Delik Aduan Penghinaan terhadap Presiden dan Pejabat Negara

ARTIKEL HUKUM
Dalam stelsel pemidanaan di Indonesia, dikenal dua konsep mengenai siapa yang berhak melaporkan suatu dugaan tindak pidana, yakni delik umum dan delik aduan. Delik umum, diartikan sebagai setiap warga negara berhak melaporkan suatu tindak pidana yang ia ketahui, sekalipun sang pelapor bukanlah korban dari tindak pidana tersebut.
Sementara itu yang dimaksud dengan delik aduan, ialah hak yang hanya melekat dan dimiliki oleh pihak korban, untuk mengadukan tindak pidana yang secara faktual dialaminya agar ditindak oleh pihak berwajib sesuai hukum pidana positif yang berlaku.
Delik aduan tidaklah diasumsikan, dalam arti rumusan peraturan perundang-undangan harus menyatakan secara tegas bahwa suatu perbuatan pidana hanya dapat dilaporkan oleh pihak yang menjadi korban. Sementara delik umum, memiliki ciri-ciri tidak menyebutkan bahwa hanya korban yang memiliki hak tunggal untuk melaporkan suatu tindak pidana yang dialaminya, sehingga diasumsikan setiap warga negara berhak melaporkan.
Sebagai contoh mengenai delik aduan, dapat dijumpai pada putusan Mahkamah Konstitusi RI register perkara pengujian undang-undang Nomor 013-022/PUU-IV/2006 tentang Pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang diputus tanggal 6 Desember 2006.
Pemohon mengajukan permohonan pengujian atas tiga buah pasal delik umum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yakni:
- Pasal 134 KUHP:
“Penghinaan yang dilakukan dengan sengaja terhadap Presiden atau Wakil Presiden diancam dengan pidana paling lama enam tahun, atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
- Pasal 136 bis KUHP:
“Dalam pengertian penghinaan tersebut pasal 134, termasuk juga perbuatan tersebut Pasal 315, jika hal itu dilakukan di luar adanya yang terkena, baik dengan tingkah laku di muka umum, maupun tidak di muka umum dengan perbuatan, lisan atau tulisan, asal di muka lebih dari empat orang, atau di muka orang ketiga yang ada di situ bertentangan dengan kehendaknya dan merasa tersinggung karenanya.”
- Pasal 137 KUHP:
(1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan di muka umum tulisan atau lukisan yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden, dengan maksud supaya isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan pada waktu menjalankan pencahariannya, dan pada saat itu belum lewat dua tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena kejahatan itu juga, maka terhadapnya dilarang menjalankan pencaharian tersebut.
Terhadap permohonan judicial review yang diajukan oleh dua orang demonstran pengkritik kepala negara yang terancam dijerat pidana, Mahkamah Konstitusi RI membuat pertimbangan hukum serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang bahwa walaupun undang-undang yang dimohonkan pengujian ini diundangkan jauh sebelum perubahan UUD 1945 yang menurut Pasal 50 UU MK tidak termasuk undang-undang yang dapat diuji di Mahkamah, namun sejak Putusan Mahkamah Nomor 066/PUU-II/2004 tanggal 12 April 2005 dalam perkara pengujian Pasal 50 UU MK dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri (KADIN) terhadap UUD 1945, Pasal 50 UU MK dimaksud telah dinyatakan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan para Pemohon;
“Ahli Prof. Dr. Andi Hamzah, S.H selanjutnya menyatakan, ‘Tidak apa-apa kalau Pasal 134 KUHPidana dihapuskan, yang berarti masih bisa dihukum karena ada Pasal 310 KUHPidana tetapi harus diingat bahwa dalam Pasal 310 KUHPidana itu hukumannya lebih ringan dan merupakan delik aduan.’
