Perbedaan antara Pungli dan Menyuap

ARTIKEL HUKUM
Dalam hukum tindak pidana korupsi, terdapat dua subjek hukum yang saling berinteraksi dan bertransaksi, yakni pihak sipil dan pihak pemegang otoritas pemerintahan. Namun apakah setiap hubungan hukum transaksional diluar koridor hukum, masuk dalam kategori tindak pidana korupsi?
Apa pula beda antara terkena pungungan liar dengan memberi sogokan (alias menyuap)?
Dalam artikel singkat ini SHIETRA & PARTNERS mencoba untuk mengangkat sebuah isu sederhana yang kerap ditanyakan masyarakat dalam praktik. Penulis tidak hendak merujuk pada pasal-pasal hukum yang membuat jengah, bahkan membuat jemu para praktisi hukum itu sendiri. Penulis akan membahas dari sudut pandang falsafah serta konsepsi dasar dari “pungli” dan “suap”.
Dalam konteks terjadi pungutan liar (pungli), kehendak/inisiatif kerap bukan berangkat dari pihak sipil, namun dari pihak aparatur negara. Disini, kedudukan pemberi pungli memiliki daya tawar rendah, sehingga secara dasariahnya pemberi pungli adalah korban.
Sebagai contoh, dalam pengajuan izin ataupun pelayanan publik, mengingat kantor pemerintahan memegang monopoli proses permohonan hingga perizinan dan pelayanan, maka aparatur dalam menerapkan sebuah sistem (yang mereka sebut sebagai prosedur), yang mana bisa jadi dibentuk dengan motif utama untuk membuat sukar publik, sehingga publik terdorong untuk melakukan suatu transaksional berupa biaya “pelicin”.
Mungkin dapat kita jumpai, dalam praktik pada berbagai instansi pemerintahan, seolah inisiatif pemberian pungli adalah dari pihak sipil/swasta. Konstruksi tersebut keliru, karena inisiatif untuk mempersukar bersumber dari pihak aparatur negeri sipil itu sendiri.
Sekali lagi, dalam posisi ini daya tawar pihak sipil amat rendah, sehingga terpojok dalam kondisi “mau tidak mau” harus menawarkan sesuatu, atau setidaknya membuka negosiasi—yang penuh resiko. Penegak hukum terutama penyidik kepolisian ataupun KPK perlu bersikap jeli dan arif terhadap konstruksi hukum demikian yang dapat terjadi
Bukti bahwa upaya prosedur dijadikan instrumen hukum untuk melakukan pemerasan berkedok prosedur ini, ketika uang “pelicin” diberikan, seketika itu juga izin/layanan diberikan. Muncul persepsi dalam benak masyarakat, ternyata terdapat jalur ekspres dan jalus biasa yang ngejelimet. Standar ganda !?
Artinya, antara proses input dan output memang dimanipulasi sedemikian rupa sehingga mengundang niat kalangan sipil/swasta untuk menyerah, kemudian melakukan upaya transaksional, atau setidaknya bernegosiasi.
Bila memang sistem prosedurnya demikian, lantas untuk apa sejak awal “oknum” aparatur negara (meski senyatanya terjadi secara berjemaah) tersebut membuka dan menyambut negosiasi “harga” bila memang tidak lagi mungkin mengintervensi proses prosedur tersebut?
Instansi tersebut itu sendiri yang menciptakan prosedur, sehingga akan sangat heran bila aparatur negeri sipil mengklaim bahwa bukan pihak mereka yang telah mempersukar layanan publik. Contoh, Standar Operation Procedure (SOP) pada instansi Badan Pertanahan Nasional dibentuk serta dirancang oleh BPN itu sendiri, sehingga mulai dari lini regulasi, pemegang monopoli loket, pelayanan, aparaturnya, hingga proses berjalannya dari input hingga output menjadi prerogatif dari instansi bersangkutan. Dengan kata lain, untuk mempermudah atau sebaliknya mempersulit ada pada tangan para aparatur birokrasinya, bagaikan memainkan proses dengan memegang sebuah “remote control”: ON atau OFF.
Bukankah ini luar biasa ?!
Kerap terjadi, prosedur dibuat untuk menjadi dalil sempurna untuk mengundang niat masyarakat yang membutuhkan pelayanan publik untuk menggunakan jalan pintas atau jalan “tikus” untuk mendapat pelayanan publik secara tidak bertele-tele.
Penulis akui, banyak diantara berbagai aturan yang memang irasional, hanya menjadi celah untuk berbagai pungutan liar demikian. Salah satunya, untuk proses pembuatan Kartu Tanda Penduduk yang selama ini membutuhkan surat pengantar dari RT RW, yang justru ternyata dapat berjalan lancar setelah prosedur birokrasi demikian dipangkas lewat deregulasi.
