Rasionalisasi Pekerja yang Disikapi Mogok Kerja Tidak Sah

LEGAL OPINION
Question: Apa resiko terburuk, bila perusahaan melakukan rasionalisasi, lantas karyawan yang akan terkena rencana pemecatan akibat rasionalisasi manajemen, disikapi oleh pekerja dengan mogok kerja spontan menolak rencana rasionalisasi ini?
Brief Answer: Sebaiknya tidak menempuh langkah mogok kerja tidak sah, apapun alasannya. Rasionalisasi akan dihitung sebagai efisiensi usaha yang menimbulkan hak normatif pesangon 2 (dua) kali ketentuan normal, dengan catatan tiada terbuka “celah” kesalahan dari pihak pekerja/buruh itu sendiri.
PEMBAHASAN:
Kita dapat belajar dari kasus yang harus “dibayar mahal” oleh pihak pekerja yang keliru mengambil langkah, tercermin dalam putusan Mahkamah Agung RI sengketa PHK register Nomor 429 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 14 Juni 2016, perkara antara:
- 19 (sembilan belas) orang pekerja, sebagai Para Pemohon Kasasi, dahulu Para Penggugat; melawan
- PT. ARKHA JAYANTI PERSADA, sebagai Termohon Kasasi dahulu Tergugat.
Permasalahan bermula saat manajemen Tergugat menyampaikan rencana rasionalisasi terhadap 145 orang pekerjanya. Dalam perundingan, pihak Serikat Pekerja berpendapat, sebelum dilakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) harus alasan kenapa harus dilakukan PHK, nama-nama karyawan dan kriteria karyawan yang akan terkena dampak (PHK).
Direksi Tergugat memberi konfirmasi, bahwa kriteria yang terkena rasionalisasi adalah kewenangan dari direksi perusahaan, dimana Pengusaha akan memberikan kompensasi yang dirundingkan dengan serikat pekerja.
Manajemen menyatakan tidak mampu untuk menunda proses rasionalisasi lebih lama lagi, karena beresiko terhadap kemampuan perusahaan dalam pemberian upah. Serikat Pekerja memberi respon, sebelum dilakukan pengurangan karyawan, serikat pekerja meminta agar kriteria dan nama karyawan dirundingkan agar terciptanya rasa keterbukaan bagi seluruh karyawan. Terjadi dead lock.
Tanggal 24 Oktober 2014, Tergugat mengeluarkan Memorandum, bahwa perusahaan melakukan rasionalisasi terhadap 145 orang karyawan terhitung sejak dikeluarkannya ultimatum.
Tanggal 27 Oktober 2014, ketika Para Penggugat akan masuk kerja seperti biasanya, tidak diperbolehkan untuk masuk ke lokasi perusahaan Tergugat dengan alasan Para Penggugat sudah di-PHK. Penggugat menilai telah terjadi pelanggaran normatif Pasal 151 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003:
(1) Pengusaha, Pekerja/Buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.
(2) Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Dipertegas oleh kaidah Pasal 155 ayat (1) UU No. 13/2003:
“Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (1) batal demi hukum.”
Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kabupaten Bogor telah memediasi, berujung pada terbitnya surat Anjuran, dengan substansi:
Menganjurkan:
1. Bahwa pemutusan hubungan kerja yang dilakukan PT Arkha Jayanti Persada kepada pihak pekerja dapat dipertimbangkan;
2. Kepada perusahaan PT Arkha Jayanti Persada untuk memberikan kompensasi kepada pekerjanya sebanyak 71 orang berdasarkan Pasal 164 ayat (3) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 dengan perincian sebagai berikut:
a. 2 (dua) kali ketentuan ayat (2) Pasal 156 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003;
b. 1 (satu) kali ketentuan ayat (3) dan (4) Pasal 156 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003;
c. Hak-hak lain yang belum diterima agar dibayarkan.”
