Dinas Perumahan & Perintah Pengosongan

LEGAL OPINION
Question: Apa benar, dinas perumahan punya kewenangan untuk diminta warga pemilik rumah untuk menerbitkan perintah pengosongan pada penghuni yang tidak berhak?
Brief Answer: Perintah pengosongan bukan hanya monopoli lembaga peradilan, namun diemban pula oleh Dinas Perumahan dan Pemukiman Pemerintah Daerah setempat. Kaidah hukum ini sudah merupakan praktik yang diakui oleh lembaga peradilan sebagai suatu best practice, setidaknya dalam konteks sengketa sewa-menyewa rumah.
PEMBAHASAN:
Sebagai ilustrasi, tepat sekiranya SHIETRA & PARTNERS mengangkat putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta register Nomor 12/G/2012/PTUN-JKT. tanggal 9 Mei 2012, perkara antara:
- SUNARJO BUDIARSO, sebagai Penggugat; melawan
- KEPALA DINAS PERUMAHAN DAN GEDUNG PEMERINTAH PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA, selaku Tergugat; dan
- REDJA SUTARGO serta FREDERICK RACHMAT selaku Tergugat II Intervensi.
Yang menjadi obyek sengketa dalam perkara ini adalah Surat Keputusan Tata Usaha Negara Kepala Dinas Perumahan Dan Gedung Pemerintah Propinsi Jakarta tentang Perintah Pengosongan Rumah/Bangunan.
Adapun tanggapan pihak Pemerintah yang digugat, Keputusan Kepala Dinas Perumahan Dan Gedung dikeluarkan atas permohonan dari Tergugat II Intervensi selaku pemilik rumah sengketa dengan melampirkan bukti hak berupa Sertipikat Hak Milik (SHM) atas nama Tergugat II Intervensi.
Pemilik rumah sengketa adalah berhak untuk mengajukan permohonan pengosongan atas rumah sengketa. Yang menjadi dasar penghunian Penggugat atas rumah sengketa adalah atas dasar meneruskan sewa-menyewa secara lisan tanpa batas waktu antara kerabat Termohon dengan orang tua Pemohon.
Oleh karena dasar penghunian Penggugat atas dasar hubungan sewa-menyewa secara lisan tanpa batas waktu yang telah berakhir masa berlakunya, sehingga jelaslah hubungan antara Penggugat dengan Pemilik tidak ada hubungan hukum sama sekali, hal ini sesuai dengan Pasal 21 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1994 yang mengatur:
“Sewa-menyewa rumah baik dengan perjanjian tertulis maupun dengan perjanjian tidak tertulis yang tidak menetapkan batas waktu dan telah berlangsung sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992, dinyatakan berakhir dalam jangka waktu 3 tahun sejak berlakunya undang-Undang tersebut.”
Oleh karena pihak pemilik sudah tidak mengijinkan lagi Penggugat untuk menghuni rumah sengketa, maka penghunian Penggugat adalah tidak sah atau tanpa hak, hal ini sejalan dengan makna Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1994 yang secara tegas menyatakan:
“Apabila penghunian rumah dilakukan tanpa persetujuan pemilik dinyatakan sebagai penghunian tanpa hak atau tidak sah.”
Kewenangan Tergugat dalam mengeluarkan objek sengketa telah diatur dalam Keputusan Menteri Sosial Nomor 18/HUK/KEP/V/1982 didalam lampirannya angka VIII tentang Tata Cara Pelaksanaan Pengosongan, yang menyatakan:
“Kepala Kantor Urusan Perumahan (Dinas Perumahan Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta) berwenang melaksanakan pengosongan terbatas pada: a. Perumahan yang digunakan tanpa suatu hak;”
Terhadap gugatan Penggugat maupun bantahan Tergugat, Majelis Hakim membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa dalam petitum kedua Surat Keputusan Objek Sengketa dimaksud pada pokoknya memerintahkan kepada Termohon (Penggugat) selambat-lambatnya dalam jangka 15 (lima belas) hari terhitung dari tanggal diterimanya atau diketahuinya isi keputusan ini untuk segera mengosongkan rumah/bangunan yang dihuni/ditempatinya dan selanjutnya menyerahkannya kepada Tergugat II Intervensi sebagai pemilik yang sah;
“Menimbang, bahwa sesuai dengan konsideran pertimbangan angka 9, dimana dalam petitum ketiga Surat Keputusan Objek Sengketa dimaksud Tergugat memerintahkan kepada Pemohon (Tergugat II Intervensi) agar segera menyetorkan uang konpensasi sebesar Rp. 25.000.000,- (Dua puluh lima juta rupiah) kepada Tergugat untuk disampaikan kepada Termohon (Penggugat);
“Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P-16 Tergugat II Intervensi mengajukan gugatan permohonan pengosongan dan tuntutan ganti rugi terhadap Penggugat sesuai dengan Surat gugatannya tertanggal 13 September 2011 yang terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Barat dibawah register perkara Nomor : 629/Pdt.G/2011/PN-Jkt.Bar;
“Menimbang, bahwa berdasarkan rangkaian uraian pertimbangan hukum tersebut diatas, Pengadilan berpendapat bahwa tindakan Tergugat dalam menerbitkan Surat Keputusan yang menjadi Objek Sengketa telah sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku serta tidak melanggar Asas Larangan bertindak sewenang-wenang dari Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik sebagaimana yang didalilkan oleh Penggugat;
“Menimbang, bahwa oleh karena dalil Penggugat yang mendalilkan tindakan Tergugat dalam menerbitkan Objek Sengketa tersebut bertentangan dengan Asas Larangan bertindak sewenang-wenang tidak terbukti maka gugatan Penggugat haruslah dinyatakan ditolak seluruhnya;
M E N G A D I L I :
DALAM PENUNDAAN :
- Menolak Penundaan/Penangguhan Pelaksanaan terhadap Surat Keputusan yang menjadi Objek Sengketa yang dimohonkan oleh Penggugat;
DALAM POKOK SENGKETA :
- Menolak Gugatan Penggugat untuk seluruhnya.”
Note SHIETRA & PARTNERS: Sejak Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Perumahan Dan Kawasan Permukiman diberlakukan, Peraturan pemerintah Nomor Nomor 44 Tahun l994 tentang Penghunian Rumah oleh Bukan pemilik, dinyatakan dicabut dan dinyatakan tidak lagi berlaku.
Namun dalam Pasal 30 PP No. 14 Tahun 2016 tersebut disebutkan: “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mengenai penghunian Rumah dengan cara sewa menyewa atau cara bukan sewa menyewa diatur lebih lanjut dengan peraturan Menteri.”—Yang mana bila dikaitkan dengan Keputusan Menteri Sosial Nomor 18/HUK/KEP/V/1982, tetaplah terkandung kaedah hukum:
Kepala Kantor Urusan Perumahan berwenang melaksanakan pengosongan terbatas pada: Perumahan yang digunakan tanpa suatu hak.”
Begitupula kaedah perihal sewa-menyewa tanpa dicantumkannya batas waktu sewa, meski PP No. 44 Tahun 1994 telah dicabut, dan tak mengandung ketentuan serupa dalam PP No. 14 Tahun 2016, namun kaedah yang dibentuk oleh yurisprudensi praktik peradilan sebagai preseden, tetaplah hidup dan berlaku sebagai sebuah norma hukum.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.