ARTIKEL HUKUM
KETIKA MAHKAMAH
KONSTITUSI MENGOREKSI “KECELAKAAN HUKUM” PUTUSAN HAKIM KONSTITUSI SEBELUMNYA
Tidak tertutup kemungkinan dalam sebuah perusahaan terdapat lebih dari
satu Serikat Pekerja (SP), yang berisi SP yang murni merepresentasikan aspirasi
dan kepentingan anggotanya, namun kerap juga terdapat SP “boneka” bentukan yang
disponsori pihak pengusaha atau yang disusupi orang-orang pihak pengusaha
sebagai suatu “SP tandingan”.
Isu mengenai majemuknya SP dalam satu perusahaan, barulah menjadi isu
sensitif ketika masuk dalam pembahasan pembentukan Perjanjian Kerja Bersama
(PKB). Kepentingan pengusaha pun “bermain” dalam “air keruh”.
Ditolaknya permohonan judicial review
di hadapan Mahkamah Konstitusi RI bukanlah menjadi “harga mati”. Dalam putusan Mahkamah
Konstitusi RI perkara pengujian undang-undang, tanggal 10 November 2010,
menjadi salah satu contoh konkret sejarah unik putusan MK RI yang mengoreksi
pertimbangan hukum serta amar putusan MK RI sebelumnya.
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat
Pekerja/Serikat Buruh, mengatur:
“Serikat pekerja/serikat
buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh
baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka,
mandiri, demokratis dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta
melindungi hak dan kepentingan pekerja dan buruh serta meningkatkan
kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.”
Pasal 4 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat
Buruh juga mengatur bahwa:
“Untuk mencapai tujuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi
serikat pekerja/serikat buruh mempunyai fungsi:
a. sebagai pihak dalam pembuatan perjanjian kerja bersama dan
penyelesaian perselisihan industrial;
b. sebagai wakil pekerja/buruh dalam lembaga kerja sama di bidang
ketenagakerjaan sesuai dengan tingkatannya;
d. sebagai sarana penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak dan
kepentingan anggotanya;
e. sebagai perencana, pelaksana, dan penanggung jawab pemogokan
pekerja/buruh sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
f. sebagai wakil pekerja/buruh dalam memperjuangkan kepemilikan saham
dalam perusahaan.
Pertimbangan mendasar yang digunakan Pemohon, bahwasanya Perjanjian Kerja
Bersama (PKB) merupakan ketentuan yang berlaku bagi seluruh pekerja yang ada di
dalam perusahaan, maka dengan demikian dapat ditarik sebuah analogi bahwa
hakikat dari pada pembuatan PKB adalah pembuatan “undang-undang” (quasi) yang
berlaku dan mengikat bagi seluruh komponen yang ada di dalam perusahaan.
Pembuatan quasi “undang-undang” yang berlaku dan mengikat bagi seluruh
komponen yang ada di dalam perusahaan, maka menjadi suatu keharusan di dalam
negara hukum bahwa pembuatan quasi undang-undang demikian melibatkan
pihak-pihak yang berkepentingan di dalam perusahaan, yang dalam hal ini adalah
seluruh serikat pekerja yang ada di dalam perusahaan.
Yang menjadi objek permasalahan, ialah ketentuan Pasal 120 UU 13/2003
yang menyatakan:
(1) Dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat
buruh maka yang berhak mewakili pekerja/buruh melakukan perundingan dengan
pengusaha yang jumlah keanggotaannya lebih dari 50% (lima puluh perseratus)
dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut.
(2) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
terpenuhi, maka serikat pekerja/serikat buruh dapat melakukan koalisi sehingga
tercapai jumlah lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah
pekerja/buruh di perusahaan tersebut untuk mewakili dalam perundingan dengan
pengusaha.
(3) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2)
tidak terpenuhi, maka para serikat pekerja/serikat buruh membentuk tim
perunding yang keanggotaannya ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah
anggota masing-masing serikat pekerja/serikat buruh.
Dengan adanya ketentuan di dalam Pasal 120 ayat (1) UU 13/2003, maka Pemohon
yang saat ini jumlah anggotanya kurang dari 51% dari total seluruh karyawan
menjadi kehilangan hak untuk menyampaikan aspirasi melalui perundingan
perumusan PKB di perusahaan, hal ini dibuktikan dengan tidak diikutsertakannya
Pemohon dalam perundingan PKB perusahaan untuk periode 2008—2010.
