Surat Perintah Bongkar yang Bersinggungan dengan Sengketa Tanah

LEGAL OPINION
Question: Ada pihak yang mengklaim sebagai pemilik rumah keluarga kami. Tapi kami sanggah karena kami juga punya bukti kepemilikan yang sahih. Hingga saat ini pun pihak pengadilan belum ada putusan yang telah inkracht yang menyatakan bahwa sertifikat tanah saya tidak sah. Tapi mendadak orang Pemda memberikan kami surat perintah pembongkaran bangunan berdasarkan permohonan pihak lawan kami. Apa boleh Pemda perintahkan kami untuk bongkar rumah tempat tinggal kami sekeluarga, padahal belum ada putusan pengadilan yang menyatakan sertifikat tanah milik siapa yang sah?
Brief Answer: Selama masih terdapat sengketa keperdataan yang perlu untuk diputuskan oleh pengadilan dan pemeriksaan sengketa kepemilikan tanah masih sedang berjalan di persidangan (Lembaga Yudikatif berdasarkan doktrin Trias Politica), baik berupa amar putusan constitutief, condemnatoir, maupun jenis amar putusan declaratif, maka Lembaga Eksekutif serta aparaturnya hanya dapat menjalankan amar putusan (eksekutor), bukan membuat putusan itu sendiri yang merupakan wewenang Lembaga Yudikatif.
PEMBAHASAN:
Sebagai ilustrasi yang cukup menyerupai sebagaimana pernah terjadi, tepat kiranya SHIETRA & PARTNERS angkat contoh kasus yang cukup kompleks karena tercampur-aduknya konstruksi hukum yang terjadi, yakni dapat kita temukan dalam putusan Mahkamah Agung RI tingkat Peninjauan Kembali perkara gugatan tata usaha negara register Nomor 164 PK/TUN/2015 tanggal 18 Februari 2016, sengketa antara:
I. WALIKOTA JAKARTA BARAT, selaku Pemohon Peninjauan Kembali I dahulu sebagai Pemohon Kasasi I/Terbanding/Tergugat;
II. TEGUH HENDARWAN, sebagai Pemohon Peninjauan Kembali II dahulu sebagai Pemohon Kasasi II/Terbanding/Tergugat II Intervensi; melawan
- 8 (delapan) orang ahli waris dari almarhumah Risa binti Bitjil, sebagai Para Termohon Peninjauan Kembali dahulu Para Termohon Kasasi/Para Pembanding/Para Penggugat.
Yang menjadi objek sengketa ialah Surat Perintah Bongkar dari Walikota Jakarta Barat tentang Pembongkaran/Penertiban Bangunan yang ditempati Para Penggugat yang merupakan ahli waris dari almarhumah Risa binti Bitjil berdasarkan Surat Keterangan Ahli Waris, yang mengklaim sebagai pemilik sah atas tanah seluas + 1.000 M2, berdasarkan Surat Girik.
Para Penggugat pada tahun 1956 telah membangun dan mendiami rumah/bangunan diatas tanah waris dari almarhumah pewaris. Para Penggugat tidak pernah melepaskan hak, menjual atau mengalihkan tanah waris tersebut kepada pihak lain, karena Girik dan Surat PBB tetap berada di tangan Para Penggugat.
Note SHIETRA & PARTNERS: jikalau benar fisik objek tanah dikuasai dan dihuni Para Penggugat, maka dapat diasumsikan benar bahwa sertifikat hak atas tanah milik pihak lain adalah tidak sah karena syarat permohonan sertifikasi tanah ialah menguasai fisik objek tanah—kecuali peralihan hak atas berdasarkan Lelang Eksekusi (lihat Putusan Mahkamah Agung RI perkara pengujian Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun2010 register Nomor 38 P/HUM/2015 tanggal 23 Desember 2015 yang diajukan oleh Bapak Hery Shietra, S.H.).
Tanpa sepengetahuan Para Penggugat, ada pihak lain yang mengklaim sebagai pemilik tanah Para Penggugat yaitu sdr. Teguh Hendrawan dan yang bersangkutan meminta bantuan kepada Tergugat untuk mengosongkan tanah milik Para Penggugat dengan cara memerintahkan pembongkaran bangunan yang dihuni Para Penggugat.
