Akibat Hukum Kelalaian Mencatatkan Peralihan Hak atas Tanah

LEGAL OPINION
Question: Ini ada tanah yang sudah kami bebaskan dari para pemiliknya, agar dapat dijadikan jalan keluar masuk pekerja dan kendaraan areal pabrik kami. Nah, apakah cukup begitu saja, berupa akta pembebasan lahan?
Brief Answer: Tidak cukup sampai pada perjanjian tertulis pembebasan tanah, namun harus dikuatkan dalam bentuk akta Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang kemudian dilakukan peralihan hak atas tanah yang dicatatkan kepada Kantor Pertanahan, atau setidaknya dalam bentuk pemecahan sertifikat tanah induk terhadap areal tanah yang dibebaskan bagi jalan keluar-masuk perusahaan Anda. Tujuannya, guna menghindari klaim ahli waris pemilik tanah dikemudian hari yang mengklaim belum diberi ganti-rugi, atau menghindari pihak BPN menerbitkan sertifikat hak atas tanah kepada pihak lain diatas tanah yang sudah dibebaskan namun belum didaftarkan oleh pihak Anda. Regulasi terkait pembebasan lahan, berlaku pula bagi swasta terhadap swasta.
PEMBAHASAN:
Ilustrasi berikut dapat memberi cerminan, yakni putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Medan register Nomor 60/G/2013/PTUN-MDN tanggal 29 Oktober 2013, perkara antara:
- PT. CISADANE SAWIT RAYA, sebagai Penggugat; melawan
- KEPALA KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN LABUHAN BATU, selaku Tergugat.
Yang menjadi Objek Sengketa ialah Sertifikat Hak Milik (SHM) No. 68/Desa Sei Tampang tertanggal 28 Nopember 1987. Penggugat adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang perkebunan kelapa sawit, yang pada awal membuka areal perkebunan, Penggugat telah banyak melakukan pengosongan dan atau ganti rugi berbagai bidang tanah guna mendukung pembukaan jalan perkebunan dimaksud.
Antara lain telah membebaskan tanah kira-kira seluas 22.036 m². Adapun jalan dimaksud telah dipergunakan oleh umum terhitung sejak tahun 1989 hingga saat ini (selama 24 tahun) sebagai jalan karena telah dipergunakan oleh Penggugat, 4 (empat) perusahaan perkebunan lain serta penduduk dari 4 (empat) kecamatan.
Dalam pembebasan tanah yang diperuntukkan sebagai jalan tersebut, dilaksanakan oleh alm. Sarifuddin bekerjasama dengan Ir. Harry Sumiarsono, dimana kedua-duanya adalah pegawai Penggugat dan juga anak-anak alm. Sarifuddin bekerja diperusahaan Penggugat. Sedangkan semasa hidupnya alm. Sarifuddin sendiri tidak pernah mengatakan dan atau mempermasalahkan tanahnya terpakai untuk badan jalan dimaksud.
Setelah Sarifuddin meninggal dunia, ahli warisnya terdiri dari anak- anaknya melakukan pemblokiran Jalan Cisadane, dengan alasan sebagian dari Jalan Cisadane tersebut kira-kira seluas 2.307,6 M² merupakan bagian dari tanah SHM No. 68 milik orangtua mereka yaitu alm. Sarifuddin, yang belum pernah diganti rugi oleh Penggugat. Sedangkan tanah yang diklaim oleh ahli waris alm. Sarifuddin tersebut tidak pernah dipergunakan sebagaimana mestinya sesuai tujuan pemberian SHM No. 68 dan telah lama menjadi jalan umum yang dipergunakan oleh Penggugat dan para penduduk, dengan demikian halnya, tanah tersebut telah diperuntukkan bagi kepentingan umum.
Penggugat mendalilkan, selama 24 tahun pemilik tanah membiarkan tanahnya tidak dikerjakan, kemudian tanah itu dikerjakan orang lain yang memperolehnya dengan itikat baik, maka hilanglah haknya untuk menuntut kembali tanah tersebut karena ditelantarkan.
Adapun yang menjadi sanggahan Tergugat, alasan hukum yang menjadi dasar gugatan Penggugat pada pokoknya ialah: (1). tanah yang ditelantarkan; dan (2). tanah yang telah digunakan menjadi jalan umum (kepentingan umum) terhadap sebagian tanah dari tanah SHM No. 68. Bahwa terdapat pilihan hukum yang berbeda antara dasar gugatan tanah terlantar dengan dasar gugatan Pengadaan Tanah untuk kepentingan umum (tanah yang telah digunakan menjadi jalan umum), tetapi oleh Penggugat dalam gugatannya dicampur-adukkan sehingga gugatan Penggugat menjadi kabur dan rancu, apakah karena disebabkan tanah ditelantarkan atau karena disebabkan tanah yang telah digunakan menjadi jalan umum (kepentingan umum).
