Bahasa Hukum Tidak dapat Diasumsikan telah Sempurna

ARTIKEL HUKUM
Bahasa memiliki keterbatasannya sendiri, baik bahasa dalam komunikasi lisan/verbal/isyarat maupun komunikasi tertulis. Tak ada bahasa yang sempurna, sehingga tiada pula wadah komunikasi yang dapat diasumsikan telah sempurna sejak semula.
Sebaik apapun bahasa tertulis, terdapat satu elemen yang teralienasi tanpa terhindarkan, yakni gestur atau bahasa tubuh sang penutur. Dalam hasil sebuah penelitian, disebutkan bahwasannya bahasa tubuh menyumbang komunikasi verbal yang efektif dan signifikan terlebih bagi mereka yang merupakan tipe manusia yang lebih dominan menangkap gambaran atau menerjemahkan dunia luarnya lewat penglihatan (tipe visual).
Dalam ilmu psikologi, dikenal setidaknya tiga jenis tipe manusia. Mereka yang lebih dominan dengan indera pendengaran mereka, akan cukup sukar memahami komunikasi non verbal. Sebaliknya, mereka yang dominan tipe kinestetik, lebih mudah memahami bahasa verbal yang disertai gestur sang pembicara.
Hukum yang notabene tulisan diatas kertas, secara lebih mengerikan, mengedepankan aturan tertulis yang mengatur para manusia hidup, yang penuh dengan dinamika yang besar kemungkinan belum terpikirkan oleh regulator pembentuknya.
Apakah artinya zaman hendak di-rem kemajuannya oleh produk hukum yang ketinggalan zaman?
Keterbatasan bahasa bahkan sudah “separuh resmi” menjelma komoditas, yang dimainkan dan digunakan secara apik dalam kemasan penuh tragedi oleh kalangan konsultan hukum, pejabat, jaksa, hakim, maupun pengacara, tidak terkecuali oleh seorang terdakwa. Orang awam hanya disisakan “gigit jari”, praktis tersisihkan dan hanya menjadi penonton atau pasar belaka.
Contoh, ketika seorang pengacara hendak mem-photo dengan kamera suatu surat kuasa milik pengacara lawan, pihak panitera pengadilan melarang, dengan alasan tak ada aturan yang membolehkan surat kuasa di-foto. Mereka juga berkilah, bahwa aturan perdata produk kolonial Hindia Belanda ini saat dahulu kala belum ada barang semacam kamera digital.
Anehnya, sang panitera sehari-hari mengerjakan berkas perkara menggunakan laptop, yang notabene tak ada pernyataan dibolehkan untuk menggunakan laptor dalam hukum acara perdata yang saat ini masih dipakai di Indonesia. Saat Hindia Belanda menjejakkan kaki di Bumi Pertiwi, belum dikenal alat canggih bernama komputer.
Bahasa memiliki keterbatasan, karena tak ada bahasa yang sempurna. Tidak terkecuali bahasa hukum, tiada yang dapat diasumsikan telah sempurna. Adalah Hakim Konstitusi maupun Hakim Agung yang berbahaya yang menganggap tiada aturan normatif hukum yang tidak multitafsir.
Sebuah aturan tertulis, selalu memiliki karakter biasnya sendiri, karena memang bahasa tertulis juga tidak sempurna. Sebuah klausul hukum selalu mengandung dua jenis penafsiran secara laten inheren, yakni dapat diinterpretasi secara luas dan sebaliknya, juga disaat bersamaan dapat ditafsirkan secara sempit. Tergantung kepentingan orang yang memutus.
Contoh, konstitusi yang sama di Amerika Serikat, ketika dibaca dan dimaknai oleh seorang Hakim Agung pada suatu zaman, ditafsirkan sebagai larangan untuk hukuman mati. Ketika zaman berganti, dan sang Hakim Agung yang menafsirkan kemudian diganti oleh Hakim Agung baru, konstitusi yang sama, masih dengan rumusan redaksional pasal yang sama, dibaca dan dimaknai sebagai kebolehan untuk hukuman mati.
