LEGAL OPINION
Question: Saya sudah pernah dengar bahwa kekerasan fisik oleh pasangan suami atau istri dapat dipidana penjara. Tapi bagaimana jika kekerasan yang diterima berupa kekerasan psikis?
Brief Answer: Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dikenal dalam hukum nasional Indonesia bukan hanya dikenal dalam ranah kekerasan fisik (lahiriah), namun juga kekerasan psikis (batiniah). Yang juga perlu diketahui, penelantan oleh kepala keluarga termasuk dalam kategori kekerasa psikis dalam rumah tangga.
PEMBAHASAN:
Salah satu ilustrasinya ditemukan dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan perkara pidana register Nomor 1102/Pid/Sus/2013/PN.JKT.Sel. tanggal 2 Desember 2013, dimana dalam dakwaan alternatif pertama, pelaku didakwa dengan tuduhan melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga, dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari hari, sebagaiman diatur dan diancam pidana dalam Pasal 45 ayat (2) Undang-undang R.I No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Sementara dalam dakwaan alternatif kedua, Terdakwa didakwakan telah menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), yaitu setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 49 huruf a Undang-undang R.I No. 23 tahun 2004.
Terdakwa adalah seorang suami dari istrinya yang menjadi korban, telah menikah sesuai dengan kutipan akta nikah, dan telah dikaruniai 2 (dua) orang anak. Sejak menikah pada tahun 2002, hubungan terdakwa dengan istrinya berlangsung harmonis dimana ketika terjadi masalah dapat diselesaikan secara bersama oleh terdakwa dan sang isteri.
Namun pada sekitar bulan Juni tahun 2011 rumah tangga terdakwa bersama dengan sang isteri sering terjadi masalah dengan cek-cok mulut dikarenakan sang isteri merasa cemburu karena menemukan pesan singkat di handphone milik terdakwa yang dikirim dari seorang perempuan, dan terdakwa tidak lagi memperhatikan keluarganya karena ketika terdakwa berada di rumah hanya sibuk dengan handphonenya.
Akibat kecemburuan sang isteri, terdakwa merasa tidak nyaman berada di rumah sehingga pada tanggal 19 Agustus 2011 terdakwa meninggalkan kediaman tanpa diketahui korban sebagai isterinya. Sempat kembali ke rumah pada tanggal 05 September 2011 namun hanya mengambil pakaian dan pada tanggal 09 Nopember 2011 terdakwa baru kembali berada di rumah untuk tinggal bersama sang isteri dan anaknya dengan dalih untuk mencoba memperbaiki hubungan rumah tangganya.
Kemudian terdakwa merasakan tidak adanya perubahan dan kecocokan dengan sang isteri membuat kondisi rumah tangga tidak berjalan harmonis, sehingga pada tanggal 23 Desember 2011 terdakwa memutuskan untuk keluar dari rumah/pisah rumah dengan tinggal di sebuah rumah kost, padahal saat itu sang isteri sedang dalam keadaan hamil/mengandung + 9 bulan (hamil tua).
Sejak saat terdakwa meninggalkan rumah, sang isteri yang berusaha untuk mencari dan menghubungi dengan menelepon terdakwa ke ponselnya, akan tetapi tidak pernah diangkat/diterima dan sejak terdakwa pergi meninggalkan saksi Korban, terdakwa tidak pernah memberikan nafkah lahir maupun batÃn.
Pada tanggal 23 Januari 2012, terdakwa mengirimkan pesan singkat (SMS) ke handphone milik sang isteri dengan kata-kata “Heh sy gak perduli ya km mau lahiran kek, mau gak lahiran kek, mau mati sekalian juga bodo amat! saya gak perduli! yg saya tau sy mau cerai sm km! Besok sidang pertama !”
Pada saat sang isteri melahirkan anak ke-2 pada tanggal 29 Januari 2012, terdakwa tidak membiayai biaya perobatan dan biaya persalinan anaknya sendiri dan malah diketahui pada tanggal 06 Januari 2012 terdakwa telah mendaftarkan gugatan cerainya kepada sang isteri sehingga karena merasa iba yang disebabkan oleh ketidakperdulian terdakwa terhadap isteri dan anaknya biaya perobatan dan persalinan sang isteri dibayarkan oleh PT. Dinamika Mitra Pratama (perusahaan tempat bekerja terdakwa).
Setelah ditetapkan putus cerai antara terdakwa dan sang isteri sesuai dengan Akta Cerai tanggal 20 Juni 2012, tidak lama berselang terdakwa ternyata menikah dengan sang wanita idaman lain (perempuan yang telah dicurigai sang isteri sebagai perempuan selingkuhan sang suami) pada tanggal 04 Juli 2012.