Sdr. Teguh Hendrawan telah meminta bantuan kepada Tergugat untuk menertibkan bangunan diatas tanah yang didiami oleh Para Penggugat, dengan dasar, tanah waris yang didiami oleh Para Penggugat telah diakui oleh Sdr Teguh Hendrawan yang memperoleh tanah tersebut dari Sdr. Imam berdasarkan Surat Penyerahan Hak/Kuasa Penuh yang menyatakan Sdr. Imam, S pemegang buku kaveling No. 001550, tanggal 29 Agustus 1978 telah menyerahkan haknya berupa sebidang tanah kaveling Blok I Persil Nomor 1 jenis Villa (luas tanah tidak tercantum) kepada Sdr. Teguh Hendrawan.
Untuk kepentingan Sdr. Teguh Hendrawan, Tergugat mengadakan Rapat pertama, untuk meneliti surat bukti kepemilikan tanah yang diakui oleh Sdr. Teguh Hendrawan dan surat bukti kepemilikan tanah Para Penggugat berdasarkan Girik Asli yang berada pada Para Penggugat. Kemudian Rapat kedua, yang menurut keterangan Kantor Pertanahan Jakarta Barat, Girik yang sudah ditingkatkan menjadi Sertifikat tercatat di Kantor Pertanahan, adapun Girik yang belum di Sertifikatkan tidak tercatat di Kantor Pertanahan Jakarta Barat.
Kantor Pertanahan Jakarta Barat menyarankan melakukan penelitian di buku register Kelurahan (buku Letter C), hasil Rapat belum dapat memberikan jawaban apapun. Ditengah-tengah proses penelitan surat-surat bukti kepemilikan yang belum selesai, belum ada kepastian hukum tetap untuk menentukan kepemilikan hak atas tanah waris almarhumah pewaris yang didiami Para Penggugat dan kepemilikan tanah yang diakui Sdr. Teguh Hendrawan, tiba-tiba Tergugat yang terkesan bertindak melangkahi proses ajudikasi untuk kepentingan Sdr. Teguh Hendrawan, Tergugat dengan cepat telah mengeluarkan 3 (tiga) Surat Peringatan dan Surat Perintah Bongkar.
Tindakan Tergugat yang menerbitkan surat keputusan objek sengketa dinilai merupakan tindakan yang telah melampaui batas wewenangnya karena proses ajudikasi masih sedang berjalan.
Persoalan siapa pemilik tanah tersebut belumlah jelas, karena baik Para Penggugat maupun Sdr. Teguh Hendrawan sama-sama memiliki bukti alas hak atas tanah tersebut, akan tetapi dengan tanpa kewenangan, Tergugat telah menetapkan bahwa sdr. Teguh Hendrawan sebagai pemilik tanah tersebut, sehingga akhirnya Tergugat dengan sangat gegabah menerbitkan surat keputusan objek sengketa yang belum tentu pengadilan akan sependapat dengan pihak siapa yang akan diputuskan sebagai pemilik sah.
Terkait dengan sengketa kepemilikan hak atas tanah yang berwenang untuk menetapkan siapa pemilik hak atas tanah adalah pihak Pengadilan Negeri melalui suatu putusan atas sengketa yang diajukan oleh para pihak.
Note SHIETRA & PARTNERS: Pihak pemohon surat bongkar memiliki sertifikat hak atas tanah, sementara Para Penggugat hanya memiliki surat girik. Tentu, sertifikat hak atas tanah memiliki kekuatan hukum yang lebih kuat ketimbang sekadar girik. Namun hukum pertanahan nasional dibelenggu oleh stelsel kekuatan sertifikat hak atas tanah yang bersifat negatif, dalam arti dapat sewaktu-waktu dibatalkan dengan alasan sertifikat hak atas tanah memang kuat, namun tidaklah mutlak. Sehingga sekalipun telah memegang dan memiliki sertifikat hak milik atas tanah sekalipun, tetap terbuka asumsi yang berlaku bahwasannya bisa saja terjadi kemudian lewat putusan hakim di persidangan dimana sang pemegang girik-lah yang kemudian dimenangkan terhadap pemegang sertifikat hak atas tanah.
Sampai dengan gugatan ini diajukan, belum terdapat satupun putusan dari Pengadilan yang menyatakan bahwa tanah tersebut adalah milik sdr. Teguh Hendrawan. Jadi bagaimana mungkin Tergugat dapat menetapkan bahwa sdr. Teguh Hendrawan adalah pemilik dari tanah tersebut, demikian Penggugat mempostulasikan permasalahan hukum secara relevan.