Dua sudut pandang melahirkan dua gambaran dan pemahaman yang berbeda, meski objeknya sama, hukumnya sama. Terlebih bila seseorang memakai kacamata legalistis atau yang lebih bebas menafsirkan, berbeda pula pendapat dan pendiriannya, meski aturan hukumnya sama. Tiga sarjana hukum berdebat, lahir empat jenis penafsiran.
Hukum itu sendiri notabene benda mati, bisu. Sama dungunya dengan batu kali yang teronggok di sungai. Namun kaum manusia selama beribu-ribu tahun telah dibuat heboh olehnya, berbagai bencana kemanusiaan terjadi.
Inilah dagelan dunia hukum.
Sebagai ilustrasi, betapa “gilanya” aturan hukum, ialah perdebatan klise perihal asas legalitas: bila tak diatur suatu larangan, berarti merupakan suatu kebolehan. Jika tak dilarang, berarti boleh, katanya.
Namun benarkah demikian?
Adalah bagi sudut pandang pihak lain, adalah sah-sah saja justru berpendapat: Apa dasar hukumnya perbuatan tersebut dilakukan, memang adakah aturan yang membolehkan itu untuk dilakukan?
Lihat, bukankah hukum demikian membingungkan? Rancu, ambigu, bias, dan membuat frustasi siapapun warga negara yang diikatnya.
Jangankan masyarakat umum yang awam hukum, sarjana hukum pun kerap dibuat heran oleh “ulah” hukum tertulis ini. Padahal, katanya, hukum adalah ilmu tentang prediksi. Namun apa yang dapat diprediksi bila disaat bersamaan hukum menyimpan bahaya laten berupa cacat alias tidak sempurnanya bahasa komunikasi sebagai kodrat bahasa, terutama bahasa tertulis.
Bahasa tertulis sama cacatnya dengan bahasa isyarat.
Tanpa dasar hukum suatu perbuatan kita lakukan, kita dipersalahkan. Namun disaat bersamaan hukum menganut standar ganda yang menyatakan, selama tidak dilarang maka artinya suatu kebolehan.
Jadi mana yang sebetulnya boleh dan mana yang dilarang? Perdebatan ini terus berdialektika, sejak dahulu kala hingga saat ini. Penulis skeptis satu abad mendatang masalah ini akan dapat dicarikan solusi. Aturan hukum telah dibuat demikian masifnya, dengan harapan dapat menutupi kelemahan aturan tertulis. Namun justru kemudian membuka masalah baru lainnya.
Hidup di tengah rimba belantara hukum, bagai meraba-raba. Pernyataan penulis bukan eufemisme, bukan pula suatu istilah melankolis, tapi fakta di lapangan. Meraba-raba. Terkadang harus terbentur dahulu, sebelum tahu benar bahwa suatu perbuatan lebih baik dihindari.
Oleh karenanya, belajar dari pengalaman, tetap lebih baik. Oleh karenanya juga, sistem pembelajaran versi case study ala sistem keluarga hukum Anglo Saxon / common law, jauh lebih efektif dan lebih efesien ketimbang sistem keluar hukum Eropa Kontinental.
Seorang hakim yang berkuasa untuk memeriksa dan mengabulkan permohonan uji materiil dari masyarakat, adalah menjadi musuh bersama rakyat ketika ia memiliki prinsip “destruktif”: bahwasannya suatu aturan hukum sudah sangat jelas “dari sananya”.
Contoh, dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, disebutkan bahwa pengusaha harus memperlakukan pekerjanya secara tanpa diskriminasi.
Apakah klausa “tanpa diskriminasi” diatas adalah telah jelas? Benar-benar jelas sejelas-jelasnya?
Yakin?
Hanya seorang hakim pemalas yang berasumsi demikian.
