebut dengan interface, atau tampilan layar yang berisi input à output. Seperti menekan tombol “delete” atau “enter” pada keyboard, maka akan menghasilkan suatu reaksi tertentu pada aplikasi yang sedang kita jalankan.
Padahal, proses yang terjadi sebenarnya dilatar belakang ialah serangkaian kode program yang terpicu untuk mengaktifkan serentetan kode instruksi lainnya sehingga terjadi suatu rangkaian proses sebelum pada akhirnya menghasilkan output tertentu. Input à proses (rules) à output.
Untuk lebih mempermudah pemahaman mengenai “sistem”, dapatlah kita tengok aktivitas sebuah pabrik. Ketika jam masuk kerja dimulai, para buruh dan pekerja memasuki area pabrik tepat pada waktunya, memulai aktivitas produksi mereka, bahkan tanpa mereka harus diberitahu apa yang perlu dan wajib mereka kerjakan. Ketika jam kerja selesai, satu per satu meninggalkan lokasi pabrik sama senyapnya seperti kedatangan mereka.
Setiap unit produksi bekerja secara efektif dan efesien. Bahkan dalam hening. Tidak terlihat adanya perintah-perintah. Namun benarkah tiada perintah? Setidaknya tidak tampak perintah secara kasatmata, namun hukum kebiasaan pabrik mereka yang mengikat para pekerja ini.
Pada mulanya setiap karyawan baru dikenalkan pada masa orientasi serta panataran, yang berisi segala aturan mengenai perilaku dan pekerjaan yang harus mereka kerjakan serta apa yang menjadi tanggung jawab mereka. Ketika terjadi kesalahan, orientasi ulang dan penatapan kembali diberikan, sampai pada waktunya sang karyawan telah bisa secara mandiri on the track, terjadilah apa yang kemudian dikenal dengan istilah autopilot, alias sistem itu sendiri.
Analogi yang sama berlaku dalam sistem sosial kemasyarakatan yang dibangun oleh hukum. Hukum itu sendiri adalah sistem. Terdapat lembaga legislatif yang menyusun regulasi, dikenal pula lembaga eksekutif yang menjalankan dan menegakkan regulasi, serta lembaga yudikatif sebagai pengemban proses peradilan ketika terjadi konflik antar aturan dalam sistem—lewat proses uji materiil.
Salah satu contoh sistem kemasyarakatan yang dibangun hukum, ialah sumbangan hukum dalam konteks berlalu-lintas. Setiap warga masyarakat tidak dapat membuat aturan sendiri untuk menggunakan kendaraan bermotor di jalur kanan. Setiap pengendara secara sendirinya tanpa diperintah oleh polisi sekalipun, akan mengendarai kendaraan mereka pada jalur sebelah kiri. Terjadi harmoni, aliran arus sosial mengalir secara lancar.
Hukum negara tidak sempurna. Jauh dari sempurna. Namun seburuk-buruknya sistem hukum di indonesia, apalah jadinya bila hukum negara tidak ditegakkan?
Pada dasariahnya, manusia satu adalah “serigala” bagi manusia lainnya. Kembali pada contoh kegiatan pada pabrik diatas, tanpa regulasi terkait hukum perburuhan, maka kalangan pengusaha akan menekan hak-hak buruh seperti tiada perlindungan hak normatif, jam kerja yang tidak manusiawi, kondisi kesehatan yang tidak diperhatikan, hak atas jaminan hari tua dan pesangon, keselamatan kerja yang tidak memadai, hingga upah minimum akan menjadi hal yang istimewa.
Dengan demikian, dapat pula kita simpulkan, bahwa hukum negara ialah sekumpulan aturan-aturan (rules), baik tertulis maupun tidak tertulis, yang pada hekekatnya membawa manfaat bagi kelancaran hidup bersosial-kemasyarakatan. Artinya pula, bila kemudian timbul / terbit peraturan hukum yang tidak logis, tidak bermanfaat, dan tidak tahan uji moril, maka sejatinya aturan tersebut dapat ditengarai memiliki motif politis atau muatan kepentingan dibaliknya yang patut diwaspadai—atau bahkan dengan sekuat tenaga harus dilawan oleh kekuatan segenap rakyat, jika perlu. Itulah yang kemudian dikenal dengan istilah revolusi, kudeta, pemberontakan, dsb.
