Hukum dalam Etika Komunikasi

ARTIKEL HUKUM
Dalam sudut pandang kehidupan sehari-hari, hukum dapat dimaknai sebagai “wajah” etika komunikasi. Dalam kesempatan ini penulis akan mengangkat topik sederhana mengenai hukum dalam perspektif etika komunikasi, yang kerap kali bersinggungan dalam setiap sendi aktivitas kita, yang mana besar kemungkinan tidak kita sadari, sedari mulai melangkah keluar dari kediaman kita, hingga kita kembali ke peraduan.
Penulis akan angkat contoh kasus sederhana yang mungkin juga pernah dialami para pembaca. Baru-baru ini seseorang menelepon ke pesawat telepon kediaman penulis. Setelah dering telepon penulis angkat, terdengar suara sang penelepon dari pesawat seberang. Kira-kira sebagai berikut transkripnya:
“Selamat siang, saya dari Bank XYZ. Apa benar ini kediaman Pak ABC?” tuturnya, dengan seorang wanita sebagai pemilik suara.
Bank yang kita sebut saja sebagai Bank XYZ tersebut, merupakan bank ‘plat merah’ alias Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sementara Pak ABC merupakan kerabat penulis.
Penulis jawab: “Jika ingin berbicara dengan Pak ABC, nanti siang saja, kini beliau sedang diluar.”
Namun dengan bernada arogan dan angkuh, sang penelepon kembali berkata: “Anda siapanya dan siapa namanya?”
Hah? Dia pikir dia siapa, polisi bukan. Pacar saya, bukan. Saudara saya, juga bukan.
Anda pikir Anda siapa?
Dengan sabar penulis berikan tanggapan: “Nanti  siang saja, jika ingin berbicara dengan Pak ABC.”
Namun dengan nada lebih angkuh, sang penelopon berseru lantang: “Saya tanya Anda siapanya Pak ABC, dan siapa nama Anda ?!”
Huh, apa tidak salah? Hak dari mana baginya untuk menginterogasi saya, dan kewajiban dari mana bagi saya untuk didikte olehnya.
Apa ia sendiri sejak awal memperkenalkan nama dirinya sendiri?
Bagaimana jika sang penelopon adalah orang jahat yang menyaru, dan hendak menyalahgunakan informasi pribadi keluarga kami?
Kini dengan nada yang mulai meninggi, penulis komentari: “Anda ini kalau mau bicara dengan Pak ABC, ya nanti siang aja, kan sudah saya bilang beliau sedang diluar rumah.”
“Saya Cuma tanya nama Anda dan Anda siapanya Pak ABC !!!”
Wow.
Mau tidak mau, penulis ladeni. “Anda ini kok aneh, tanya-tanya gitu segala. Mau Anda apa sih?”
“Saya Cuma mau tahu Anda siapanya dan apa nama Anda!”
“Anda ini maunya apa sih, sebenarnya!” kali ini nada bicara penulis disesuikan dengan nada angkuh sang penelepon. Biasanya orang angkuh perlu diladeni dengan sama angkuhnya.
“Pak ABC mau buka rekening di Bank Mandiri, jadi saya tanya untuk survei !” Ups, penulis kelepasan menulis. Malas delete, jadi biarkan saja apa adanya.
Ngomong dong, dari tadi. Pake belaga bersikap misterius segala. Jika ia mau tanya sesuatu pada tuan rumah, mestinya ia perkenalkan dirinya terlebih dahulu.
Pantas, bank BUMN Persero (anak emas pemerintah) ini tak akan pernah dapat berkompetisi dengan bank swasta, meski didukung oleh keuangan dan sumber daya pemerintah.
Kejadian ini mengingatkan kembali penulis pada kejadian serupa yang lebih aneh lagi beberapa waktu lampau. Janggal sekali kejadiannya, mungkin para pembaca takkan percaya, namun fakta.
Kira-kira pada pukul delapan malam, ketika seluruh pintu kediaman penulis telah dikunci dari dalam, mendadak gerbang rumah keluarga penulis diketuk oleh seseorang.
