Antara Nasionalisme Vs. Kebutuhan Hidup

ARTIKEL HUKUM
Cintai produk Indonesia, produk dalam negeri, buatan anak bangsa, dan slogan-slogan sejenis kerap kita dengar, dengungkan, namun terbukti ampuh sebagai penyedap telinga semata.
Dalam artikel ini, penulis mencoba mempostulasikan, bahwasannya kebutuhan dasar hidup masyarakat yang bila telah dipenuhi / difasilitasi oleh negara, maka barulah bangsanya akan memikirkan perihal nasionalisme. Ketika perut memekik lapar, nasionalisme akan ditanggalkan. Ini merupakan hukum alamiah kehidupan. Dan memang tidak ada yang salah mengenai hal itu. Bahkan seekor hewan pun akan mencari majikan lain ketika ditelantarkan.
Abraham Maslow menyebutkan akan teorinya mengenai kebutuhan, bahwasannya orang yang kelaparan sejatinya tidak akan berpikir perihal aktualisasi diri (self actualization) ataupun pengejawantahan diri (self esteem). Ketika kebutuhan dasarnya akan sandang dan pangan, barulah terpikrkan olehnya perihal rasa aman yang berlanjut pada tahap pencarian “papan” alias rumah tinggal yang nyaman. Mengapa Hillary Clinton kalah menghadapi Donald Trump dalam pertarungan merebut bangku Presiden AS? Karena Partai Demokrat peninggalan rezim Obama, tidak memberi kesan yang baik bagi para pencari kerja yang kelaparan. Seburuk apapun calonnya, selama ia memberi harapan akan bebas dari rasa takut akan kelaparan, ia akan menang. Hal ini amat rasional.
Ketika sandang, pangan, dan papan terpenuhi, barulah perihal ekspresi diri yang akan mulai disentuh oleh seorang individu, bergerak kemudian pada perihal cinta, perihal berkarya, perihal seni, perihal kemewahan, perihal kekuasaan, dan perihal derma dan welas asih.
Memang tak selalu linear demikian, dapat pula dijumpai contoh kasus orang-orang yang hidup berkekurangan, namun penuh oleh welas asih bahkan masih mampu berderma meski hidup dalam kekurangan. Namun rata-rata demikianlah tabiat manusia yang dikenal dahulu kala, kini, dan dimasa yang akan datang.
Sebuah berita menyebutkan, 90 % produk yang terserap oleh pasar di Indonesia yang dikenal tinggi konsumerismenya di mata pelaku usaha global, adalah produk impor. Dari 90 % produk importasi tersebut yang kita konsumsi setiap hari, 80 % berasal dari China.
Apakah artinya kita bergantung dan menjadi menghamba pada China? Fakta ini saja sudah merupakan bukti konkret betapa Indonesia tidak berdaulat secara ekonomi—kita baru masuk pada pembicaraan perihal ekonomi. Nasionalisme dalam konteks ekonomi, jelas dan terang bangsa Indonesia demikian mengandalkan dan bergantung pada China.
Ketika terjadi ajang pemilu presiden di Amerika Serikat, yang selalu didengung-dengungkan oleh pers Indonesia ialah: apa dampaknya bagi ekonomi Indonesia? Seakan hendak mengatakan, tanpa dukungan Amerika Serikat maka runtuhlah sudah Indonesia. Dimana konsep berdikari yang digaungkan para pendiri bangsa? Apakah sudah tergadaikan demi pola hidup hedonis yang sejatinya telah tercerabut dari budaya hidup bersahaja kultur awal masyarakat Indonesia sebelum menjelma budaya urban yang glamor. Disini kita sudah memasuki perihal nasionalisme dalam konteks geopolitik.
Bukan hanya perihal produk, pasaran tenaga kerja pun demikian. Kurang apa dengan sayur dan buah-buahan lokal ketimbang produk holtikultura impor? Faktanya terbalik.
Begitupula masyarakat kita sendiri selalu menjelma tidak percaya diri ketika kita berhadapan dengan ekspatriat berambut pirang. Tak terkecuali pemberi kerja, akan lebih memilih untuk mempekerjakan si pirang meski belum tentu unggul dari segi otak dengan anak lokal. Orang asing yang bekerja di Indonesia sejatinya adalah orang-orang kelas dua “buangan” yang tak terpakai alias tersingkir dari negara asalnya, namun anehnya, terpakai dan selalu terserap habis di bursa tenaga kerja Indonesia.