Kemudian ditemukan Bill pembayaran administrasi sewa kamar Hotel Kebayoran Baru Jakarta Selatan pada tanggal 18 Nopember 2011 s/d 19 Nopember 2011 atas nama terdakwa yang menurut terdakwa datang ke hotel tersebut untuk bertemu dengan klien membicarakan masalah pekerjaan namun hal tersebut berbeda dengan surat tanggal 15 Maret 2011 dari PT. Dinamika Mitra Pratama yang menyatakan pada tanggal 18 Nopember 2011 terdakwa tidak pernah diperintahkan oleh perusahaan untuk melakukan pertemuan dengan klien di Hotel Kebayoran Baru Jakarta Selatan.
Korban selaku istri terdakwa pernah melihat terdakwa membawa handuk warna pink dan sebuah koper yang dibawa terdakwa dengan bukti cargo pesawat atas nama Natalia/Erli yang dibawa pulang ke rumah terdakwa.
Akibat perbuatan terdakwa tersebut, sang isteri merasa mengalami tekanan psikis karena terdakwa tidak memberikan nafkah lahir maupun bathin dan belum melihat anaknya yang kedua, hingga memuncak dengan dilaporkannya terdakwa ke Polres Metro Jakarta Selatan.
Dari Hasil Pemeriksaan Psikologi dan Konseling Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi DKI Jakarta dengan klien atas nama sang isteri, dengan proses kualifikasi pemeriksa, latar belakang pemeriksaan psikologis, proses pemeriksaan psikologis menurut pendapat saksi ahli memberi keterangan: “korban mengalami tekanan psikologis, berupa perasaan tidak tenang, tidak bisa tidur dengan tenang, selalu merasa sedih, sakit hati, stress dan marah yang secara signifikan cukup menganggu aktifitas korban sehari-hari. Meskipun korban mempunyai kemampuan yang cukup baik dalam mengontrol emosinya, namun saat ini korban membutuhkan waktu untuk memulihkan diri karena merasa disia-siakan pengorbanannya selama ini menjadi seorang isteri.”
Berdasarkan surat Visum et Repertum Psychiatrum tanggal 20 Oktober 2012, Divisi Psikiatri Forensik atas permintaan tertulis dari Kepala Kepolisian Resor Metropolitan Jakarta Selatan, telah melakukan pemeriksaan atas nama korban untuk pemeriksaan psikiatrik dalam perkara kekerasan psikis dalam rumah tangga yang dialami oleh terperiksa. Pada pemeriksaan tanggal 05 Oktober 2012 2012 diperoleh kesimpulan :
a. Terperiksa (korban) pada pmeriksaan memperlihatkan adanya riwayat gejala dan keluhan psikologis yang sesusi dengan kriteria diagnostik gangguan penyesuaian dengan afek depresi. Suatu kondisi psikologis yang ditandai dengan adanya gejala berupa suasana perasaan yang tertekan dan sedih, gangguan tidur dan gangguan konsentrasi yang menganggu fungsi sosial dan pekerjaan terperiksa.
b. Terdapat dorongan kemarahan terpendam (inhibites agresive drive) pada terperiksa akibat konflik dalam perkawinan yang dipicu oleh komunikasi yang tidak berjalan dengan baik antara terperiksa dengan pasangan.
Terhadap tuntutan Jaksa Penuntut, Majelis Hakim membuat pertimbagnan hukum sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa Terdakwa diajukan ke persidangan oleh Penuntut Umum dengan Surat Dakwaan yang disusun Alternatif, Terdakwa didakwa dakwaan Kesatu melanggar Pasal 45 ayat (2) UU No.23 Tahun 2004 Atau Kedua melanggar Pasal 49 huruf a Undang-undang R.I No 23 Tahun tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumahtangga, yang menurut perumusan deliknya mengandung unsur-unsur :
1. Setiap orang;
2. Melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga;
3. Yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari;
“Menimbang, bahwa, yang dimaksud ‘kekerasan dalam rumah tangga’ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir (1) UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, sek*sual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga;
“Bahwa, menurut Pasal 7 UU No.23 Tahun 2004, pengertian ‘kekerasan psikis’ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang;
“Menimbang, bahwa selanjutnya akan dipertimbangkan, apakah Terdakwa HANDOKO ATMODJO tersebut telah melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangganya;
