BUMN/D yang Memfasilitasi Praktik Monopoli Swasta

LEGAL OPINION
Question: Kami dari salah satu penyedia jasa layanan angkutan penumpang, merasa adanya diskriminasi dari pihak pengelola bandara, dalam hal ini notabene BUMN Persero. Kami dikatakan taksi plat hitam, jadi tak boleh beroperasi menaikkan penumpang di bandara oleh pihak otoritas bandara. Anehnya, ada sebuah perusahaan taksi konvensional kompetitor kami, yang selama ini boleh menaikkan dan menurunkan penumpang serta menerima order pesanan di bandara, secara terang-terangan, meski kendaraan roda empat mereka berplat nomor hitam dengan jenis mobil lux milik mereka. Apa mungkin, BUMN PT Persero tersebut kami laporkan telah melakukan diskriminasi terhadap kami karena telah menciptakan aksi monopoli usaha?
Brief Answer: Persaingan usaha yang sehat selalu berlandaskan merit sistem, sehingga badan usaha milik negara/daerah (BUMN/D) tidak dibenarkan memberi fasilitas praktik monopoli usaha kepada suatu pihak swasta tertentu. Namun perlu diluruskan, bahwa yang dibenarkan secara falsafah untuk praktik monopoli, ialah sebatas fungsi regulatori otoritas pemerintahan—sementara entitas bisnis milik pemerintah tunduk pada asas kompetisi yang fair, terbuka, dan persaingan secara sehat dengan kompetitor entitas bisnis swasta—mengingat berbagai kinerja badan usaha milik pemerintah tidak bersifat profesional bila diberikan kewenangan monopolistik usaha yang pada gilirannya akan merugikan konsumen.
PEMBAHASAN:
Pasal 19 huruf (d) UU No. 5 Tahun 1999 telah mengatur secara tegas:
“Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat, berupa: melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.”
Siapa yang dimaksud dengan “Pelaku Usaha” sebagaimana dimaksud dalam pasal diatas? Apakah hanya sebatas sipil? Entitas BUMN, meski merupakan entitas bisnis yang bersumber dari kekayaan negara yang dipisahkan atau tidak dipisahkan dari keuangan negara, termasuk dalam kategori “Pelaku Usaha”, sebab Undang-Undang tentang Persaingan Usaha manganut pemaknaan secara meluas.
Sementara dalam Putusan KPPU Perkara Nomor 07/KPPU-L/2004 tentang Perkara Divestasi Very Large Crude Carrier (VLCC) yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, yang dimaksud dengan praktek diskriminasi adalah tindakan, sikap, dan perlakuan yang berbeda terhadap pelaku usaha untuk mendapatkan kesempatan yang sama. Dengan demikian praktek diskriminasi tidak selalu berarti tindakan, sikap, dan perlakuan yang berbeda, tetapi juga berupa tindakan, sikap, dan perlakuan yang seharusnya.
Ilustrasi yang cukup menarik berikut dapat memberi cerminan, yakni putusan sengketa perdata khusus KPPU tingkat kasasi register Nomor No. 141 K/Pdt.Sus/2011 tanggal 23 Maret 2011, perkara antara:
- KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA (KPPU) RI, sebagai Pemohon Kasasi, dahulu Termohon Keberatan; melawan
- PT. ANGKASA PURA I (persero) CABANG BANDARA INTERNASIONAL SULTAN HASANUDDIN MAKASSAR, sebagai Termohon Kasasi, dahulu Pemohon Keberatan.
Pemohon keberatan atas putusan Termohon yang menyatakan PT. Angkasa Pura I (persero) Cabang Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 19 huruf (a) Undang-undang No. 5 Tahun 1999, yaitu menolak dan/atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan.
Pemohon merasa tidak pernah melakukan upaya untuk menolak ataupun menghalangi pelaku usaha taksi tertentu untuk melakukan kegiatan usaha di Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar. Pemohon justru mendorong pengusaha/operator taksi yang ada di sekitar wilayah Pemohon untuk turut serta dalam kegiatan penunjang operasional bandara.