Mendapati ada tamu tak diundang setelah semua penghuni sedang memasuki tahap istirahat malam, penulis beranjak untuk melihat siapa gerangan malam-malam datang bertandang.
Karena pintu dalam rumah telah dikunci, penulis bertanya dengan suara keras dari balik pintu, agar tamu-tamu tersebut yang berjarak sekitar lima meter dari jarak mereka yang berdiri di balik gerbang dan pintu dalam rumah, dapat mendengar.
“Dari siapa?”
“Dari Arif.”
“Mau cari siapa?”
“Pak ABC.”
“Mau ada urusan apa?”
Pertanyaan penulis adalah pertanyaan yang wajar, sebab penulis mendapati tamu tak diundang berupa postur tiga sosok orang berbadan besar dan hitam. Yang menyebut nama hanya satu orang, sementara kedua orang lainnya hanya berdiri diam dari balik pagar.
Jangan-jangan, garong.
“Saya mau cari Pak ABC.”
“Saya tanya mau ada apa?”
Sang tamu hanya diam dan terkekeh. Merasa hebat karena ditemani dua bodyguard tukang pukul yang seram.
“Saya tanya mau ada urusan apa ?!”
Meski sudah lima kali penulis tanyakan hal serupa dengan nada yang kian meninggi, dengan marah penulis membuka kunci pintu, dan memarahi sang tamu yang tidak tahu cara bertandang yang baik.
Terjadilah tragedi, debat mulut yang hampir berujung adu jotos. Benaran, sama sekali bukan kisah rekaan yang didramatisir.
Penulis dengan keras menyatakan bahwa sang tamu tidak punya etika. Ketika datang bertandang pada kediaman seseorang, meraka harus hormat pada aturan main domisili sang tuan rumah. Bukan sang tuan rumah yang harus meladeni aturan main sang tamu.
Ternyata tujuan mereka hanya untuk meminjam CCTV dengan alasan motor sang tamu hilang. Gaibnya, kedua preman tak dikenal tersebut ternyata adalah Provost dari kepolisian berbaju preman yang disewa dan dibayar oleh sang tamu untuk mem-“bekingi” dirinya sehingga dirinya merasa hebat dapat menakut-nakuti, yang alhasil bersikap arogan.
Dia pikir, dapat membuat tuan rumah untuk tunduk dan menciumi kakinya hanya karena di-“bakeingi” dua polisi yang menjelma preman bayaran.
Anehnya, justru penulis yang dikatai sang Provost: “Dasar tidak tahu sopan santun! Ayo kita berkelahi !!!”
Tidak salah ini?
Kok kehidupan di Negeri yang bernama Indonesia ini menjadi demikian terputar balik.
Memang yang tuan rumah siapa? Yang jadi tamu, siapa?
Benar jadi salah, salah jadi benar.
Akhirnya perkelahian dileraikan Pak ABC, yang sempat berkata kepada ketiga tamu ini: “Kalau mau bertandang, ngapain juga sih, malam-malam gini pas semua orang sudah jam istirahat?!”
Praktik berhukum yang paling mendasar bukanlah hafal dan kenal segala undang-undang, tapi paling tidak memahami etika komunikasi yang paling mendasar dalam hubungan interpersonal.
Bercermin kasus diatas, polisi bukan memberi ayoman yang baik, justru menjadi “makelar” biang kerok. Arogansi adalah salah satu perusak sendi negara berhukum. Penulis tidak akan menyebut “oknum” polisi. Ulah korp kepolisian telah cukup banyak mengecewakan penulis.
Menjadi masyarakat berhukum di negara hukum bukanlah dengan menjadi orang yang lebih pandai menjadi pengamat dan mengomentari pihak lain, terlebih merasa berhak untuk menghakimi pribadi lain. Tapi melihat perilaku dan etika komunikasi mereka sendiri, apakah telah proporsional dan sesuai tempatnya masing-masing?
Itu dahulu yang perlu kita jawab bersama, sebelum membahas lebih jauh mengenai tetek-bengek hukum yang dijamin “tidak masuk diakal” dan hanya akan membuat kita “geleng-geleng” kepala dibuatnya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.