ARTIKEL HUKUM
Bagaimana cara membaca UUD RI 1945 atau yang dikenal dengan istilah hukum sebagai “Konstitusi Republik Indonesia”?
Jawabnya: tidak ada.
Namun sebagai pedoman, masih terdapat garis petunjuk yang secara samar-samar masih dapat penulis berikan sebagai suatu tata cara atau panduan sederhana dalam memahami dan membaca spirit suatu Konstitusi.
Sebagai esensi, dapat penulis sebutkan, membaca UUD memang sedikit berbeda dengan membaca suatu undang-undang biasa pada umumnya. Konstitusi, bersifat lebih abstrak ketimbang norma hukum yang lebih konkret, meski masih sama-sama bersifat umum keberlakuannya (erga omnes).
Ada yang menyebutkan, bahwa bila undang-undang mengandung norma perihal sanksi bila dilanggar, sementara UUD tidak mengandung klausula yang bersanksi sebagaimana undang-undang perdata atau pidana. Pandangan tersebut, penulis nyatakan secara tegas, sebagai keliru sepenuhnya.
UUD mengandung sanksi. Buktinya, Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan suatu undang-undang bila undang-undang tersebut dinilai bertentangan dengan Konstitusi RI. Sebaliknya juga, bila suatu Peraturan Daerah, sebagai contoh, dinilai bertentangan dengan suatu undang-undang, meski substansi undang-undang tersebut tidak memuat klausula perihal sanksi (norma sekundair), maka Perda tersebut dapat diajukan uji materiil (judicial review) ke hadapan Mahkamah Agung RI untuk dibatalkan.
Dari sudut pandang tersebut di atas, maka sejatinya tidak terdapat perbedaan secara kentara, antara membaca sebuah undang-undang dengan membaca sebuah UUD. Ia bersanksi, dan selalu secara inheren melekat kekuatan untuk berlaku secara imperatif.
Namun terdapat satu masalah besar dalam membaca sebuah UUD, yakni normanya yang demikian abstrak. Saking abstraknya, maka tiada lagi yang disebut dengan kepastian hukum selain kepastian akan “selera” pembentuk undang-undang yang menafsirkan payung hukum norma dasar bernama Konstitusi, ataupun kepastian selera Hakim Konstitusi dalam menafsirkan suatu ayat atau pasal dalam suatu UUD, apakah membenarkan atau tidak membenarkan suatu hadirnya undang-undang yang dimohonkan uji materiel.
Contoh sederhana yang akan penulis angkat, sebagai ilustrasi ialah perihal judicial review terhadap Undang-Undang tentang Pengampunan Pajak (tax amnesty) yang saat ini antiklimaks karena dinyatakan konstitusional oleh Mahkamah Konstitusi RI, sehingga uji materil DITOLAK.
Cobalah kita renungkan pertanyaan berikut ini, tanpa perlu kita sok tahu perihal apa yang tercantum dalam UUD: Fasilitas pengampunan pajak, memberi keistimewaan bagi mereka yang memanfaatkannya, berupa di-“tutup mata”-nya Direktorat Jenderal Pajak atas semua kebenaran pelaporan pajak wajib pajak pra tahun pajak 2015 sepanjang wajib pajak mengikuti program tax amnesty.
Berarti, jujur atau tidak jujurnya wajib pajak yang membayar kompensasi/tebusan tax amnesty atas pelaporannya dalam keikutsertaan program ini, maka petugas pajak akan “tutup mata” dan memutihkan semua kejahatan pidana pajak sang wajib pajak. Alhasil, tidak mungkin lagi bagi penyidik tindak pidana perpajakan untuk tampil dan menyidik ataupun “mengorek-ngorek” kebenaran terlebih meminta audit terhadap wajib pajak yang telah mengikuti program ini.
Alhasil, untuk tahun pajak 2015 kebawah, semua kekayaan yang meski tidak diungkap saat mengikuti program tax amnesty, telah diputihkan, sehingga tertutup semua kemungkinan untuk sekedar memerika kebenaran kekayaan dan penghasilan wajib pajak ini untuk tahun pajak 2015 kebawah.