Upaya Pemohon untuk membuka kesempatan pihak operator taksi lain berusaha di bidang transportasi bandara tidak berlangsung sesuai harapan Pemohon oleh karena keterbatasan Pemohon yang hanya mempunyai kewenangan dalam pengelolaan bandara, tidak mempunyai kewenangan untuk menerbitkan ijin operasional bagi operator taksi yang akan berusaha di bandara, mengingat instansi yang berwenang untuk menerbitkan ijin operasi bagi operator taksi bandara adalah Gubernur yang dalam pelaksanaannya dilimpahkan kepada Dinas Perhubungan Provinsi.
Disamping itu, Pemohon juga berkeberatan atas putusan Termohon yang menyatakan Pemohon terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 19 huruf (d) Undang-undang No. 5 Tahun 1999, yaitu melakukan diskriminasi terhadap Pelaku Usaha tertentu, dimana KPPU membuat pertimbangan hukum dalam putusannya sebagai berikut:
“Bahwa Majelis Komisi menilai perlakuan diskriminatif terlapor justru terjadi saat terlapor memberikan kesempatan berusaha … hanya kepada 3 (tiga) dari 8 (delapan) operator angkutan taksi yang telah memiliki ijin operasi dari Dinas Perhubungan Sulawesi Selatan;
“Bahwa dengan demikian, Majelis Komisi menyimpulkan kebijakan terlapor yang memberikan kesempatan berusaha di bandara Internasional Sultan Hassuddin Makassar hanya kepada 3 (tiga) dari 8 (delapan) operator angkutan taksi yang sudah mendapatkan ijin operasi dari Dinas Perhubungan Provinsi Sulawesi Selatan adalah sebagai bentuk diskriminasi Terlapor;
“Bahwa tindakan diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu dilakukan Terlapor dengan cara membatasi peredaran unit taksi operator taksi sedangkan bagi operator taksi Kopsidara tidak dibatasi;
“Bahwa Bagi operator taksi … dibatasi masing-masing sebanyak 10 (sepuluh) unit, sedangkan bagi operator taksi kopsidara tidak dibatasi;
“Bahwa dengan demikian unsur Melakukan Praktek Diskriminasi Terhadap Pelaku Usaha Tertentu terpenuhi.”
Pemohon keberatan atas putusan Termohon yang menjatuhkan denda sebesar Rp 1.000.000.000,- dengan alasan, denda tersebut seharusnya dijatuhkan sebagai hukuman apabila pelaku usaha tidak mau melaksanakan putusan akibat melanggar ketentuan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999.
Terhadap keberatan Pemohon, Pengadilan Negeri Makassar kemudian menjatuhkan putusan, yaitu putusan Nomor 01/Pdt.KPPU/2010/PN.Mks tanggal 26 Juli 2010, dengan pertimbangan hukum serta amar putusan berbunyi sebagai berikut:
“Bahwa Majelis Komisi memahami tindakan pembatasan tersebut sebagai upaya pengaturan secara bertahap guna menyeimbangkan antara kebutuhan konsumen keberadaan taxi umum serta kemampuan dan kapasitas Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar;
“Bahwa Majelis Komisi menilai tindakan pembatasan tersebut sebagai tindakan dalam rangka pengaturan pengelolaan jasa taxi guna menjaga keseimbangan antara suply dan demand;
“Bahwa dengan demikian Majelis Komisi menilai tindakan pembatasan tersebut masih dapat dibenarkan untuk saat ini;
MENGADILI :
1. Mengabulkan permohonan keberatan Pemohon keberatan PT. Angkasa Pura I (persero) cabang Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar;
2. Menyatakan batal putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) No. 18/KPPU-I/2009 tanggal 8 Maret 2010;
3. Menyatakan permohonan keberatan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 19 huruf (a) dan Pasal 19 huruf (d) Undang Undang No. 5 Tahun 1999.”