Terdapatnya norma Pasal 120 ayat (1) UU 13/2003 telah secara nyata
merugikan Pemohon untuk menyampaikan aspirasinya. Perundingan PKB di dalam sebuah
perusahaan merupakan proses pembuatan (quasi) undang-undang yang berlaku dan
mengikat bagi seluruh pekerja yang ada di dalam perusahaan, maka seharusnya
asas keterwakilan dari seluruh komponen atau serikat pekerja yang ada di dalam
perusahaan seharusnya diakomodasi oleh Undang-Undang.
Dalam perkara pengujian yang pernah diputus sebelumnya oleh Mahkamah
Konstitusi Perkara Nomor 012/PUU-II/2003, Mahkamah membuat pertimbangan hukum
sebagai berikut:
“Apabila di satu perusahaan
terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh dan tiap-tiap
serikat pekerja/serikat buruh secara sendiri-sendiri melakukan perundingan
pembuatan perjanjian kerja bersama dengan perusahaan maka di perusahaan
tersebut akan terdapat lebih dari 1 (satu) perjanjian kerja bersama.”
Pemohon memandang bahwa Majelis Hakim Konstitusi dalam putusan sebelumnya
tersebut, belum mempertimbangkan faktor-faktor sebagai berikut:
a. Asas Keterwakilan (Representative): keterwakilan
seluruh komponen yang ada di dalam perusahaan atau keterwakilan seluruh serikat
pekerja yang ada di dalam perusahaan seyogianya diakomodir dan dilindungi oleh
Undang-Undang;
b. Kesederajatan Hukum (Legal Equality): Perlakuan yang sama
dan adil di hadapan hukum sebagaimana dijamin UUD 1945, oleh karenanya
ketentuan dalam Undang-Undang seyogianya tetap menghargai dan menghormati
kesederajatan hukum, termasuk dalam hal ini adalah perlakuan yang sama terhadap
seluruh serikat pekerja yang ada di dalam perusahaan, dengan tidak membedakan
hak antara serikat pekerja mayoritas maupun serikat pekerja minoritas. Semuanya
perlu diberikan hak yang sama untuk ikut serta dalam perundingan pembuatan PKB di
dalam perusahaan.
Oleh karenanya, Pemohon mengajukan kembali permohonan uji materi kepada Mahkamah
Konstitusi terhadap Pasal 120 ayat (1) UU 13/2003 untuk mendapatkan pengakuan,
jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan yang sama
di hadapan hukum tanpa adanya diskriminasi atau perbedaan apakah status Pemohon
merupakan serikat pekerja yang mayoritas ataukah serikat pekerja minoritas.
Hanya memberikan hak berunding kepada hanya satu serikat pekerja dengan
jumlah anggota lebih dari 50% dalam perundingan PKB di dalam perusahaan, telah
secara nyata mengandung materi muatan yang bersifat membatasi, menghambat, menghilangkan
dan mendiskriminasikan hak-hak Pemohon sesuai dengan fungsi dan tujuan
dibentuknya Serikat Pekerja di dalam perusahaan sehingga dengan demikian, pasal
tersebut telah memandulkan atau mengabaikan 49% suara di luar serikat pekerja
mayoritas tersebut.
Pemohon dengan demikian mengajukan kembali permohonan uji materi Pasal
120 ayat (1) UU 13/2003 kepada Mahkamah Konstitusi agar kiranya seluruh serikat
pekerja yang ada di dalam perusahaan diberikan kesempatan dan hak yang sama
untuk secara bersama-sama dengan serikat pekerja mayoritas untuk duduk dalam
Tim Perunding yang akan merumuskan dan menyepakati hanya satu PKB yang dibuat
dan berlaku di dalam perusahaan dengan pengusaha.
Penentuan komposisi Tim Perunding dapat dilakukan secara koalisi atau proporsional
berdasarkan jumlah anggota, sehingga asas keterwakilan dalam perumusan
dan pembuatan PKB di dalam perusahaan tetap melibatkan seluruh komponen
serikat pekerja yang ada di dalam perusahaan.