Para Penggugat pada mulanya menolak Anjuran Disnaker, dan tetap menginginkan untuk dipekerjakan kembali. Tetapi oleh karena Tergugat juga sama-sama menolak anjuran tersebut, maka kemudian Para Penggugat memutuskan untuk menerima anjuran tersebut.
Adapun kaidah ketentuan Pasal 164 ayat (3) UU No. 13/2003:
“Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).”
Terhadap gugatan tersebut, Pengadilan Hubungan Industrial Bandung telah memberikan Putusan Nomor 214/Pdt.Sus PHI/2015/PN Bdg., tanggal 7 Maret 2016 dengan pertimbangan hukum serta amar sebagai berikut:
“Apakah benar rasionalisasi yang dilakukan di perusahaan Tergugat karena dalam keadaan memaksa dan merugi?
“Menimbang, bahwa Tergugat menyangkalnya dengan dalil telah diadakan perundingan bipartit dengan Serikat Pekerja sebanyak 2 (dua) kali yaitu tanggal 24 Oktober 2014 dan tanggal 4 Desember 2014 (bukti T-49) dan Tergugat akan memberikan kompensasi sebesar 1 kali Pasal 156 ayat (2) bagi karyawan tetap dan uang kebijakan sebesar 1 bulan upah bagi karyawan yang belum diangkat, namun ditolak oleh Para Penggugat;
“Menimbang, bahwa dengan dilakukan dan diakuinya ada perundingan bipartit tanggal 23 dan 24 oleh Para Penggugat dalam gugatan angka 6 dan angka 7 telah terbukti bahwa perundingan bipartit telah dilakukan sekalipun belum ada kesepakatan sehingga fakta hukum tersebut mematahkan dalil gugatan angka 8 yang didalilkan Tergugat telah melanggar Pasal 151 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan bukti surat tersebut di atas menurut Majelis Hakim terdapat/ada indikasi kondisi perusahaan yang tidak sehat sehingga kalau dipaksakan beroperasi dengan kondisi sedemikian rupa akan mempercepat proses kebangkrutan, dan sebagai upaya untuk memperpanjang operasi perusahaan tersebut langkah yang diambil Tergugat sudah tepat dan dibenarkan oleh Pasal 164 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan dan fakta hukum di atas langkah pengurangan karyawan yang dilakukan oleh Tergugat terbukti telah sesuai dengan prosedur perusahaan dalam keadaan memaksa (force majeur) yang menurut Majelis Hakim dapat diartikan sebagai langkah penyelamatan perusahaan dan sebagian karyawan yang masih dapat bekerja walaupun harus diterima pahit bagi yang terkena dampak PHK;
“Menimbang, bahwa perusahaan merugi dan dalam keadaan memaksa diakui oleh Para Penggugat dalam repliknya hanya yang dipermasalahkan nama-nama karyawan yang akan dirasionalisasi harus dirundingkan dengan Serikat Pekerja dan nilai kompensasi yang harus diterima oleh para karyawan yang kena dampak tersebut, oleh karenanya Majelis Hakim berkesimpulan pengurangan karyawan yang dilakukan oleh Tergugat tidak menyalahi peraturan perundang-undangan dan dapat dikategorikan sebagai rasionalisasi yang sah secara hukum;
“Apakah pemogokan kerja yang dilakukan oleh Para Penggugat beserta karyawan lainnya sah secara hukum ?
