Seleksi yang Terganjal Tembok Tebal Administratif

ARTIKEL HUKUM
Belum lama ini penulis berminat untuk mencoba mengajukan diri sebagai tenaga di Komisi Pemberantasan Korupsi, atau yang lebih kita kenal dengan nama singkatan bekennya, KPK.
Melamar untuk berkarya, bahasa diplomatisnya.
Belum masuk tahap seleksi, belum juga masuk tahap tes, untuk tahap melihat persyaratan yang memberatkan karena sangat teknis, membuat penulis langsung mengurungkan niat. Momen yang telah lama ditunggu-tunggu, menjadi antiklimaks seketika itu juga.
Padadal soal idealisme dan kebersihan, berani diadu. Namun kelihatannya perihal idealisme memang bukan menjadi nomor satu di KPK. Buktinya, proses pendaftaran saja demikian formalistis penuh tetek-bengek yang tak jelas juntrungannya.
Persyaratan untuk “melamar kerja” terbilang irasional, karena persyaratan teknisnya jauh lebih aneh ketimbang mengajukan lamaran kerja pada sebuah perusahaan swasta. Menjadi pegawai dan pejabat institusi sekelas KPK, seyogianya yang menjadi prasyarat utama ialah: bersih, idealis, tidak korup, menegakkan kebenaran dan keadilan sebagai panglima tertinggi, serta tidak pandang bulu, disamping bersih dari bau badan tentunya.
Anehnya, bukan kualifikasi paling mendasar tersebut yang menjadi filter paling utama dalam sistem rekruitmen yang aneh ini di KPK, yang mana dalam pengamatan penulis, dialihdayakan pada pihak ketiga untuk pihak penyelenggara seleksi.
Perusahaan rekruitmen yang juga dikenal dengan istilah head hunter—sebuah istilah yang sangat aneh sekaligus tidak manusiawi—sekalipun, tidak menyertakan persyaratan yang seaneh proses seleksi di KPK.
Semakin jujur dan semakin bersih seseorang, semestinya kian dipermudah untuk bergabung. Itulah persepsi awal penulis. Ternyata keliru. Tak terbayangkan betapa banyaknya orang-orang idealisme di luar sana yang memilih untuk langsung mengurungkan niat untuk bergabung dengan KPK hanya karena proses pendaftaran yang aneh sebelum memasuki seleksi.
Dalam proses rekruitmen lembaga swasta yang elit sekalipun, tidak akan diberi beban kewajiban melampirkan berkas permohonan dengan foto pria berlatar belakang biru (penulis hanya punya yang berlatar belakang merah, tentu, bisa menggunakan program pengolah gambar meski merepotkan), dan foto tersebut harus paling terbaru, minimal tiga bulan sebelum mengajukan lamaran.
Penulis hanya punya pas foto terbaru tiga tahun lalu. Belum lagi melihat list persyaratan ini dan itu, yang untuk membacanya saja butuh waktu setidaknya setengah jam. Bila benar-benar seluruh persyaratan dokumentasi itu dipenuhi, entah butuh waktu berapa lama waktu terbuang. Mulai timbul keraguan pada benak penulis, sebenarnya KPK hendak menyeleksi pegawai administrasi atau apa?
Jika kandidat adalah untuk petugas administrasi yang tidak akan bosan dengan hal tetek-bengek, proses pendaftaran tersebut telah benar sepenuhnya. Seleksi untuk rekruitmen penegakan hukum, dengan metode demikian, penulis hanya “geleng-geleng” kepala.
Jika peraturan dibuat tanpa suatu tujuan yang membawa manfaat, itulah yang disebut dengan dosa, bila boleh meminjam pandangan Jeremy Bentham tentang teori utilitas atau manfaat sebagai tonggak pengaturan sesuatunya. Selama ini KPK dikenal sebagai lembaga yang menjerat para pendosa, namun siapa menyangkan, bahwa KPK sendiri melakukan dosa ini.
Memang untuk apa, harus dibedakan latar belakang pas foto pria biru dan wanita harus merah? Bukankah di bagian kolom form dapat dicantumkan, gender sebagai male atau women.
Masak iya, yang bernama Hery Shietra bisa seorang wanita? Masak iya, yang bernama Monica adalah pria? KTP saja sudah mencantumkan gender, mengapa masih belum cukup. Apakah proses seleksi selanjuntnya ialah tes pembuktian kepriaan atau tes pembuktian kewanitaan. Bukankah hal ini sama sekali tidak penting?
Apa pula relevansinya antara penegakan hukum anti korupsi dengan gender? Hal ini bisa digugat sebagai bagian dari tindakan diskriminasi gender, karena yang dipandang ialah gender, bukan kompetensi.
Ini koq, untuk masuk dan mengabdi di lembaga KPK, justru seperti harus bersusah payah melampaui saringan seleksi pendaftaran lembaga swasta paling elit sekalipun di Indonesia?
Ini namanya menyortir dan menyeleksi para kandidat, sehingga yang paling banter, yang lolos saringan ialah orang-orang yang mau membuang waktu untuk tetek-bengek persyaratan pendaftaran ketimbang orang-orang yang benar-benar konsen terhadap permasalahan penegakan hukum anti korupsi.