Asas keterwakilan atau yang dikenal dengan istilah proportional representative dalam pembuatan PKB merupakan hal yang
lazim dilakukan di negara-negara maju.
Pasal 120 ayat (1) UU 13/2003 yang hanya memberikan kesempatan kepada
serikat pekerja mayoritas (yakni serikat pekerja yang jumlah anggotanya lebih
dari 51%) dan menghilangkan hak suara dari serikat pekerja minoritas. Pasal 120
ayat (1) secara nyata mengandung materi muatan dominasi mayoritas yang membuat
dan menyebabkan peniadaan atau penghapusan hak dan kepentingan yang dimiliki serikat
pekerja minoritas.
Hukum seharusnya dibuat untuk menegakkan keadilan bagi seluruh warga negara,
dan hukum dibuat untuk melindungi hak-hak minoritas dan kelompok yang lemah
sehingga tidak tertindas atau terzalimi oleh kekuatan mayoritas. Jikalau hukum
selalu memihak yang kuat dan mayoritas, maka hukum yang berlaku adalah hukum
rimba, yakni hukum dimana yang kuat dan mayoritas yang selalu berkuasa dan menguasai
kepentingan minoritas, demikian Pemohon mendalilkan.
Dalam putusan sebelumnya, Mahkamah menilai bahwa serikat pekerja
minoritas (yang keanggotaannya kurang dari 51%) masih mempunyai hak untuk duduk
dalam tim perunding sebagaimana diatur dalam Pasal 120 ayat (3) UU
Ketenagakerjaan. Namun dalam kenyataannya, keberadaan serikat pekerja yang
mengklaim dirinya sebagai serikat pekerja mayoritas hanya menggunakan Pasal 120
ayat (1) UU Ketenagakerjaan dan tidak pernah mau menggunakan Pasal 120 ayat (2)
dan/atau ayat (3).
Dengan adanya Pasal 120 ayat (1) UU 13/2003, maka secara nyata dan jelas
telah mematikan hak suara atau aspirasi dari serikat pekerja yang bukan mayoritas.
Pasal 120 ayat (1) UU 13/2003 telah memperlakukan secara diskriminatif terhadap
serikat pekerja yang anggotanya lebih dari 50% dengan serikat pekerja yang jumlah
anggotanya kurang dari 50%. Asas keterwakilan seluruh komponen di dalam
perusahaan (seluruh serikat pekerja yang ada) menjadi terhambat dengan adanya
Pasal 120 ayat (1) UU 13/2003.
Dalam pertimbangan putusan berikutnya Mahkamah menilai bahwa pembuktian keanggotaan
melalui kartu anggota dipandang sebagai cara yang akurat untuk menentukan siapa
yang berhak mewakili organisasinya, namun dalam kenyataan di lapangan bahwa
tata cara pembuktian keanggotaan yang hanya dengan menunjukkan fotokopi kartu
tanda anggota telah menimbulkan potensi adanya penggelembungan keanggotaan
dengan cara mencetak kartu tanda anggota tanpa adanya terlebih dahulu surat
permohonan keanggotaan dan pekerja yang bersangkutan.
Pemohon memandang perlu bahwa ketentuan perundang-undangan tidak boleh membatasi
mekanisme dan tata cara proses verifikasi keanggotaan hanya berdasarkan kartu
anggota saja, sehingga perlu diberikan kesempatan bahwa proses verifikasi
keanggotaan seharusnya dilakukan secara terbuka/transparan melalui pengumuman
terbuka kepada seluruh pekerja di dalam perusahaan, sehingga memungkinkan
terjadinya check and control dari
seluruh pekerja yang bersangkutan dan mengeliminir potensi penggelembungan data
keanggotaan oleh serikat pekerja tertentu melalui manipulasi jumlah fotokopi
kartu tanda anggota.