KPPU mengajukan upaya hukum kasasi, dengan mendalilkan fakta hukum, tindakan diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu dilakukan Terlapor dengan cara membatasi peredaran unit taksi operator taksi PT. Bosowa Utama, PT. Putra Transport Nusantara, Primkopau Lanud Hasanuddin, dan CV. Anugerah Karya, sedangkan bagi operator taksi Kopsidara tidak dibatasi.
Bagi operator taksi PT. Bosowa Utama, PT. Putra Transport Nusantara, Primkopau Lanud Hasanuddin, dan CV. Anugerah Karya dibatasi masing-masing sebanyak 10 unit, sedangkan bagi operator taksi Kopsidara karena tidak dibatasi, maka Kopsidara tetap dapat mengoperasikan 185 unit taksi yang sudah ada.
Terhadap argumentasi yang diajukan KPPU, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan kasasi dari Pemohon Kasasi dapat dibenarkan oleh karena Judex Facti Pengadilan Negeri Makassar yang membatalkan putusan Pemohon Kasasi/KPPU tidak tepat dan tidak benar karena salah dalam menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa 2 (dua) dari 7 (tujuh) operator yang mendapat ijin beroperasi yaitu dari Primkopau dan CV. Anugrah Termohon Kasasi ternyata belum mendapat ijin beroperasi dari Dinas Perhubungan Provinsi Sulawesi Selatan, padahal menurut ketentuan vide Pasal 64 ayat (1) jo. Pasal 76 ayat (1) Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 35 Tahun 2003, bahwa angkutan taksi bandara dapat beroperasi bila telah mendapat ijin operasi Dinas Perhubungan;
“Bahwa disisi lain operator-operator taksi lainnya yaitu PT. Lima Muda Nusantara dan kawan-kawan yang telah memiliki ijin operasi dari Dinas Perhubungan Provinsi Sulawesi Selatan justru tidak memperoleh ijin jasa layanan taksi dari Termohon Kasasi sehingga terbukti adanya diskriminasi;
“Bahwa Berdasarkan fakta hukum PT. Angkasa Pura (persero) cabang Bandara Internasional Hasanuddin salah menerapkan kebijakan menghalangi pelaku usaha untuk melakukan kegiatan usaha, selain hanya beberapa operator taksi yang dijinkan sehingga menimbulkan diskriminasi dan monopoli (melanggar Pasal 19 huruf a dan Pasal 19 huruf d Undang-Undang No. 5 Tahun 1999;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, dengan tidak perlu mempertimbangkan alasan kasasi lainnya, menurut pendapat Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA REPUBLIK INDONESIA dan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Makassar No. 01/pdt.KPPU/2010/PN.Mks tanggal 26 Juli 2010 serta Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara ini dengan amar putusan sebagaimana yang akan disebutkan dibawah ini;
M E N G A D I L I
“Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA (KPPU) RI tersebut;
“Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Makassar No. 01/Pdt.KPPU/ 2010/PN.Mks tanggal 26 Juli 2010;
MENGADILI SENDIRI :
1. Menyatakan PT. Angkasa Pura I (Persero) Cabang Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar tidak terbukti melanggar Pasal 17 Undang Undang No. 5 Tahun 1999;
2. Menyatakan PT. Angkasa Pura I (Persero) Cabang Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 19 huruf (a) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999;
3. Menyatakan PT. Angkasa Pura I (Persero) Cabang Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar tidak terbukti melanggar Pasal 19 huruf (c) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999;
4. Menyatakan PT. Angkasa Pura I (Persero) Cabang Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 19 huruf (d) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999;
5. Memerintahkan PT. Angkasa Pura I (Persero) Cabang Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar membuka kesempatan bagi operator taksi yang telah memiliki Ijin Operasi dari Dinas Perhubungan Provinsi Sulawesi Selatan untuk mendapatkan ijin berusaha sebagai penyedia layanan jasa taksi di lingkungan Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar;
6. Menghukum PT. Angkasa Pura I (Persero) Cabang Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar membayar denda sebesar Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) yang harus disetor ke kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran dibidang persaingan usaha Sekretariat Jenderal Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui Bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (pendapatan denda pelanggaran dibidang Persaingan Usaha).”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.