Memaksakan Aturan Main Sendiri, Buat Negara Sendiri Saja

ARTIKEL HUKUM
Selama warga negara hidup dalam teritori Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka yang berlaku ialah “hukum positif” Republik Indonesia. Prinsip kedaulatan teritori ini berlaku di semua negara, sebagai bagian dari asas teritori hukum serta asas legalitas. Warga Negara Asing yang berpijak di teritori Indonesia pun tak dapat memakai aturan di negara asalnya.
Yang dimaksud dengan “hukum positif”, ialah suatu ketentuan peraturan perundang-undangan, baik bersifat tertulis maupun yang dibentuk lewat praktik peradilan (preseden / yurisprudensi), yang berlaku pada suatu waktu, sepanjang belum dirubah, diganti, ataupun dibatalkan oleh regulator, parlemen, ataupun oleh Mahkamah Agung / Konstitusi RI.
Sifat dari “hukum positif” ialah tidak dapat ditawar-tawar, dalam arti “tidak pandang bulu”. Hans Kelsen menyebutnya sebagai the pure theory of law, sebuah ideal hukum di negara yang berlandaskan sendi-sendi hukum dalam kehidupan berbangsanya.
Adagium yang dikenal dalam dunia hukum berbunyi, kebebasan sebebas-bebasnya, termasuk demokrasi seluas-luasnya, tanpa pembatasan oleh hukum maka akan terjadi chaos, yang kuat memakan yang lemah.
Sebaliknya, hukum yang diterapkan dan diberlakukan tanpa adanya penyeimbang lewat konsepsi Hak Asasi Manusia, kebebasan pers, kebebasan berpikir dan berkeyakinan sesuai agama masing-masing, kebebasan bereskpresi, keterbukaan maupun lembaga Peradilan Tata Usaha Negara, maka yang tercipta adalah kehidupan kom*nisme yang menyerupai rezim diktatoriat.
Cobalah untuk menyimak kaedah dalam Undang-Undang Dasar 1945, dalam Pasal 28 dijabarkan berbagai hak asasi warga negara, namun tetap terjadi rambu pembatas, yakni keberlakuan Pasal 28 butir (J), yang menyebutkan secara eksplisit bahwa kebebasan itu terhenti ketika hak warga negara lain terancam—kaidah ini demikian terang-benderangnya sehingga tidak dapat dimaknai lain.
Penulis merasa ironis, ketika dalam praktik kerap dijumpai kalangan pengusaha yang hendak mau “enaknya sendiri saja”, “mau menang sendiri”, “pokoknya ini pokoknya itu”, sekalipun menabrak hukum, bahkan terkesan mau memakai aturan main versinya sendiri, dengan cara mengingkari hukum positif yang berlaku.
Yang kemudian terjadi ialah, ajang sogok-menyogok/penyuapan, tertindasnya kalangan buruh/pekerja, kriminalisasi atau sebaliknya dekriminalisasi yang dipaksakan oleh desakan publik, kian “kaburnya” hukum yang menjelma hukum rimba, wanprestasinya pihak lain atas suatu kerjasama kontraktual, perbuatan melawan hukum yang merugikan pihak lain, bahkan hingga aksi perbuatan main sendiri.
Seorang mantan hakim agung yang kemudian berprofesi sebagai seorang pengajar, mengutarakan, bahwa setiap warga negara tunduk pada hukum negara, tanpa terkecuali, dalam arti bila seorang atau sekelompok warga negara Indonesia hendak menerapkan aturannya atau kehendaknya sendiri, dengan intervensi maupun opini publik yang tidak berimbang, maka sebaiknya warga negara atau kelompok warga negara ini membuat negara sendiri saja sehingga dapat memberlakukan aturan mereka sendiri.
Kontrak sosial, demikian Rousseau menyebutkan, sebagai pilar dasar pembentukan negara hukum dan demokratis. Adanya kontrak sosial ini melahirkan negara berlandaskan konstitusi, sehingga tidaklah dapat pihak mayoritas menerapkan aturan mainnya sendiri terhadap kalangan minoritas. Yang kemudian menjadi panglima tertinggi ialah Pancasila, Undang-Undang Dasar, serta peraturan perundang-undangan—bukan “inginnya”, “pokoknya”, “maunya”, atau pernyataan-pernyataan sepihak lainnya.
Negara hukum menjadi pilar utama negara demokratis, yang kemudian mengenal asas one man one vote. Kesetaraan dikenal dan diakui, karena hukum melindungi setiap individu tanpa diskriminasi.
Apa jadinya bila setiap pribadi hendak menerapkan aturan mainnya sendiri terhadap warga lain?