“Menimbang, bahwa menurut saksi Korban yang memberikan keterangan di persidangan dan sesuai dengan keterangan saksi ... , saksi ... , saksi ... dibawah sumpah dan dibenarkan oleh Terdakwa, pada tanggal 9 Nopember 2011 sampai 23 Desember 2011 Terdakwa sedang berada di rumah dan sibuk dengan handphonenya dan selalu BBman, saksi sempat menemukan pesan (SMS) dari seseorang perempuan kepada Terdakwa dengan bertuliskan “Selamat pagi udah bangun belum” dan Terdakwa tidak ada perhatian terhadap keluarganya dan saksi Korban saat itu dirinya masih isteri Terdakwa dan pernah melihat Terdakwa membawa handuk warna pink ke rumah dan sebuah koper dengan bukti cargo tanggal 4 Sep. atas nama Natalia/Erli dan saksi Korban merasa sedih dan dikhianati oleh Terdakwa;
“Menimbang, bahwa lebih lanjut saksi korban menerangkan pada saat kejadian saksi dalam keadaan Hamil 9 bulan dan Terdakwa tidak pernah ada perhatian terhadap keluarga ataupun mengantarkan saksi Korban pergi konsul ke dokter dan saat melahirkan anak kedua Terdakwa tidak hadir dan tidak datang melihat anaknya ke Rumah Sakit dan biaya persalinan saksi kurang, terpaksa saksi pergi menemui Direktur di kantor tempat Terdakwa bekerja;
“Bahwa hubungan Korban dengan Terdakwa menjadi bertambah buruk, sehingga saksi mengalami keadaan yang tidak stabil dan seharusnya saksi melahirkan secara normal akan tetapi dilakukan secara Caesar dan kenyataannya Terdakwa benar kemudian menikah dengan perempuan yang saksi Korban curigai dulu dan telah pula mempunyai seorang anak;
“Bahwa berdasarkan keterangan ahli yang telah disumpah sebelumnya, kemudian dibacakan di pesidangan dan pada kesimpulannya Ahli Psikolog ... menerangkan saksi Korban saat dilakukan pemeriksaan adalah korban cukup bisa dipercaya karena keterangan yang diberikan konsisten meskipun terkesan emosi sedih yang mendalam ditandai dengan megeluarkan air mata sepanjang wawancara ketika konseling. Selama konseling korban dapat bersikap kooperatif dengan baik dalam menceritakan mengenai keadaan korban, bahwa dari hasil pemeriksaan psikologi terhadap saksi KORBAN tersebut menyimpulkan antara lain :
• Korban mengalami perasaan yang tidak tenang;
• Korban tidak bisa tidur;
• Korban selalu merasa sedih;
• Korban merasa sakit hati;
• Korban menjadi stress dan marah yang secara signifikan cukup mengganggu aktifitas korban sehari-hari;
“Menimbang, bahwa dari fakta-fakta tersebut, jika dikaitkan dengan pengertian ‘kekerasan psikis’ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b UU No.23 Tahun 2004 sebagaimana diuraikan di atas, maka Majelis berpendapat, unsur melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga, telah terbukti dilakukan oleh Terdakwa terhadap saksi KORBAN yang saat itu berstatus sebagai isteri sah dari Terdakwa HANDOKO ATMODJO;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, maka menurut Majelis terhadap unsur kedua perbuatan kekerasan psikis yang dilakukan dalam kalangan anggota rumah tangga, telah pula terpenuhi dalam perbuatan Terdakwa;
“Menimbang, bahwa meskipun saksi Korban dalam keadaan hamil berat, namun saksi korban tetap berusaha sendiri untuk bekerja menutupi biaya hidup dalam rumahtangganya karena Terdakwa tidak lagi memberi biaya nafkah lahir maupun bathin yang membuat saksi Korban mengalami tekanan psikis yang tertekan karena perbuatan dan sikap dari Terdakwa Handoko Atmodjo yang tidak pernah melihat kelahiran anaknya yang kedua;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka terhadap unsur ketiga ini telah terpenuhi dan terbukti dalam perbuatan Terdakwa;
“Menimbang, bahwa dengan demikian semua unsur dalam pasal sebagaimana didakwakan dalam Dakwaan Kesatu oleh Penuntut Umum telah terbukti secara sah dan meyakinkan dilakukan oleh Terdakwa, oleh karenanya Majelis tidak sependapat dengan pendapat Terdakwa sebagaimana tertuang dalam Nota Pembelaannya yang menyatakan bahwa unsur-unsur dalam pasal yang didakwakan dalam Dakwaan Penuntut Umum tersebut tidak terbukti secara sah dan meyakinkan; sehingga pendapat Terdakwa a quo harus dikesampingkan dan Terdakwa haruslah dinyatakan bersalah;
“Menimbang, bahwa karena Dakwaan Kesatu telah terbukti, maka Dakwaan selebihnya tidak perlu dipertimbangkan lagi;
