Masyarakat Adat Berhak Menggugat

LEGAL OPINION
Question: Apakah masyarakat adat yang bersifat komunal warga setempat, dapat menjadi pihak yang mengajukan gugatan ke pengadilan?
Brief Answer: Sekalipun hidup entitas masyarakat hukum adat, sepanjang belum dikukuhkan/disahkan/diakui Pemerintah Daerah setempat, maka akan dinyatakan pengadilan sebagai tidak memiliki kapasitas hukum (legal standing).
PEMBAHASAN:
Sebagai ilustrasi, tertuang dalam putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Banjarmasin register Nomor 18/G/2015/PTUN.BJM tanggal 17 November 2015, perkara antara:
- MASYARAKAT ADAT MANGKALAPI HATI’IF sebagai Para Penggugat; melawan
I. GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN, sebagai Tergugat I;
II. BUPATI TANAH BUMBU, sebagai Tergugat II; dan
III. PT. BORNEO INDOBARA, sebagai Tergugat III Intervensi.
Objek sengketa yang digugat oleh Para Penggugat di PTUN untuk dinyatakan batal atau tidak sah dalam perkara ini adalah:
1. Surat Gubernur Kalimantan Selatan Perihal: Rekomendasi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk Eksploitasi Batubara An. PT. Borneo Indobara di Kabupaten Tanah Bumbu Provinsi Kalimantan Selatan;
2. Surat Keputusan Bupati Tanah Bumbu Tentang: Persetujuan ANDAL, RKL dan RPL PT. Borneo Indobara pada kegiatan Penambangan Batu Bara.
Tergugat mengajukan tangkisan berupa eksepsi tentang hak gugat (legal standing) dari pihak Penggugat yang mengatasnamakan Masyarakat Adat Dayak tidak mempunyai kapasitas untuk menggugat karena tidak diakui oleh suatu peraturan daerah. Terhadap gugatan Penggugat serta sanggahan Tergugat, Majelis Hakim membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa merujuk pada Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara mengatur bahwa seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi;
“Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mengatur sebagai berikut:
1) Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak:
a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari hari masyarakat adat yang bersangkutan;
b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang undang; dan
c. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
2) Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
“Menimbang, bahwa Pasal 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pengakuan Dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat mengatur bahwa Gubernur dan Bupati/Walikota melakukan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat;
“Menimbang, bahwa Pasal 6 ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pengakuan Dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat mengatur bahwa Bupati/Walikota melakukan penetapan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat berdasarkan rekomendasi Panitia Masyarakat Hukum Adat dengan Keputusan Kepala Daerah;
“Menimbang, bahwa mencermati gugatan dan jawaban-jawabannya serta bukti-bukti yang diajukan, maka Majelis Hakim mendapatkan fakta hukum sebagai berikut:
1. Bahwa Gugatan diajukan atas nama Masyarakat Adat Dayak Mangkalapi Hati’if yang bertempat tinggal di Desa Hati’if, Kecamatan Kusan Hulu, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, Provinsi Kalimantan Selatan;
2. Bahwa Tergugat II tidak pernah menetapkan Peraturan Daerah atau produk hukum daerah lainnya yang berkaitan dengan pengukuhan terhadap Masyarakat Hukum Adat Mangkalapi Hati’if sebagai suatu masyarakat hukum adat atau masyarakat adat di Kabupaten Tanah Bumbu;
3. Bahwa Para Penggugat sampai dengan tahapan pembuktian terakhir tidak juga dapat membuktikan pengakuan berupa keputusan kepala daerah setempat atas keberadaan Masyarakat Adat Dayak Mangkalapi Hati’if berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (vide Berita Acara Persidangan);
“Menimbang, bahwa apabila fakta hukum tersebut dihubungkan dengan peraturan perundang-undangan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwasanya Para Penggugat sebagai sebuah masyarakat hukum adat harus memperoleh pengakuan dari Bupati Tanah Bumbu, yang dapat memiliki kedudukan hukum untuk dapat mempertahankan hak-haknya dimuka pengadilan;
“Menimbang, bahwa oleh karena Para Penggugat belum diakui sebagai sebuah masyarakat hukum adat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pengakuan Dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa Para Penggugat tidak memiliki hak gugat (legal standing) dalam perkara a quo;
“Menimbang, bahwa oleh karena terbukti Para Penggugat tidak memiliki legal standing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, maka eksepsi yang diajukan oleh Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat III Intervensi tentang hak gugat adalah berdasarkan hukum dan dinyatakan diterima;
“Menimbang, bahwa oleh karena eksepsi yang diajukan oleh Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat III Intervensi tentang kompetensi absolut dan hak gugat (legal standing) Para Penggugat adalah berdasarkan hukum dan dinyatakan diterima dalam pertimbangan ekseptif diatas, maka Majelis Hakim berpendapat untuk eksepsi lain-lain tidak perlu lagi untuk dipertimbangkan;
M E N G A D I L I
DALAM EKSEPSI:
- Menyatakan Eksepsi Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat III Intervensi tentang kompetensi absolut dan hak gugat (legal standing) diterima.
DALAM POKOK SENGKETA:
- Menyatakan Gugatan Para Penggugat tidak diterima.”
Penjelasan Resmi Pasal 67 ayat (1) UU Kehutanan menjelaskan masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain:
a. masyarakat masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap);
b. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
c. ada wilayah hukum adat yang jelas;
d. ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan
e. masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Penjelasan Pasal 67 ayat (2) UU Kehutanan menjelaskan, Peraturan Daerah tersebut haruslah disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat adat yang ada di daerah yang bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang terkait.
