Penyerobotan Tanah oleh Negara Berkedok demi Kepentingan Umum

LEGAL OPINION
Question: Ini ada developer property yang tampaknya sengaja berkolusi dengan pejabat Pemda, dimana pemerintah membangun jalan di atas tanah saya, dengan alasan untuk kepentingan umum, yang mana saya tahu benar tujuan utamanya untuk kepentingan developer yang sedang membuat proyek property melewati lahan saya. Bagaimana jika penyerobotan lahan ini justru dilakukan oleh pihak pemerintah, benar atau tidaknya dugaan saya perihal kongkalikong itu?
Brief Answer: Peristiwa demikian dapat terjadi. Pada prinsipnya, pengadaan tanah untuk kepentingan umum tetap mengakui dan menghormati pemilik sah atas tanah, dengan setidaknya memberi sejumlah ganti-rugi secara patut.
Namun secara pribadi SHIETRA & PARTNERS menilai, yang berhak mengajukan ganti rugi bila pemegang hak memiliki bukti kepemilikan berupa sertifikat hak atas tanah yang sah, bukan girik / Letter C, sehingga setiap masyarakat terdorong untuk mendaftarkan hak atas tanahnya pada Kantor Pertanahan guna diterbitkan sertifikat sebagai bentuk ketertiban dan kepastian hukum—dimana sertifikat juga menjadi fungsi pengawasan negara terhadap praktik partikelir yang dibatasi dalam penguasaan luasan bidang tanah.
Sebab, pada prinsipnya setiap orang bisa saja mengklaim dirinya sebagai pemilik tanah, yang mana bila dikabulkan sama artinya perampokan terhadap negara. Memiliki “Alas Hak” (berupa aquisitive verjaring) namun tidak diserpurnakan dalam bentuk sertifikat hak atas tanah, maka belum dapat disebut sebagai pemilik hak atas tanah, karena baru hanya sebatas memiliki “alas hak”.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah kasus yang agak menyimpang, yakni putusan Pengadilan Negeri Pelalawan sengketa gugatan perdata register Nomor 19/Pdt.G/2013/PN.Plw tanggal 7 Juli 2014, perkara antara:
- 4 (empat) orang warga negara sebagai Para Penggugat; melawan
1. BUPATI PELALAWAN SEBAGAI KEPALA DAERAH PEMERINTAHAN KABUPATEN PELALAWAN Cq. DINAS PEKERJAAN UMUM (dahulu DINAS BINA MARGA) KABUPATEN PELAWAN, sebagai Tergugat; dan
2. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) KABUPATEN PELALAWAN, sebagai Turut Tergugat.
Bahwa Para Penggugat adalah ahli waris dari Alm. Mailo yang semasa hidupnya memiliki sebidang tanah sesuai Surat Keterangan Tanah yang diterbitkan oleh Kepala Desa setempat, yang diperoleh sejak tahun 1984 untuk dijadikan perladangan, dikuasai dan di kelola terus-menerus tanpa pernah ada gugatan atau tuntutan dari pihak manapun.
Semenjak tanah perkara dikuasai dan dikelola oleh Almarhum sampai dengan Alm. Pewaris meninggal dunia, penguasaan tanah perkara berpindah kepada para Penggugat selaku ahli warisnya, tanah tersebut belum pernah di jual maupun dialihkan dalam bentuk apapun kepada pihak lain.
Saat ini, diatas tanah tersebut dibangun jalan umum oleh Tergugat secara melawan hukum karena dibangun tanpa Persetujuan, Kesepakatan maupun menerima ganti rugi dari Tergugat. Tergugat tidak pernah melakukan pelepasan atau Para Penggugat tidak pernah melakukan penyerahan hak atas tanah perkara kepada Tergugat untuk di bangun jalan umum.
Awalnya, sekira tahun 2001 atau 2002 atau 2003 Pihak Tergugat pernah menjumpai Alm. Mailo dengan maksud membuat suatu perundingan, dimana diatas tanah milik Para Penggugat akan dibangun jalan umum karena disekitaran tanah aquo akan dibangun kompleks perkantoran.