Terhadap permohonan Pemohon, Mahkamah Konstitusi selanjutnya menyatakan
pengujian terhadap pasal-pasal tersebut yang sebelumnya ditolak MK RI, dapat diajukan
kembali, karena menggunakan dasar yang berbeda dari dasar putusan sebelumnya,
serta membuat pertimbangan hukum selengkapnya sebagai berikut:
“Bahwa menurut UU 13/2003
hubungan antara pekerja/buruh dengan pengusaha di samping tunduk pada ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, juga tunduk pada perjanjian kerja
yang dibuat antara pekerja dengan pengusaha atau perjanjian kerja bersama (PKB)
yang dibuat oleh dan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha yang
memuat syarat-syarat kerja serta hak dan kewajiban kedua belah pihak. Dengan
demikian, keberadaan suatu PKB sangat menentukan dan mengikat nasib seluruh
pekerja yang ada dalam suatu perusahaan;
“Bahwa tujuan dibentuknya
serikat pekerja/serikat buruh oleh pekerja/buruh adalah untuk memperjuangkan,
membela, serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan
kesejahteraan pekerja/buruh beserta keluarganya (vide Pasal 1 butir 17 UU
13/2003).
“Keberadaan sebuah serikat
pekerja/serikat buruh yang sah menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku dalam sebuah perusahaan menjadi tidak bermakna dan tidak bisa mencapai
tujuannya dalam sebuah perusahaan serta tidak dapat memperjuangkan haknya
secara kolektif sebagaimana tujuan pembentukannya, apabila serikat
pekerja/serikat buruh tersebut sama sekali tidak memiliki hak untuk menyampaikan
aspirasi, memperjuangkan hak, kepentingan serta melindungi anggotanya karena
tidak terlibat dalam menentukan PKB yang mengikat seluruh pekerja/buruh
dalam perusahaan.
“PKB adalah suatu perjanjian
yang seharusnya mewakili seluruh aspirasi dan kepentingan dari seluruh
buruh/pekerja baik yang tergabung dalam serikat pekerja/serikat buruh yang
memiliki anggota mayoritas maupun serikat pekerja yang memiliki anggota tidak
mayoritas. Mengabaikan aspirasi minoritas karena dominasi mayoritas adalah
pelanggaran terhadap prinsip-prinsip negara berdasarkan konstitusi yang
salah satu tujuannya justru untuk memberikan persamaan perlindungan
konstitusional, baik terhadap mayoritas maupun aspirasi minoritas;
“Bahwa sesuai ketentuan Pasal
120 ayat (1) Undang-Undang a quo, jika dalam suatu perusahaan ada serikat
pekerja/serikat buruh yang memiliki lebih dari 50% anggota dari seluruh jumlah
pekerja/buruh dalam perusahaan itu, maka hanya serikat pekerja/serikat buruh
yang memiliki anggota lebih dari 50% itu yang berhak mewakili seluruh pekerja
dalam perusahaan untuk melakukan perundingan dengan pengusaha.
“Berdasarkan ketentuan
tersebut, serikat pekerja/serikat buruh yang anggotanya kurang dari 50%
(misalnya dengan jumlah 49% dari seluruh pekerja di suatu perusahaan) dapat
tidak terwakili hak dan kepentingannya dalam perundingan dengan pengusaha untuk
membuat PKB. Dengan demikian, keberadaan serikat pekerja/serikat buruh yang
anggotanya kurang dari 50% menjadi tidak bermakna dan tidak dapat
memperjuangkan hak dan kepentingan serta tidak dapat melindungi pekerja/buruh
yang menjadi anggotanya, yang justru berlawanan dengan tujuan dibentuknya
serikat pekerja/serikat buruh yang keberadaannya dilindungi oleh konstitusi.
“Demikian juga dengan ketentuan
Pasal 120 ayat (2) Undang-Undang a quo yang menentukan bahwa hanya gabungan
dari serikat pekerja/serikat buruh yang memiliki anggota lebih dari 50% dari
seluruh pekerja/buruh dalam suatu perusahaan yang dapat melakukan perundingan
dengan pengusaha jika tidak ada satu pun serikat pekerja/serikat buruh yang memiliki
anggota lebih dari 50%.
