1 Hari Mogok Kerja Tidak Sah Berujung PHK

LEGAL OPINION
Question: Ada sebagian dari karyawan kami yang mogok di pabrik, tidak sah pula. Mereka mogok memang hanya selama satu hari lamanya, tapi bisakah mereka dipecat karena mogok kerja tak sah, tanpa pesangon apapun?
Brief Answer: Mogok kerja yang hanya selama 1 (satu) hari kerja, bukanlah sebentuk aksi mogok kerja yang sama sekali fatal, meski dilakukan secara tidak sah. Cukup terapkan kebijakan no work no paid, selama aksi mogok kerja para pekerja/buruh besangkutan.
Kecuali, Anda selaku pihak pengusaha memang telah tidak mau melanjutkan hubungan industrial dengan para pekerja pelaku aksi mogok kerja tidak sah tersebut, dapat diajukan permohonan pemutusan hubungan kerja (PHK) ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI)—namun dengan resiko akan dikualifikasi sebagai PHK akibat disharmoni dengan beban kompensasi berupa 2 (dua) kali ketentuan pesangon normal yang wajib diberikan oleh pengusaha.
Atau, alternatif lainnya ialah cukup terapkan PHK terhadap pekerja/buruh yang menjadi provokator, sementara terhadap pekerja lain yang hanya sekedar mengikuti ajakan mogok, cukup diberlakukan peringatan sekaligus kebijakan no work no paid.
Yang harus diperhatikan pengusaha, pemutusan hubungan kerja ini baru sah setelah terbit putusan dari PHI, lewat mekanisme gugatan—bukan sekadar “PHK secara politis”, disamping uang proses bila skoorsing diterapkan.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah kasus serupa yang dapat dijadikan rujukan, yakni putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 378 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 31 Mei 2016, perkara antara:
- PT. SUZUKI INDOMOBIL MOTOR, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Penggugat; melawan
- 1. SAEFUDIN; 2. IRWANTO; dan 3. HENDRA GUNAWAN, selaku Para Termohon Kasasi dahulu Para Tergugat.
Para Tergugat merupakan karyawan Penggugat. Perselisihan mengenai PHK yang dijatuhkan Penggugat terhadap Para Tergugat, telah menempuh upaya mediasi pada Suku Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Jakarta Timur. Mediator menerbitkan anjuran yang mengatakan bahwa hubungan kerja Para Tergugat putus dan menganjurkan Para Tergugat untuk menerima kompensasi uang pesangon sebesar 2 (dua) kali Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sesuai Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai Pasal 156 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Terhadap surat anjuran tersebut Para Tergugat menolak, sehingga Penggugat meneruskan perkara ini ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta.
Tampaknya pihak pengusaha sudah lagi berniat untuk menyimpan “api dalam sekam”, sehingga memilih untuk mengajukan permohonan PHK para Tergugat. Dengan elegan, Penggugat menggunakan tata bahasa berikut dalam gugatannya:
“Penggugat mengajukan gugatan ini supaya perselisihan PHK ini segera mendapat kepastian hukum. Dengan terbitnya putusan atas perselisihan ini akan membuka peluang dan kesempatan Para Tergugat untuk berkarier di perusahaan lain, sekaligus menciptakan ketenangan bekerja di lingkungan Penggugat.”
Penggugat mengajukan gugatan didasarkan pada dalil sebagai berikut:
a. Para Tergugat telah bertindak arogan dan secara sengaja melanggar ketentuan PKB dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, yakni menghimbau atau mengajak atau membujuk para karyawan yang merupakan rekan kerjanya untuk turut melakukan mogok kerja yang tidak sah;
b. Atas bujukan atau ajakan Para Tergugat, para karyawan Penggugat melakukan mogok kerja pada tanggal 17 Desember 2014;
c. Kesalahan yang tidak dapat ditolerir dari tindakan Para Tergugat adalah mengajak rekan kerja melakukan mogok kerja dengan cara yang bertentangan dengan Pasal 137 dan Pasal 140 UU No. 13 tahun 2003. Mogok yang berlangsung tidak memenuhi syarat sahnya mogok kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 137 dan Pasal 140 UU No. 13 Tahun 2003. Pasal 137 UU No. 13 Tahun 2003 mengatur bahwa mogok kerja dapat dilakukan sebagai akibat gagalnya perundingan. Sebelum mogok dilaksanakan, Para Tergugat dan karyawan lainnya, tidak sedang merundingkan sesuatu dengan Penggugat yang berujung deadlock, sehingga tidak terdapat kondisi yang tepat untuk dijadikan alasan melakukan mogok kerja;
d. Pasal 140 UU No. 13 Tahun 2003 mengatur teknis dan mekanisme mogok kerja yang wajib dipenuhi sebelum melakukan mogok kerja. Ketentuan itu mengatur sebagai berikut:
(1) Sekurang-kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggungjawab dibidang ketenagakerjaan setempat;
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
a. Waktu (hari, tanggal dan jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja;
b. Tempat mogok kerja;
c. Alasan dan sebab-sebab mengapa harus melakukan mogok kerja; dan
d. Tanda-tangan ketua dan sekretaris dan/atau masing-masing ketua dan sekretaris serikat pekerja/serikat buruh sebagai penanggung-jawab mogok kerja.