“Menimbang bahwa Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHPidana bisa menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) karena amat rentan pada tafsir apakah suatu protes, pernyataan pendapat atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden. Hal dimaksud secara konstitusional bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 dan pada suatu saat dapat menghambat upaya komunikasi dan perolehan informasi, yang dijamin Pasal 28F UUD 1945;
“Menimbang bahwa Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHPidana berpeluang pula menghambat hak atas kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan dan ekspresi sikap tatkala ketiga pasal pidana dimaksud selalu digunakan aparat hukum terhadap momentum-momentum unjuk rasa di lapangan. Hal dimaksud secara konstitusional bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28E Ayat (2), dan Ayat (3) UUD 1945;
“Menimbang bahwa oleh karena itu delik penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut hukum seharusnya diberlakukan Pasal 310—Pasal 321 KUHPidana manakala penghinaan (beleediging) ditujukan dalam kualitas pribadinya, dan Pasal 207 KUHPidana dalam hal penghinaan ditujukan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden selaku pejabat (als ambtsdrager);
“Menimbang bahwa dalam kaitan pemberlakuan Pasal 207 KUHPidana bagi delik penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana halnya dengan penghinaan terhadap penguasa atau badan publik (gestelde macht of openbaar lichaam) lainnya, memang seharusnya penuntutan terhadapnya dilakukan atas dasar pengaduan (bij klacht). Di beberapa negara antara lain Jepang, penghinaan terhadap Kaisar, Ratu, Nenek Suri, Ibu Suri, atau ahli waris kekaisaran hanya dapat dituntut atas dasar pengaduan. Article 232 (2) The Penal Code of Japan menentukan bahwa Perdana Menteri akan membuatkan pengaduan atas nama Kaisar, Ratu, Nenek Suri, Ibu Suri guna pengajuan penuntutan, dan apabila penghinaan dimaksud dilakukan terhadap seorang raja atau presiden suatu negeri asing, maka wakil negeri yang berkepentingan itu yang akan membuat pengaduan atas namanya. Penuntutan terhadap pelaku pelanggaran atas Pasal 207 KUHPidana oleh aparat penyelenggara negara memerlukan penyesuaian di masa depan sejalan dengan pertimbangan Mahkamah mengenai Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHPidana tersebut di atas;
“Menimbang bahwa selain itu, keberadaan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHPidana juga akan dapat menjadi ganjalan dan/atau hambatan bagi kemungkinan untuk mengklarifikasi apakah Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A UUD 1945 yang berbunyi, ”Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”, karena upaya-upaya melakukan klarifikasi tersebut dapat ditafsirkan sebagai penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden;
“Menimbang bahwa berdasarkan hal-hal yang telah dikemukakan tersebut di atas, Mahkamah berpendapat, Indonesia sebagai suatu negara hukum yang demokratis, berbentuk republik, dan berkedaulatan rakyat, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia sebagaimana telah ditentukan dalam UUD 1945, tidak relevan lagi jika dalam KUHPidananya masih memuat pasal-pasal seperti Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 yang menegasi prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum. Sehingga, dalam RUU KUHPidana yang merupakan upaya pembaharuan KUHPidana warisan kolonial juga harus tidak lagi memuat pasal-pasal yang isinya sama atau mirip dengan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHPidana.
“Terlebih lagi, ancaman pidana terhadap pelanggaran Pasal 134 paling lama enam tahun penjara dapat dipergunakan untuk menghambat proses demokrasi khususnya akses bagi jabatan-jabatan publik yang mensyaratkan seseorang tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;
MENGADILI :
- Menyatakan permohonan para Pemohon dikabulkan untuk seluruhnya;
- Menyatakan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Menyatakan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
- Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara sebagaimana mestinya.
Selanjutnya, dalam perkara pengujian undang-undang terhadap KUHP lainnya secara terpisah, Mahkamah Konstitusi RI kembali memutus judicial review dalam register perkara Nomor 31/PUU-XIII/2015 tanggal 10 Desember 2015. Pemohon didakwa melakukan penghinaan atau pencemaran nama baik seorang Walikota Tegal dan seorang Anggota DPRD Kota Tegal, namun tanpa adanya laporan langsung oleh orang yang dirugikan akibat tindakan Pemohon, sehingga Pemohon meminta untuk dibatalkan frasa “kecuali berdasarkan Pasal 316” yang tercantum dalam rumusan Pasal 319 KUHP, yang memiliki bunyi selengkapnya:
“Penghinaan yang diancam dengan pidana menurut bab ini, tidak dituntut jika tidak ada pengaduan dari orang yang terkena kejahatan itu, kecuali berdasarkan Pasal 316.”