“Menimbang, bahwa sebelum Majelis menjatuhkan hukuman kepada Terdakwa, perlu terlebih dahulu mempertimbangkan mengenai perbuatan yang dilakukan Terdakwa terhadap Korban bukanlah semata-mata datangnya dari Terdakwa, akan tetapi timbulnya dari sikap cemburu yang berlebihan dari korban sehingga sering terjadi keributan/cek cok yang berkepanjangan dan Terdakwa telah berusaha untuk mengatasi dengan jalan meninggalkan rumah/kost sementara, namun setelah Terdakwa kembali ke rumah dimana sikap Korban tetap tidak berubah dan selalu terjadi pertengkaran, sekarang antara Terdawa dengan Korban sudah bercerai tanggal 02 Mei 2012, menurut Terdakwa sebagai seorang Bapak dari anak-anaknya selalu memberi biaya nafkah untuk anak-anaknya setiap bulan sampai sekarang bahkan Terdakwa selama ini menyisihkan tabungan serta pinjaman uang ke Bank untuk membeli rumah dan tanah dan telah diserahkan untuk Korban dan anak-anaknya;
“Menimbang, bahwa oleh karena itu Majelis Hakim tidak sependapat dengan Tuntutan Penuntut Umum dalam penjatuhan pidana dan Majelis Hakim berpendapat lain, dimana akan lebih bermanfaat kiranya bagi diri Terdakwa apabila Majelis Hakim menjatuhkan pidana bersyarat kepada Terdakwa dengan mengingat bahwa Terdakwa sudah bercerai namun Terdakwa masih tetap bertanggungjawab memberi biaya nafkah untuk anak-anaknya, sedangkan sifat dan bentuk perbuatan pidana yang dilakukan Terdakwa merupakan psikis/stress dan penyebabnya diawali kecemburuan yang berlebihan dari Korban sendiri dan bukan berupa kekerasan phisik;
“Menimbang, bahwa sebelumnya perlu dipertimbangkan hal-hal yang dapat mempengaruhi berat-ringannya pidana tersebut;
Hal-hal yang memberatkan :
- Perbuatan Terdakwa mengakibatkan tekanan psikis terhadap saksi KORBAN;
- Perbuatan Terdakwa telah meresahkankan masyarakat khususnya wanita;
Hal-hal yang meringankan :
- Terdakwa berlaku sopan di persidangan;
- Terdakwa memberikan keterangan cukup jelas dan tidak berbelit-belit sehingga memperlancar jalannya persidangan;
- Terdakwa mengakui perbuatannya dan belum pernah dipidana;
“Menimbang, bahwa dengan mengingat tuntutan Penuntut Umum dan akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan Terdakwa serta mengingat pula hal-hal yang memberatkan dan meringankan tersebut di atas, maka menurut hemat Majelis, pidana yang dituntutkan kepada Terdakwa oleh Penuntut Umum dinilai terlalu berat, Terdakwa berbuat demikian karena saksi Korban kurang perhatian dan tidak menghargai Terdakwa selaku suami maupun terhadap keluarga Terdakwa, di samping itu tujuan pemidanaan bukanlah upaya balas dendam atau penyengsaraan, akan tetapi upaya penyadaran diri, pembinaan dan pemasyarakatan, oleh karenanya Majelis akan menjatuhkan pidana kepada Terdakwa sebagaimana yang akan disebutkan dalam amar putusan, pidana mana menurut hemat Majelis, dipandang sudah tepat dan telah memenuhi rasa keadilan;
“Mengingat Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang RI No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumahtangga, serta peraturan-peraturan lain yang berkaitan;
“M E N G A D I L I:
1. Menyatakan Terdakwa HANDOKO ATMODJO tersebut di atas, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “melakukan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga”;
2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan;
3. Menetapkan bahwa pidana tersebut tidak perlu dijalani, kecuali apabila di kemudian hari ada putusan Hakim yang menentukan lain oleh karena Terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana, sebelum masa percobaan selama 6 (enam) bulan.”
Pertimbangan hakim yang kurang simpatik terhadap intuisi wanita yang menyebabkannya cemburu, mungkin beralasan atau mungkin juga tidak beralasan, namun terdapat tendensi Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus perkara ini untuk justru menaruh letak kesalahan pada pihak sang istri selaku korban.
Hal ini dapat dimengeri, sebagaimana dapat ditilik dari sebabnya yakni susunan Majelis Hakim dalam perkara a quo ialah: DAHMIWIRDA, ARI JIWANTARA, dan SUPRAPTO—yang mana pemilik dari nama-nama tersebut, tiga orang hakim bergender laki-laki tentunyalah akan memihak pelaku bergender pria dalam kasus perselingkuhan dan penelantaran.
Secara akal sehat dan nurani, perbuatan pria jantan tidak akan pernah menceraikan dan menelantarkan anak dalam kandungan sang istri yang sedang hamil tua. Korban dalam perbuatan pelaku, bukan hanya sang istri, namun juga cabang bayi dan anak-anaknya.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.