Direksi Perseroan Menuntut Hak di Pangadilan Umum, Bukan Kewenangan Pengadilan Hubungan Industrial

LEGAL OPINION
Question: Jika ada hak seorang direktur suatu perusahaan, lantas belum dibayar oleh perusahaan, maka untuk menuntut hak tersebut apakah di Pengadilan Negeri ataukah Pengadilan Hubungan Industrial?
Brief Answer: Menjadi kompetensi absolut Pengadilan Umum, bukan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), sebab hubungan antara perseroan terbatas (badan hukum) dengan direksinya ialah hubungan keperdataan murni, bukan hubungan industrial layaknya buruh terhadap pengusaha. Oleh sebab itu, dasar hukum gugatannya ialah gugatan wanprestasi, bukan perihal hak normatif pekerja, karena Direksi adalah Organ Perseroan, bukan pekerja/buruh dari Perseroan.
Salah kaprah yang mengira bahwa direksi adalah pekerja, kerap terjadi, sebagaimana halnya salah kaprah asumsi bahwa pemegang saham adalah pemilik perseroan sehingga berhak memblokir data perseroan agar tidak terjadi perubahan Anggaran Dasar Perseroan di Kementerian Hukum. Secara yuridis, yang benar ialah “pemegang saham bukanlah Organ Perseroan”, namun “RUPS yang merupakan Organ Perseroan”, sehingga pemegang saham tidak dapat menderogasi wewenang RUPS.
Menempatkan konstruksi hukum menjadi penting, agar tidak terjadi salah kaprah, terlebih membuang waktu dan tenaga, namun keliru yurisdiksi peradilan. Terhadap fee atas jasa pengurusan yang dilakukan oleh seorang Direksi, maka tunggakan fee tersebut dapat digugat ke muka Pengadilan Negeri setempat, bukan PHI. Oleh karenanya, perlu kita mulai dengan menghindari pemakaian istilah “gaji direktur / komisaris”, yang benar ialah “fee / komisi direktur / komisaris”.
PEMBAHASAN:
Sebagai ilustrasi, dapat kita mengambil pelajaran dari putusan Mahkamah Agung RI tingkat kasasi register Nomor  618 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 23 Agustus 2016, perkara antara:
- SHIRLEY W. NGANTUNG, sebagai Pemohon Kasasi, dahulu Penggugat; melawan
- PT. EASTERN POLYMER (Perseroan), sebagai Termohon Kasasi dahulu Tergugat.
Perkara ini merupakan perkara sederhana, yang timbul oleh persepsi keliru bahwasannya direksi seolah disamakan dengan pekerja/buruh yang berhak atas pesangon. Penggugat merupakan istri dari Masaaki Kubota, yang mana semasa hidupnya aImarhum bekerja di PT. Eastern Polymer menjabat sebagai Presiden Direktur, sejak tahun 1989 sampai dengan tahun 2008.
SHIETRA & PARTNERS mengakui, salah kaprah ini terjadi akibat berbagai regulasi Kementerian Tenaga Kerja yang memberi istilah “tenaga kerja asing” dalam konteks jabatan Organ Perseroan seperti Direksi atau Dewan Komisaris, sehingga seakan orang asing tersebut ketika menjabat sebagai Direksi/Komisaris berkedudukan sebagai buruh/pekerja yang dilindungi oleh Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan.
Salah kaprah ini takkan banyak terjadi bilamana yang menerbitkan regulasi kebolehan atau tidaknya warga ekspatriat yang mengadu nasib di Indonesia dalam jabatan Direksi/Komisaris, diatur dalam Peraturan Kementerian Hukum alih-alih diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja, karena Organ Perseroan tunduk sebatas pada Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas, bukan UU Ketenagakerjaan. Begitupula diperkeruh istilah “Izim Menggunakan Tenaga Kerja Asing” (IMTA) ataupun Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing bagi ekspatriat yang akan menjabat sebagai Direktur/Komisaris, membuat kesan seolah ekspatriat yang menjadi direksi/komisaris, adalah seorang tenaga kerja.
Tahun 2008, Masaaki Kubota meninggal dunia karena sakit. Setelahnya, Tergugat (PT Eastern Polymer) hingga saat ini tidak memberikan pesangon kepada Penggugat selaku Ahli Waris.
Penggugat mendalilkan diri pada ketentuan Pasal 61 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa jika dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, Ahli Waris pekerja/buruh berhak mendapatkan hak-­haknya.