“Berdasarkan ketentuan tersebut,
sebuah atau gabungan serikat pekerja/serikat buruh yang memiliki anggota kurang
dari 50% dari seluruh pekerja/buruh dalam suatu perusahaan (misalnya memiliki
anggota 49%) menjadi sama sekali tidak terwakili hak dan kepentingannya dalam
PKB;
“Bahwa menurut Mahkamah
ketentuan Pasal 120 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang a quo, setidaknya dapat
menimbulkan tiga persoalan konstitusional yang terkait langsung dengan hak-hak
konstitusional seseorang yang dijamin dan dilindungi oleh konstitusi, yaitu:
i) menghilangkan hak konstitusional serikat pekerja/serikat buruh untuk
memperjuangkan haknya secara kolektif mewakili pekerja/buruh yang menjadi
anggotanya dan tidak tergabung dalam serikat pekerja mayoritas;
ii) menimbulkan perlakuan hukum yang tidak adil dalam arti tidak proporsional
antara serikat pekerja/serikat buruh yang diakui eksistensinya menurut peraturan
perundang-undangan; dan
iii) menghilangkan hak pekerja/buruh yang tidak tergabung dalam serikat
pekerja/serikat buruh mayoritas untuk mendapat perlindungan dan perlakuan hukum
yang adil dalam satu perusahaan. Hak dan kewenangan konstitusional tersebut
hanya akan terjamin jika seluruh serikat pekerja/serikat buruh diberikan
kesempatan yang sama secara adil dan proporsional untuk ikut melakukan perundingan
dengan pengusaha dalam suatu perusahaan;
“Bahwa menurut Mahkamah untuk
membentuk PKB, dilakukan dengan musyawarah antara pengusaha dan perwakilan
semua serikat pekerja/serikat buruh secara adil dan proporsional. Musyawarah
adalah suatu hal yang sesuai dengan dasar negara Pancasila, yaitu sila
Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan.
“Permasalahannya adalah
perwakilan serikat pekerja yang anggotanya lebih dari 50% (lima puluh
perseratus) dari keseluruhan pekerja dalam suatu perusahaan menjadi wakil
tunggal untuk semua pekerja atau serikat pekerja yang menurut Pemohon tidak
mencerminkan keadilan dalam perwakilan secara proporsional dan memasung hak
mengeluarkan pendapat bagi serikat pekerja yang jumlah anggotanya tidak
melebihi 50% (lima puluh perseratus) dari keseluruhan pekerja dalam suatu
perusahaan. Atau dengan kata lain, serikat pekerja yang anggotanya kurang dari
50% (lima puluh perseratus) menjadi tidak terwakili;
“Bahwa perwakilan pekerja
atau serikat pekerja dalam melakukan perundingan dengan pengusaha mengenai PKB
yang anggotanya lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari keseluruhan pekerja
dalam suatu perusahaan, misalnya anggotanya 50,1% (lima puluh koma satu
perseratus) akan meniadakan hak-hak musyawarah dari 49,9% (empat puluh sembilan
koma sembilan perseratus) pekerja atau serikat pekerja lainnya.
“Hal ini sangat tidak adil dan
tidak patut karena mengesampingkan keterwakilan serta meniadakan hak
mengemukakan pendapat dari pihak lainnya yang dijamin oleh UUD 1945. Mahkamah
berpendapat agar memenuhi prinsip keadilan dan keterwakilan secara
proporsional, selain perwakilan dari serikat pekerja yang anggotanya meliputi
lebih 50% (lima puluh perseratus) dari semua pekerja dalam suatu perusahaan,
harus juga ada perwakilan dari pekerja atau serikat pekerja lainnya yang
dipilih dari dan oleh pekerja atau serikat pekerja di luar dari yang anggotanya
meliputi 50% (lima puluh perseratus) secara proporsional;
“Menimbang bahwa Pemerintah
pada pokoknya menyatakan, “Apabila dalam satu perusahaan terdapat lebih dari
satu serikat pekerja/serikat buruh dan tiap-tiap serikat pekerja/serikat buruh
secara sendiri-sendiri melakukan perundingan perjanjian kerja bersama dengan
perusahaan, maka akan terdapat lebih dari satu perjanjian kerja bersama”.
Terhadap keterangan Pemerintah tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa UU 13/2003
tidak melarang dalam satu perusahaan terdapat lebih dari satu serikat pekerja/serikat
buruh. Ketentuan mengenai hal tersebut diatur dalam Pasal 1 angka 21 dan Pasal
116 ayat (1), dan Pasal 119 ayat (1) UU 13/2003 yang menyatakan:
- Pasal 1 angka 21, “Perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang
merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa
serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan
pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah
pihak”;
- Pasal 116 ayat (1), “Perjanjian kerja bersama dibuat oleh serikat
pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang telah
tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan
pengusaha atau beberapa pengusaha”;
“Pasal 1 angka 21 dan Pasal 116
ayat (1) UU 13/2003 menggunakan kata “serikat pekerja/serikat buruh atau
beberapa serikat pekerja/serikat buruh”. Kata “beberapa” berarti lebih dari
satu, sehingga perjanjian kerja bersama dapat dibuat antara beberapa serikat
pekerja/serikat buruh dengan pengusaha.
