Tanah Ex-HGB adalah SHM secara Quasi Yuridis

LEGAL OPINION
Question: Katanya bila SHGB (Sertifikat Hak Guna Bangunan) sudah habis masa berlakunya, tanpa diperpanjang ataupun diperbaharui haknya, maka tanah jatuh ke dalam kekuasaan negara. Benarkah demikian? Bagaimana praktiknya di peradilan dan kecondongan pandangan hakim mengenai tanah eks-HGB?
Brief Answer: Secara aturan undang-undang demikian. Namun anehnya hukum agraria nasional Indonesia, satu sisi dinyatakan demi hukum menjadi tanah yang dikuasai oleh negara bila suatu HGB ataupun HGU habis masa berlakunya. Namun di sisi lain, terdapat regulasi yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), mengatur bahwa pemohon hak atas tanah harus menguasai fisik objek tanah sebelum mengajukan permohonan—yang artinya bila pemegang eks-SHGB tetap menguasai fisik tanah, maka tiada pemohon yang dapat diberikan hak atas tanah diatas eks-SHGB tersebut.
Keanehan kedua, regulasi yang berlaku di BPN mensyaratkan adanya “alas hak” dari bekas pemegang eks-SHGB, sehingga bila tiada akta pelepasan/hibah/jual-beli dari pemegang eks-HGB, maka tiada hak atas tanah yang dapat diterbitkan diatas eks-HGB tersebut.
Itulah sebabnya SHIETRA & PARTNERS menyatakan secara eksplisit, bahwa BPN itu sendiri yang tidak konsisten terhadap Undang-Undang tentang Pokok Agraria. Sehingga yang kemudian terjadi, eks-SHGB di Indonesia praktis menjelma dan diperlakukan sama seperti SHM (sertifikat hak milik) secara politis.
Bila BPN selaku regulator bidang pertanahan rancu dalam menyusun regulasi pertanahan nasional, maka sebagai konsekuensi logisnya praktik peradilan pun turut menjadi rancu dan absurb dalam memandang keberlakuan tanah eks-HGB. Hal demikian bila terus dibiarkan akan menjadi bumerang bagi pemerintah itu sendiri dikemudian hari karena berbagai program land reform tersandera oleh keganjilan hukum pertanahan tersebut.
PEMBAHASAN:
Sebagai ilustrasi dapat bercermin pada putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta perkara sengketa tata usaha negara register Nomor 86/G/2009/PTUN- JKT tanggal 26 November 2009, sengketa antara:
- PT. SABAR GANDA, sebagai Penggugat; melawan
1. KEPALA KANTOR PERTANAHAN KOTA ADMINISTRASI Jakarta BARAT, sebagai Penggugat; dan
2. PEMERINTAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA, selaku Tergugat II Intervensi.
Yang menjadi objek sengketa ialah dua buah sertifikat Hak Pakai tanggal 11 Pebruari 2004, tanggal 27 Nopember 2000 seluas 2.520 M2 diterbikan untuk Pemerintah Propinsi DKI Jakarta. Sertifikat hak atas tanah terbit didahului oleh suatu Keputusan pejabat Tata Usaha Negara, dan keputusan pemberian Hak Pakai bagi Pemprov itulah yang digugat ke hadapan PTUN.
Penggugat mendalilkan dirinya sebagai pemilik tanah bekas Hak Guna Usaha (HGU) seluas 90.541,72 M2 sesuai alas hak berupa: Akta Pengikatan Pemindahan dan Penyerahan Hak, Akta Pengikatan Pemindahan dan Penyerahan Hak, Akta Kuasa Menjual [Note SHIETRA & PARTNERS: Secara curang Penggugat tidak pernah mengajukan balik-nama hak atas tanah yang dibelinya ke atas nama dirinya guna menghindari Bea Perolehan Hak Atas Tanah (BPHTB), sehingga praktis dalam kasus ini Penggugat tidak memiliki Akta Jual-Beli, suatu celah hukum yang dibiarkan oleh otoritas regulator].
Penggugat keberatan atas tindakan Tergugat yang menerbitkan Surat Keputusan berupa diterbitkannya dua Sertifikat Hak Pakai atas tanah bekas HGU yang masih dikuasai (secara fisik/ditempati) para penggarap dan pemegang hak terakhir sesuai Surat Keterangan Pendaftaran Tanah yang diterbitkan Tergugat sendiri dan menerangkan data fisik dan yuridis tanah seluas 90.541,72 M2 tersebut adalah tanah Negara bekas HGU Nomor 1/Desa Kamal yang masa haknya telah berakhir sejak tanggal 23 September 1980.