 Mungkin pengalaman penulis baru-baru ini bukan hanya dialami penulis seorang diri. Penulis yakin, mungkin salah satu diantara pembaca pernah memiliki perasaan yang sama ketika melihat persyaratan pendaftaran pada situs KPK. Ingin mengabdi kok, dipersukar. Sama seperti dipersukarnya masyarakat ketika hendak membayar pajak kendaraan bermotor. Padahal membayar pajak, tapi sukar sekali, waktu terbuang tak sedikit dan harus menunjukkan dokumen ini dan itu.
Institusi yang baik, terbuka dan menerapkan kebijakan pintu dan tangan terbuka, dengan welcome memanggil serta menyambut anak-anak bangsa terbaik, jika perlu mengundang dan mempermudah mereka untuk bergabung. Mengulurkan tangan, bukan mematikan minat mereka untuk turut serta membangun KPK.
Dari tahap pendaftaran saja, penulis sudah dapat menarik sebuah inferensi, KPK lebih mementingkan mereka yang lebih rela untuk tunduk pada tetek-bengek, ketimbang substansi. Proses seleksi dan rekruitmen KPK sejak awal telah menyingkirkan mereka yang beridealis tinggi namun emoh direpotkan dengan hal-hal yang tidak relevan.
Adalah bawaan dasar tipe manusia idealis, jiwanya berontak ketika mendapati hal tetek-bengek yang tidak relevan. Seluruh manusia idealis memiliki tabiat “aneh” ini, berontak ketika menyadari suatu hal tidak memiliki relevansi. Tipikal manusia idealis seperti ini sudah ada, sejak dahulu, kini, hingga dimasa mendatang.
Jika proses seleksi panjang, mulai dari psikotes, bahkan hingga tes alat deteksi kebohongan, uji kompetensi yang berliku dan menekan, itu tidak akan dipandang masalah oleh kandidat yang bermoral baik dan beritikad baik untuk bergabung. Namun bila kesan awal saja, KPK sudah sok menjual mahal terhadap proses pendaftaran, maka program KPK untuk merekrut anak bangsa terbaik, ibarat menghisap jempol.
Anak bangsa terbaik akan memilih berkarya di lembaga swasta yang akan memberi mereka kemudahan demi berbagai kemudahan, ketimbang kesukaran demi kesukaran berhadapan dengan KPK.
KPK telah membangun tembok instansinya sendiri. Terkesan demikian angkuh dan terkluster. Formalitas menjadi tonggak sistem di KPK, bukan substansi. Ternyata, KPK tidak seindah yang kita bayangkan.
Bagi pembaca yang penasaran, dapatlah sekiranya mencoba mengajukan diri dalam program pendaftaran KPK pada kesempatan berikutnya, dan persiapkan diri Anda untuk ternganga-nganga melihat proses pendaftaran yang mungkin tak kalah rumitnya dengan proses pencalonan pemilihan umum.
Lembaga yang baik memfilter para benalu yang beritikad buruk hanya menjadi inang bagi instansi yang dipijaknya. Para benalu akan rela menghabiskan banyak waktunya untuk tetek-bengek demikian, tentunya.
Percayalah, tak ada satupun orang idealis yang tidak merasa terhina dan tidak merasa ditelantarakan atau tidak diakui keberadaannya ketika proses pendaftaran dan seleksi demikian ngejelimet, penuh tetek-bengek, terkesan arogan, dan irasional.
Bagaimana tidak terhina, idealisme seketika harus kembali disimpan, manakala seketika terbentur masalah formalitas tetek-bengek demikian. Melihat persyaratan berkasnya saja sudah langsung mematikan minat untuk bergabung.
Sungguh aneh tapi nyata, Republik Indonesia.
Semoga kedepannya KPK lebih mengedepankan apa yang ada di dalam diri kandidat, bukan apa tetek-bengek atribut yang dimiliki kandidat. Yang berniat baik untuk bergabung dipermudah, sementara yang lebih mementingkan formalitas lebih baik disaring dalam tes psikologi, bukan membuat tembok tebal sejak “perjumpaan pertama” antara KPK dan para calon pegawainya.
Bukankah pepatah mengatakan, kesan pertama begitu bermakna?
Bukan saatnya lagi KPK sok jual mahal terhadap para kandidat. Kandidat yang beritikad tidak baik, dipastikan tidak akan lolos dalam proses wawancara dan konseling dengan ahli psikologi.
Untuk menangkap ikan, antara ikan tuna, ikan teri, sampai ikan tongkol memiliki alat tangkap dan jaring yang berbeda. Menjaring dan menangkap calon dengan “tembok tebal”, yang ada ialah kualitas kandidat yang pada akhirnya tetap melamar patut dipertanyakan motif utamanya.
Bagaimana menurut para pembaca? Mungkin punya pengalaman serupa. Share pengalaman kawan-kawan pembaca pada kolom komentar dibawah, atau untuk sekedar bertukar pikiran. Salam berhukum.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.