“Menimbang bahwa DPR dalam
keterangannya pada pokoknya menyatakan, “Pasal 120 ayat (1) Undang-Undang a quo
mengatur mengenai sistem keterwakilan dari serikat pekerja/serikat buruh. Untuk
mengatur sistem keterwakilan tersebut salah satunya dengan memperhatikan
jumlah, yang mensyaratkan lebih dari 50% dari seluruh jumlah pekerja/buruh pada
perusahaan tersebut”. Terhadap keterangan DPR tersebut, Mahkamah berpendapat
bahwa penentuan jumlah mayoritas tidak harus ditentukan dengan persentase di
atas 50%. Penentuan jumlah persentase demikian dapat menghilangkan hak-hak
pekerja/buruh untuk terwakili dalam perjanjian kerja bersama yang dilakukan
oleh serikat pekerja/serikat buruh yang mewakilinya dengan pengusaha. Penentuan
jumlah persentase keterwakilan harus pula disesuaikan atau setidak-tidaknya
ditentukan secara proporsional dengan Undang-Undang yang terkait mengenai
keterwakilan tersebut dengan batas jumlah maksimal.
“Sebagai contoh, Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dalam Pasal 202
menyatakan, “Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas
perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah
suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR”;
“Menimbang bahwa berdasarkan
pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 120 ayat (1) UU
13/2003 yang mensyaratkan hanya serikat pekerja/serikat buruh yang memiliki
anggota lebih dari 50% yang berhak ikut dalam melakukan perundingan PKB dengan
pengusaha adalah merupakan ketentuan yang tidak adil dan memasung serta
meniadakan hak mengeluarkan pendapat untuk memperjuangkan hak, kepentingan, dan
melindungi pekerja/buruh yang tergabung dalam serikat pekerja/serikat buruh
yang jumlah anggotanya kurang dari 50% (lima puluh perseratus) dari keseluruhan
pekerja di satu perusahaan.
“Serikat pekerja/serikat buruh
yang memilliki anggota lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari keseluruhan pekerja
dalam suatu perusahaan, misalnya 50,1% (lima puluh koma satu perseratus) akan
meniadakan hak-hak musyawarah dari 49,9% (empat puluh sembilan koma sembilan
perseratus) dari serikat pekerja/serikat buruh lainnya adalah sangat tidak
adil.
“Menurut Mahkamah Pasal 120
ayat (1) UU 13/2003 melanggar hak-hak konstitusional Pemohon untuk mewakili
pekerja/buruh dalam menyampaikan aspirasinya melalui perjanjian kerja bersama.
Dengan demikian, dalil Pemohon mengenai pasal a quo beralasan menurut hukum.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, Pasal 120 ayat (1) UU Ketenagakerjaan
bertentangan dengan UUD 1945.
“Menimbang bahwa walaupun
Pemohon hanya memohon pengujian Pasal 120 ayat (1) UU 13/2003, menurut
Mahkamah, sebagaimana telah dipertimbangkan dalam paragraf di atas, konsekuensi
dari ketentuan yang terkandung dalam Pasal 120 ayat (2) sama dengan konsekuensi
dari ketentuan yang terkandung dalam Pasal 120 ayat (1), yaitu keduanya
sama-sama dapat menghilangkan hak-hak konstitusional yang dimiliki oleh serikat
pekerja/serikat buruh atau gabungan serikat pekerja/serikat buruh yang
anggotanya kurang dari 50% dari seluruh pekerja/buruh dalam perusahaan atau hak
pekerja/buruh yang tergabung di dalamnya. Berdasarkan pertimbangan tersebut,
Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 120 ayat (2) UU 13/2003 bertentangan dengan
UUD 1945.