“Menimbang, bahwa Tergugat dalam dalil jawaban dan bukti-bukti yang mendukung mendalilkan telah terjadi aksi mogok kerja tidak sah di PT. Arkha Jayanti Persada yang dilakukan oleh Para Penggugat dan karyawan lainnya dengan bukti T-50 tentang Keberatan atas Surat Pemberitahuan mogok kerja dari tanggal 27 November 2014 s.d 4 Desember 2014, T-51 tentang permohonan bantuan pembebasan gangguan Aksi Demo dan Aksi Mogok Kerja di Lokasi Perusahaan, T-54 tentang Surat Perpanjangan Aksi dan Aksi Mogok Kerja;
“Menimbang, tentang adanya aksi mogok kerja tersebut dibenarkan oleh Saksi Sdr. Sunday Haryanto dan Sdr. Subur bahwa unjuk rasa dilakukan sebelum PHK 1 kali, dan sesudah PHK selama 1 minggu dan adanya sangkalan tentang aksi mogok kerja tersebut Para Penggugat tidak meresponnya baik dalam replik maupun alat bukti yang diajukan ke muka persidangan, namun Majelis Hakim akan mempertimbangkan sebagai dasar dalam menentukan nilai kompensasi atas pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh Tergugat kepada Para Penggugat;
“Menimbang, bahwa bukti T-50 yang diajukan oleh Tergugat atas respon terhadap Surat tentang pemberitahuan pelaksanaan mogok kerja dari tanggal 27 November 2014 s.d 4 Desember 2014, hal ini membuktikan bahwa benar dalam proses rasionalisasi di perusahaan Tergugat berlanjut dengan dilakukannya mogok kerja oleh Para Penggugat dengan pekerja lainnya, dan untuk mogok kerja tersebut disangkal sebagai mogok kerja yang sah oleh Tergugat karena berdasarkan Surat (bukti T-70) mogok kerja dimulai tanggal 29 Oktober 2014 s.d 6 November 2014 dan 5 November 2014 s.d 5 Desember 2014 tetapi dilaksanakan mulai tanggal 27 Oktober 2014;
“Menimbang, bahwa bukti T-54 berupa Surat tanggal 3 Desember 2014 yang ditujukan kepada pengusaha PT Arkha Jayanti Persada dan Kepala Dinas Sosial Tenaga Kerja Kabupaten Bogor adalah berupa Surat perpanjangan aksi dan Aksi mogok kerja mulai tanggal 5 Desember 2014 s.d 5 Januari 2015 dan 12 Desember 2014 s.d 12 Januari 2015, menurut Majelis Hakim surat pemberitahuan ini tidak memenuhi ketentuan Pasal 140 ayat (1) yang mengamanatkan: Sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan dengan memberitahukan kepada pihak pengusaha dan dinas tenaga kerja setempat, oleh karenanya menurut Majelis Hakim mogok kerja yang dilakukan mulai tanggal 5 Desember 2014 s.d 12 Januari 2015 merupakan mogok kerja yang tidak sah;
“Menimbang, bahwa selain dikategorikan sebagai mogok kerja yang tidak sah Tergugat dalam jawaban angka 12 dan 14 mendalilkan bahwa Para Penggugat secara perseorangan maupun bersama-sama saat melakukan unjuk rasa dari tanggal 18 November 2014 sampai 26 November 2014 diduga melakukan pengrusakan barang milik perusahaan (Locator Skirt Caterpillar dan mesin absensi) Bukti T-60 sehingga merugikan Tergugat sebesar Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah), namun disangkal oleh Para Penggugat dalam repliknya sebagai dalil yang mengada-ada ternyata Bukti T-60 dapat mematahkan dalil Para Penggugat;
“Menimbang, bahwa dengan berdasarkan pertimbangan dan fakta hukum di atas maka dapat disimpulkan Mogok Kerja yang dilakukan oleh Para Penggugat dengan karyawan lainnya merupakan mogok kerja yang tidak sah dan menimbulkan kerugian bagi Tergugat bertentangan dengan Pasal 37 juncto Pasal 140 ayat (2) huruf a;
“Apakah pemutusan hubungan kerja yg dilakukan oleh Tergugat terhadap Para Penggugat sah secara hukum ?