Permendagri No. 52/2014 mengatur proses pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat atau masyarakat adat sebagai berikut:
Pasal 1
Masyarakat Hukum Adat adalah Warga Negara Indonesia yang memiliki karakteristik khas, hidup berkelompok secara harmonis sesuai hukum adatnya, memiliki ikatan pada asal usul leluhur dan atau kesamaan tempat tinggal, terdapat hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum dan memanfaatkan satu wilayah tertentu secara turun temurun.
Pasal 2
Gubernur dan Bupati/Walikota melakukan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat.
Pasal 3
(1) Dalam melakukan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat, Bupati/Walikota membentuk Panitia Masyarakat Hukum Adat Kabupaten/Kota.
(2) Struktur organisasi Panitia Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas:
a. Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota sebagai ketua;
b. Kepala SKPD yang membidangi pemberdayaan masyarakat sebagai anggota;
c. Kepala Bagian Hukum sekretariat Kabupaten/Kota sebagai anggota;
d. Camat atau sebutan lain sebagai anggota; dan
e. Kepala SKPD terkait sesuai karakteristik masyarakat hukum adat sebagai anggota.
(3) Struktur organisasi Panitia Masyarakat Hukum Adat Kabupaten/Kota ditetapkan dengan Keputusan Bupati/Walikota.
Pasal 4
Pengakuan dan perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan melalui tahapan:
a. Identifikasi Masyarakat Hukum Adat;
b. Verifikasi dan validasi Masyarakat Hukum Adat; dan
c. Penetapan Masyarakat Hukum Adat.
Pasal 5
(1) Bupati/Walikota melalui Camat atau sebutan lain melakukan identifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a dengan melibatkan masyarakat hukum adat atau kelompok masyarakat.
(2) Identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mencermati:
a. sejarah Masyarakat Hukum Adat;
b. wilayah Adat;
c. hukum Adat;
d. harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; dan
e. kelembagaan/sistem pemerintahan adat.
(3) Hasil identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan verifikasi dan validasi oleh Panitia Masyarakat Hukum Adat Kabupaten/Kota.
(4) Hasil verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diumumkan kepada Masyarakat Hukum Adat setempat dalam waktu 1 (satu) bulan.
Pasal 6
(1) Panitia Masyarakat Hukum Adat Kabupaten/Kota menyampaikan rekomendasi kepada Bupati/Walikota berdasarkan hasil verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4).
(2) Bupati/Walikota melakukan penetapan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat berdasarkan rekomendasi Panitia Masyarakat Hukum Adat dengan Keputusan Kepala Daerah.
Masyarakat hukum adat atau masyarakat adat harus memiliki ciri dan kriteria tertentu baru kemudian dapat diakui sebagai masyarakat hukum adat atau masyarakat adat, dimana keberadaan dan pengakuan tersebut haruslah dikukuhkan berdasarkan suatu Peraturan Daerah atau setidak-tidaknya haruslah ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Bupati/Walikota, sehingga tidaklah dapat suatu kelompok masyarakat mengaku-aku sendiri sebagai masyarakat hukum adat atau masyarakat adat.
Ketentuan tersebut senyatanya memang telah membatasi eksistensi masyarakat hukum adat yang mungkin masih hidup meski tidak semurni sebelumnya. Namun Mahkamah Konstitusi RI dalam putusannya No. 35/PUU-X/2012 tanggal 16 Mei 2013, menyatakan bahwa pengaturan masyarakat hukum adat yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah dapat dibenarkan. Atas dasar pertimbangan tersebut, Maka Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menolak permohonan pembatalan ketentuan Pasal 67 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Adapun yang menjadi pertimbangan hukum MK RI dalam putusan pengujian terhadap undang-undang (judicial review) diatas, menyatakan:
“[3.13.8] Para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 67 ayat (1) UU Kehutanan sepanjang frasa “sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya” bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 18B ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 karena membatasi hak para Pemohon untuk memanfaatkan hasil kekayaan alam yang berada di wilayah adatnya serta mendiskriminasi kesatuan masyarakat hukum adat. Para Pemohon juga mendalilkan bahwa Pasal 67 ayat (2) UU Kehutanan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 18B ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 karena pengaturan tata cara pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat oleh Peraturan Daerah adalah ketentuan yang inkonstitusional. Lebih lanjut, para Pemohon juga mendalilkan bahwa Pasal 67 ayat (3) UU Kehutanan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 18B ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 karena pengaturan hak masyarakat hukum adat serta pengukuhan dan hapusnya masyarakat hukum adat dengan Peraturan Pemerintah adalah ketentuan yang inkonstitusional;
“Terhadap dalil permohonan tersebut, Mahkamah mempertimbangkan bahwa Pasal 67 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kehutanan mengandung substansi yang sama dengan Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan dalam konteks frasa “sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya”. Oleh karenanya, pertimbangan hukum terhadap Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan menyangkut konteks frasa “sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya” mutatis mutandis berlaku terhadap dalil permohonan Pasal 67 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kehutanan;
“Di samping itu, menurut Mahkamah, keberadaan masyarakat hukum adat, fungsi dan status hutan (adat), penguasaan hutan, mensyaratkan sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, sehingga seluruh pertimbangan hukum yang telah disebutkan di atas mutatis mutandis berlaku dalam pertimbangan hukum ini. Adapun tentang pengukuhan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah dan ketentuan lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah, menurut Mahkamah merupakan delegasi wewenang yang diatur dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.