Karena sifatnya ialah sistem, sistem kaidah, maka sistem baru akan dapat disebut sebagai sistem tatkala ia dapat merangkul dan melindungi secara efesien dan efektif. Program komputer yang tidak sempurna, penuh “bug” sehingga menimbulkan error, dapat merusak sistem program lainnya yang sehat. Inilah yang kemudian dikenal dalam dunia maya / cyber, sebagai “virus”.
Hukum lebih luas dari sekadar analogi program komputer. Ia melingkupi pula suatu sistem terprogram, serta “antivirusnya”. Itulah sebabnya, otoritas negara harus mampu menegakkan hukum dengan memberikan kepastian hukum dan perlindungan sosial, dalam arti ditegakkan secara efektif serta efesien. Kedua elemen yang disebutkan belakangan ini merupakan tulang punggung hukum suatu negara.
Ketika negara lalai, atau absen menjalankan perannya, tidak hadir ketika masyarakat benar-benar sangat membutuhkan kehadiran negara, atau bahkan tidak efektif dan tidak efesien memberi perlindungan, maka warga negara dibenarkan atau memiliki justifikasi untuk melakukan aksi main hakim sendiri—perhatikan, wacana ini hanya sekadar teori dari penulis, karena faktanya secara angkuh otoritas negara menyatakan dirinya telah membentuk sistem yang sempurna, meski sejatinya penuh “lubang”, sehingga tindakan main hakim seperti pembelaan diri pun karena alasan polisi tidak hadir meski telah dipanggil atau otoritas berwenang lain yang tidak menindaklanjuti laporan / pengaduan masyarakat, tetap akan dipandang sebagai tindakan yang merongrong otoritas dan kedaulatan negara.
Betul, bahwa sistem hukum yang membangun sistem sosial kemasyarakatan jauh lebih kompleks dari sekadar membangun sistem komputer. Dinamika manusia dan komunitasnya jauh lebih beragam, terus berkembang, serta penuh anomali yang sukar diprediksi.
Dalam sistem komputerisasi, input dapat diprediksi, sehingga probabilitas tetap dapat dikalkulasi oleh suatu rumus matematika alogaritma. Lihatlah, tombol tuts pada keyboard Anda, sistem hukum dalam kenyataan di tengah masyarakat jauh lebih kompleks ketimbang sistem logika yang berlaku dalam suatu dunia virtual semacam video game.
Artikel sederhana ini penulis angkat, sekadar memberi gambaran, bahwa bukanlah hanya seorang sarjanawan hukum yang terampil mengenai pembentukan rules. Seorang pengusaha, seorang ilmuan, seorang matematikawan, seorang fisikawan, seorang programer, seorang akuntan, dan para kalangan profesi manapun, sejatinya juga adalah seorang pakar “hukum”. Menarik, bukan?
Kedua, bila seorang programer membuat aturan main bagi pengguna program mereka, maka dalam hukum negara, setiap anggota masyarakat “diasumsikan” terlibat serta dalam penyusunan besar program raksasa benama hukum yang mengatur mereka, lewat apa yang disebut dengan “kontrak sosial”. Setidaknya dapat berupa judicial review. Atau, sekedar membentuk autonomic legislation semacam peraturan internal suatu organisasi, aturan komunitas, aturan perusahaan, atau aturan sekolah, dan aturan-aturan sejenis lainnya dalam lingkup yang lebih makro.
Bila dalam program komputer kita hanyalah seorang penonton yang tidak berdaya, dalam sistem hukum negara setiap warga masyarakat ialah para pemainnya—yang anehnya disaat bersamaan tidak berdaya menghadapi keganjilan aturan hukum maupun penegakannya oleh aparatur.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.