“Dapat” Merugikan Keuangan Negara, sebagai Delik Formil Tindak Pidana Korupsi

LEGAL OPINION
Question: Bila saya mampu membuktikan tiada keuangan negara yang telah saya rugikan pada akhirnya dalam pelaksanaan proyek pemerintah yang memang bersumber dari anggaran negara, apakah artinya sudah dapat dipastikan dakwaan jaksa penuntut akan ditolak oleh pengadilan Tipikor?
Brief Answer: Dalam stelsel pemidanaan hukum pidana, terdapat dua jenis perbuatan hukum yang diatur sebagai suatu delik, yakni perbuatan yang mengakibatkan suatu hasil (delik materiil) dan perbuatan yang “berpotensi” menimbulkan suatu akibat (delik formil). Khusus untuk tindak pidana korupsi (Tipikor), yang berlaku ialah delik formil. Pada akhirnya tidak terdapat kerugian keuangan negara, namun terdapat tendensi / kecenderungan / potensi dapat dirugikannya keuangan negara, maka Undang-Undang tentang Tipikor dapat diberlakukan.
PEMBAHASAN:
Dalam putusan Pengadilan Khusus Tipikor Yogyakarta perkara pidana register Nomor 27/Pid.Sus/2013/P.Tpkor-Yk tanggal 27 Maret 2014, Majelis Hakim mengupas unsur esensial UU Tipikor, yakni “Yang Dapat Merugikan Keuangan Negara Atau Perekonomian Negara”. Dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim menyebutkan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan “keuangan Negara” berdasarkan penjelasan umum Undang-Undang No. 31 tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah seluruh Kekayaan Negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian Kekayaan Negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul kerena:
a. berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggung jawaban pejabat Negara baik di tingkat pusat maupun daerah;
b. berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggung jawaban Badan Usaha Milik Negara / Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.
“Menimbang, terminology yang digunakan dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang Undang No. 31 tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, adalah ”yang dapat”, dengan demikian yang dikehendaki oleh unsur tindak pidana yang ke empat ini adalah perbuatan Terdakwa tidak harus sudah nyata-nyata menimbulkan kerugian bagi keuangan Negara, tetapi cukup apabila perbuatan Terdakwa tersebut berpotensi atau dapat menimbulkan kerugian bagi keuangan negara, maka unsur tindak pidana ini telah terpenuhi.
“Menimbang, bahwa kegiatan Pekerjaan Pelayanan Angkutan Orang Di Jalan Dengan Kendaraan Umum Wilayah Perkotaan Di Propinsi D.I. Yogyakarta (Pembayaran BOK Bus Angkutan Buy The Service) di Dinas Perhubungan (Dishub) Prop. D.I. Yogyakarta yang dilaksanakan oleh PT. Jogja Tugu Trans (PT. JTT) pada tahun 2008 dananya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2008-2009, maka oleh karenanya merupakan dana yang bersumber dari keuangan Negara;
“Menimbang, bahwa karena kegiatan Pekerjaan Pelayanan Angkutan Orang Di Jalan Dengan Kendaraan Umum Wilayah Perkotaan Di Propinsi D.I. Yogyakarta (Pembayaran BOK Bus Angkutan Buy The Service) di Dinas Perhubungan (Dishub) Prop. D.I. Yogyakarta yang dilaksanakan oleh PT. Jogja Tugu Trans (PT. JTT) tahun 2008 merupakan dana yang bersumber dari APBD dan oleh karenanya merupakan dana yang bersumber dari keuangan Negara, maka dapat disimpulkan, bahwa dana kegiatan Pekerjaan Pelayanan Angkutan Orang Di Jalan Dengan Kendaraan Umum Wilayah Perkotaan Di Propinsi D.I. Yogyakarta (Pembayaran BOK Bus Angkutan Buy The Service) di Dinas Perhubungan (Dishub) Prop. D.I. Yogyakarta yang dilaksanakan oleh PT. Jogja Tugu Trans (PT. JTT) tahun 2008 tersebut adalah merupakan "keuangan Negara" sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Umum Atas Undang Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan, maka terhadap unsur “Yang Dapat Merugikan Keuangan Negara Atau Perekonomian Negara”, Majelis Hakim berpendapat, sebagai berikut :
