Perjanjian Pra-Nikah dan Pasca-Nikah, Asas Kebebasan Berkontrak dalam Hukum Perkawinan Nasional Indonesia

ARTIKEL HUKUM
Sebelumnya kita hanya mengenal istilah Perjanjian Pra-Nikah, dengan tujuan untuk tidak tercampurnya harta kekayaaan bersama (gono-gini) antara pasangan suami-istri (pasutri). Dirasakan kurang akomodatif terhadap tuntutan zaman, Mahkamah Konstitusi melakukan rasionalisasi terhadap kaedah normatif tersebut, sehingga Perjanjian Perkawinan kini sepenuhnya tunduk pada asas pacta sunt servanda Pasal 1338 KUHPerdata.
Mahkamah Konstitusi RI dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana tertuang dalam register putusan Nomor 69/PUU-XIII/2015 tanggal 27 Oktober 2016, yang mana kaidah normatif yang dimohonan judicial review, antara lain:
- Pasal 29 Ayat (1), Ayat (3), dan Ayat (4) UU 1/1947:
(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juag terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
(3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
(4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
 - Pasal 35 Ayat (1) UU 1/1947:
(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
Terhadap permohonan Pemohon akan keganjilan Perjanjian Pra-Nikah, Mahkamah memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Sebagai sebuah ikatan lahir dan batin, suami dan istri harus saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dan membantu mencapai kesejahteraan spriritual dan materiil. Bahwa hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dimusyawarahkan dan diputuskan bersama antara suami dan istri.
“Kesepakatan atau perjanjian yang dilakukan dengan cara musyawarah tersebut dapat dilakukan oleh suami dan istri, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 29 Ayat (1) UU 1/1974, pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan. Kedua pihak (seorang pria dan wanita) atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama, kesusilaan, serta syarat-syarat sahnya perjanjian.
“Bahwa di dalam kehidupan suatu keluarga atau rumah tangga, selain masalah hak dan kewajiban sebagai suami dan istri, masalah harta benda juga merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan timbulnya berbagai perselisihan atau ketegangan dalam suatu perkawinan, bahkan dapat menghilangkan kerukunan antara suami dan istri dalam kehidupan suatu keluarga. Untuk menghindari hal tersebut maka dibuatlah perjanjian perkawinan antara calon suami dan istri, sebelum mereka melangsungkan perkawinan.
“Perjanjian perkawinan tersebut harus dibuat atas persetujuan bersama, dengan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Petugas Pencatat Perkawinan, sebelum perkawinan itu berlangsung atau pada saat perkawinan berlangsung dan perjanjian perkawinan tersebut mulai berlaku sejak perkawinan itu dilangsungkan.
Perjanjian semacam ini biasanya berisi janji tentang harta benda yang diperoleh selama perkawinan berlangsung, lazimnya berupa perolehan harta kekayaan terpisah, masing-masing pihak memperoleh apa yang diperoleh atau didapat selama perkawinan itu termasuk keuntungan dan kerugian. Perjanjian perkawinan ini berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya, juga berlaku bagi pihak ketiga yang memiliki kepentingan terhadapnya.
“Alasan yang umumnya dijadikan landasan dibuatnya perjanjian setelah perkawinan adalah adanya kealpaan dan ketidaktahuan bahwa dalam UU 1/1947 ada ketentuan yang mengatur mengenai Perjanjian Perkawinan sebelum pernikahan dilangsungkan.
“Menurut Pasal 29 UU 1/1947, Perjanjian Perkawinan dapat dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan. Alasan lainnya adalah adanya risiko yang mungkin timbul dari harta bersama dalam perkawinan karena pekerjaan suami dan istri memiliki konsekuensi dan tanggung jawab pada harta pribadi, sehingga masing-masing harta yang diperoleh dapat tetap menjadi milik pribadi.
“Dalam UU 5/1960 dan peraturan pelaksanaannya dinyatakan bahwa hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai sertifikat dengan hak milik atas tanah dan apabila yang bersangkutan, setelah memperoleh sertifikat Hak Milik, kemudian menikah dengan ekspatriat (bukan WNI) maka dalam waktu 1 (satu) tahun setelah pernikahannya itu, ia harus melepaskan hak milik atas tanah tersebut, kepada subjek hukum lain yang berhak.
“Bahwa tujuan dibuatnya Perjanjian Perkawinan adalah:
1. Memisahkan harta kekayaan antara pihak suami dengan pihak istri sehingga harta kekayaan mereka tidak bercampur. Oleh karena itu, jika suatu saat mereka bercerai, harta dari masing-masing pihak terlindungi, tidak ada perebutan harta kekayaan bersama atau gono-gini.
2. Atas hutang masing-masing pihak pun yang mereka buat dalam perkawinan mereka, masing-masing akan bertanggung jawab sendiri-sendiri.
3. Jika salah satu pihak ingin menjual harta kekayaan mereka tidak perlu meminta ijin dari pasangannya (suami/istri).
4. Begitu juga dengan fasilitas kredit yang mereka ajukan, tidak lagi harus meminta ijin terlebih dahulu dari pasangan hidupnya (suami/istri) dalam hal menjaminkan aset yang terdaftar atas nama salah satu dari mereka.