Terhadap dalil-dalil Penggugat maupun sanggahan Tergugat, Majelis Hakim membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa berkaitan kepentingan Penggugat dalam pengajuan gugatan untuk menyatakan batal objek sengketa Majelis Hakim berpendapat cukup beralasan dengan melihat fakta selama kurun waktu sejak tahun 1989 hingga saat ini (selama 24 tahun) melakukan pengosongan dan atau ganti rugi guna membuka jalan perkebunan dimaksud yang dikenal dengan sebutan Jalan Cisadane yang dilaksanakan oleh alm.Sarifuddin hingga ada pemblokiran yang dilakukan oleh ahli waris syarifuddin karena tanahnya digunakan oleh PT. Cisadane Sawit Raya untuk jalan masuk dan keluar perkebunan milik Penggugat, dan 4 (empat) perkebunan lainnya, serta juga penduduk dari 4 (empat) kecamatan, dengan demikian halnya, tanah tersebut telah diperuntukkan bagi kepentingan umum. Oleh karena itu perlu ditinjau kembali pemberian SHM No. 68/Desa Sei Tampang tertanggal 28 Nopember 1987, atas nama Sarifuddin;
“... pada saat peristiwa ganti rugi ditahun 1989 Tergugat/Kantor Pertanahan Kabupaten Labuhanbatu tidak dilibatkan, terkait adanya pembebasan atau pelepasan hak atas bidang tanah baik yang telah bersertipikat atau belum atau hanya dengan dasar surat penguasaan atas tanah dari pejabat yang berwenang belum terdaftar atau dilaporkan.
“Menimbang, bahwa apa yang mendasari alasan hukum daripada gugatan Penggugat adalah tanah yang ditelantarkan dan tanah yang telah digunakan menjadi jalan umum / kepentingan umum terhadap sebagian tanah dari Sertifikat Hak Milik No.68/Desa Sei Tampang tanggal 28 Nopember 1987, seluas 12.146m2;
“Bahwa dikatakan suatu bidang tanah sebagai tanah yang ditelantarkan sebagaimana ketentuan pasal 27 Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang UUPA, hak milik atas tanah hapus bila tanahnya jatuh kepada Negara karena ditelantarkan. Dalam bagian penjelasan “Tanah ditelantarkan kalau dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifatnya dan tujuan daripada haknya.”
“Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan peraturan perundangan tersebut, dapat disimpulkan kriteria tanah terlantar adalah;
1. Harus ada pemilik atau pemegang hak atas tanah (subyek);
2. Harus ada tanah hak (hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, dan lain-lain) yang tidak terpelihara dengan baik;
3. Harus ada jangka waktu tertentu;
4. Harus ada perbuatan yang dengan sengaja tidak menggunakan atau tidak dimanfaatkan tanah sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian haknya atau dasar penguasaannya.
“Menimbang, bahwa terkait dengan kewenangan dan mekanisme penertiban tanah terlantar terhadap obyek sengketa adalah Panitia C yang terdiri dari Kanwil Badan Pertanahan Nasional, Kantor Pertanahan, Pemerintah daerah dan Instansi yang berkaitan dengan peruntukan tanah yang bersangkutan berwenang dalam melakukan identifikasi dan penelitian terhadap tanah yang terindikasi terlantar.
“Sedangkan penetapan tanah terlantar merupakan kewenangan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. (vide pasal 9 Peraturan Pemerintah No.11 Tahun 2010. Pasal 19 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No.4 tahun 2010 Jo. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No.9 Tahun 2011 (perubahannya), menyatakan bahwa: (1) kepala menetapkan keputusan penetapan tanah terlantar atas usulan kepala kantor wilayah; (2) keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat hapusnya hak atas tanah, pemutusan hubungan hukumnya, dan sekaligus menegaskan bahwa tanah dimaksud dikuasai langsung oleh Negara.
“Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan diatas dengan demikian terkait fakta dan ketentuan normatifnya majelis hakim menyimpulkan tidak terdapat bukti perbuatan yang disengaja bahwa bidang tanah sebagian dari Sertifikat Hak Milik tersebut telah ditelantarkan oleh pemegang hak justru hal sebaliknya telah dimanfaatkan (fungsi social sebagaimana diamanatkan UU No.5 Tahun 1960 tentang UUPA) oleh Penggugat dengan dalih kepentingan umum (peruntukan jalan) tanpa mempertimbangkan hak dari pada pemegang hak obyek sengketa yaitu berupa ganti rugi sebagaimana telah diatur di dalam ketentuan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan kepentingan umum pasal 1 butir 1 “pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut” Jo. Peraturan Presiden No.65 Tahun 2006 tentang perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dan pasal 47 PMNA/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1994 dan pasal 37 ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999 menyebutkan “pencabutan hak milik atas suatu benda demi kepentingan umum, hanya dibolehkan dengan mengganti kerugian yang wajar dan segera serta pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan berdasarkan keterangan saksi Abd. Manap sebagian tanah milik sarifuddin yang digunakan untuk jalan/kepentingan umum belum diberikan ganti rugi sejak 1989 hingga sekarang/hingga Penggugat mengajukan gugatan di pengadilan Tata Usaha Negara Medan.
“Menimbang, bahwa berdasarkan keseluruhan uraian fakta dan pertimbangan hukum tersebut diatas, pengadilan/majelis berpendapat bahwa apa yang menjadi alasan dan dasar hukum sebagaimana dalil yang dimuat di dalam gugatan untuk menyatakan batal atau tidak sah serta pencabutan atas Sertipikat Hak Milik No.68/Desa Sei Tampang, surat ukur No.2359/1987 tanggal 28 Nopember 1987, seluas 12.146m2 atas nama Sarifuddin sebagai tanah terlantar sebagaimana dalil Penggugat adalah tidak beralasan dan berdasar hukum. Maka terhadap gugatan Penggugat patut untuk dinyatakan ditolak seluruhnya.
M E N G A D I L I
Dalam Pokok Sengketa:
Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.