Akibat mogok kerja tidak sah tersebut, Penggugat mengklaim mengalami kerugian yang timbul akibat tidak berputarnya roda produksi sebagaimana semestinya (potential loss).
Oleh karena dalam pengakhiran hubungan kerja ini Penggugat menjatuhkan skorsing, dan upah skorsing Para Tergugat tetap dibayar setiap bulan sampai gugatan berjalan, maka Para Tergugat tidak berhak lagi menerima upah skorsing ataupun upah proses PHK.
Penggugat menutup gugatannya dengan bahasa yang elegan, dengan kutipan sebagai berikut:
“Gugatan Penggugat ini membuktikan bahwa Penggugat menghormati hukum yang berlaku di negara Republik Indonesia, sekaligus kecewa terhadap Para Tergugat—sebab dengan cara arogan Para Tergugat tidak menghargai dan menghormati ketentuan perundang-undangan terkait pelaksanaan mogok kerja.
“Fakta itu mempertontonkan bahwa Para Tergugat sendiri telah menodai hubungan kerja yang selama ini berlangsung harmonis. Sikap arogan dari Para Tergugat itu sungguh-sungguh bertentangan dengan kaidah pada alinea ketiga Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004. Kaidah itu dikutip sebagai berikut :
‘Dalam hal salah satu pihak tidak menghendaki lagi untuk terikat dalam hubungan kerja tersebut, maka sulit bagi para pihak untuk tetap mempertahankan hubungan yang harmonis.’”
Terhadap gugatan tersebut PHI Jakarta telah memberi putusan Nomor 144/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.JKT.PST, tanggal 4 November 2015 yang amarnya sebagai berikut:
MENGADILI:
Dalam Pokok Perkara:
Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya.”
Penggugat mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“Bahwa keberatan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 2 Desember 2015 dan kontra memori kasasi tanggal 17 Desember 2015, dihubungkan dengan pertimbangan judex facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Bahwa tidak terbukti Para Termohon kasasi / Pekerja membujuk teman kerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan sesuai Pasal 88 ayat (2) huruf g PKB 2013-2015, melainkan terbukti mogok kerja pada tanggal 17 Desember 2014 secara spontan sekitar pukul 10.00 WIB pada saat proses produksi berlangsung di unit Cakung;
2. Bahwa mogok kerja tidak sesuai ketentuan Pasal 137, 140 Undang–Undang Nomor 13 Tahun 2003 juncto Pasal 4 Kepmenakertrans Nomor 232/Men/2003, yang merupakan hak dasar pekerja namun harus dilakukan secara sah, tertib dan damai, akibat dari gagalnya perundingan, oleh karenanya sesuai ketentuan Pasal 142 merupakan mogok tidak sah;
3. Bahwa menurut ketentuan Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, mogok kerja adalah tindakan Pekerja yang direncanakan dan dilaksanakan secara bersama-sama dan atau oleh Serikat Pekerja untuk menghentikan, atau memperlambat pekerjaan;
4. Menimbang bahwa pekerja melakukan mogok tidak memenuhi tata cara dalam ketentuan perundang-undangan maka perbuatan Pekerja tidak dibenarkan, oleh karenanya tidak beralasan hukum hubungan kerja terus berlanjut;
5. Bahwa sekalipun demikian, menimbang mogok kerja hanya 1 hari yaitu tanggal 17 Desember 2014 hubungan kerja berkeadilan hanya dapat dinyatakan putus dengan alasan disharmonis, dan Para Termohon kasasi/Pekerja berhak atas uang kompensasi 2 kali Uang Pesangon (UP), Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK), Uang Penggantian Hak (UPH), tanpa upah proses karena dikenai surat skorsing sesuai ketentuan Pasal 155 ayat (3) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003, dengan perhitungan sebagai berikut: ...
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, Mahkamah Agung berpendapat, terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PT.SUZUKI INDOMOBIL MOTOR tersebut dan membatalkan putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 144/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.JKT.PST tanggal 4 November 2015 serta Mahkamah Agung akan mengadili sendiri dengan amar sebagaimana yang akan disebutkan dibawah ini;
 “M E N G A D I L I
- Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PT.SUZUKI INDOMOBIL MOTOR tersebut;
- Membatalkan putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor Nomor 144/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.JKT.PST tanggal 4 November 2015;
MENGADILI SENDIRI :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebahagian;
2. Menyatakan putus hubungan kerja antara Penggugat dengan Para Tergugat sejak putusan Judex Juris diucapkan;
3. Menghukum Penggugat untuk membayar Kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja kepada Para Tergugat masing-masing:
a. Tergugat I (Saefudin) sejumlah Rp76.400.338,00 (tujuh puluh enam juta empat ratus ribu tiga ratus tiga puluh delapan rupiah);
b. Tergugat II (Irwanto) sejumlah Rp75.109.375,00 (tujuh puluh lima juta seratus sembilan ribu tiga ratus tujuh puluh lima rupiah);
c. Tergugat III (Hendra Gunawan) sejumlah Rp147.803.318,00 (seratus empat puluh tujuh juta delapan ratus tiga ribu tiga ratus delapan belas rupiah);
4. Menolak gugatan Penggugat untuk selebihnya.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.