Retreat, antara Mundur dan Introspektif

ARTIKEL HUKUM
Hukum dikenal sebagai instrumen yang keras, imperatif, memaksa, dan kadang menyakitkan. Bila melihat dari sudut pandang demikian, akan membuat warga negara frustasi dan merasa terbebani. Ujungnya, hukum akan dipandang sebagai musuh atau “pihak luar”, bukan sebagai kawan ataupun rekan seperjalanan kehidupan peradaban.
Hukum yang tersisihkan.
Negara yang sehat, memiliki warga negara yang memiliki rasa memiliki terhadap hukum negara mereka. Tunduk bukan karena rasa takut belaka, namun karena kesadaran diri berupa budaya “malu” bila sampai melanggar norma hukum, dan baik regulator maupun warganya menyadari bahwa hukum dibentuk demi kebaikan bersama.
Arogansi, karena merasa kebal hukum, atau karena asumsi dan keyakinan keliru lainnya mengenai diri yang “tak dapat salah”, sejatinya telah menjadikan diri sang pelaku tidak akan dapat melakukan introspeksi diri. Jangankan introspeksi diri, terpikirkan untuk berintrospeksi diri pun tidak.
Tidak ada urgensinya. Buat apa introspeksi diri, saya tidak salah dan tidak bisa salah !
Pada gilirannya, akan membuat dirinya meyakini bahwa perilaku dirinya selama ini adalah sudah benar adanya meski senyatanya keliru sama sekali.
Ada waktunya, dimana hukum perlu tampil untuk memaksa mundur seorang pelaku kejahatan atau perilaku buruk lainnya, atau bila perlu dengan dikunci dalam sel tahanan, guna menjadi momen introspeksi diri. Atau, setidaknya menjadi efek jera bagi calon penjahat muda untuk segera menarik diri dari niat buruk mereka.
Namun apa harus terjerat hukum terlebih dahulu, untuk mulai belajar melakukan introspeksi diri? Bukankah akan menjadi harga yang mahal untuk dibayar bila setiap kali masalah muncul, hukum harus tampil dan campur tangan?
Sekalipun harus demikian, pada kenyataannya hukum negara bersifat sangat tidak efesien, bahkan jauh dari efektif. Pernahkah Anda bertanya-tanya, dimanakah polisi ketika warga negara sangat membutuhkan? Dimana hukum dan keadilan tatkala Anda sangat membutuhkan hukum dan keadilan?
Buktikan sendiri, jika Anda kehilangan kendaraan bermotor, atau kediaman Anda kemasukan pencuri, apakah Anda yakin akan melaporkan pada pihak berwajib? Bisa-bisa hilang kambing, melapor akan membuat Anda kehilangan mobil.
Ketika Anda dianiaya di jalan, demi membela kebenaran, menjadi pahlawan kesiangan. Cobalah Anda menelepon pihak berwajib ataupun melapor ke kantor polisi. Apa responnya?
Bunyi: “Tut tut tut ... tulalit !
Atau, sekedar laporan polisi, pungutan liar, dan warga negara menghadapi arogansi petugas berseragam lengkap dengan pistol disandang, rok*k mengepul sehingga asap tembakau memenuhi paru-paru Anda, dan tingkah polah sok kuasa. Penelantaran.
Jadi, apa ada gunanya, mengatakan negara ini negara hukum? Rasanya, seperti membohongi diri ketika mengatakan negara ini negara hukum. Tak heran bila perbuatan main hakim sendiri masih terjadi, karena memang negara ini menyerupai tanpa hukum, karena aparatur penegaknya asyik “tertidur lelap” semua.
Hal tersebut diatas merupakan kejadian yang penulis sendiri alami. Bukan kata orang lain, bukan mitos, bukan dongeng.
Hukum negara tidak efektif dan jauh dari efesien. Inilah faktanya di Indonesia, negara berhukum, katanya.
Saat ini sedang tren-trennya berbagai pemukiman dijadikan pabrik oleh pelaku usaha tak bertanggung-jawab, mengakibatkan para penduduk lain hanya dapat mengelus dada, mendapati ketenangan hidup mereka direnggut demi keuntungan ekonomi sang pelaku usaha sendiri, mengakibatkan lingkungan pemukiman menjadi penuh oleh polusi suara, polusi udara, polusi air, dsb.