Mengapa kita tidak berbicara perihal nasionalisme Indonesia bangsa Indonesia? Idealnya demikian, namun sekali lagi, kita bicara perihal perut yang tidak diperhatikan oleh otoritas pemerintah Indonesia. Adalah wajar loyalitas beralih pada pihak yang bisa menjamin kelangsungan hidup seorang pribadi manusia, sebagaimana seorang pekerja adalah wajar berpindah kerja ketika pemberi kerja tidak memerhatikan kesejahteraan hidup karyawannya, terlebih bila potensinya tidak tersalurkan.
Mengapa rasa bangga para warga negara dari negara-negara makmur akan nasionalisme terhadap bangsanya demikian tinggi? Jawabanya amat sederhana, mengapa terdapat migrasi besar-besaran penduduk suatu negara yang dilanda perang tak berkesudahan? Karena negaranya tak menawarkan suatu bentuk kehidupan ataupun kelangsungan bagi hidupnya.
Sebaliknya pula, ketika seseorang telah mamasuki fase self actualization, karena kebutuhan dasarnya telah terpenuhi dengan baik, namun karya dan keterampilannya tak dihargai dan tak diakomodasi oleh negaranya sendiri, maka besar kemungkinan warga negara ini akan hijrah menjadi warga negara penetap di negara lain yang akan lebih menghargai talentanya—konteks nasionalisme sumber daya manusia.
Otoritas negara yang baik mencermati dengan baik tipikal-tipikal psikologi kepribadian paling mendasar ini dari warga negaranya.
Apakah hal ini baik tetap berlangsung demikian, dengan menutup mata akan fakta tersebut, dan dibiarkan berjalan apa adanya seperti selama ini berlangsung selama puluhan tahun?
Menjadi konsumen (pasar) garaban negara asing, menjadi bergantung pada negara asing, bahkan orang-orang bertalenta dalam negeri (anak bangsa) bergantung pada negara asing agar bakat dan potensinya dapat disalurkan dan diakomodasi, memekik girang ketika mendapat tawaran beasiswa di negara-negara luar karena Perguruan Tinggi Negeri lokal justru demikian materialistis dan tidak kondusif.
Telah begitu parahnya bangsa Indonesia ditelantarkan dan diabaikan oleh penguasa yang lebih sibuk “berpolitik praktis”. Masalah laten seperti fakta-fakta tersebut diatas ditutupi, dengan membuat berbagai hingar-bingar politik demi mengalihkan isu ini dari pandangan warga negaranya, dinina-bobokan oleh berbagai citra politik, pembodohan secara massal.
Bukan hanya produk asing yang menguasai pangsa pasar Indonesia, pemerintah Republik Indonesia saat ini pun membuka pintu negara yang sudah berlubang-lubang ini agar digarap oleh korporasi-korporasi asing guna menghisap kekayaan sumber daya alam dan ekonomi serta sumber daya manusia Indonesia.
Baik produk, jasa, fasilitas, pembiayaan, praktis semua dikuasai asing. Bahkan hingga ranah ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, semuanya disapu-bersih oleh pihak-pihak asing. Indonesia betul-betul pasar yang potensial dan menggiurkan mereka. Bangsa Indonesia menjadi boneka hidup di tanah airnya sendiri, dimana semua di-“setir” oleh mereka yang berada di latar belakang jauh di sana—yakni pihak-pihak asing itu sendiri.
Apa artinya kita harus menghentikan dan menutup keran impor produk, keuangan, modal, tenaga asing, dan segala berbau asing?
Jawabanya ialah pertanyaan berikut: mengapa China dapat menjual murah produknya di Indonesia? Mengapa biaya ongkos kirim dari China ke Indonesia lebih murah (sangat amat jauh lebih murah) ketimbang ongkos trasnportasi cargo antar provinsi lokal dalam negeri itu sendiri?