1. Bahwa dana yang disetujui DPKAD dengan suratnya No. 05/SPD/2008 dan No. 32/SPD/2008, tanggal 12 Pebruari 2008 sebesar Rp11.936.585.780,00, alokasi dana BOK dengan mekanisme Uang Persediaan (UP) adalah sebagai uang negara, sebagian besar dari dana tersebut untuk Pembiayaan Pengelolaan Sistim Pelayanan Angkutan Orang di Jalan Dengan Kendaraan Umum Wilayah Perkotaan Dengan Sistim Buy The Services Tahun 2008 di D.I Yogyakarta;
2. Bahwa pembayaran BOK dengan mekanisme kas-bon pada tanggal 23 Pebruari 2008 sebesar Rp874.447.392,00 didasarkan pada asumsi perhitungan kilometer tempuh pada tanggal 18 Pebruari 2008 sampai dengan tanggal 29 Pebruari 2008, operasional bis PT JTT baru berjalan 5 (lima) hari, tidak didukung oleh dokumen yang valid, nilai BOK sangat potensial, dengan demikian, proses pembayaran BOK tidak sistimatis, melanggar ketentuan yang berlaku dan sangat potensial merugikan keuangan negara;
3. Bahwa pembayaran BOK dengan mekanisme kas-bon pada tanggal 28 Pebruari 2008 sebesar Rp1.000.000.000,00, tanggal 11 Maret 2008 sebesar Rp100.000.000,00 dan sebesar Rp900.000.000,00 untuk pembayaran BOK dengan mekanisme kas-bon Bulan Maret 2008, tidak didukung dengan kilometer tempuh, karena kilometer tempuh dibuat awal Bulan April 2008, tidak didukung dokumen yang valid, nilai BOK sangat besar, mekanisme demikian, sangat potensial menimbulkan kerugian negara, karena besaran kilometer dapat dimanipulasi dan diarahkan mendekati besaran BOK yang telah diterima;
4. Bahwa pertanggung-jawaban penggunaan dana BOK yang diterima tanggal 23 Pebruari 2008, sebesar Rp874.447.392,00, setelah dilakukan perhitungan kilometer tempuh dan dikonversi dengan dana BOK sebesar Rp788.262.200,00, terdapat kelebihan sebesar Rp86.185.193,00, kelebihan sebesar ini tidak segera diselesaikan pada Bulan Pebruari 2008, tetapi diperhitungkan dengan penerimaan dana BOK pada bulan berikutnya, dengan demikian mekanisme pembayaran BOK, dengan permintaan dana BOK dengan kas-bon tanpa dokumen valid, pembayaran kas-bon yang tidak terjadwal, perhitungan dana BOK berdasarkan kilometer tempuh yang disusulkan, dan perhitungan sisa lebih/kurang yang berlanjut pada setiap bulan, sangat potensial menimbulkan kerugian negara;
5. Bahwa kelebihan sebesar Rp86.185.193,00, setelah diperhitungkan dengan dana BOK dengan kas-bon dan realisasi dana BOK pada Bulan Maret 2008, Bulan April 2008, Bulan Mei 2008 dan Bulan Juni 2008, akhirnya sisa lebih sebesar Rp65.762.372,00 baru tanggal 16 Agustus 2008 dengan kuitansi No. 231, dikembalikan ke Dinas Perhubungan D.I Yogyakarta, tidak jelas apakah telah dihitung berdasarkan prinsip-prinsip akuntansi dari kedua belah pihak, dan sangat potensial merugikan keuangan negara;