“Menimbang bahwa menurut
Mahkamah norma yang terkandung dalam Pasal 120 ayat (3) UU 13/2003 justru
sesuai dengan prinsip keadilan proporsional sebagaimana telah dipertimbangkan
oleh Mahkamah dalam paragraf sebelumnya. Oleh karena Pasal 120 ayat (1) dan
ayat (2) UU 13/2003 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat, maka ketentuan Pasal 120 hanya tinggal satu norma
yaitu norma yang terkandung dalam Pasal 120 ayat (3).
“Namun demikian, karena ketentuan
Pasal 120 ayat (3) merupakan rangkaian dari Pasal 120 ayat (1) dan ayat (2),
maka untuk menghindari kekacauan makna dan ketidakjelasan norma yang terkandung
dalam Pasal 120 ayat (3) yang justru bertentangan dengan prinsip kepastian
hukum yang harus dijamin oleh konstitusi, maka Mahkamah juga harus menilai dan
mempertimbangkan Pasal 120 ayat (3) sebagai satu rangkaian dan kesatuan yang
utuh dengan ketentuan Pasal 120 ayat (1) dan ayat (2);
“Menimbang bahwa ketentuan
Pasal 120 UU 13/2003 adalah mengatur mengenai serikat pekerja/serikat buruh
yang berhak mewakili pekerja/buruh untuk melakukan perundingan PKB dengan
pengusaha apabila terdapat lebih dari satu serikat pekerja/serikat buruh dalam
satu perusahaan. Sebagaimana telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam uraian
pertimbangan dalam paragraf sebelumnya, untuk memenuhi prinsip-prinsip
konstitusi dan menghindari pelanggaran hak-hak konstitusional yang dijamin dan
dilindungi oleh konstitusi, yaitu untuk memenuhi prinsip keadilan proporsional,
menjamin dan melindungi hak serikat pekerja/serikat buruh, serta hak-hak
pekerja/buruh yang dijamin dan dilindungi oleh konstitusi, maka seluruh serikat
pekerja/serikat buruh yang ada dalam satu perusahaan berhak terwakili secara
proporsional dalam melakukan perundingan dengan pengusaha.
“Oleh karena itu, menurut
Mahkamah ketentuan Pasal 120 ayat (3) UU 13/2003 adalah tidak bertentangan
dengan konstitusi secara bersyarat (conditionally unconstitutional), yaitu
tidak bertentangan dengan konstitusi sepanjang frasa “Dalam hal ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2) dihapus karena tidak relevan
lagi. Dengan dinyatakan tidak berlakunya Pasal 120 ayat (1) dan ayat (2), maka
Pasal 120 ayat (3) UU 13/2003 harus dimaknai bahwa apabila dalam satu
perusahaan terdapat lebih dari satu serikat pekerja/serikat buruh, maka para
serikat pekerja/serikat buruh terwakili secara proporsional dalam melakukan perundingan
dengan pengusaha.
“Menimbang bahwa meskipun hak
berserikat dan berkumpul dijamin oleh ketentuan di dalam UUD 1945 dan para
serikat perkerja/serikat buruh berhak terwakili secara proporsional dalam
melakukan perundingan dengan pengusaha serta mengingat substansi dari PKB itu
sendiri, tetapi agar tidak secara berkelebihan mendorong timbulnya serikat
pekerja/serikat buruh yang tidak proporsional yang dapat menghambat terjadinya
kesepakatan dalam perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan
pengusaha, Mahkamah berpendapat, jumlah serikat pekerja/serikat buruh yang
berhak mewakili dalam suatu perusahaan harus dibatasi secara wajar atau proporsional
yaitu maksimal tiga serikat pekerja/serikat buruh atau gabungan serikat pekerja/serikat
buruh yang jumlah anggotanya minimal 10% (sepuluh perseratus) dari seluruh
pekerja/buruh yang ada dalam perusahaan. Pembatasan tersebut dapat dibenarkan
berdasarkan ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang dalam konteks ini
Mahkamah membatasinya dalam bentuk negative legislature;
“Menimbang bahwa pernyataan
konstitusional bersyarat terhadap Pasal 120 ayat (3) UU 13/2003 a quo harus
dilakukan guna menghindari kekosongan hukum yang terjadi apabila pasal
tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat dan dengan adanya putusan ini pembentuk undang-undang perlu
segera berinisiatif untuk melakukan legislative review. Artinya, ketentuan yang
dibuat oleh Mahkamah ini hanya berlaku sampai pembentuk Undang-Undang melakukan
perubahan atas Undang-Undang a quo dengan memuat ketentuan yang lebih
proporsional sesuai dengan jiwa putusan Mahkamah ini;
“Menimbang bahwa Pemohon dalam
permohonan a quo, juga mengajukan pengujian Pasal 121 UU 13/2003 yang
menyatakan, “Keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 119 dan Pasal 120 dibuktikan dengan kartu tanda anggota”. Menurut
Pemohon bahwa verifikasi hanya dengan menggunakan fotokopi kartu anggota sangat
rentan manipulasi atau penggelembungan jumlah keanggotaan karena proses
pembuatan kartu anggota dapat dilakukan dengan mudah dan dapat juga dilakukan
tanpa adanya permohonan dari pekerja/anggota yang bersangkutan. Proses
verifikasi seharusnya dilakukan sesuai ketentuan Pasal 28F UUD 1945 yaitu
dilakukan secara transparan dan terbuka, dengan melakukan konfirmasi kepada
masing-masing anggota, sehingga keabsahan kartu anggota dari serikat pekerja
dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan hukum.