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan dan fakta hukum di atas dan dinyatakan oleh Majelis Hakim mogok kerja yg dilakukan oleh Para Penggugat adalah mogok kerja yg tidak sah dan Para Penggugat di dalam petitum angka 5 meminta PHK akibat rasionalisasi seharusnya tidak direspon dengan mogok kerja yang tidak sah karena pada saat perundingan bipartit hal tersebut dibahas dan ditawarkan oleh pihak Tergugat, mengenai perbedaan perhitungan nilai kompensasi dapat diselesaikan melalui jalur non litigasi (mediasi) dan litigasi (pengadilan hubungan industrial) bukan dilakukan tindakan aksi mogok kerja baik sah apalagi tidak sah sekalipun hal itu merupakan hak kerja;
“Menimbang, bahwa berdasarkan gugatan dalam posita dan petitum angka 5 tersebut di atas, maka Majelis Hakim berpendapat pemutusan hubungan kerja antara Para Penggugat dengan Tergugat yang dilakukan pada tanggal 27 Oktober 2014 adalah sah secara hukum oleh karena kedua belah pihak tidak melaksanakan hak dan kewajibannya sebagaimana diamanatkan Pasal 155 ayat (2) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003;
“Apakah Para Penggugat berhak mendapat kompensasi atas pengakhiran hubungan kerja tersebut ?
“Menimbang, bahwa karena mogok kerja yang dilakukan oleh Para Penggugat dan pekerja lainnya (bukti T-50, T-51, T-54, dan T-70) telah dinyatakan sebagai mogok kerja yang tidak sah, namun tidak ada pemanggilan kembali bekerja yang dilakukan oleh Tergugat, maka Majelis Hakim berpendapat terdapat kesalahan yang dilakukukan oleh Para Penggugat (mogok tidak sah) dan kesalahan yang dilakukan oleh pihak Tergugat tidak memanggil kembali untuk bekerja saat Para Penggugat mogok tidak sah;
“Menimbang, bahwa atas perbuatan hukum yang dilakukan oleh kedua belah pihak tersebut di atas menurut Majelis Hakim ketentuan yang akan dijadikan pertimbangan mengenai pengakhiran hubungan kerja karena rasionalisai akibat keadaan memaksa dan perusahaan merugi (bukti T-37, T-38, T-39, T-40, T-41, T-42, dan T-44 diatur dalam Pasal 164 ayat (1) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 sebagaimana dimohonkan oleh Para Penggugat dalam petitum angka 6 yang memohon agar Para Penggugat berhak atas uang pesangon sebesar 1 kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
“Menimbang, bahwa tentang petitum angka 4 yang memohon agar Tergugat membayar uang kekurangan upah Para Penggugat sampai bulan Maret 2014 sebesar Rp383.924.368,00 kekurangan tunjangan makan Juni s.d Agustus sebesar Rp4.560.000,00 dan kekurangan pembayaran upah Mei 2014 s.d Juli 2014 sebesar Rp513.000,00 setelah ditelaah bukti-bukti surat yang diajukan oleh Para Penggugat berkaitan dengan petitum angka 4 terdapat bukti P-3.a s.d P-3.E, P-4.i berupa slip gaji Para Penggugat bulan Mei 2014 s.d Juli 2014 tertulis gaji pokok Para Penggugat sebesar Rp2.271.000,00 yang tidak sesuai dengan minutes meeting UMK 2014 dimana gaji pokok ditetapkan sebesar Rp2.700.000,00 dan mulai diberlakukan Mei 2014 (bukti P-2.a);
“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta hukum di atas terbukti ada kekurangan upah bulan Mei s.d Juli 2014 sebesar 3 bulan x 18 x Rp513.000 = Rp28.728.000,00 oleh karenanya petitum angka 4 haruslah dinyatakan dikabulkan untuk sebagian;
“Menimbang, bahwa berdasarkan bukti tersebut di atas maka sesuai pertimbangan majelis hakim terdahulu dan sesuai dengan petitum Para Penggugat angka 6 mengenai perhitungan pesangon, penghargaan masa kerja, dan penggantian hak sebesar 1 kali Pasal 156 ayat (2,3), dan ayat 4 maka cukup beralasan apabila dinyatakan putus hubungan kerja antara Penggugat dengan perhitungan: ...