6. Bahwa BPK Perwakilan D.I Yogyakarta dalam LHP No. 07/LHP/XVIII.YOG/06/2013 tanggal 5 Juni 2013, terjadi kerugian negara sebesar Rp413.437.743,00, dengan perhitungan, awal operasional bus PT JTT tanggal 18 Pebruari 2008 dan pada tanggal 23 Pebruari 2008 dilakukan pembayaran dana BOK sebesar Rp874.447.392,00, setelah dilakukan perhitungan kilometer tempuh sebesar 178.018,832 km dan apabila dikonversi dengan dana BOK sebesar Rp788.262.200,00, menurut BPK Perwakilan D.I Yogyakarta pembayaran sebesar Rp788.262.200,00 pada tanggal 23 Pebruari 2008, untuk operasional bis selama 5 (lima) hari, dengan jumlah kilometer tempuh sebesar 73.885,29 km, dan seharusnya biaya BOK sampai dengan 23 Pebruari 2008 hanya sebesar Rp374.834.457,00, dengan demikian terjadi kerugian negara sebesar Rp413.437.743,00;
“Menimbang, bahwa terkait dengan kerugian negara sebesar Rp.413.437.743,00 berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan dimana :
a. Bahwa menurut keterangan Saksi Eka Priya Surasa (BAP Pemeriksaan tanggal 11 Desember 2014), Saksi Sigit Budi Raharjo (BAP Pemeriksaan tanggal 8 Januari 20140), Saksi Djoko Nur (BAP Pemeriksaan tanggal 8 Januari 2014) dan Septa Kusuma, S. Kom (BAP Penyidik 3 September 20130, semua menerangkan, kilometer yang dibuat untuk perhitungan operasional bis PT JTT tanggal 18 Pebruari 2008 sampai dengan tanggal 29 Pebruari 2008, berdasarkan BA yang ditandatangani Direktur Operasi PT JTT dan Kabid Angkutan No. 050/340A tanggal 1 Maret 2008 sebesar 178.018,832 km, bukansebesar 73.885,290 km;
b. Kerugian negara sebesar Rp Rp413.437.743,00, didapat dari perhitungan BPK Perwakilan DI Yogyakarta, dari perhitungan operasional bus Trans Jogya dari tanggal 18 Pebruari 2008 sd tanggal 29 Pebruari 2008, karena tanggal 23 Pebruari 2008 terdapat pembayaran BOK sebesar Rp874.447.392,00, setelah dihitung dengan kilometer tempuh hanya Rp788.262.200,00, maka pembayaran tanggal 23 Pebruari 2008, menurut tata kelola keuangan BPK, dana sebesar Rp788.262.200,00, untuk pembayaran tanggal 18 Pebruari 2008 sd tanggal 22 Pebruari 2008, yang hanya didapat kilometer tempuh 73.885,129 km dan perlu dana Rp374.834.457,00, sehingga terjadi kelebihan dana sebagai kerugian negara sebesar Rp413.437.743,00;
c. Bahwa pada tanggal 28 Pebruari 2008 terdapat pembayaran BOK sebesar Rp1.000.000.000,00 untuk bulan Maret 2008 dan tanggal 11 Maret 2008 terdapat pembayaran Rp1.000.000.000,00 kenapa BPK Perwakilan DI Yogyakarta dan Penuntut Umum tidak menghitung pembayaran tanggal 28 Pebruari 2008 Rp1.000.000.000,00 tersebuut dan kenapa hanya menghitung untuk tanggal 23 Pebruari 2008 sd tanggal 27 Pebruari 2008 (5 hari) saja, dan kenapa BPK Perwakilan DI Yogyakarta dan Penuntut Umum, tidak menghitung pembayaran tanggal 11 Maret 2008 sebesar Rp1.000.000.000,00 yang hanya untuk tanggal 1 Maret 2008 sd tanggal 10 Maret 2008 (10 hari), kenapa pula kelebihannya tidak juga menjadi bagian dari kerugian negara ?;
d. Bahwa pada tanggal 24 Pebruari 2008 sd tanggal 27 Pebruari 2008 tidak ada pembayaran BOK, padahal menurut keterangan para Saksi dan keterangan Terdakwa, Bus Trans Jogya tetap beroperasi sampai tanggal 29 Pebruari 2008, dengan demikian pada tanggal-tanggal tersebut, operasional 48 bus trans jogja dibiayai dengan dana BOK;
e. Bahwa dari uji petik terhadap kilometer tempuh tanggal 18 Pebruari 2008 sd tanggal 29 Pebruari 2008, didapat rata-rata kilometer, dengan perhitungan 178.018,832 km : 48 bus : 12 hari = 309,060 km/hari, dan apabila km harian tersebut dikalikan dengan jumlah km tempuh bulan Pebruari tersebut, sehingga dengan demikan masih dalam batas kewajaran;
“Berdasarkan hal-hal yang terurai tersebut diatas, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa pembayaran BOK pada tanggal 23 Pebruari 2008 sebesar Rp788.262.200,00 adalah untuk pembayaran operasional bus Trans Jogya dari tanggal 18 Pebruari 2008 sd tanggal 29 Pebruari 2008 dan karena telah dikompensasikan dengan prestasi kerja dari PT JTT, maka keuangan negara pun menjadi tidak dirugikan lagi;