Atas permohonan Pemohon yang dilaporkan ke polisi oleh warga negara yang bukan menjadi korban pencemaran nama baik, Mahkamah Konstitusi RI membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, ... Adapun mengenai pihak yang dapat mengadukan atau melaporkan terjadinya suatu delik atau tindak pidana, hukum pidana indonesia membedakan delik menjadi dua jenis, yaitu delik aduan dan delik bukan aduan.
“Delik aduan adalah suatu delik atau tindak pidana yang untuk dapat diproses secara hukum oleh penegak hukum, mengharuskan terlebih dahulu adanya suatu aduan atau laporan oleh pihak yang menjadi korban dari tindak pidana tersebut, sedangkan delik bukan aduan adalah suatu delik atau tindak pidana yang untuk dapatnya diproses secara hukum, tidak mensyaratkan adanya aduan atau laporan terlebih dahulu oleh pihak yang menjadi korban kepada aparat penegak hukum.
“Menimbang, bahwa hukum pidana digolongkan sebagai hukum publik, dengan alasan bahwa peristiwa atau perbuatan yang diatur adalah perbuatan yang berkaitan dengan kepentingan banyak orang, kepentingan umum, atau yang dapat juga disebut kepentingan publik. Banyaknya pihak (anggota masyarakat) yang dapat terpengaruh, serta signifikansinya arti dan/atau akibat perbuatan dimaksud terhadap masyarakat (kumpulan individu dalam skala relatif besar), menyebabkan negara harus ikut campur menyelesaikannya.
“Hal demikian secara mendasar berbeda dengan sifat hukum perdata yang secara strategis tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap kepentingan umum atau kepentingan publik, meskipun bisa jadi berpengaruh signifikan terhadap perorangan atau individu tertentu. Penggolongan suatu perbuatan/tindakan tertentu apakah akan diatur dalam wilayah hukum publik atau diatur dalam wilayah hukum privat tidak memiliki kriteria yang tetap/baku karena sangat tergantung pada perkembangan masyarakat dimana hukum itu berada.
“Menimbang, bahwa pada dasarnya hukum pidana, karena merupakan hukum publik, penanganannya menjadi domain negara. Artinya, semua perbuatan atau tindakan yang digolongkan sebagai perbuatan atau tindak pidana akan diproses secara hukum langsung oleh negara melalui aparat penegak hukum.
“Tindakan negara tersebut adalah demi memelihara ketertiban, keamanan, dan menjamin kepentingan umum, serta mencegah atau meminimalkan timbulnya kerugian, namun harus pula diperhatikan bahwa pada beberapa perbuatan/tindakan tertentu yang dilakukan oleh warga negara dan/atau penduduk, campur tangan negara justru dapat mengakibatkan timbulnya kerugian yang lebih besar baik pada sebagian atau seluruh anggota masyarakat, dibandingkan ketika negara tidak ikut campur terhadap suatu perbuatan atau tindakan tertentu dimaksud.
“Berdasarkan hal demikian, untuk mencegah timbulnya kerugian yang lebih besar manakala negara campur tangan terhadap tindakan atau perbuatan tertentu maka dirumuskan konsep delik aduan. Konsep delik aduan, dari perspektif pihak yang merasa dirugikan (menjadi korban) suatu tindakan atau perbuatan pidana, memberikan pilihan untuk tidak menindaklanjuti secara hukum kerugian yang dialaminya, atau menindaklanjuti secara hukum dengan mengadukan atau melaporkan kepada aparat hukum. Secara sederhana, konsep delik aduan dapat dimaknai bahwa suatu perbuatan atau tindak pidana tidak akan dikenai konsekuensi hukum ketika tidak dilaporkan atau diadukan oleh korban kepada aparat penegak hukum.
Konsep tersebut tidak lepas dari pemahaman bahwa tidak ada batas mutlak dan tegas antara wilayah hukum publik (pidana) dengan wilayah hukum privat (perdata). Hukum publik dan hukum privat adalah dua kutub yang di antara keduanya terletak berbagai tindakan atau perbuatan hukum. Tarik menarik antara hukum publik dan hukum privat demikian menjadi salah satu alasan kemunculan konsep delik aduan, yaitu ketika suatu perbuatan hukum berada di tengah-tengah tarikan kepentingan publik dan kepentingan privat.