Sebenarnya berbagai bentuk pelanggaran hukum, pelanggaran etika, pelanggaran moral, atau pelanggaran kepatutan lainnya tidak perlu terjadi tatkala kita memahami dua konteks makna dari frasa dalam Bahasa Inggris yang bernama “retreat”.
Dalam salah satu definisinya, “retreat” memiliki pengertian sebagai kabur, melarikan diri, atau menarik diri. Terdengar bukan seperti kata yang enak didengar, penuh konflik, dan nista (tidak heroik—tapi memang jagoan mana yang tidak pernah mundur ketika terjatuh dan terluka? Jago dan bodoh adalah berbeda sama sekali).
Namun, frasa “retreat” juga mengandung makna kedua, yakni sebagai upaya diri penuh kesadaran pribadi untuk menarik diri mundur ke belakang, untuk melakukan langkah perenungan dan introspeksi diri. Melihat perilaku diri bukan dari sudut pandang mata diri sendiri, tapi ketika kita menarik diri ke belakang, kita seolah melihat dan menjadi pengamat atas sikap perilaku diri kita sendiri. Disaat bersamaan menghentikan diri, untuk terlebih dahulu menilai dan menimbang, apakah perilaku kita selama ini adalah patut dan telah tepat, atau mungkin bahkan sebaliknya tanpa pernah kita sadari. Mungkin pada titik inilah kita menjadi takut atas diri kita sendiri.
Hendaknya kita tak hanya mengenal dan memahami kata “maju”, “tempur”, “semangat”, “dobrak”, “gempur”, “eskpansi”, “kuasai” atau bunyi sejenisnya. Ada kalanya, kita harus memilih untuk “melepas” agar kita dapat melangkah lebih ringan, atau sekadar menginjak pedal “rem” tatkala kita telah menekan pedal “gas” secara dalam-dalam, dan menepi untuk sejenak.
Introspektif, memiliki makna yang sangat mendalam dan sakral, penuh kewaspadaan dan berkesadaran diri. Mawas diri. Introspektif, artinya membuka ruang bagi diri untuk mengakui diri kita dapat berbuat salah, dan bisa saja salah dalam setiap tindakan dan perilaku kita dikeseharian.
Orang yang paling mengerikan adalah orang yang tidak pernah merasa dirinya perlu menarik diri dan berintrospektif. Tipe manusia jenis ini merasa dirinya selalu benar, sementara orang lain selalu salah. Adalah percuma, berbicara dengan tipe orang satu ini. Anda hanya akan membuang waktu dan tenaga untuk membuat dirinya berkaca. Mungkin, sampai-sampai dewa kematian pun akan diajaknya berdebat dan yakin dapat menang. Atau mungkin meyakini dengan penuh percaya diri bahwa Yama, sang dewa neraka, dapat disogok dan diajak bernegosiasi.
Orang yang introspektif, tak harus menunggu ditegur oleh tuan rumah karena parkir seenaknya dalam bentuk jajaran motor roda dua di depan rumah penduduk setempat sehingga sang tuan rumah tak bisa keluar masuk rumah sendiri. Dan hal ini terus terjadi berulang kali. Kok yang gini saja musti ditegur berulang kali, dan justru lebih beringas dan galak yang ditegur? Negara ini kok, penduduknya memiliki otak yang terbalik? Punya otak, tapi kok, hanya dijadikan sebagai pengganjal isi batok kepala.
Pribadi yang berkesadaran, tidak akan berani mengotori lingkungan hidupnya sendiri, terlebih merusaknya.
Jiwa manusia yang sehat, tidak akan mengambil hak orang lain demi memuaskan ataupun demi kepentingan dirinya sendiri. Meski anehnya, manusia dengan jiwa yang sakit demikian selalu dibalut oleh penampilan luar yang serba sempurna.
