ARTIKEL HUKUM
Kemanakah, bila masyarakat / warga negara hendak menguji materiil (judicial review) Peraturan Mahkamah Agung RI (PERMA) maupun Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA)?
Apakah SEMA dan PERMA merupakan peraturan perundang-undangan? Ini merupakan isu hukum kedua dan masalah lainnya lagi.
Pertanyaan tersebut tampak sederhana, dimana regulasi yang ada menyatakan secara eksplisit bahwa undang-undang diuji materil oleh Mahkamah Konstitusi RI, sementara kewenangan Mahkamah Agung RI untuk menguji materiil ialah peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang.
Namun benarkah artinya Mahkamah Agung RI yang berwenang menguji materiil peraturan yang dibuatnya sendiri?
Benarkah jawabannya sesederhana itu?
Jangan dibodohi oleh peraturan perundang-undangan. Ini pesan penulis bagi rekan-rekan pembaca. Tak ada bahasa yang sempurna, terlebih bahasa tertulis, tak terkecuali bahasa hukum. Semua dapat dilekatkan penafsiran tertentu, sesuai dengan “selera” sang penafsir (intrepretor).
Pertanyaan penulis berikut ini akan membuat menjadi tidak mudah lagi untuk dijawab secara apa adanya. Bila kita renungkan secara lebih mendalam, ada yang keliru dengan konsep paradigmatik hukum ini.
Bila seorang raja tidak diperkenankan membuat aturan sekaligus menjadi hakim, terlebih hakim bagi dirinya sendiri, maka kemudian Mahkamah Agung diberikan kewenangan yang demikian besar seakan lawless?
Mungkinkah ini akibat kekosongan hukum (rechtsvacuum) atau akibat keliru dalam membentuk konsep negara hukum?
Dalam konsep murni Trias Politica, landasan utamanya ialah tidak diperkenankan dalam satu tangan memiliki berbagai kekuatan yang tiada batasan. Kewenangan tiada batasan akan tends to corrupt, sebagaimana diwanti-wanti oleh Lord Acton. Absolut power, corrupts absolutely.
Demi memecah kekuasaan itu, dibagilah tiga kategori besar kekuasaan negara, yakni Lembaga Eksekutif yang menjalankan kebijakan dan peraturan perundang-undangan, Lembaga Legislatif yang menyusun peraturan perundang-undangan, serta Lembaga Yudikatif yang menyelesaikan sengketa antara pemerintah dan warga negaranya atau antar warga negara.
Berbagai SEMA dan PERMA diterbitkan MA RI, menjadi quasi/pseudo undang-undang. Parlemen di-“nina-bobo”-kan oleh sikap hyper-aktif Mahkamah Agung yang membentuk berbagai regulasi mengikat umum/publik meski hakiki dirinya adalah Lembaga Yudikatif.
Keblablasan, Mahkamah Agung kian “rajin” menyusun dan menerbitkan SEMA serta PERMA, yang mana hasilnya ternyata jauh dari kajian akademik sehingga antara SEMA satu kemudian saling dikoreksi oelh SEMA selanjutnya, dan begitu seterusnya, tambal sulam, terkesan kurang digodok secara baik sebelum dilempar ke “pasar” (publik).
Perlu kita sadari bersama, SEMA dan PERMA yang menjadi demikian gemuk dan rimbun ini, bagaikan gurita yang sewaktu-waktu dapat menjerat dan membelit warga negara maupun penyusun regulasi dan pemerintah itu sendiri.
Penulis hanya dapat membenarkan, SEMA / PERMA diterbitkan dalam rangka “kedaruratan”, alias menyerupai konsep Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), dimana Perpu bersifat darurat, sementara, dan dapat disahkan menjadi Undang-Undang oleh Parlemen (legislatif review), atau sebaliknya tidak disahkan oleh parlemen sehingga Perpu itu gugur secara sendirinya setelah lewatnya jangka waktu keberlakuan Perpu.
Oleh karenanya, mau tidak mau, SEMA maupun PERMA yang mengikat publik, hanya boleh dibenarkan dalam konteks sementara serta sifat darurat/genting, agar tidak “keblalasan”. SEMA dan PERMA ini pun harus lolos Legislatif Review layaknya Perpu.
SEMA dan PERMA yang diterbikan Lembaga Yudikatif ini, memiliki subtansi yang tidak jarang menyerupai / berbobot norma imperatif yang sejatinya hanya dapat diatur dalam bentuk wadah undang-undang yang dibahas bersama antara pemerintah dan parlemen.
Meminta agar Mahkamah Agung RI membatalkan SEMA atau PERMA yang diterbikannya sendiri lewat uji materiil masyarakat, sama artinya pemohon uji materiil hendak meminta Mahkamah Agung untuk menampar wajah mereka sendiri—kecuali, saat pucuk pimpinan MA RI yang pensiun atau digantikan, seperti kata pepatah dalam dunia politik, tren ganti pucuk pimpinan ganti peraturan, masih dimungkinan uji materiil dikabulkan.
Sekarang kita beralih kembali pada topik utama, siapa yang berwenang menguji materiil SEMA ataupun PERMA ini?
Suatu hal yang cukup mengganjal, menggelitik rasa ingin tahu penulis untuk menyelidik lebih jauh. Mungkinkah, berbagai SEMA dan PERMA diterbikan Mahkamah Agung guna mengamputasi kewenangan Mahkamah Konstitusi RI? Sebagaimana kita ketahui, Mahkamah Agung kerap membangkang terhadap berbagai putusan MK RI.
Bagaimana caranya mengamputasi kewenangan MK RI lewat diterbitkannya berbagai SEMA dan PERMA?