Artinya pula, imunitas pidana pajak bagi tempus delicti tahun pajak 2015 kebawah, meski mungkin saja wajib pajak peserta tax amnesty tidak jujur dengan hanya memberi separuh kecil tebusan dari berbagai penghasilan gelapnya saat mengikuti progam pengampunan pajak ini.
Dari sudut pandang ini saja, kita sudah mendapati suatu kesimpulan, bahwa 9 (sembilan) orang Hakim Konstitusi, seolah hendak berkata: UUD kini ini lho, ada pasalnya yang membenarkan praktik pemutihan dan imunitas pidana pajak.
Namun, kita sah-sah saja mempertanyakan: memang iya, apa ada pasal dalam UUD yang berbunyi demikian?
Kehidupan manusia demikian luas dan kompleks, apalah artinya sebuah UUD yang tidak genap berjumlah seratus pasal tersebut?
Inilah yang kemudian penulis sebut sebagai: suka-suka selera hakim yang memutus. Beruntulah, Mahkamah Konstitusi kemudian menambahkan, bahwa Pemohon Uji Materiil masih boleh mengajukan uji materiil ulang, sepanjang terdapat indikasi penyalahgunaan wajib pajak atas Undang-Undang Pengampunan Pajak ini.
Terkadang, bagi warga negara, jangankan bagi seroang alumnus pendidikan tinggi hukum, adalah membuat frustasi membaca suatu kaidah dalam UUD. Sebagai contoh lain untuk dapat kita angkat, ialah fenomena terkenal: larangan atau kebolehan hukuman mati di Amerika Serikat.
Pada suatu waktu, ketika zaman humanistik sedang berkembang demikian hebatnya di Negeri Paman Sam tersebut, Hakim Agung menafsirkan ketentuan dalam Konstitusi mereka sebagai suatu bahasa isyarat (alias implisit) yang menyatakan bahwa Konstitusi Amerika Serikat tidak membenarkan praktik hukuman mati.
Namun ketika zaman berganti, ketika kekerasan dan berbagai tindak pidana mulai meraja-lela, Hakim Agung yang baru menjabat dikemudian hari, membaca semangat yang terkandung dalam Konstitusi Amerika Serikat sebagai suatu keniscayaan untuk menerapkan hukuman mati, karena jaminan untuk hidup dalam konstitusi mereka diartikan kemudian sebagai jaminan hidup untuk para calon korban para pelaku kejahatan, bukan jaminan hidup bagi pelaku kejahatan yang disinyalir dapat merenggut nyawa warga negara mereka.
Lihat, zaman berganti, penafsir berganti, maka interpretasi pun terus bergerak dan berubah seiring waktu. Padahal, UUD sebagai bahan dasarnya sama, cenderung rigid. Itulah pula anehnya, undang-undang terus dirubah, diganti, atau dihapus, tapi mengapa UUD-nya tetap saja sama? Undang-undang menyatakan kebolehan, lalu diubah menjadi ketidakbolehan, namun UUD-nya masih juga sama.
Apakah ada yang salah disini?
Itu pertanyaan yang sukar dijawab. Karena UUD adalah “makhluk” yang bisu dan setengah “war*ia”. Gendernya tak jelas, dan cenderung “plin-plan”. Tidak akan mampu kita identifikasi. Adalah percuma berbicara mengenai UUD tanpa kesadaran hukum warga negaranya.
UUD menyatakan kebebasan beragama. Kebebasan bagi siapa? Mengapa kemudian sebuah tempat ibadah merasa berhak untuk membuat pencemaran suara lewat pengeras suara / toa yang demikian berisik dan mengganggu umat bergama lain?
UUD harus dibaca seiringan dengan semangat perkembangan zaman. Mungkin inilah esensi utama yang hendak penulis angkat dalam artikel singkat ini. Oleh sebab itu pulalah, Mahkamah Konstitusi RI masih membuka peluang permohonan uji materiil yang sebelumnya dinyatakan “ditolak”, untuk kembali di-uji materiil setelah zaman dan semangat zaman berganti.
