Target Kerja Tidak Tercapai, Bukan Alasan untuk Memutus Hubungan Kerja Karyawan

LEGAL OPINION
Question: Apa dapat dibenarkan, perusahaan memecat pegawainya hanya karena alasan tidak memenuhi target yang telah ditentukan oleh perusahaan? Kinerja sebaik apapun bila target yang ditentukan perusahaan tidak proporsional dan juga tidak rasional, berarti pengusaha bisa seenaknya mem-PHK karyawannya. Jika nasi sudah jadi bubur, apa hak-hak yang dapat dituntut oleh pihak karyawan terhadap pengusaha yang seperti demikian? Rasanya, apa yang disebut sebagai target kerja adalah hal yang sangat subjektif, terlebih ditentukan sepihak oleh perusahaan.
Brief Answer: Tidak mencapai target kerja tidak dapat dikategorikan sebagai sebentuk pelanggaran dan oleh karena itu pula tidak dapat dijadikan dasar untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Konsekuensi PHK terhadap buruh / pekerja tanpa adanya kesalahan dari pihak buruh / pekerja, mewajibkan pengusaha memberi kompensasi 2 (dua) kali ketentuan pesangon karena dikualifikasi sebagai efisiensi.
PEMBAHASAN:
Hal serupa dapat dijumpai dalam putusan Pengadilan Hubungan Industrial sengketa PHK register perkara Nomor 20/PDT.SUS-PHI/2016/PN.BDG tanggal 4 Mei 2016, antara:
- SUKMA LESMANA, sebagai Penggugat; melawan
- PT. KALIMAS MULTILINDO, selaku Tergugat.
Tergugat memecat Penggugat dengan alasan kinerja Penggugat yang menurun sehingga merugikan perusahaan. Tergugat juga mendalilkan, mediasi sengketa hubungan industrial yang difasilitasi oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Pemerintah Kabupaten Bogor tidak melalui proses perundingan Bipartit, dimana seharusnya didahului perundingan bipartit sebagai “proses imperatif” sebelum memasuki perundingan Tripartit.
Penggugat dalam gugatannya melampirkan surat anjuran Mediator Disnaker Kabupaten Bogor, yang pada pokoknya menyatakan telah terjadi pemutusan hubungan kerja tidak sah terhadap Penggugat, maka Tergugat dianjurkan untuk membayar uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak kepada Penggugat, sehingga Majelis Hakim kemudian menilai bahwa Penggugat berhak mengajukan gugatan ke hadapan PHI meski tidak didahului perundingan Bipartit.
Permasalahan bermula ketika Penggugat bekerja pada Tergugat dimana Tergugat menjalin kerja sama dengan PT. XL Axiata sebagai Distributor Produk kemudian Tergugat menunjuk Penggugat sebagai Branch Manager. Pada tahun 2015 Tergugat bertemu dengan Penggugat untuk membicarakan kinerja Penggugat yang makin menurun setelah 9 tahun bekerja dan tidak menunjukkan perbaikan prestasi.
Akibat dari kinerja Penggugat yang tidak kunjung membaik, berdampak pada pemberian Surat Peringatan I (SP), SP II, dan SP III dari PT. XL Axiata, dan berakibat pada tanggal 31 Juli 2015 PT. XL Axiata membuat surat pengakhiran perjanjian kerjasama dengan Tergugat (PT. Kalimas Multilindo). Terhadap gugatan Penggugat, Majelis Hakim membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa dalam hal Tergugat menganggap Penggugat melakukan kesalahan atau kinerjanya yang menurun maka Tergugat seharusnya memberikan teguran surat peringatan I, II dan III terlebih dahulu sebagai upaya pembinaan bukan dengan cara langsung memutuskan hubungan kerjanya;
“Menimbang, bahwa sebagaimana keterangan saksi Geger Santosa menjelaskan Tergugat melakukan pemutusan hubungan kerja besar-besaran setelah pemutusan hubungan kerjasama dengan PT. XL Axiata Tbk dan saksi tidak tahu apakah Tergugat mengalami kerugian dan saksi tidak mengetahui alasan Tergugat memutuskan hubungan kerja dengan Penggugat;
“Menimbang, bahwa demikian pula keterangan saksi Rere Ramayanti menjelaskan bahwa jabatan Penggugat sebagai Branch Manager dengan tugas pekerjaan bertanggung jawab terhadap operasional perusahaan dan setiap pekerjaan yang dilakukan Penggugat dilaporkan ke Direktur yaitu ibu Lily, sebagai Direktur ikut pula bertanggung jawab atas kerugian perusahaan;
“Menimbang, bahwa prosedur pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud pasal 151 ayat (3) Jo. Pasal 155 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menentukan bahwa pengusaha hanya dapat melakukan pemutusan hubungan kerja setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, oleh karena tanpa penetapan tersebut maka pemutusan hubungan kerja yang dilakukan batal demi hukum, oleh karena dalam pemeriksaan perkara ini Tergugat tidak dapat membuktikan bahwa pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan surat No. 01/PT.Kalimas Mulitilindo/PHK/V/2015 tanggal 01 Mei 2015 tersebut telah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, maka cukup beralasan bagi Majelis Hakim untuk menyatakan bahwa pemutusan hubungan kerja tersebut batal demi hukum;
“Menimbang, bahwa walaupun Penggugat dapat menerima PHK yang dilakukan oleh Tergugat sepanjang dipenuhi pembayaran hak-hak normatifnya, namun PHK dalam perkara ini bukan karena sebab pengunduran diri dan tidak ada kesepakatan untuk melaksanakan PHK, hak normatif Penggugat yang timbul karena PHK tidak dipenuhi oleh Tergugat lalu kemudian menjadi perselisihan, maka menurut Majelis Hakim telah terbukti PHK yang dilakukan oleh Tergugat tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