“Kerugian Negara sebesar Rp149.208.534,00, tidak dihitung dan tidak tercantum dalam LHP BPK Perwakilan D.I Yogyakarta No. 07A/LHP/XVIII.YOG/06/2013, tanggal 5 Juni 2013 dan tidak tertuang dalam Surat Dakwaan Penuntut Umum No. Reg. Perk.RPK.SUS 11/04.14/Ft.1/11/12013, tanggal 20 November 20013;
“Bahwa operasional bus Trans Jogya yang menjadi pokok permasalahan tanggal 18 Pebruari 2008 sd tanggal 29 Pebruari 2008 atau setidaknya sampai tanggal 18 Juni 2008, akan tetapi yang dijadikan rujukan adalah Peraturan Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika D.I Yogyakarta No. 188/1647 tanggal 6 Juli 2012, setelah 4 tahun, dokumen ini baru ditemukan dan disampaikan Penuntut Umum di persidangan tanggal 11 Maret 2014;
“Bahwa tanggal 18 Pebruari 2008 awal pengoperasian bus PT JTT, perhitungan kilometer tempuh, menggunakan parameter yang berlaku pada saat itu, yaitu Daftar Rekapitulasi Kalibrasi Perhitungan Kilometer Tempuh, tanggal 4 Pebruari 2008, yang dievaluasi kembali dengan Peraturan Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika D.I Yogyakarta No. 188/1647 tanggal 6 Juli 2012;
“Bahwa dalam Tabel Perhitungan Selisih Kilometer Bus Trans Jogya Jalur A dan B, yang dibuat Penuntut Umum, tidak jelas, perhitungan selisih kilometer dari mana, kenapa pada tanggal yang sama terdapat jumlah bus, misalnya, jalur IB tanggal 18 Pebruari 2008, jumlah bus 8 bus, tetapi jumlah rit lebih kecil, hanya 1, kenapa tanggal yang sama, misalnya tanggal 18 Pebruari 2008, terdapat 3 tahapan yang masing-masing dengan 8 bus, total 24 bus, pada jalur yang sama IA, dengan jumlah rit yang berbeda-beda;
“Bahwa Penuntut Umum dalam menghitung perhitungan kelebihan Selisih Kilometer Bus Trans Jogya Jalur A dan B tersebut tidak menghadirkan ahli transportasi, sehingga keabsahan dalam penghitungan kerugian negarnya pun tidak didukung dengan bukti yang cukup;
“Dengan demikian, (dugaan) kerugian negara sebesar Rp149.208.534,00 tidak relevan dan tidak adil diterapkan pada perkara Terdakwa sekarang ini mengingat hal tersebut tidak didakwakan oleh Penuntut Umum dalam perkara sekarang ini;
“Menimbang bahwa meskipun perbuatan Terdakwa Poerwanto yang dilakukan secara melawan hukum tersebut tidak secara nyata telah merugikan keuangan negara sebagaimana telah dipertimbangkan tersebut di atas, namun berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan sebagai berikut :
1. Bahwa dana yang disetujui DPKAD dengan suratnya No. 05/SPD/2008 dan No. 32/SPD/2008, tanggal 12 Pebruari 2008 sebesar Rp11.936.585.780,00 alokasi dana BOK dengan mekanisme Uang Persediaan (UP) adalah sebagai uang negara/pemerintah, sebagian besar dari dana tersebut untuk Pembiayaan Pengelolaan Sistim Pelayanan Angkutan Orang di Jalan Dengan Kendaraan Umum Wilayah Perkotaan Dengan Sistim Buy The Services Tahun 2008 di D.I Yogyakarta;
2. Bahwa pembayaran BOK dengan mekanisme kas-bon pada tanggal 23 Pebruari 2008 sebesar Rp874.447.392,00 didasarkan pada permintaan kas-bon/bon uang-muka, dimana besaran, waktu dan tempat sangat relatif dan kondisional, demikian pula pembayaran dana BOK, perhitungan kilometer tempuhnya hanya didasarkan pada asumsi atau perkiraan dan bukan didasarkan pada prestasi kerja yang telah dilakukan, padahal di dalam suatu asumsi jelas terdapat keterbatasan dan ketidak-pastian, dan di dalam ketidak-pastian tentulah sangat potensial merugikan keuangan negara;