“Terhadap dalil permohonan
Pemohon tersebut, Mahkamah menilai bahwa persyaratan kartu anggota sebagai alat
bukti bagi tanda keanggotaan seseorang dalam satu serikat pekerja/buruh, adalah
merupakan hal yang wajar dalam organisasi untuk dapat secara sah menyatakan
klaim mewakili anggota. Kartu tanda anggota adalah salah satu bukti secara
administrasi keanggotaan seseorang. Dalam sistem administrasi, semua kegiatan
dan bidang hukum menggunakan kartu tanda anggota.
“Beberapa contoh di antaranya,
Korps Pegawai Negeri Sipil (Korpri), kartu tanda peserta asuransi kesehatan
(Askes), kartu tanda anggota TNI atau anggota Kepolisian RI (Polri) bahkan
seluruh rakyat Indonesia yang sudah mencapai umur tertentu menggunakan kartu
tanda penduduk (KTP). Berdasarkan pandangan tersebut, Mahkamah berpendapat
bahwa ketentuan Pasal 121 UU 13/2003 tidak cukup mendasar dapat dipandang
bertentangan dengan UUD 1945;
“AMAR PUTUSAN
Mengadili,
- Menyatakan permohonan Pemohon dikabulkan untuk sebagian;
- Menyatakan Pasal 120 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Menyatakan Pasal 120 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) konstitusional bersyarat
(conditionally constitutional) sepanjang:
i) frasa, “Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau
ayat (2) tidak terpenuhi, maka...”, dihapus, sehingga berbunyi, “para serikat pekerja/serikat
buruh membentuk tim perunding yang keanggotaannya ditentukan secara
proporsional berdasarkan jumlah anggota masing masing serikat pekerja/serikat
buruh”, dan
ii) ketentuan tersebut dalam angka (i) dimaknai, “dalam hal di satu
perusahaan terdapat lebih dari satu serikat pekerja/serikat buruh, maka jumlah
serikat pekerja/serikat buruh yang berhak mewakili dalam melakukan perundingan dengan
pengusaha dalam suatu perusahaan adalah maksimal tiga serikat pekerja/serikat
buruh atau gabungan serikat pekerja/serikat buruh yang jumlah anggotanya
minimal 10% (sepuluh perseratus) dari seluruh pekerja/buruh yang ada dalam
perusahaan”;
- Menyatakan Pasal 120 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat;
- Menyatakan Pasal 120 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat sepanjang:
i) frasa, “Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau
ayat (2) tidak terpenuhi, maka...”, tidak dihapuskan, dan
ii) ketentuan tersebut tidak dimaknai, “dalam hal di satu perusahaan
terdapat lebih dari satu serikat pekerja/serikat buruh, jumlah serikat
pekerja / serikat buruh yang berhak mewakili dalam melakukan perundingan dengan
pengusaha dalam suatu perusahaan adalah maksimal tiga serikat pekerja/serikat
buruh atau gabungan serikat pekerja/serikat buruh yang jumlah anggotanya
minimal 10% (sepuluh perseratus) dari seluruh pekerja/buruh yang ada dalam
perusahaan”;
- Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya;
- Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya.”
…
© SHIETRA & PARTNERS Copyright.