Berkaitan dengan sengketa kepemilikan atas tanah ini, seharusnya Tergugat menolak permohonan Sdr. Teguh Hendrawan dan menyarankan kepadanya agar mengajukan gugatan perdata terhadap Para Penggugat atas kepemilikan tanahnya kepada Pengadilan Negeri.
Barulah kemudian setelah ada putusan pengadilan perdata yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa Sdr. Teguh Hendrawan adalah pemilik tanah sengketa, maka yang bersangkutan dapat mengajukan eksekusi atas pengosongan bangunan di atas tanah miliknya tersebut kepada Ketua Pengadilan Negeri.
Proses penelitian data-data berkaitan dengan kepemilikan tanah sengketa belumlah selesai, apalagi pihak yang berkompeten untuk menyatakan alas hak kepemilikan atas suatu tanah yaitu Kantor Pertanahan Jakarta Barat tidak memberikan pendapat atas persoalan siapa pemilik tanah tersebut.
Terhadap gugatan Penggugat, yang menjadi amar Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta 148/G/2011/PTUN.JKT. Tanggal 20 Desember 2011 adalah sebagai berikut:
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara :
Menyatakan gugatan Para Penggugat tidak diterima.”
Dalam tingkat banding, amar Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 61/B/2012/PT.TUN.JKT., Tanggal 26 Juni 2012 adalah sebagai berikut:
“Majelis Hakim Banding sependapat dengan pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Tingkat Pertama bahwa persoalan yang paling mendasar didalam perkara ini adalah sengketa kepemilikan atas tanah yang diatasnya berdiri bangunan;
“Tergugat belum/tidak berwenang mendudukkan dirinya selaku eksekutor terhadap sengketa kepemilikan atas tanah yang menjadi wewenang lembaga yudikatif dengan menerbitkan Surat Perintah Bongkar;
“Tergugat tidak berwenang menerbitkan Surat Perintan Bongkar atas bangunan Penggugat karena kepemilikan tanah tersebut masih disengketakan secara perdata dengan Tergugat II Intervensi;
MENGADILI :
- Menerima permohonan banding yang diajukan oleh Penggugat / Pembanding;
- Membatalkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 148/G/2011/PTUN-JKT Tanggal 20 Desember 2011 yang dimohonkan banding;
MENGADILI SENDIRI :
DALAM PENUNDAAN :
- Menunda pelaksanaan lebih lanjut Surat Perintah Bongkar Nomor : 3384/1.758.1 tanggal 08 Juli 2011 yang diterbitkan Walikota Jakarta Barat (Tergugat) tentang Pembongkaran/Penertiban Bangunan diatas tanah kavling Daerah Khusus Ibukota (DKI) Blok I No. 1 RT. 005/01 Kelurahan Meruya Utara, Kecamatan Kembangan, Kota Administrasi Jakarta Barat, selama permohonan sengketa Tata Usaha Negara berjalan, sampai ada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap;
DALAM POKOK PERKARA :
1. Mengabulkan gugatan Para Penggugat/Pembanding untuk seluruhnya;
2. Menyatakan tidak sah Surat Perintah Bongkar dari Walikota Jakarta Barat Nomor 3384/-1.758.1 tanggal 08 Juli 2011 tentang Pembongkaran/Penertiban Bangunan diatas tanah kavling Daerah Khusus Ibukota (DKI) Blok I No. 1 RT. 005/01 Kelurahan Meruya Utara, Kecamatan Kembangan, Kota Administrasi Jakarta Barat yang diterbitkan oleh Tergugat;
3. Mewajibkan Tergugat untuk mencabut Surat Perintah Bongkar dari Walikota Jakarta Barat Nomor 3384/-1.758.1 tanggal 08 Juli 2011 tentang Pembongkaran/Penertiban Bangunan diatas tanah kavling Daerah Khusus Ibukota (DKI) Blok I No. 1 RT. 005/01 Kelurahan Meruya Utara, Kecamatan Kembangan, Kota Administrasi Jakarta Barat.”