Yang terjadi ialah “manusia satu menjadi serigala bagi manusia lainnya”. Hukum sejatinya dibentuk guna menekan sifat dan perilaku “hewani” manusia, keberingasan manusia, dimana manusia dimata hukum adalah pelaku “kanibalisasi” yang tega untuk memakan hak bahkan hidup orang lain demi mempertahankan hidupnya sendiri atau untuk sekadar mempermewah kehidupannya sendiri.
Apalah jadinya bila hukum kemudian dapat dinegosiasikan? Yang terjadi kemudian ialah kemerosotan wibawa hukum, sebab hukum menjelma ladang transaksional pihak yang berkuasa dengan berkolusi dengan pihak yang mampu membeli kekuasaan tersebut, serta para pemodal terhadap pihak yang memiliki daya tawar rendah.
Tidak ada negara hukum yang dengan vulgar menerapkan kebijakan standar ganda. Standar ganda menciptakan diskriminasi dan ketidakpastian hukum. Bila ketidakpastian hukum yang dipelihara, maka sejatinya mengingkari keberadaan hukum itu sendiri yang dibentuk sekadar menjadi pemoles bibir semata (gimmick).
Negara hukum yang berjalan dengan baik, kemudian membudayakan sebuah tradisi yang disebut sebagai tradisi supremasi hukum. Artinya, setiap perilaku dan sikap tindak-tanduk manusia, senantiasa diarahkan untuk serasi/harmonis terhadap rambu-rambu atau kaedah normatif yang ditetapkan hukum.
Contoh paling amat sederhana, aturan penggunaan bagi pengendara kendaraan bermotor untuk melaju di lajur sebelah kiri. Bila terdapat satu saja, cukup satu saja, pengendara yang demikian bebalnya, hendak menerapkan aturan main sendiri dengan melaju di lajur kanan sementara pengendara lain didikte untuk berjalan melawan arah seperti dirinya, bisa-bisa terjadi musibah fatal yang akan merenggut korban jiwa.
Social cost-nya terlampau mahal untuk mengadu domba hukum, bukankah demikian?
Sebagai warga negara, pilihan kita hanya dibatasi oleh tiga jenis sikap terhadap keberlakuan hukum NKRI: tunduk menghormati serta berjalan selaras dengannya, mengajukan uji materiil bila berkeberatan, atau alternatif lainnya ialah berimigrasi dan menetap menjadi warga negara lain yang mana membuatnya tetap saja tunduk pada hukum negara yang menerimanya menjadi warga negara.
Atau, mungkin Anda hidup diatas laut bebas yang tidak menjadi teritori negara manapun, dan menetap selamanya disana.
Memaksakan aturan sendiri sejatinya merupakan tindakan desertir alias membangkang dengan cara hendak mendirikan negara sendiri di dalam negara, atau bisa juga disebut sebagai perilaku separatisme.
Pelaku separatisme sejatinya memberi teladan buruk bagi warganya sendiri. Mengapa? Karena disaat bersamaan memberi contoh bahwasannya mencari solusi atas ketidakpuasan ialah dengan cara memecah kedaulatan. Kelak, ketika terdapat segelintir warganya yang tidak puas akan pemerintahan dan hukumnya, maka akan kembali terjadi pemecahan.
Desentralisasi adalah salah satu produk kebijakan negara yang patut diwaspadai, karena sifat otonominya menjadi demikian terpecah, sehingga negara kesatuan menjadi bias dalam segi falsafah maupun kekuatannya. Desentralisasi / otonomi daerah baik sebatas batasan tertentu. Desentralisasi tak dapat dimaknai sebagai pemberlakuan hukum daerah masing-masing yang berpotensi merongrong hukum negara—dan ini terbukti dengan dibatalkannya ribuan Peraturan Daerah (Perda) oleh Menteri Dalam Negeri karena dinilai bertentangan dengan hukum negara.
Sekalipun membentuk suatu outonomic legislation, semisal perjanjian kerja, peraturan perusahaan, Anggaran Dasar suatu organisasi, peraturan instansi, dsb, tetap harus mengindahkan rambu-rambu yang digariskan hukum negara.
Kebebasan sebebas-bebasnya hanya akan merusak sendi-sendi negara berhukum. Inilah kesadaran yang perlu mulai ditumbuhkan, terutama bagi kalangan ekstremis, anarkis, maupun berbagai kalangan pengusaha di tanah air itu sendiri. Tidak terkecuali pejabat dan pemegang kewenangan yang juga tidak jarang menyalahgunakan kewenangannya.
Bila ada di antara pembaca yang hendak berbagi pendapat ataupun pengalaman seputar kehidupannya sehari-hari yang bersentuhan dengan hukum, kami persilahkan mengisi kolom komentar dibawah publikasi ini. Salam berhukum.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.