Para pakar psikoanalis sudah lama mensinyalir, jiwa yang rusak, akan dikompensasikan dengan tampilan luar yang serba utuh. Manusia adalah pribadi yang penuh kontradiktif sekaligus ironi, lewat berbagai kompensasi diri yang berkebalikan dari apa yang ada dalam dirinya. Orang bodoh akan mencoba dengan segala cara agar tampil meyakinkan sebagai pribadi yang cerdas. Yakin, bahwa menipu diri akan dapat juga menipu orang lain.
Dunia modern bergerak maju. Namun kian terasa ada yang menghilang dan terus melemah. Apakah itu? Apakah yang telah hilang dari peradaban manusia kita?
Benar, kita menjadi lupa untuk sejenak mundur, menarik diri, dan berintrospeksi diri.
Tak perlu malu ataupun antipati untuk mengakui bahwa kita perlu memberi kesempatan diri untuk mengambil langkah mundur, merendahkan diri, menundukkan kepala, dan menarik diri, guna menumbuhkan diri.
Menumbuhkan diri, tak hanya harus dengan cara agresifitas, lari menerjang, bergerak 24 jam dalam sehari dan 7 hari dalam seminggu, dengan bangga menyatakan sebagai manusia super sibuk, eksploitasi manusia lain atau lingkungan, atau melahap berbagai ilmu pengetahuan yang dapat meluluh-lantakkan Planet Bumi ini hanya dengan sebuah tombol.
Menumbuhkan diri, tak harus menjadi “pemeran” aktor panggung  kehidupan yang fenomenal, berwajah tampan/cantik, memiliki segenap materi, atau menjadi seorang superhero.
Lihatlah bagaimana Pangeran Sidharta Gaotama justru menarik diri dari gemerlap dunia, melepas takhta, menanggalkan materi maupun ketenaran, tiada lagi melekat pada kenikmatan duniawi, namun memilih untuk bergerak mundur, dan berintrospeksi dalam keheningan. Siddharta Gaotama mencapai penerangan sempurna dengan berhasil menemukan dirinya sendiri, kemudian menjadi guru penuntun para dewa dan manusia yang merasa terasing dengan dirinya sendiri.
Menemukan diri, maka menemukan kebenaran tentang semesta.
Menarik diri, artinya mulai sedikit demi sedikit melepaskan khayalan kita, obsesi kita, ketamakan diri kita.
Menarik diri, berarti mulai untuk belajar untuk tidak menghakimi orang lain, namun mulai untuk menilai dan mengenali perilaku diri sendiri.
Menarik diri, berarti memulai jalinan komunikasi dengan diri sendiri.
Menarik diri, berarti mulai membangun dari sudut yang sebaliknya.
Menarik diri, berarti memulai dari hal baru kembali.
Menarik diri, berarti memberi kesempatan pada diri, untuk pulih dari luka masa lampau.
Menarik diri, berarti membuka kesempatan untuk jujur pada diri sendiri dan mulai memberi uluran tangan bagi diri kita sendiri.
Menarik diri, berarti mulai memahami, bahwa setiap manusia, setiap makhluk, dapat merasakan sakit dan juga memiliki espektasi yang sama dengan kita.
Menarik diri, berarti kita mulai mau mengakui bahwa diri orang lain pun sama berharganya dengan diri kita.
Menarik diri, berarti melepas segenap atribut diri.
Menarik diri, berarti tidak lagi memandang diri kita sebagai manusia yang istimewa daripada manusia lain.
Menarik diri, berarti menjadi pribadi yang lepas dari segala kemelekatan.
Menarik diri, berarti tidak lagi menipu diri dengan fatamorgana dunia yang kita ciptakan sendiri.
Menarik diri, berarti berhenti menyakiti makhluk lain maupun diri sendiri.
Menarik diri, berarti tidak membohongi diri bahwa memiliki tumpukan harta ataupun pengakuan akan membuat mereka bebas dari derita.
Ketika semua itu menjadi kenyataan, setiap pribadi menyadari pentingnya langkah gerakan mundur, hukum negara tidak lagi dibutuhkan. Itulah negara yang paling ideal, yakni bukan negara yang dipenuhi oleh berbagai aturan hukum yang kian menyerupai hutan belantara.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.