Penerbitan Surat Keputusan oleh Tergugat bertentangan dengan data fisik dan juridis yang diterangkan Tergugat dalam Surat Keterangan Pendaftaran Tanah/SKPT, bahwa Sertifikat HGU No. 1/Desa Kamal Tanggal 27 Pebruari 1932 semula bekas tanah Hak-hak Barat (Erpacht) berasal dari Eigendom Verponding seluas 3.348.129 M2, yang dikonversi menjadi HGU No. 1/Desa Kamal semula atas nama LIE KIAN TEK, LIE KIAN WIE, LIE KIANGIE sebagai pemegang hak pertama dan masa haknya berakhir pada tanggal 23 September 1980 sehingga menurut undang-undang menjadi tanah yang langsung dikuasai negara, namun secara fisik masih tetap dimanfaatkan dan dikuasai masyarakat penggarap maupun pemegang hak terakhir sesuai peruntukan dan fungsi sosial tanah.
Penerbitan Hak Pakai bagi Pemerintah Propinsi DKI Jakarta diatas tanah ex-HGU yang nyata-nyata dikuasai penggarap dan mengalihkan kepada Penggugat berdasarkan jual-beli tanah dari masyarakat penggarap maupun Derry Kurnia dan Sumarto Kurnia sebagai pemegang hak terakhir setelah mendapat hak dari LIE KIAN TEK, LIE KIAN WIE, LIE KIAN GIE, dengan demikian tindakan Tergugat dinilai telah menyalahi ketentuan pemberian hak baru tanah sisa eks HGU No. 1/Desa Kamal.
Tanah eks-HGU No 1/Desa Kamal setelah berakhir masa haknya pada tahun 1980 tidak pernah musnah dan terlantar akan tetapi tetap dimanfaatkan masyarakat penggarap (Penduduk) maupun eks pemegang hak terakhir sesuai Surat Keterangan yang dikeluarkan Tergugat tercatat atas nama Sumarto Kurnia dan Derry Kurnia sebelum dibeli Penggugat.
Dalam argumentasi penutupnya pihak Penggugat mendalilkan, bahwa yang paling berhak mendapat hak baru atas tanah adalah mereka yang nyata-nyata menguasai dan memanfaatkan tanah maupun pemegang hak terakhir yang secara terus-menerus masih menguasai tanah. Justru Penggugat adalah pihak yang paling berhak mendapatkan prioritas hak atas tanah baru bekas HGU No. 1/Desa Kamal.
Terhadap gugatan Penggugat maupun bantahan Tergugat yang menyatakan bahwa Penggugat bukanlah pemilik sah karena pengikatan jual-beli tidak pernah disempurnakan menjadi akta jual-beli, Majelis Hakim membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Bahwa kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara dalam mengadili keputusan tata usaha negara adalah penilaian mengenai keabsahan suatu surat keputusan tata usaha negara berdasarkan hukum administrasi menyangkut aspek kewenangan Pejabat dalam menerbitkan keputusan, aspek prosedur penerbitan keputusan dan aspek substansi keputusan itu sendiri hal mana berbeda dengan kompetensi peradilan umum yang kewenangannya adalah untuk menguji dan membuktikan tentang keabsahan kepemilikan;
“ ... menurut Penggugat keputusan tersebut mengandung cacat hukum dari segi prosedural penerbitannya dan materinya, ... . Penggugat mempermasalahkan keabsahan sertifikat-sertifikat tersebut yang diterbitkan Tergugat dan petitum gugatannya adalah juga bersifat tuntutan administrative;
“Menimbang, bahwa menurut alat bukti ... , Penggugat / PT. Sabar Ganda telah menggugat Pemda DKI Jakarta dan Badan Pertanahan Jakarta Barat di Pengadilan Negeri Jakarta Barat dalam Register No. 338/Pdt.G/2008/PN.JKT-BAR dan No. 158/Pdt.G/2008/PN.JKT-BAR, yang dalam perkara tersebut Penggugat telah mempermasalahkan tanah fisik obyek sengketa seluas 90.541,72 m2, dan benar Sertifikat Hak Pakai No. 120/Cengkareng Barat dan Sertifikat Hak Pakai No. 121/Cengkareng Barat telah diajukan sebagai alat bukti surat oleh pihak Pemda DKI Jakarta selaku Tergugat I dalam perkara No. 158/Pdt.G/2008/PN.JKT-BAR, dan sampai gugatan ini diajukan, perkara tersebut masih dalam tahap pemeriksaan banding di Pengadilan Tinggi Jakarta;
“Menimbang, bahwa menurut alat bukti ... , berarti Penggugat telah digugat oleh Pemda DKI Jakarta (Tergugat II Intervensi) di Pengadilan Negeri Jakarta Barat dengan register Nomor: 338/Pdt.G/2008/PN.JKT-BAR, namun dalam surat gugatan belum disebut sebut Sertifikat Hak Pakai Nomor 120/Cengkareng Barat dan Sertifikat Hak Pakai Nomor 121/Cengkareng Barat obyek sengketa, dan baru pada saat setelah tanggal 17 Pebruari 2009 yaitu pada saat pembuktian sertifikat-sertifikat tersebut disebut;