Perundingan yang ditawarkan oleh Tergugat tak kunjung terlaksana, namun meskipun perundingan tidak terlaksana, Tergugat tetap melakukan pembangunan jalan diatas tanah Para Penggugat.
Atas perbuatan Tergugat tersebut, Alm. Mailo dan Para Penggugat sangat keberatan pembangunan jalan tersebut untuk dilanjutkan, namun pihak Tergugat waktu itu berjanji akan segera mencarikan solusinya, namun sampai saat ini solusi tersebut tidak kunjung direalisasi.
Alm. Mailo dan Para Penggugat tidak pernah menyetujui atau memberi izin kepaa Tergugat untuk membangun jalan diatas tanah Para Penggugat, karenanya membangun Jalan umum di atas pihak lain telah melanggar ketentuan Pasal 2 UU No. 51 PRP Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya yang menyatakan secara tegas “Dilarang memakai tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah.”
Terhadap permasalahan tersebut, Alm. Mailo dan Para Penggugat sudah pernah mengkonfirmasi kepada Pimpinan Proyek yang membangun Jalan tersebut, dan ketika itu Pimpinan Proyek mengatakan akan mencarikan solusi terhadap permasalahan tersebut secepatnya. Namun setelah ditunggu beberapa lama, Alm. Mailo dan Para Penggugat tidak ada mendapat jawaban/solusi yang dijanjikan Pimpinan Proyek.
Alm. Mailo telah mengirimkan surat kepada Tergugat perihal mohon penyelesaian lahan di KM 55 Simpang Kualo (Tanah Perkara), akan tetapi tidak mendapat tanggapan dari Tergugat. Kemudian kembali pada Tanggal 15 Agustus 2010 Alm. Mailo menyurati Tergugat untuk minta kejelasan penyelesaian tanah perkara dan juga tidak mendapat tanggapan dari Tergugat.
Para Penggugat juga telah berkali-kali menghubungi / menyurati Tergugat untuk meminta pembayaran ganti rugi atas di ambilnya/dikuasainya tanah perkara oleh Tergugat, namun sampai dengan gugatan ini diajukan Tergugat tidak menanggapi sama sekali.
Penggugat mengajukan somasi, pada intinya meminta Tergugat mengembalikan tanah milik Para Penggugat dalam keadaan kosong atau memberikan ganti rugi.
Sementara bila merujuk ketentuan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Tergugat harus membayar ganti kerugian kepada Alm. Mailo maupun Para Penggugat sebagai ahli warisnya sebagaimana dengan tegas dinyatakan dalam Pasal 9 Ayat (2):
“Pengadaan Tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan dengan pemberian ganti kerugian yang layak dan adil.”
Adapun luas tanah milik Para Penggugat yang dijadikan jalan umum tersebut setelah diukur adalah 10.200 M2. Akibat Perbuatan Tergugat yang mengambil dan menguasai tanah milik Para Penggugat untuk dijadikan jalan umum, tanpa musyawarah dan izin serta ganti rugi kepada alm. Mailo atau Para Penggugat selaku ahli warisnya, maka timbullah kerugian bagi Para Penggugat karena Para Penggugat tidak bisa mengolah, menjual, atau melakukan aktifitas apapun terhadap tanah tersebut.
Perbuatan Tergugat yang membangun Jalan tanpa persetujuan pemiliknya adalah Perbuatan  Melawan Hukum yang menimbulkan kerugian bagi Para Penggugat. Begitu pula tindakan Turut Tergugat yang memberikan izin kepada Tergugat untuk melakukan pembangunan Jalan diatas tanah terperkara tanpa izin dari pemilik sah, juga merupakan Perbuatan Melawan Hukum. Demikian Penggugat mendalilkan.
Adapun yang menjadi bantahan pihak Tergugat, pada asasnya hukum perdata dalam pembuktian adalah untuk mencari dan menemukan kebenaran formil. Sehingga suatu Surat Keterangan Tanah adalah bukan merupakan bukti hak yang otentik, dan bukan merupakan bukti kepemilikan hak atas tanah karena yang dapat dijadikan sebagai bukti Hak atas tanah adalah sertipikat sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat 2 huruf c Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960 dan pasal 1 angka 20 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah.