“Menimbang, bahwa walaupun terhadap pemutusan hubungan kerja tersebut telah dipertimbangkan dan dinyatakan batal demi hukum, namun Penggugat sebagaimana maksud gugatannya telah mengajukan tuntutan pembayaran uang pesangon, uang penghargaan masa kerja serta uang penggantian hak, dari tuntutan tersebut dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya Penggugat dapat menerima tindakan pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh Tergugat sepanjang dipenuhinya hak-hak Penggugat berkaitan dengan akibat hukum dari dilakukannya pemutusan hubungan kerja, sedangkan untuk memeriksa dan mempertimbangkan gugatan Penggugat mengenai tuntutan pembayaran uang pesangon, uang penghargaan masa kerja serta uang penggantian hak hanya dapat dilakukan jika telah ada kepastian hukum mengenai kapan terjadinya pemutusan hubungan kerja, maka untuk memberikan kepastian hukum terhadap sejak kapan berakhirnya hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa terhadap hal tersebut dalam amar putusan perkara ini harus dinyatakan demi hukum hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat telah putus terhitung sejak tanggal dibacakannya putusan dalam perkara ini;
“Menimbang, bahwa pemutusan hubungan kerja dalam perkara ini oleh Tergugat dilakukan karena Penggugat tidak dapat memenuhi target kerja dan tidak pula diberikan surat peringatan kepada Penggugat, namun dalam pemeriksaan perkara ini Tergugat tidak dapat membuktikan adanya peraturan perusahaan, sehingga menurut Majelis Hakim walaupun seandainya benar adanya bahwa Penggugat dalam melaksanakan pekerjaan sebagai Branch Manager tidak mencapai target kerja maka hal tersebut bukan merupakan bentuk pelanggaran dan oleh karena itu tidak dapat dijadikan dasar untuk melakukan pemutusan hubungan kerja atau dengan kata lain pemutusan hubungan kerja dilakukan bukan atas dasar kesalahan Penggugat;
“Menimbang, bahwa berdasarkan Undang-undang No. 13 tahun 2003 perhitungan uang pesangon jika terjadi pemutusan hubungan kerja adalah paling sedikit 1 (satu) kali sebagaimana maksud Pasal 156 ayat (2), perhitungan ini sama dengan yang dimaksud Pasal 161 ayat (3) yaitu sebesar 1 (satu) kali walaupun jika pekerja/buruh terbukti telah melakukan pelanggaran peraturan perusahaan, oleh karena dalam perkara ini pemutusan hubungan kerja terjadi bukan atas dasar kesalahan Penggugat maka menurut Majelis Hakim Penggugat berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) serta uang penggantian hak dan cukup beralasan bagi Majelis Hakim untuk mengabulkan gugatan Penggugat pada petitum angka 3 (tiga) yaitu Menghukum Tergugat (PT. KALIMAS MULTILINDO) untuk membayar uang pesangon maupun hak-hak lainnya kepada Penggugat yang besarnya 2 kali ketentuan pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 kali ketentuan pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak cuti sesuai dengan ketentuan Pasal 156 ayat (4) Undang - Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 155 ayat (2) Undang-undang No.13 tahun 2003, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya selama putusan lembaga perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, pemutusan hubungan kerja dalam perkara ini terjadi secara sepihak sejak tanggal 1 Mei 2015 yang berarti bahwa Penggugat tidak dapat melaksanakan kewajibannya karena sebab kesalahan Tergugat, oleh karena itu berdasarkan ketentuan Pasal 93 ayat (2) huruf f. UU No.13 tahun 2003 Tergugat wajib membayar upah Penggugat sejak tanggal 1 Mei 2015 sampai dengan dibacakannya putusan dalam perkara ini, namun dalam gugatannya Penggugat hanya meminta sejak bulan Juni 2015 s/d bulan Desember 2015 atau selama 7 (tujuh) bulan saja, maka terhadap tuntutan Penggugat untuk menghukum Tergugat membayar upah Penggugat yang belum dibayarkan dapat dikabulkan, menjadi : Menghukum Tergugat (PT. KALIMAS MULTILINDO) untuk membayar upah yang belum dibayar kepada Penggugat sejak bulan Mei 2015 s/d Desember 2015;
MENGADILI :
“DALAM POKOK PERKARA
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian.
2. Menghukum Tergugat untuk membayar secara tunai kepada Penggugat : uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), uang penggantian hak Pasal 156 ayat (4) Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dengan perhitungan sebagai berikut :
I. Uang pesangon: Rp. 10.000.000,- x 9 bulan upah x 2 = Rp. 180.000.000,-
II. Uang penghargaan masa kerja: Rp. 10.000.000,- x 3 bulan upah = Rp. 30.000.000,- +
Sub Total = Rp. 210.000.000,-
III. Penggantian Hak
- Cuti tahunan 12/25 x Rp. 10.000.000,- = Rp. 4.800.000,-
- Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan : 15% x Rp. 210.000.000,- = Rp. 31.500.000,- +
Sub Total = Rp. 36.300.000,-
Jumlah total yang harus diterima = Rp. 246.300.000,- (dua ratus empat puluh enam juta tiga ratus ribu rupiah)
3. Menghukum Tergugat untuk membayar upah yang belum dibayar kepada Penggugat sejak bulan Juni 2015 s/d Desember 2015 dengan princian sebagai berikut :
Upah Pokok Terakhir : Rp. 10.000.000,-
Upah yang belum dibayar dari bulan Juni 2015 s/d Desember 2015 = 7 (tujuh) bulan x Rp. 10.000.000,- = Rp. 70.000.000,-.
4. Menghukum Tergugat membayar uang Tunjangan Hari Raya tahun 2015 sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).
5. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.