“Menimbang, bahwa dalam kaitannya dengan permohonan para Pemohon terkait konstitusionalitas frasa “kecuali berdasarkan Pasal 316” dalam Pasal 319 KUHP, Mahkamah berpendapat hal demikian secara konseptual muncul karena terdapat pergeseran posisi perbuatan penghinaan, yang semula merupakan hukum publik berdimensi privat, dengan dilakukan eksklusi (pengecualian) kemudian perbuatan penghinaan bergeser ke arah hukum publik (tanpa dimensi privat). Pergeseran demikian berpengaruh secara signifikan karena sebagai delik bukan aduan maka diprosesnya suatu perbuatan penghinaan tidak “mengindahkan” lagi ada atau tidak ada pertimbangan pribadi (kepentingan privat) korban penghinaan.
“Selain itu, menurut Mahkamah ketentuan mengenai pelaporan delik penghinaan yang diatur dalam Pasal 319 juncto Pasal 316 KUHP tentu tidak dapat dilepaskan dari kehendak negara yang berkeinginan untuk memberikan “kemudahan” perlindungan bagi pejabat/pegawai negara atau kepada individu yang pada saat dihina sedang menjabat sebagai aparat pemerintah.
“Ketentuan dimaksud menunjukkan suatu posisi dominan negara di hadapan warga negara dan/atau penduduk. Dengan kata lain, ketentuan tersebut menunjukkan bahwa negara sedang berkehendak untuk menempatkan pegawai negeri atau pejabat negara yang sedang menjalankan tugasnya pada posisi atau derajat yang lebih tinggi dibanding masyarakat (warga negara) lainnya. ketentuan Pasal 319 KUHP dimaksud dapat diletakkan pada perspektif paradigmatik yang menempatkan pejabat negara sebagai “representasi” bahkan “simbol” negara yang karenanya harus diberikan perlindungan hukum secara istimewa dari tindakan/perbuatan penghinaan, baik perlindungan hukum secara substansial maupun perlindungan hukum secara prosedural.
“Namun demikian, terjadi pergeseran paradigmatik di negara Indonesia ke arah negara hukum yang lebih demokratis. Substansi pergeseran demikian pernah dinyatakan oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006, bertanggal 6 Desember 2006, meskipun Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 tidak menguji hal yang sama dengan permohonan Pemohon ini, melainkan menguji konstitusionalitas pasal-pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP.
“Dalam negara hukum yang demokratis, persamaan derajat dan kedudukan warga negara di hadapan hukum menjadi salah satu tujuan yang harus dicapai. Mencapai hal demikian adalah semangat yang diusung oleh Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, yang menjadi tonggak berdirinya negara hukum Indonesia.
“Pergeseran paradigmatik demikian akan dicapai dengan terus berproses untuk menempatkan, memposisikan, serta memperlakukan semua warga negara secara sama di hadapan hukum. Namun demikian harus dicermati dengan saksama bahwa perlakuan yang sama terhadap warga negara harus tetap mendasarkan pada prinsip keadilan yang menyatakan bahwa “keadilan adalah memperlakukan sama terhadap hal-hal yang sama, dan memperlakukan secara berbeda hal-hal yang memang berbeda”.
“Dalam kaitannya dengan Pasal 310 KUHP yang dimohonkan oleh para Pemohon, Mahkamah menilai bahwa pembedaan perlakuan bagi korban penghinaan dalam hal mengadukan penghinaan yang dialaminya, didasarkan atau diukur dari posisi korban penghinaan, yaitu apakah sebagai pegawai negara dan/atau pejabat, ataukah sebagai warga negara pada umumnya.
“Mahkamah berpendapat dasar pembedaan demikian sudah waktunya ditinjau ulang mengingat adanya perubahan/perkembangan nilai-nilai dalam masyarakat, bangsa, bahkan dalam kehidupan bernegara. Ketentuan mengenai pengaduan terhadap penghinaan demikian juga harus disikapi berbeda mengingat kompleksitas perkembangan pengetahuan, kecerdasan, sikap kritis, bahkan harus mengingat pula kemungkinan adanya sifat manipulatif, niat buruk, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, menurut Mahkamah dalam “membaca” ketentuan Pasal 316 KUHP secara kekinian, harus disikapi pula motif dan perbedaan posisi warga negara secara sosial, ekonomi, maupun politik.