Berdasarkan kedudukannya, tanah terbagi menjadi tanah yang bersertipikat dan tanah yang belum bersertipikat. Tanah yang bersertifikat adalah tanah yang memiliki hak dan telah terdaftar di kantor pertanahan setempat sedangkan tanah yang belum bersertipikat merupakan tanah yang belum memiliki hak tertentu dan status tanahnya masih merupakan tanah Negara.
Kedudukan Surat Keterangan Tanah yang menjadi bukti pihak Penggugat, merupakan surat keterangan yang menyatakan seseorang menggarap tanah Negara yang dikeluarkan oleh pejabat daerah dan bukan merupakan bukti kepemilikan hak menurut UUPA—hal ini dapat dikonstruksikan serupa dengan surat girik / Letter C yang hanya merupakan bukti pembayaran PBB, tidak dapat diasumsikan sebagai bukti kepemilikan.
Oleh karena itu dalil yang menyatakan Para Penggugat adalah Pemilik sah 1 (satu) bidang tanah, merupakan dalil yang tidak berdasar pada alat bukti formil yang menerangkan suatu kepemilikan. SHIETRA & PARTNERS memiliki pendirian: Adalah perampokan terhadap negara bila gugatan Penggugat dikabulkan oleh pengadilan, mengingat setiap orang dapat mengklaim sebagai pemilik bidang tanah, terlebih bila luasnya mencapai ribuan meter persegi yang praktis memang tidak mungkin seorang warga negara mampu menguasai secara efektif tanah seluas itu.
Bila memang benar Penggugat adalah pemilik yang sah akibat selama berpuluh tahun mengelola tanah secara tenteram tanpa terputus, maka mengapa hingga puluhan tahun pula tidak pernah dilakukan sertifikasi hak atas tanah? Penggugat secara tidak fair tidak membayar pemasukan pada negara seperti Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah, ataupun menghormati amanat UU Pokok Agraria yang menyatakan dalam Pasal 19 bahwasannya baru dapat disebut alat bukti yang kuat dan sah, bila pemegangnya telah mendaftarkan hak atas tanah dalam bentuk sertifikat. Bila setiap orang berhak mengklaim puluhan ribu meter persegi tanah, maka sejatinya negara tidak lagi berhukum, namun hukum rimba.
Para Penggugat mendasarkan alas hak kepemilikan tanah pada Surat keterangan Tanah (SKT) yang diterbitkan oleh Kepala Desa tertanggal 15 Februari 1993, padahal Sejak bulan Mei 1984, melalui Surat Edaran Menteri Dalam Negeri nomor 593/5707/SJ tanggal 22 Mei 1983 tentang Pencabutan Wewenang Kepala Kecamatan untuk memberikan Izin Membuka Tanah, Menteri Dalam Negeri telah mencabut kewenangan Kepala Kecamatan untuk memberikan izin membuka tanah dalam bentuk apapun juga.
Note SHIETRA & PARTNERS: Sebuah keputusan baru dapat dikategorikan sebagai Keputusan Tata Usaha Negara, bila pejabat yang bersangkutan berwenang menerbitkan penetapan tersebut. Tiada wewenang maka tiada Keputusan Tata Usaha Negara.
Terdapat kekeliruan fatal dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa Surat Keterangan Tanah atas nama MAILO yang diterbitkan oleh Kepala Desa Desa Pangkalan Kerinci Kecamatan Langgam Kabupaten Kampar tertanggal 5-1-1996 tersebut masih tetap berlaku selama belum ada surat atau aturan yang sah yang dapat membatalkannya seperti Putusan dari Pengadilan Tata Usaha Negara;
“Menimbang, bahwa dari hasil Pemeriksaan Setempat dari sebidang tanah yang terletak di ... setelah diukur oleh Petugas dari BPN didapati bahwa tanah yang diakui kepemilikannya oleh Para Penggugat dengan ukuran dan batas-batas sebagai berikut: ... yang telah dibuat jalan beraspal di atas sebagian Tanah Penggugat tersebut dengan luas tanah milik Para Penggugat yang dijadikan jalan umum tersebut setelah diukur oleh Petugas Pengecekan Lapangan Badan Pertanahan Nasional, Kab. Pelalawan tanggal 2 Mei 2014 yang di gambarkan dalam Peta Lokasi dengan skala 1 : 2000 adalah seluas 10.200 M2; [Note SHIETRA & PARTNERS: ini baru luas tanah yang dipersengketakan, belum terhitung luas tanah milik Penggugat yang merupakan perorangan. Dari hukum agraria nasional yang berlaku, sejatinya untuk orang-perorangan memiliki batasan luas tanah yang dapat dimiliki, sehingga luas tanah dalam perkara ini tergolong ganjil bila dinilai sebagai hak milik.]
“Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan hukum yang ada berkaitan dengan perkara ini yaitu Undang-Undang No. 5 tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Pasal 6 berbunyi : “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.” dan Pasal 18 Undang-Undang No. 5 tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berbunyi : “Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang –Undang”.
“Menimbang, bahwa menunjuk kepada pertimbangan–pertimbangan di atas, berdasarkan Fakta Hukum yang terungkap di Persidangan maka menurut Majelis Hakim, Penggugat dapat membuktikan dalilnya mengenai kerugian materi dalam Gugatannya dan tidak bertentangan dengan hukum, sehingga Gugatan Penggugat untuk meminta ganti rugi kepada Tergugat dan Turut Tergugat cukup beralasan hukum untuk dikabulkan, namun untuk besarnya nilai ganti kerugian tersebut Majelis Hakim mempunyai pertimbangan sebagai berikut :
- Bahwa ganti kerugian yang layak yang harus diberikan kepada Para Penggugat Menurut Majelis Hakim adalah harus sesuai dengan seberapa luas tanah Penggugat yang digunakan oleh Tergugat sebagaimana tersebut di atas dikalikan dengan harga tanah di lokasi tersebut yang harus berimbang dengan fungsi sosial sesuai dengan Pasal 6 Undang Undang No. 5 tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;
- Bahwa Tergugat telah mengajukan Bukti Surat yaitu Surat dari Dinas Pendapatan Daerah perihal Perhitungan Besaran Nilai Objek Pajak, atau NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) yang telah menetapkan besaran nilai objek pajak pada objek perkara.
- Bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU No.12 tahun 1985 bahwa
“Nilai Jual Objek Pajak adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak ada transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti”.
- Bahwa berdasarkan hal tersebut di atas Majelis Hakim menilai bahwa Nilai Jual Objek Pajak suatu lokasi atau area tertentu bisa terdapat nilai yang berbeda karena NJOP merupakan harga rata-rata yang diperoleh dari beberapa lokasi atau area tanah tertentu yang berdekatan atau dengan membandingkan harga, jadi sifatnya masih relatif, sehingga berdasarkan Undang- Undang PBB, NJOP hanya dapat digunakan untuk kepentingan perpajakan dan tidak dapat dijadikan acuan dalam ganti rugi, ganti rugi adalah berdasarkan kesepakatan pemerintah selaku pengembang dengan masyarakat diluar adanya suatu sengketa;
- Bahwa dalam perkara a quo tidak ada ditemukan kesepakatan mengenai ganti rugi yang dimintakan Para Penggugat kepada Tergugat dan Turut Tergugat, untuk itu Majelis Hakim akan menentukan kelayakan nilai ganti rugi tersebut;
“Menimbang, bahwa setelah dilakukan Pemeriksaan Setempat tertanggal 5 Mei 2014, dengan mempertimbangkan dan memperhatikan lokasi tanah a quo, ganti rugi yang layak yang harus diberikan kepada Penggugat tersebut adalah senilai Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah) /meter2, sehingga didapat hasil nominal Rp. 200.000,-/meter2 X 10.200 m2 = Rp.2.040.000.000,- (dua milyar empat puluh juta rupiah);