3. Bahwa pembayaran BOK dengan mekanisme kas-bon pada tanggal 28 Pebruari 2008 sebesar Rp1.000.000.000,00 tanggal 11 Maret 2008 sebesar Rp100.000.000,00 dan sebesar Rp900.000.000,00 untuk pembayaran BOK dengan mekanisme kas-bon Bulan Maret 2008, dan seterusnya tidak didukung dengan kilometer tempuh, karena kilometer tempuh dibuat awal Bulan April 2008, tidak didukung dokumen yang valid, nilai BOK sangat besar, mekanisme demikian, sangat potensial menimbulkan kerugian negara, karena besaran kilometer tempuh dapat dimanipulasi dan diarahkan mendekati besaran BOK yang telah diterima;
4. Bahwa pertanggung-jawaban penggunaan dana BOK yang diterima tanggal 23 Pebruari 2008, sebesar Rp874.447.392, setelah dilakukan perhitungan kilometer tempuh dan dikonversi dengan dana BOK sebesar Rp788.262.200,00 terdapat kelebihan sebesar Rp86.185.193,00, kelebihan sebesar ini tidak segera diselesaikan pada Bulan Pebruari 2008, tetapi diperhitungkan dengan penerimaan dana BOK pada bulan berikutnya, dengan demikian mekanisme pembayaran BOK, dengan permintaan dana BOK dengan kas-bon tanpa dokumen valid, pembayaran kas-bon yang tidak terjadwal, perhitungan dana BOK berdasarkan kilometer tempuh yang disusulkan, dan perhitungan sisa lebih/kurang yang berlanjut pada setiap bulan, sangat potensial menimbulkan kerugian negara;
5. Bahwa kelebihan sebesar Rp.86.185.193,00 setelah diperhitungkan dengan dana BOK dengan kas-bon dan realisasi dana BOK pada Bulan Maret 2008, Bulan April 2008, Bulan Mei 2008 dan Bulan Juni 2008, akhirnya sisa lebih sebesar Rp65.762.372,00 baru tanggal 16 Agustus 2008 dengan kuitansi No. 231, dikembalikan ke Dinas Perhubungan D.I Yogyakarta;
“Maka Majelis Hakim berpendapat bahwa perbuatan Terdakwa yang telah mengajukan permohonan dan menerima dana BOK dengan sistem dan cara-cara tersebut di atas jelas sangat berpotensi menimbulkan kerugian keuangan negara dan bukan terjadi/menimbulkan secara riil kerugian Negara sebesar Rp413.437.743,00 sebagaimana disebutkan dalam dakwaan dan tuntutan pidana Penuntut Umum;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, maka Terdakwa telah terbukti melakukan perbuatan yang berpotensi dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
“Menimbang, bahwa berdasarkan hal-hal sebagaimana diuraikan di atas, maka unsur melakukan perbuatan yang berpotensi dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, telah terpenuhi;
“Mengingat Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan perkara ini;
M E N G A D I L I
1. Menyatakan Terdakwa POERWANTO JOHAN RIYADI tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “KORUPSI YANG DILAKUKAN SECARA BERSAMA-SAMA SEBAGAI PERBUATAN BERLANJUT” sebagaimana yang didakwakan dalam dakwaan alternatif Pertama Primair;
2. Membebaskan Terdakwa oleh karena itu dari dakwaan alternatif Pertama Primair tersebut;
3. Menyatakan Terdakwa POERWANTO JOHAN RIYADI telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “KORUPSI YANG DILAKUKAN SECARA BERSAMA-SAMA SEBAGAI PERBUATAN BERLANJUT” sebagaimana yang didakwakan dalam dakwaan alternatif Pertama subsidair;
4.Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara yaitu selama 1 (satu) tahun 10 (sepuluh) bulan dan denda sebesar Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan;
5.Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
6.Memerintahkan Terdakwa tetap ditahan.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.