“Menimbang, bahwa dari perspektif hak, tidak dihina dan/atau tidak dicemarkan nama baiknya adalah hak individu yang bersifat pasif, yaitu hak yang pemenuhannya disandarkan pada tindakan/perbuatan aktif orang lain untuk tidak melakukan penghinaan/pencemaran nama baik.
“Kondisi tidak dihinanya atau tidak dicemarkannya nama baik seseorang hanya dapat terjadi apabila orang lain diwajibkan untuk tidak melakukan penghinaan atau pencemaran. Agar kewajiban tersebut yang semula hanya bersifat etis, dapat berubah menjadi kewajiban hukum yang dikuatkan dengan sanksi hukum, maka kewajiban etis untuk tidak menghina atau mencemarkan nama baik dirumuskan sebagai salah satu delik dalam KUHP (kriminalisasi).
“Kriminalisasi terhadap tindakan penghinaan dan pencemaran nama baik adalah hal yang sudah seharusnya dilakukan oleh negara. Bahkan  dapat dilihat sebagai kewajiban negara dengan alasan demi melindungi martabat setiap warga negara, serta mengeliminir kerugian baik secara psikis maupun materi yang dapat ditimbulkan oleh tindakan penghinaan dan pencemaran nama baik. Mahkamah berpendapat bahwa perlindungan terhadap penghinaan dan pencemaran nama baik masih tetap diperlukan oleh warga negara, karena secara nyata penghinaan dan pencemaran nama baik (oleh masyarakat) masih dianggap/dirasakan mengganggu ketenangan seseorang secara psikis, bahkan lebih jauh dapat mengubah penilaian masyarakat luas terhadap orang yang menjadi korban penghinaan dan pencemaran nama baik tersebut.
“Kerugian psikologis dan citra (nama baik) yang demikian tentu dapat diuraikan secara lebih komprehensif, termasuk jika efek pencemaran nama baik tersebut dikuantifikasi menjadi kerugian ekonomi. Namun demikian, Mahkamah tidak akan mempertimbangkan lebih jauh mengenai kriminalisasi (kebijakan pemidanaan) terhadap tindakan penghinaan dan pencemaran nama baik dimaksud, karena hal tersebut tidak dipermasalahkan oleh para Pemohon.
“Menurut Mahkamah hal yang menjadi permasalahan para Pemohon adalah bahwa ketentuan Pasal 319 KUHP tersebut yang sebenarnya mengatur delik aduan (klacht delicten) dalam hal penghinaan/pencemaran nama baik, namun ketika pihak atau orang yang dihina adalah pegawai negeri atau pejabat negara yang sedang menjalankan tugasnya maka ketentuan delik aduan akan berubah menjadi bukan delik aduan atau delik biasa (gewone delicten) berdasarkan Pasal 316 KUHP.
“Dengan demikian keberadaan Pasal 319 juncto Pasal 316 KUHP membuka kemungkinan suatu penghinaan atau pencemaran nama baik diproses oleh aparat penegak hukum berdasarkan: a) laporan korban, yaitu orang yang secara langsung merasa dirugikan oleh tindakan penghinaan atau pencemaran nama baik tersebut; b) laporan orang lain yang tidak dirugikan secara langsung oleh, bahkan tidak menjadi tujuan dari, tindakan penghinaan atau pencemaran nama baik tersebut; atau c) diproses langsung oleh aparat penegak hukum tanpa laporan atau aduan dari siapapun.
“Dalam hal pelaporan tindakan penghinaan atau pencemaran nama baik kepada aparat penegak hukum dilakukan oleh korban penghinaan itu sendiri, hal demikian menurut Mahkamah adalah sesuatu yang sudah sewajarnya, karena di hadapan hukum semua orang berhak untuk secara aktif melindungi dirinya dari tindakan orang lain yang berakibat merugikan.