Dalam tingkat kasasi, pertimbangan hukum serta amar putusan Mahkamah Agung Nomor 01 K/TUN/2013, Tanggal 5 Maret 2013 yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut adalah sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan dari Pemohon Kasasi I tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, karena Putusan Judex Facti Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta sudah tepat dalam pertimbangan hukumnya dan tidak salah menerapkan hukum, Tergugat tidak berwenang menerbitkan Surat Perintah Bongkar atas bangunan Penggugat, karena kepemilikan tanah tersebut masih disengketakan secara perdata dengan Tergugat II Intervensi;
“Bahwa yang berwenang menyelesaikan sengketa kepemilikan tersebut adalah Hakim Perdata sekaligus untuk menentukan diatas tanah milik siapakah bangunan Penggugat berdiri;
“Bahwa Putusan Judex Facti Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta sudah tepat dan tidak salah menerapkan hukum, Tergugat tidak berwenang menerbitkan Surat Perintah Bongkar atas bangunan Penggugat, karena kepemilikan tanah tersebut masih disengketakan secara perdata dengan Tergugat II Intervensi, bahwa yang berwenang menyelesaikan sengketa kepemilikan tersebut adalah Hakim Perdata;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, ternyata putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi I : WALIKOTA JAKARTA BARAT tersebut harus ditolak;
MENGADILI :
“Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I : WALIKOTA JAKARTA BARAT tersebut;
“Menyatakan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi II : TEGUH HENDRAWAN tersebut tidak dapat diterima;
Tergugat mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, dengan dalil bahwa semestinya gugatan Para Penggugat dinyatakan “tidak dapat diterima”, karena sengketa kepemilikan atas tanah merupakan sengketa Perdata dan bukan merupakan sengketa tata usaha negara, tanpa harus menguji kewenangan Tergugat dalam menerbitkan Surat Perintah Bongkar.
Tergugat mendalilkan pula, dalam sengketa tata usaha negara ini secara substansial adalah mempermasalahkan keberadaan bangunan di atas Tanah Kaveling, bukan mempermasalahkan kepemilikan tanah-nya sebagaimana asas pemisahan horizontal yang dianut hukum agraria nasional.
Secara hukum, baik secara prosedural maupun substansial, Tergugat berwenang menerbitkan Surat Perintah Bongkar (objek sengketa) terhadap bangunan milik Para Penggugat, karena:
- Tidak dilengkapi dengan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dari instansi yang berwenang, dan
- Didirikan di atas tanah perkaplingan ex BPPT (milik Tergugat II Intervensi, Bukti T.II.Intv-1 dan T.II.Intv-2) yang dahulu pernah dibebaskan oleh Walikota Jakarta Barat (Tergugat) dari para pemilik asal tanah termasuk di dalamnya adalah tanah milik Para Penggugat.
Putusan pengadilan sebelumnya dinilai telah mencampur-adukkan antara permasalahan atau segi kewenangan Tergugat menerbitkan Surat Perintah Bongkar Bangunan (objek sengketa) dengan permasalahan penyelesaian mengenai kepemilikan hak atas tanah yang diatasnya berdiri bangunan.
Semua penghuni liar dapat mengklaim sebagai pemilik tanah dan bangunan, namun tidak ada satupun bukti bahwa sedang ada persengketaan perdata atas tanah tersebut antara Para Penggugat dan Tergugat II Intervensi di Peradilan Perdata. Jikalau benar Penggugat adalah pemilik sah, mengapa tidak menggugat pembatalan sertifikat milik Tergugat II Intervensi?
Sebagaimana pun dapat diakui kebenaran argumentasi Tergugat, Mahkamah Agung membuat pertimbangan hukum serta amar putusan dalam tingkat Peninjauan Kembali, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:
Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan karena Pemohon Peninjauan Kembali / Tergugat tidak dapat menerbitkan perintah bongkar (KTUN objek sengketa) untuk keperluan penyelesaian sengketa perdata;
“Bahwa oleh karena itu putusan Judex Juris sudah tepat dan benar, karena tidak terdapat kekhilafan Hakim atau kekeliruan yang nyata;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, maka permohonan-permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh : WALIKOTA JAKARTA BARAT dan TEGUH HENDRAWAN tersebut tidak beralasan sehingga harus ditolak;
MENGADILI,
Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali I : WALIKOTA JAKARTA BARAT dan Pemohon Peninjauan Kembali II : TEGUH HENDRAWAN tersebut;
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.