“Menimbang, bahwa untuk Petitum 3, yang mana Para Penggugat meminta kepada Majelis Hakim untuk Menyatakan bahwa Alm. Mailo memiliki sebidang tanah yang terletak ... sesuai dengan Surat Keterangan Tanah yang diterbitkan oleh Kepala Desa Desa Pangkalan Kerinci Kecamatan Langgam Kabupaten Kampar tertanggal 5-1-1996, Majelis Hakim mempertimbangkannya sebagai berikut : bahwa dari Bukti P-2 dan keterangan Saksi M. NASIR T. dan Saksi AMRIN Serta tidak adanya bantahan dari pihak Tergugat maka didapati suatu Fakta Persidangan yang menyatakan bahwa dalil yang dikemukakan oleh Para Penggugat pada Petitum 3 ini benar adanya, sehingga cukup beralasan untuk dikabulkan;
“Menimbang, bahwa untuk Petitum 4, yang mana Para Penggugat meminta kepada Majelis Hakim untuk menyatakan Surat Keterangan Tanah Tanggal 5 Januari 1996 atas nama Mailo adalah sah Menurut Hukum, Majelis Hakim mempertimbangkannya sebagai berikut : bahwa Surat Keterangan Tanah tersebut pada waktu tanggal Tanggal 5 Januari 1996 telah menjadi Keputusan Tata Usaha Negara yang hanya dapat dinyatakan batal oleh Pengadilan Tata Usaha namun Keputusan TUN yang berkaitan dengan kepemilikan tanah tidak termasuk wewenang Peradilan Tata Usaha Negara, melainkan wewenang Peradilan Umum dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan. (No. 22 K/TUN/1998, tanggal 27-7-2001 jo 16 K/TUN/2000, tanggal 28-2-2001 jo 93 K/TUN/1996, tanggal 24-2-1998), maka dari itu Majelis Hakim berpendapat bahwa Majelis Hakim perkara a quo berwenang untuk itu, maka dari itu untuk Petitum ini dapat dikabulkan; [Note SHIETRA & PARTNERS: Regulasi telah menyatakan kepala desa ataupun camat tak dapat menerbitkan dasar bagi Penggugat mengklaim kepemilikan lahan, namun kontradiktif terhadap pertimbangan hukum hakim diatas.]
“Menimbang, bahwa untuk petitum 5 Majelis Hakim mempertimbangkannya sebagai berikut, bahwa : perbuatan Tergugat dan Turut Tergugat yang memakai tanah Para Penggugat dalam pembuatan jalan tersebut dengan tanpa melakukan pembayaran ganti rugi yang seharusnya ditetapkan oleh Turut Tergugat oleh karena telah melanggar hak orang lain menurut Majelis Hakim dapat dikatakan sebagai suatu Perbuatan Melawan Hukum;
M E N G A D I L I
DALAM POKOK PERKARA
1. Mengabulkan Gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan bahwa Alm. Mailo memiliki sebidang tanah yang terletak di ... dengan ukuran dan batas batas sebagai berikut: ...
3. Menyatakan Surat Keterangan Tanah tanggal 5 Januari 1996 atas nama Mailo adalah sah menurut hukum;
4. Menyatakan Perbuatan Tergugat dan Turut Tergugat yang telah membuat jalan beraspal di atas sebagian Tanah Para Penggugat dengan luas 10.200 M2 tanpa ada ganti rugi adalah merupakan Perbuatan Melawan Hukum;
5. Menghukum Tergugat dan Turut Tergugat untuk membayar ganti rugi tanah milik Para Penggugat seluas 10.200 m2 sebesar Rp.2.040.000.000,- (dua milyar empat puluh juta rupiah) secara tanggung renteng;
6. Menghukum Tergugat dan Turut Tergugat untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara ini sebesar Rp. 1.106.000;
7. Menolak Gugatan Penggugat untuk selebihnya.”
Putusan tersebut diatas berpotensi kuat untuk dibatalkan pengadilan pada tingkat yang lebih tinggi, akibat berbagai cacat dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim. Namun suatu kaedah yang dapat ditarik, “demi kepentingan umum” dapat menjadi kedok bagi “kepentingan komersil” suatu pihak developer tertentu yang sedang membangun proyek property, dimana akses jalan menjadi salah satu faktor paling dominan.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.