Berbeda dengan pungli, dalam konsepsi penyuapan, niat, inisiatif, keaktifan, serta bobot kesalahan terletak pada pundak pelaku penyuap, sementara pelaku penerima suap hanya bertindak pasif sebagai penyalahguna kekuasaan lewat apa yang disebut sebagai kolusi.
Jadi, bila kita berbicara dari sudut pandang falsafah, dalam konteks penyuapan/penyogokan, aparatur negara/negeri sipil tidak selalu pelaku korupsi, karena bisa jadi tiada kerugian atau potensi kerugian negara yang terjadi, namun penyalahgunaan kekuasaan/wewenang (abuse of power). Semisal secara hukum “tidak dapat”, dapat dibuat menjadi “dapat”, dari “tidak boleh” menjadi “boleh” akibat diskresi yang disalahgunakan.
Kecuali dalam konteks penyuapan tender pengadaan barang dan jasa, pihak peserta tender menyuap pejabat pengadaan, sehingga menunjuk pemenang atau merekayasa proses tender sehingga memenangkan pemberi suap. Kerugian atau potensi kerugian, nyata terjadi, maka selain kolusi, unsur-unsur tindak pidana korupsi pun terpenuhi.
Sementara pelaku penyuapan, yang berangkat dari pihak sipil, adalah pelaku inisiator, alias pelaku utama, sementara sang aparatur negara hanyalah berkedudukan selaku penyerta/pembantu/pelaksana. Kecuali, bila tawaran untuk memenangkan sebuah tender, sebagai contoh, justru berangkat dari pihak aparatur negara, dimana dirinya juga merupakan pelaku penganjur.
Namun agak menjadi sukar untuk kita pilah, ketika peserta tender ditawari kemenangan tender dengan sejumlah biaya. Bila pelaku usaha tidak menuruti keinginan sang “oknum”, maka dirinya merasa pasti tidak akan mendapat proyek, sehingga mau tidak mau memberi sesuai kemauan sang “oknum”. Maka, dalam kasus ini, apakah pelaku pemberi dana merupakan pelaku penyuapan ataukah korban pungli semata? Bagaimana pun ada ancaman terselubung dibaliknya: tidak diberikan, maka tender Anda akan dikalahkan. Terdapat pula unsur keterpaksaan, untuk menang, mau tidak mau harus memberi imbalan.
Oleh sebab itu, penulis berpendirian, bila inisiatif bermula dari pihak aparatur, maka seyogianya pelaku sipil tidak dikriminalisasi oleh sebab perlu menimbang dan mengingat posisi keterpaksaan ini. Dengan kata lain, ada perbedaan pula antara pemerasan dengan penyuapan.
Bila dalam konstruksi hukum penyuapan, pemberi suap adalah pelaku utama atau pelaku turut serta aksi tindak pidana korupsi/kolusi, maka dalam konsepsi pungli, pemberi pungli hanyalah korban—sehingga bila pemberi pungli sekalipun telah memberi sejumlah dana pada aparatur negara, dirinya tak dapat dikriminalisasi, justru dapat menjadi pelapor terhadap pemerasan yang terjadi padanya.
Namun yang sukar ialah pemerasan terselubung prosedur, tentunya, yang tidak pernah kita ketahui secara pasti apakah memang benar demikian atau tidak prosedurnya, karena kerapnya prosedur tertulis dilanggar sendiri oleh aparatur negara pembentuknya.
Inilah yang disebut dengan law as a tool of perfect crime, yakni ketika aparatur negeri memegang posisi monopoli, mau tidak mau pihak sipil/swasta harus berhubungan dengan instansi negeri bersangkutan.
Contoh, mengapa selama ini pihak notaris/PPAT ataupun pihak perbankan, developer property, kerap tidak melaporkan pungli yang mereka hadapi di Kantor Pertanahan, meski senyatanya terjadi secara masif?
Sesederhana menjawab pertanyaan berikut: bila melapor, artinya melawan dan mengikrarkan perang, sehingga tentu pekerjaan dan kepentingan pelapor menjadi terancam dikemudian hari karena selamanya profesi korban pungli mau tidak mau mencari nafkah dengan mengajukan dan mengurus proses sertifikat tanah pada instansi BPN tersebut. Tidak ada pilihan lain, selain meladeni dan tunduk pada pelaku pemerasan terselubung demikian yang dipastikan takkan terjamah hukum—dan terbukti telah berlangsung puluhan tahun dalam praktiknya.
Oleh karenanya, tak semudah pihak kepala negara kita yang menyatakan secara terbuka kepada publik, bahwa bila ada sipil yang terkena pungli, laporkan kepada team “sapu bersih pungli, saber pungli”.
Bukan tidak mau, tapi tidak sanggup, karena melapor sama artinya berperang dengan satu instansi, yang berujung pada terancamnya pelayanan yang sangat dibutuhkan dikemudian hari.
Selama sistem pelayanan publik masih bersifat monopolistik, maka berbagai pungli akan terus ada dan terus hidup. Inilah yang disebut dengan bersikap “rasional”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.