Hukum yang Berbicara, Bukan Hakim yang Menentukan

LEGAL OPINION
Question: Bila tidak diatur dalam kontrak, atau tidak disertakan dalam amar putusan, apakah dapat diasumsikan bahwa hukum negara yang mengatur menjadi tidak diberlakukan pada subjek hukum yang terlibat tersebut?
Brief Answer: Sesuatu yang tidak atau belum jelas, tidak dapat menggugurkan eksistensi sesuatu yang telah jelas—demikian Mahkamah Konstitusi RI membentuk sebuah kaidah hukum lewat pertimbangan hukum yang menjadi satu kesatuan dengan amar putusannya.
PEMBAHASAN:
Dahulu, pernah terjadi perbedatan, apabila dalam amar putusan hakim, tidak terdapat vonis untuk menyatakan agar terpidana tetap ditahan atau perintah agar ditahan, maka apakah artinya meski terdakwa terbukti bersalah dan semua unsur delik pidana terbukti di persidangan, maka apakah artinya terdakwa yang resmi berstatus sebagai terpidana ini berhak untuk menyatakan diri tidak ditahan (meski terbukti bersalah)?
Perdebatan yang sebetulnya tidak perlu demikian, dapat dikonstruksikan dengan konsep dasar hukum perdata, bahwasannya hubungan kontraktual yang tidak mengatur secara spesifik atau secara lain dari hukum positif yang berlaku, maka hukum keperdataan umum yang diatur negara dianggap melekat dan menjadi satu kesatuan dengan hubungan kontraktual yang mengikat para pihak yang menyepakatinya. Artinya, suatu perikatan jual-beli yang sekalipun hanya dibuat dalam satu lembar perjanjian berisi harga jual-beli, sejatinya sudah cukup mengikat dan sah.
Selebihnya para pihak tunduk pada pengaturan hukum negara seperti perihal perlindungan konsumen, hukum pengangkutan, hak dan kewajiban penjual dan pembeli secara perdata, bahkan termasuk perihal sanksi yang tidak diatur secara tegas dalam kontrak, bila salah satu pihak wanprestasi maka pihak yang dirugikan tetap dapat meminta perlindungan hukum berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi RI perkara pengujian undang-undang, register Nomor  53/PUU-XI/2013 tanggal pada hari Rabu, tanggal 25 September 2013, dimana pihak Pemohon judicial review dalam pokok permohonannya mengajukan pengujian konstitusionalitas frasa “ditahan” dan “tahanan” dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan, “Surat putusan pemidanaan memuat: ... k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan”, yang dianggap oleh Pemohon bertentangan dengan UUD RI 1945.
Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP sebelumnya telah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 69/PUU-X/2012 tanggal 22 November 2012, dimana yang menjadi Objek Permohonan terdahulu adalah pengujian konstitusionalitas keseluruhan norma yang tercantum dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP.
Menurut Pemohon, Mahkamah dalam Putusan 69/PUU-X/2012 tidak memberikan pertimbangan yang cukup mengenai alasan penolakan terhadap permohonan Pemohon tersebut. Mahkamah dalam Putusan Nomor 69/PUU-X/2012 dinilai telah memunculkan berbagai tafsir dari ahli hukum antara lain disampaikan oleh Yusril Ihza Mahendra yang menyatakan putusan Mahkamah tidak berlaku surut sehingga putusan pidana yang diputus sebelum tanggal 22 November 2012 yang tidak mencantumkan perintah penahanan adalah batal demi hukum.
Note SHIETRA & PARTNERS: dalam kasus pidana, ketika terdakwa dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana dan dijatuhkan vonis hukuman penjara/kurungan sekian bulan/tahun, maka sifat dari amar derivatifnya berupa perintah agar terpidana “ditahan” atau “tetap dalam tahanan”, sejatinya hanya bersifat deklaratif belaka, bukan jenis amar constitutief. Ditahannya terpidana akibat amar putusan condemnatoir (penghukuman), terjadi demi hukum, sehingga amar derivatif seperti “menyatakan agar terdakwa tetap ditahan” atau “memerintahkan agar terdakwa ditahan” hanya sekedar jenis amar deklaratif belaka. Sehingga perdebatan demikian sejatinya hanya mencoba memancing di air yang mereka keruhkan sendiri.
Dengan adanya tafsir tersebut menyebabkan kejaksaan tidak mampu melakukan eksekusi terhadap terpidana Komjen Susno Duadji yang telah diputus oleh Mahkamah Agung sebelum tanggal 22 November 2012. Gagalnya eksekusi oleh kejaksaan dan kuatnya ambiguitas berbagai kalangan di masyarakat mengenai adanya tafsir Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP menimbulkan ketidakpastian norma dari pasal a quo dan akan terus menjadi polemik di masyarakat apabila tidak ada penyelesaian secara konstitusional.
Frasa “ditahan” dan “tahanan” yang diatur dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP adalah penahanan yang dilakukan selama proses persidangan berlangsung guna kepentingan pemeriksaan sidang yang penerapannya bergantung pada keadaan, seperti apakah terdapat indikasi atau dugaan kuat terdakwa akan melarikan diri atau menggelapkan alat bukti.