Penggugat merujuk pula ketentuan Pasal 166 UU No. 13/2003, dinyatakan bahwa dalam hal hubungan kerja berakhir karena pekerja/buruh meninggal dunia, kepada Ahli Warisnya diberikan sejumlah uang yang besar perhitungannya sama dengan perhitungan 2 (dua) kali uang pesangon.
Dalam sanggahannya, pihak Tergugat menanggapi, sebagai Presiden Direktur, almarhum Masaaki Kubota tunduk pada Hukum Perseroan Terbatas, bukan tunduk dan patuh pada Hukum Perburuhan.
Presiden Direktur merupakan dan adalah perwujudan atau personifikasi dari perseroan terbatas yang diwakilinya itu sendiri, dalam hal ini almarhum oleh karenanya diberikan kewenangan yang amat sangat luas dan besar disamping juga dibebani tanggung jawab yang sangat besar pula sebagai penyeimbang dari kewenangannya yang sangat luas dan besar tadi yang sama sekali tidak dimiliki pihak lain siapapun juga apalagi seorang karyawan/pekerja.
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyatakan:
Organ Perseroan adalah Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi dan Dewan Komisaris.”
Sementara itu Pasal 1 ayat (5) UU Perseroan Terbatas, menerangkan:
Direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar Pengadilan sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar.”
Tergugat mendalilkan, dalam persepsi Perseroan Terbatas, direksi adalah trustee sekaligus agent. Dikatakan sebagai trustee karena direksi melakukan pengurusan terhadap harta kekayaan perseroan; dan dikatakan sebagai agent, karena direksi bertindak keluar untuk dan atas nama perseroan terbatas, selaku legal mandatory perseroan terbatas, yang mengikat perseroan terbatas dengan pihak ketiga. Artinya terdapat hubungan kepercayaan yang melahirkan kewajiban kepercayaan (fiduciary duty) antara direksi dan perseroan dan oleh karenanya direksi wajib memiliki kesetiaan dan iktikad baik (duty of loyalty and good faith) dan kewajiban untuk bertindak cermat dan hati-hati (duty of diligence and care) terhadap perseroan terbatas, yang menjadi pembeda utama antara seorang direktur dan seorang karyawan/pekerja.
Terhadap gugatan tersebut, Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta Pusat kemudian menjatuhkan Putusan Sela Nomor 308/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Jkt.Pst. tanggal 10 Maret 2016, dengan pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa karena nyata-nyata jabatan dan atau kedudukan almarhum Masaaki sebagai Presiden Direktur atau seorang anggota Direksi dari PT. Eastern Polymer maka hubungan hukum antara almarhum Masaaki Kubota dengan PT. Eastern Polymer (Tergugat) adalah hubungan antara organ perseroan atau hubungan keperdataan murni yang tunduk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas sehingga dan oleh karenanya alm. Masaaki Kubota bukanlah seorang pekerja dan tidak memiliki hubungan kerja dengan Tergugat sebagaimana dimaksud dan diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juncto Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial;
“Menimbang bahwa dalam hal terjadi sengketa atau ada persengketaan mengenai hak-hak yang timbul dari dan melekat dengan jabatan almarhum Masaaki Kubota dalam kedudukannya sebagai Presiden Direktur PT Eastern Polymer (Tergugat) yang belum diselesaikan atau belum dibayarkan oleh Tergugat kepada Penggugat sebagai Ahli Warisnya menurut Majelis Hakim sengketa tersebut tidak termasuk dalam sengketa perselisihan Hubungan Industrial sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial akan tetapi termasuk sengketa keperdataan murni yang harus diselesaikan melalui pengadilan negeri atau badan peradilan umum sesuai dengan yurisdiksinya;
MENGADILI :
Dalam Eksepsi:
1. Mengabulkan eksepsi Tergugat;
2. Menyatakan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang diajukan oleh Penggugat.”
Penggugat mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap keberatan-keberatan tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 1 April 2016 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak salah menerapkan hukum, pertimbangan sudah tepat dan sudah benar untuk menyatakan pengadilan hubungan industrial tidak berwenang dengan didasari pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa ternyata objek perkara yang diperselisihkan oleh Penggugat adalah hak-hak almarhum Masaaki Kuboto sebagai Presiden Direktur PT. Easter Polymer, tunduk pada ketentuan Undang-Undang Perseroan, maka tidaklah termasuk sengketa Perselisihan Hubungan Industrial, dan dengan demikian sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Pengadilan Hubungan Industrial tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara ini;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi SHIRLEY W. NGANTUNG tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.