Karena pemerintah di China betul-betul serius dan mau memerhatikan para pelaku usaha di negeri mereka. Indonesia, para penyusun kebijakan dan para pemegang kekuasaan selama ini telah membohongi warga negaranya lewat citra-citra sibuk memikirkan nasib bangsa, memerhatikan dan pro terhadap pelaku usaha lokal, namun senyatanya ditelantarkan bahkan diabaikan. Mereka lebih sibuk membangun citra pemerintahan yang baik ketimbang merealisasinya secara konkret.
Indonesia memiliki sumber daya alam serta sumber daya manusia yang tak kalah dengan China, maupun negara-negara ASEAN lainnya. Yang membedakan hanyalah para pemegang kekuasaan otoritas negara, serta sifat para penduduk lokal bangsanya itu sendiri. Adalah sukar menjadi pemimpin bangsa bermental pencuri, penipu, ekspoitatif, dan tidak bertanggung-jawab—inilah etos-etos perilaku khas warga Indonesia yang kerap penulis jumpai di negeri yang “katanya” bersahaja, gotong royong, ramah, jujur, mulia, dan agamais ini.
Menjadi pertanyaan menarik berikutnya: mana yang lebih dahulu harus ditumbuhkan, nasionalisme yang menggerakkan kepedulian terhadap nasib bangsa sementara perut kelaparan, ataukah pemerintah harus mulai mengambil langkah konkret kepedulian terhadap nasib bangsa untuk kemudian dapat menumbuhkan semangat nasionalisme warga negaranya?
Ketika sebuah negara yang memiliki keunggulan akan sumber daya alamnya yang melimbah baik agraris maupun bahari, ditambah potensi otak anak bangsa yang cemerlang, semestinya adalah mustahil terjadi kelapangan laten penduduknya. Apalagi menjadi bangsa kelas dua.
Ketika keganjilan demikian terjadi, maka kita patut bertanya, dan patut pula mewaspadai, bahwa adanya sesuatu yang salah di Republik yang sudah merdeka hampir satu abad ini.
Kita pun tak boleh lupa, faktor kebutuhan ekonomi menjadi salah satu faktor pendorong terbesar lahirnya bibit-bibit disintegrasi/perpecahan suatu negara. Ketika kondisi ini terus dibiarkan, hanya tinggal menunggu waktu terjadinya ajang pemberontakan, pemisahan diri, hingga pengkhianatan anak bangsa terhadap anak bangsa.
Ter*risme, disamping fakta adanya peran ideologi kebencian, sedikit banyak diwarnai faktor ekonomi yang menumbuhkembangkan paham-paham teror demikian. Selama faktor penyebabnya tak diatasi, teror-teror demikian akan terus “mati satu tumbuh seribu”, sehebat apapun anggota Densus 88 kita diperlengkapi persenjataan dan keahlian khusus. Sehebat apapun POLRI dan TNI kita, takkan mampu menghadapi pemberontakan warga negara yang kelaparan.
Kita tak dapat menyalahkan pihak-pihak yang merasa terdesak untuk mengambil langkah konkret ketika otoritas negara tidak kunjung mengambil langkah konkret secara segera. Konkret artinya langkah nyata, bukan wacana yang didiskusikan di ruang publik yang tiada habis-habisnya.
Kesenjangan melahirkan kecemburuan sosial, kolusi dan nepotisme menumbuhkembangkan rasa tidak memiliki anak bangsa akan tanah airnya sendiri, korupsi menciptakan sasaran empuk rusaknya wibawa negara di mata publik, kemunafikan menyuburkan bibit-bibit baru generasi bangsa yang bengkok dan terbonsai. Rasa lapar di perut menjadikan urusan perihal nasib negara menjadi urutan prioritas terakhir.
Yang terburuk dari segala keburukan tersebut, mencuri dan merusak bukan karena lapar, namun karena tamak, karena aji mumpung berkuasa, karena hobi semata, karena sifat destruktif pribadinya sendiri, karena sikap tidak tahu aturan pelakunya sendiri, sebuah birahi egoisme yang tidak terbendung akibat suri teladan yang dipertontonkan secara vulgar oleh para pemangku kekuasaan, oleh para pendidik, oleh para pemuka agama, oleh para tetua di tengah masyarakat itu sendiri. Sebuah negeri yang subur dan elok, namun menjelma rusak hingga ke akar-akarnya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.