Pemohon meminta kepada Mahkamah untuk menyatakan frasa “ditahan” dan “tahanan” yang tercantum dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP adalah konstitusional bersyarat sepanjang ditafsirkan bahwa “ditahan” dan “tahanan” yang dimaksud adalah penahanan menurut KUHAP, yakni penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya berupa penahanan rumah tahanan negara, penahanan rumah, penahanan kota yang merupakan kewenangan hakim pengadilan negeri, hakim pengadilan tinggi, hakim mahkamah agung yang mengadili perkara guna kepentingan pemeriksaan tingkat pertama, banding atau kasasi. Terhadap permohonan Pemohon, Mahkamah Konstitusi membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Menurut Mahkamah Pasal 197 ayat (1) huruf k dan Pasal 197 ayat (2) huruf “k” KUHAP telah dipertimbangkan dan diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 69/PUU-X/2012, tanggal 22 November 2012. Dalam putusan a quo Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 197 ayat (2) huruf “k” adalah bertentangan dengan UUD 1945, karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga putusan pengadilan pidana yang tidak memuat “perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan” tidak dengan sendirinya batal demi hukum.
“Persoalan konstitusional lebih lanjut yang diajukan oleh Pemohon dalam permohonan a quo adalah apakah hal itu bermakna bahwa sebelum jatuhnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-X/2012, tanggal 22 November 2012, putusan pidana yang tidak memuat “perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan” menjadi batal demi hukum?
“Dalam hal ini, terdapat dua pendapat yang berkembang. Pendapat pertama menyatakan bahwa putusan tersebut batal demi hukum karena Putusan Mahkamah Konstitusi tidak berlaku surut tetapi berlaku ke depan (prospektif). Pendapat kedua menyatakan bahwa putusan tersebut tidak dengan sendirinya batal demi hukum karena frasa “ditahan” dan “tetap dalam tahanan” yang dimaksud dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP adalah ditahan dan tetap dalam tahanan selama perkara pidana tersebut berproses atau berlangsung di Pengadilan Negeri, Pengadilan banding, atau kasasi, dan tidak dimaksudkan untuk putusan yang telah memperoleh kekekuatan hukum tetap. Persoalan inilah yang dimohonkan oleh Pemohon pendapat manakah dari kedua pendapat tersebut yang secara konstitusional dibenarkan;
“Bahwa mengenai hal ini, telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-X/2012, antara lain, pada paragraf [3.10.4] sebagai berikut:
“... sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 197 ayat (2) UU 8/1981 adalah benar bahwa putusan yang dinyatakan batal demi hukum adalah putusan yang sejak semula dianggap tidak pernah ada (never existed) sehingga tidak mempunyai kekuatan apapun (legally null and void, nietigheid van rechtswege).
“Namun demikian harus dipahami bahwa suatu putusan pengadilan haruslah dianggap benar dan sah menurut hukum dan oleh karenanya mengikat secara hukum pula terhadap pihak yang dimaksud oleh putusan tersebut sebelum ada putusan pengadilan lain yang menyatakan kebatalan putusan tersebut.
“Terlebih lagi manakala terjadi sengketa terhadap adanya kebatalan mengenai putusan, sesuai dengan arti positif dari mengikatnya suatu putusan hakim (res judicata pro veritate habetur). Terkait dengan uraian tersebut maka hal yang telah pasti adalah putusan tersebut sah dan mengikat. Adanya kebatalan mengenai putusan yang meskipun didasarkan pada sesuatu norma yang menurut Pemohon cukup terang benderang, namun secara hukum harus dianggap tidak demikian, karena untuk kebatalannya masih diperlukan suatu putusan.
Sesuatu yang tidak atau belum jelas tidak dapat menggugurkan eksistensi sesuatu yang telah jelas. Dalam rangka perlindungan terhadap hak asasi manusia, prinsip negara hukum memberi peluang untuk melakukan upaya hukum berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan [vide Pasal 1 angka 12 UU 8/1981] hingga melakukan pengawasan dan pengamatan guna memperoleh kepastian bahwa putusan pengadilan dilaksanakan sebagaimana mestinya [vide Pasal 280 ayat (1) UU 8/1981]”;
“Berdasarkan pertimbangan tersebut, jelas bahwa putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, harus dianggap sah dan berlaku sampai ada putusan pengadilan lain yang berwenang membatalkannya;
“Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, frasa “ditahan” dan “tahanan” dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP tidak perlu ditafsirkan lagi. Permohonan Pemohon yang meminta penafsiran konstitusional atas frasa “ditahan” dan “tahanan” dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k yang dimaksudkan untuk memastikan bahwa putusan pengadilan yang tidak mencantumkan Pasal 197 ayat (1) huruf k sebelum adanya putusan Mahkamah Nomor 69/PUU-X/2012, tanggal 22 November 2012 tidak dengan sendirinya batal demi hukum, telah terjawab dalam putusan Nomor 69/PUU-X/2012 tersebut;
“Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah permohonan Pemohon ne bis in idem;
AMAR PUTUSAN
Mengadili,
“Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.