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan putus hubungan kerja antara Para Penggugat dengan Tergugat sejak tanggal 27 Agustus 2014;
3. Menghukum Tergugat untuk memberikan kompensasi atas pemutusan hubungan kerja tersebut kepada Penggugat (Risnandar, Soni Syah Putra, Ari Supratman, Wahyu, Asep Mulyadi, Muttohar, Riki Alifiansyah, Tri Paryanto, Haris, Eko Hardoyo) masing-masing mendapat Rp21.735.000;
4. Menghukum Tergugat untuk memberikan uang kompensasi kepada Penggugat Rahmat dan Suhadi masing-masing mendapat Rp9.315.000;
5. Menghukum Tergugat untuk membayar kekurangan upah bulan Mei sampai dengan Juli 2014 kepada 18 orang Penggugat sebesar Rp29.241.000,00;
6. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp531.000,00;
7. Menolak gugatan Para Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
Selanjutnya Para Penggugat mengajukan upaya hukum kasasi, dengan argumentasi bahwa rasionalisasi harus merujuk pada ketentuan Pasal 164 ayat (3) UU No. 13/2003 dengan konsekuensi dua kali hak pesangon bagi pekerja. Selanjutnya, Mahkamah Agung membuat pertimbangan hukum serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap keberatan-keberatan tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan-keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 8 April 2016 dan kontra memori kasasi tanggal 27 April 2016 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Bahwa Termohon Kasasi melakukan rasionalisasi karena Termohon Kasasi mengalami kerugian selama 2 (dua) tahun yaitu tahun 2013-2014, beralasan hukum. Terbukti karena Termohon Kasasi bila dipaksakan beroperasi akan mengakibatkan kebangkrutan. Dengan demikian tindakan Termohon Kasasi telah sesuai dengan ketentuan Pasal 164 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yaitu dalam keadaan memaksa (force majeur) guna menyelamatkan perusahaan;
2. Bahwa mogok kerja yang berlanjut dilakukan oleh Para Pemohon Kasasi (bukti T-70) pada tanggal 29 Oktober 2014 sampai dengan 5 Desember 2014, dan perpanjangan mogok kerja tanggal 12 Desember 2014 sampai dengan 12 Januari 2015 adalah mogok kerja yang tidak sah karena bertentangan dengan ketentuan Pasal 140 ayat (1) dan ayat (2.a) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003;
3. Bahwa pemogokan yang dilakukan Para Pemohon Kasasi tidak sah secara hukum, dan Termohon Kasasi merugi dan Para Pemohon Kasasi diputus hubungan kerja (PHK) maka sesuai ketentuan Pasal 164 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pemohon Kasasi berhak atas uang pesangon 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja (UPMK) 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak (UPH) sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, serta mewajibkan Termohon Kasasi untuk membayar kekurangan upah Para Pemohon Kasasi dari bulan Mei sampai dengan bulan Juli 2014 sebanyak 19 (sembilan belas) orang;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata bahwa Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Para Pemohon Kasasi: RISNANDAR dan kawan-kawan, tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I
Menolak permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi: 1. RISNANDAR, 2. SONI SAPUTRA, 3. SUHADI, 4. ARI SUPRATMAN, 5. WAHYU, 6. MUTTOHAR, 7. EKO HARDOYO, 8. HARIS, 9. PAJAR HEMAWAN, 10. DIYAN PASTIYO, 11. SODIKH AKHLI, 12. RAHMAT, 13. TRIPARYANTO, 14. EKO TIYONO, 15. ASEP MULYADI, 16. SUWARJO, 17. YUSUF BAHTIAR, 18. JULLENS FRANSISKO, 19. RIKI ALIFIANSYAH, tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.