“Tegasnya, ketentuan yang ada saat ini hanya mengatur perjanjian perkawinan yang dibuat sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan, padahal dalam kenyataannya ada fenomena suami istri yang karena alasan tertentu baru merasakan adanya kebutuhan untuk membuat Perjanjian Perkawinan selama dalam ikatan perkawinan.
“Selama ini sesuai dengan Pasal 29 UU 1/1947, perjanjian yang demikian itu harus diadakan sebelum perkawinan dilangsungkan dan harus diletakkan dalam suatu akta notaris. Perjanjian perkawinan ini mulai berlaku antara suami dan istri sejak perkawinan dilangsungkan. Isi yang diatur di dalam perjanjian perkawinan tergantung pada kesepakatan pihak-pihak calon suami dan istri, asal tidak bertentangan dengan Undang-Undang, agama, kepatutan, atau kesusilaan.
“Adapun terhadap bentuk dan isi perjanjian perkawinan, kepada kedua belah pihak diberikan kebebasan atau kemerdekaan seluas-luasnya (sesuai dengan asas hukum “kebebasan berkontrak”).
“Frasa ‘pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan’ dalam Pasal 29 ayat (1), frasa ‘... sejak perkawinan dilangsungkan’ dalam Pasal 29 ayat (3) dan frasa ‘selama perkawinan berlangsung’ dalam Pasal 29 ayat (3) UU 1/1974 membatasi kebebasan 2 (dua) orang individu untuk melakukan atau kapan akan melakukan “perjanjian”, sehingga bertentangan dengan Pasal 28E ayat (2) UUD RI 1945 sebagaimana didalilkan Pemohon. Dengan demikian, frasa ‘pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan’ dalam Pasal 29 ayat (1) dan frasa ‘selama perkawinan dilangsungkan’ dalam Pasal 29 ayat (4) UU 1/1974 adalah bertentangan dengan UUD RI 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai termasuk pula selama dalam ikatan perkawinan.
“Sementara itu, terhadap dalil Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 35 ayat (1) UU 1/1974, Mahkamah mempertimbangkan bahwa dengan dinyatakan Pasal 29 ayat (1) UU 1/1974 bertentangan dengan UUD RI 1945 secara bersyarat maka ketentuan Pasal 35 ayat (1) UU 1/1974 harus dipahami dalam kaitannya dengan Pasal 29 ayat (1) UU 1/1974 dimaksud.
“Dengan kata lain, tidak terdapat persoalan inkonstitusionalitas terhadap Pasal 35 ayat (1) UU 1/1974. Hanya saja bagi pihak-pihak yang membuat perjanjian perkawinan, terhadap harta bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) UU 1/1974 tersebut berlaku ketentuan tentang perjanjian perkawinan sesuai dengan yang dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) UU 1/1974 sebagaimana disebutkan dalam amar putusan ini. Dengan demikian, dalil Pemohon sepanjang mengenai inkonstitusionalitas Pasal 35 ayat (1) UU 1/1974 tidak beralasan menurut hukum.
“Menimbang, berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, permohonan Pemohon sepanjang menyangkut Pasal 29 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) UU 1/1974 beralasan menurut hukum untuk sebagian, sedangkan menyangkut Pasal 35 ayat (1) UU 1/1974 tidak beralasan menurut hukum.
AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian:
1.1. Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”;
1.2. Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”;
1.3. Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan”;
1.4. Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan”;
1.5. Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga”;
1.6. Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga”;
2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
3. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya.”
Namun Mahkamah Konstitusi melupakan satu hal, yakni Perjanjian Perkawinan dicatat dalam Buku Nikah. Ketika perjanjian perkawinan dihapus atau bila perjanjian perkawinan baru dibentuk setelah perkawinan berlangsung, adalah berpotensi merugikan pihak ketiga, seperti pihak calon kreditor pemberi kredit menjadi tidak terlindungi oleh suatu kepastian hukum, bilamana Buku Nikah tidak diralat / dikoreksi secara relevan, sehingga seyogianya Mahkamah Konstitusi memberi tafsiran penyertaan mengenai kaidah normatif Buku Nikah, dimana Perjanjian Perkawinan baru berlaku atau dihapus keberlakuannya setelah Buku Nikah mencatatnya demikian. Buku Nikah-lah yang menjadi validitas untuk mengikat pihak ketiga, bukan Perjanjian Perkawinan semata.
Namun yang menarik, bila seorang gadis menghendaki komitmen calon pasangan ketika dirinya dipinang, dapatlah membuat perikatan berupa prestasi “tidak melakukan sesuatu” dalam Perjanjian Perkawinan, seperti sang suami tidak boleh berpoligami, tidak memaksakan harus melahirkan sebelas anak, dsb. Dapat pula berupa prestasi “melakukan sesuatu” seperti akan mendukung sang istri yang akan menempuh pendidikan, dsb. Meski demikian, tetap saja menjadi pertanyaan besar: Mungkinkah perjanjian pasca-nikah mengenai pemisahan harta, dapat berlaku surut (retroaktif)? Pertimbangan hukum yang kurang mempertimbangkan realita, akan menjelma putusan yang merusak tatanan sosial.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.