“Adapun dalam hal pelaporan tindakan penghinaan atau pencemaran nama baik, yang ditujukan kepada pegawai negeri atau pejabat negara yang sedang menjalankan tugasnya, dilakukan oleh bukan korban penghinaan, Mahkamah harus mempertimbangkan dari sisi aspek kemampuan korban untuk melindungi/membela kepentingan dirinya sendiri.
“Namun di sisi lain, potensi ‘kemudahan’ yang diberikan kepada pejabat negara atau pegawai negeri dalam hal mengadukan dan/atau melaporkan suatu tindak pidana penghinaan, yaitu dalam bentuk rumusan delik bukan aduan berpotensi menimbulkan kerugian yang lebih besar dibandingkan jika dirumuskan sebagai delik aduan. Potensi demikian antara lain terlihat dari kemungkinan berikut:
a. korban penghinaan, yaitu pegawai negeri atau pejabat negara yang sedang menjalankan tugasnya, sebenarnya tidak merasa dirugikan oleh tindakan pelaku penghinaan, bahkan bersedia memaafkan penghinaan dimaksud namun terdapat pihak ketiga yang ingin memanfaatkan momentum untuk ‘menyerang’ pelaku penghinaan, atau memanfaatkan momentum untuk membangun citra tertentu bagi korban penghinaan tanpa dikehendaki oleh korban penghinaan itu sendiri.
b. korban penghinaan merasa dirugikan, namun dengan alasan ingin membangun citra ‘pemaaf’ korban tidak mengadukan tindakan penghinaan dimaksud, ‘menyuruh’ orang lain untuk melakukan pelaporan kepada aparat penegak hukum. Pencitraan seperti ini terlihat sebagai tindakan yang wajar, namun sebenarnya tindakan demikian merupakan cerminan karakter yang tidak terbuka dan lebih mementingkan sisi artifisial (citra) daripada kebaikan substansi. Hukum di Indonesia secara moral tentu tidak diarahkan untuk membangun atau meneguhkan sikap mental yang demikian. Konstruksi atau rumusan delik penghinaan harus ditafsirkan sejalan dengan cita-cita moral Pancasila dan UUD RI 1945 yang salah satunya ingin membangun manusia indonesia seutuhnya.
“Menimbang, bahwa selain pertimbangan demikian, Mahkamah juga memperhatikan pergeseran paradigma kenegaraan menuju relasi negara-masyarakat yang lebih demokratis atau setara. Untuk mewujudkan kesetaraan hubungan antara negara dengan warga negara (masyarakat), harus dimulai salah satunya dengan mereposisi hubungan antara mereka yang menyelenggarakan kekuasaan negara dengan warga negara di hadapan hukum.
“Pergeseran posisi pegawai negeri atau pejabat negara dari posisi ‘tuan’ pada era kolonialisme menjadi ‘abdi’ atau ‘pelayan’ masyarakat pada era kemerdekaan Indonesia, seharusnya turut menggeser pula keistimewaan posisi/kedudukan hukum masing-masing pihak. Semangat pergeseran demikian menurut Mahkamah ditegaskan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD RI 1945 yang mengamanatkan adanya perlakuan yang sama di hadapan hukum.
“Dalam kaitannya dengan ketentuan Pasal 319 KUHP frasa ‘kecuali berdasarkan Pasal 316’ yang membedakan perlakuan bagi masyarakat umum dengan pegawai negeri atau pejabat negara, dalam hal melakukan pengaduan atas penghinaan yang dialaminya, termasuk ancaman pidananya, Mahkamah berpendapat tidak relevan lagi untuk membedakan pengaturan bahwa penghinaan kepada anggota masyarakat secara umum merupakan delik aduan, termasuk ancaman pidananya, sementara penghinaan kepada pegawai negeri atau pejabat negara merupakan delik bukan aduan, termasuk ancaman pidananya. Pembedaan yang demikian menurut Mahkamah tidak sesuai dengan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia untuk mencapai kedudukan manusia yang sederajat dan berkeadilan.
“AMAR PUTUSAN
“Mengadili:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon;
2. Menyatakan Pasal 319 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sepanjang frasa ‘kecuali berdasarkan Pasal 316’ bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
3. Menyatakan Pasal 319 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sepanjang frasa ‘kecuali berdasarkan Pasal 316’ tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.