“Menimbang, bahwa menurut Penggugat wujud/keberadaan Sertifikat Hak Pakai obyek sengketa diketahui dan dilihat Penggugat pada saat sidang pembuktian dalam perkara perdata No. 158/Pdt.G/2008/PN.JKT-BAR, yakni tanggal 18 Pebruari 2009;
“Menimbang, bahwa gugatan Penggugat didaftarkan di kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta pada tanggal 18 Mei 2009 sebagaimana teregister dengan No. 86/G/2009/PTUN-JKT, oleh karenanya gugatan Penggugat tersebut belum lewat waktu 90 (sembilan puluh) hari sesuai pasal 55 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986;
“ ...  dan sebagaimana hasil pemeriksaan setempat tanggal 23 Oktober 2009 terhadap fisik tanah obyek sengketa bahwa para pihak baik Penggugat maupun Tergugat II Intervensi menunjuk pada lokasi atau tempat yang sama dan ternyata tanah tersebut telah dipagar tembok keliling oleh Penggugat, ada onggokan batu dan pos penjagaan serta plank PT. Sabar Ganda milik Penggugat;
“Menimbang, bahwa fakta hukum yang dilihat oleh Majelis Hakim dihubungkan dengan bukti-bukti yuridis Penggugat dan keterangan saksi, Majelis Hakim berpendapat bahwa Penggugat mempunyai kepentingan dan berkualitas untuk menggugat dan mempunyai hubungan hukum dengan keputusan obyek sengketa karena penerbitan obyek sengketa adalah bersipat negatif bagi Penggugat yakni atas bagian tanah Penggugat diterbitkan sertifikat obyek sengketa;
“Menimbang, bahwa oleh karena Tergugat sebagai Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang mempunyai kewenangan dibidang pertanahan seharusnya sebelum menerbitkan suatu sertipikat dituntut kecermatan dan ketelitian dari Tergugat dan tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik;
“Menimbang, bahwa dalil Penggugat yang menyatakan penerbitan obyek sengketa adalah cacat hukum karena Tergugat dalam menerbitkan obyek sengketa a quo telah keliru karena diterbitkan diatas tanah bekas Hak Guna Usaha No. 1/Desa Kamal yang masih dikuasai para penggarap (penduduk) dan eks pemegang hak terakhir Sumarto Kurnia dan Derry Kurnia yang telah dibeli dan dibebaskan oleh Penggugat, baik dari Penggarap maupun dari pemegang hak terakhir sesuai surat keterangan pendaftaran tanah yang diterbitkan Tergugat sendiri;
“Bahwa berdasarkan Pasal 4 ayat 1 Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 1999 tentang tata cara pemberian dan penbatalan hak atas tanah negara dan Hak Pengelolaan menyebutkan bahwa sebelum mengajukan permohonan hak, pemohon harus menguasai tanah yang dimohon dibuktikan dengan data yuridis dan data fisik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
“Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan diatas, maka sudah seharusnya Tergugat sebagai Pejabat Tata Usaha Negara yang bertanggung jawab atas terbitnya Keputusan Tata Usaha Negara a quo sebelum menerbitkan obyek sengketa mengadakan pengecekan terlebih dahulu mengenai riwayat tanah yang akan diadakan pengukuran guna diterbitkan sertipikat obyek sengketa tersebut yaitu dengan meminta keterangan dari Lurah yang bersangkutan, hal ini untuk mengetahui siapa sebenarnya pemilik obyek fisik sengketa a quo, tujuannya agar tidak terjadi kekeliruan atas nama siapa dan letak fisik tanah yang atasnya sertipikat tersebut diterbitkan. Akan tetapi pada kenyataannya Tergugat telah tidak cermat dan teliti karena telah menerbitkan Sertipikat atas fisik tanah obyek sengketa in casu;
“Menimbang, bahwa semua surat-surat yang menyangkut tanah obyek sengketa yang dimiliki oleh Tergugat II Intervensi dan semua surat-surat yang dikeluarkan oleh Tergugat atas tanah obyek sengketa yang dijadikan syarat untuk dapat terbitnya obyek sengketa a quo oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum, melalui putusannya No. 158/Pdt .G/2008/PN.JKT- BAR, tanggal 10 Januari 2009;
MENGADILI
DALAM POKOK PERKARA
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan batal Keputusan Tata Usaha Negara berupa:
a. Sertipikat Hak Pakai No. 120/Cengkareng Barat ... ;
b. Sertipikat Hak Pakai No. 121/Cengkareng Barat ... ;
3. Mewajibkan kepada Tergugat untuk mencabut keputusan Tata Usaha Negara berupa:
a. Sertipikat Hak Pakai No. 120/Cengkareng Barat ... ;
b. Sertipikat Hak Pakai No. 121/Cengkareng Barat ... .”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.