Pernahkah rekan-rekan pembaca sadari atau pertanyakan, bila suatu saat hendak menguji materiil suatu norma undang-undang ke MK RI, lantas tidak diterima Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dengan alasan: “Yang berwenang menguji ialah Mahkamah Agung, karena kaidah undang-undang yang hendak diuji telah diatur secara teknis oleh SEMA/PERMA”.
Matilah sudah. Skak mat.
Rimbungnnya SEMA dan/atau PERMA yang diterbikan Mahkamah Agung, menjadi simbol perang dingin antara MA RI terhadap MK RI. Mengapa sinisme ini terjadi, tidak juga penulis dapati petunjuknya.
Pertanyaan lebih jauh menggelitik penulis untuk memahami dan mengamati “perangai” atau berbagai karakter yang SEMA/PERMA yang diterbitkan lembaga sakral bernama Mahkamah Agung ini. Ternyata, terdapat sebuah hal menarik untuk kita pahami bersama.
Ternyata, setelah penulis coba renungkan, SEMA dan PERMA, dapat dikategorikan dalam dua kualifikasi besar, yakni:
- SEMA dan/atau PERMA, yang bernuansa / memiliki derajat hanya penafsiran sang ketua hakim agung belaka atas suatu keberlakuan undang-undang; atau
- SEMA dan/atau PERMA, yang mengandung norma hukum baru bentukan institusi Mahkamah Agung.
Bila memiliki substansi yang dikategorikan sebagai penafsiran / cara pandang MA RI belaka atas suatu norma undang-undang, maka untuk mengajukan uji materiil terhadap norma undang-undang yang ditafsirkan keberlakuannya oleh SEMA dan/atau PERMA tersebut, tetap menjadi kewenangan absolut MK RI, sebab yang memiliki otoritas konstitusional untuk memberi penafsiran otoritatif terhadap suatu keberluan norma undang-undang, ialah MK RI semata.
Satu hal sudah jelas, meski dalam praktiknya pandangan penulis tersebut diatas belum diakomodasi. Mungkin suatu saat nanti baru akan dapat dipahami dan dipraktik dalam aplikasinya, sebab penulis dalam kesempatan kali ini belum merumuskan secara tegas kriteria substansi SEMA dan/atau PERMA yang murni norma baru ataukah hanya sebatas penafsiran semata atas suatu keberlakuan undang-undang.
Bila SEMA dan/atau PERMA mengandung norma hukum baru, maka sejatinya konsep negara hukum Trias Politica menjadi rusak/digerogoti/dirongrong akibat terlampau jauhnya Lembaga Yudikatif melangkah keluar dari ranah mereka seharusnya hanya dapat berpijak.
Dalam hal ini tidak terdapat sebentuk alarm, bagi Lembaga Yudikatif atas berbagai SEMA dan/atau PERMA yang mereka terbitkan, yang mana senyatanya telah melampaui kewenangan Lembaga Yudikatif.
Menjadi berbahaya, karena lembaga yang menerbitkan SEMA dan/atau PERMA, lembaga yang memeriksa dan memutus perkara pidana/perdata yang diatur dalam SEMA dan/atau PERMA, serta lembaga yang berwenang menguji materiil SEMA dan/atau PERMA tersebut ialah / berada di tangan tunggal Mahkamah Agung RI.
Celaka, habislah kita.
Mahkamah Agung RI menjelma superbody dalam arti yang sesungguhnya. Untouchable.
Inilah mengapa, dari sedari awal artikel singkat ini penulis sampaikan, bahwasannya adalah sangat berbahaya bila praktik MA RI ini terus dibiarkan dan berlangsung. Harus ada pembatasan yang menegaskan kembali konsep Trias Politica.
Saat ini, yang ada bukan lagi prinsip Trias Politica maupun Check and Balances, namun tirani Lembaga Yudikatif atas kemaslahatan hidup orang banyak. Kita terlampau mempertaruhkan banyak resiko hidup kita di tangan MA RI bila ketidaktegasan garis pemisah ini tidak kita perjelas kembali seperti konsepnya semula.
Namun sikap aktif MA RI tidak sepenuhnya dapat dipersalahkan. Lihatlah, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hukum acara perdata, undang-undang tentang lelang, dan berbagai undang-undang lainnya, masih merupakan produk warisan kolonial Belanda yang bahasa aslinya masih berwujud Bahasa Belanda. Praktis, tidak terdapat versi terjemahan resmi undang-undang tersebut.
Apa Indonesia sudah merdeka?
Dari sudut pandang kedaulatan hukum, jawabnya: belum.
Entah karena takut merdeka, atau karena mental terjajah yang belum lepas dari kenangan, atau memang karena kurangnya itikad baik bangsa terhadap nasib anak bangsa sendiri. Pragmatis.
Menyimak artikel ini, sama artinya kita masuk dalam lingkaran “setan”. Menjadi benang kusut yang tak jelas ujung pangkal dan masalahnya untuk diuraikan, mana yang terlebih dahulu perlu dibenahi.
Tak terhitung lagi jumlah sarjana hukum, doktor hukum, bahkan profesor hukum yang bersekolah di luar negeri, mendapat gelar Phd dari fakultas hukum Harvard ataupun Stanford. Namun, kemana mereka semua? Apa saja kerja intelektual hukum kita?
Faktanya, para akademisi hukum di Indonesia justru sibuk berpolitik kampus, saling sikut-menyikut guna merenggut kekuasaan dan ajang mark-up, dan berbagai kekotoran lain yang tidak patut mencemari dunia pendidikan tinggi hukum.
Semoga artikel singkat yang membingungkan ini tidak membuat rekan-rekan pembaca bertambah bingung. Salam berhukum.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.