Timbul permasalahan baru, bagaimana cara membaca semangat zaman? Semangat zaman adalah hal abstrak lainnya. Mengapa penulis justru menjelaskan suatu hal yang abstrak seperti UUD, dengan hal abstrak lainnya?
Anda benar, penulis memang hanya hendak mengalihkan isu belaka—terdengar masuk diakal, namun sejatinya tak menjelaskan apapun.
Namun setidaknya izinkan penulis untuk menyampaikan satu hal. Semangat zaman terletak didalam kekuatan argumentasi itu sendiri, dalam mengaitkan fakta empiris dalam kaidah normatif hukum yang bersifat imperatif. Itulah sebabnya, hukum tidak murni preskriptif, namun “preskriptif inter deskriptif”. Disini, kita bicara mengenai metodologi penelitian hukum. Untuk hal tersebut, akan penulis bahas secara lebih terperinci dalam kesempatan lain.
Yang pasti, kita tak dapat hidup sebagai seorang spekulan yang pandai berspekulasi. Contoh, ketika terjadi gempa bumi yang menimbulkan arus Tsunami yang meluluhlantakkan peradaban, banyak diantara kaum agamawan berspekulasi: inilah cobaan Tuhan.
Sekalipun Tuhan tidak sedang mencoba, dan memang tidak brekata apa-apa terhadapnya, mengingat lempeng kerak bumi terus bergerak, gempa dan gunung meletus bukanlah hal yang dapat dihindari. Itu merupakan bagian dari fenomena alam yang tak dapat dihindari, sebagai suatu sistem perputaran yang wajar.
Lebih jauh lagi, kita pun dapat berspekulasi, negara yang kerap dilanda bencana alam, adalah negara yang busuk warga negaranya, karena sering membelot dari Tuhan, sehingga Tuhan memberi hukuman.
Cukuplah kita menjadi spekulan ramalan cuaca. Tak perlu bagi kita mendikte Tuhan, terlebih sok kenal Tuhan, terlebih lagi mengklaim mampu membaca pikiran dan isi hati Tuhan.
Memangnya kita ini Tuhan, berani-beraninya kita menyamakan pikiran kita yang sempit ini dengan pikiran Tuhan?
Namun terdapat suatu hal yang untuk saat ini tak dapat dihindari, yakni fakta bahwa membaca UUD, sama artinya menjadi seorang spekulator tulen. Pasal “karet” semacam itu, apanya yang mau dibaca dan ditafsirkan?
Keliru jika kita katakan bahwa pasal yang paling “karet” ialah pasal tentang pencemaran nama baik dalam KUHP. Yang benar ialah UUD itu sendiri yang merupakan induk dari segala pasal karet dalam rezim produk hukum turunannya sendiri semacam undang-undang.
Bukti bahwa penentu “hidup-mati”-nya bukan ditentukan oleh UUD: tak ada satupun dalam sejarah putusan Mahkamah Konstitusi RI yang lebih banyak mengupas UUD ketimbang fakta hukum, argumentasi hukum, fakta empiris, serta nalar yang diajukan oleh pemohon uji materiil dan kesadaran akan indera keadilan dari para Hakim Konstitusi itu sendiri.
Bahkan, bila dihitung, dari sekitar empat puluh halaman putusan Mahkamah Konstitusi, paling banyak hanya satu atau dua lembar halaman yang menyinggung perihal UUD. Itupun hanya berisi pasal dalam UUD yang sumir, alias sekedar dikait-pautkan dan dikutip sebagai pajangan belaka untuk mempertebal putusan, atau sekedar membaut tampak garang dan sakralnya putusan lembaga ini.
Hakim pada Mahkamah Konstitusi hanya memberi putusan mereka dengan baju/kemasan emblem yang diberi merek suatu pasal dalam UUD. Tidak percaya? Cobalah kawan-kawan sesekali membaca pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi, Anda dijamin akan terkejut dibuatnya.
UUD hanya muncul dan disinggung dalam bagian akhir putusan pada bagian mengenai kesimpulan yang tidak menjelaskan makna apapun dari UUD. Gaib, bukan?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.