Dalam rezim UU Ketenagakerjaan, diadopsi standar ganda yang bernama pekerja kontrak, pekerja harian, pekerja borongan, pekerja tetap, dsb. Masing-masing diperlakukan berbeda, hak berbeda, dan perlindungan hukum berbeda, meski tanggung jawab dan bobot kerja mereka bisa jadi sama satu sama lain. Hanya kemasannya saja yang berbeda. Apalah bedanya pekerja outsourcing dengan pekerja tetap? Ini merupakan pembodohan pemerintah terhadap warga negaranya.
Dimana letak “tanpa diskriminasi” sebagaimana dinyatakan undang-undang tersebut bila disaat bersamaan rezim undang-undang bersangkutan mengadopsi standar ganda?
Lihat ketentuan dalam Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang menyatakan bahwa Sertifikat sebagai bukti pendaftaran hak atas tanah memiliki kapasitas pembuktian kepemilikan yang “kuat”. Apakah frasa “kuat” tersebut lantas dapat diartikan telah memberi perlindungan hukum serta kepastian bagi para pemegangnya?
Kemudian terbitlah regulasi separuh “sinting” yang bernama Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang gaibnya, mengamputasi produk hukum bernama undang-undang.
Peraturan Pemerintah ini menyatakan, betul bahwa sertifikat hak atas tanah adalah “kuat”, tapi tidak “mutlak”. Artinya, masih boleh dibatalkan.
Dalam praktik, pejabat Kantor Pertanahan kerap berkelit lebih menghebat lagi: benar jika sertifikat telah berumur lebih dari 5 (lima) tahun akan menjadi “mutlak” kekuatan pembuktiannya. Tapi tidak “sempurna”.
Bahasa hukum tidak sempurna, oleh sebab itu rawan dipelintir, terutama oleh oknum yang berkepentingan, hendak mencari aman, atau bahkan menyalahgunakan kekuasaan dan wewenang.
Mereka-mereka yang tidak bertanggung-jawab sangat peka terhadap hal ini, untuk kemudian memanfaatkan kelemahan hukum tertulis untuk dijadikan barang komoditas jualan.
Jualan hukum.
Seorang terpidana dihukum sanksi pidana berupa denda. Korbannya besorak: “Horeee, akhirnya dihukum juga si brengsek itu.”
Tapi ia lupa, sanksi pidana denda ini oleh pelaku kemudian dibayarkan dari uang penggelapan yang ia dapatkan dari sang korban. Artinya, si korban mensubsidi sang pelaku.
Bagaimana, Anda sudah merasa frustasi?
Sama.
Hukum terkadang membodohi warga negara yang menjadi pengemban hukum. Lihatlah bagaimana Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan telah diuji materiil tanpa berkesudahan. Tidak terhitung lagi pasal demi pasal dipereteli. Masih akan menyusul beberapa uji materiel terhadap undang-undang tersebut tahun ini.
Sejatinya setiap pasal dalam produk hukum dapat dan berpotensi diuji materiil. Mengapa? Karena memang tiada yang sudah sempurna “sejak dari sananya”.
Dari “orok” sudah bermasalah.
Sekali lagi, adalah berbahaya seorang hakim konstitusi yang berasumsi bahwa suatu aturan hukum sudah sangat jelas. Hanya dua kemungkinan dari hakim jenis ini: matanya rabun karena meski belum uzur benar, atau bisa jadi “buta warna”. Jika sudah demikian, kita hanya dapat mengelus dada dan mengharap keajaiban terjadi.
Seorang pengajar di bangku pendidikan tinggi hukum sempat berpesan pada para peserta didiknya: “Jika dipikir-pikir, hukum itu bukannya pintar, tapi justru bikin sinting.”
Lebih gilanya lagi, sang penutur yang membuat aturan tertulis itu bisa jadi sudah meninggal dunia. Artinya, kita masyarakat modern ini, masih diatur dan meminta petunjuk dari mereka yang telah almarhum.
Jadi, kepada siapa kita hendak bertanya, apa maksud ia membuat aturan “sinting” semacam itu yang kini sudah masa bodoh dengan dunia manusia. Maaf telah membuat para pembaca separuh “sinting” akibat membaca artikel “sinting” ini.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.