Tampilnya PIHAK TERKAIT yang Berkepentingan terhadap Pengujian Undang-Undang di Hadapan Mahkamah Konstitusi

LEGAL OPINION
Question: Sering terjadi, suatu pihak mengajukan permohonan uji materiil. Pemohon tersebut secara beruntun menyerang suatu undang-undang dengan sudut pandang dan persepsi mereka sendiri, yang bisa jadi merugikan pihak berkepentingan lain bila permohonan uji materil dikabulkan sehingga suatu ketentuan pada undang-undang dibatalkan. Belum lagi sering terjadi argumentasi dari pihak pemerintah maupun DPR kurang memadai dan terkesan defensif sekenanya. Nah, selaku pihak yang berpentingan atas ketentuan suatu undang-undang, apakah kami hanya dapat pasrah menjadi penonton saja dengan takut-takut cemas Mahkamah Konstitusi akan mengabulkan permohonan uji materil pihak Pemohon tersebut?
Brief Answer: Di dalam hukum acara gugatan perdata di Pengadilan Negeri maupun gugatan tata usaha negara di Pengadilan Tata Usaha Negara, dikenal konsep Tergugat Intervensi yang kerap dijumpai dalam praktik. Dalam hukum acara judicial review di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, dikenal pula konsep serupa, hanya saja disebut dengan istilah “Pihak Terkait yang Berkepentingan” atas objek uji materiil yang dimohonkan pengujiannya ke hadapan Mahkamah.
 Atas inisiatif pribadi, Pihak yang Berkepentingan/Terkait ini dapat tampil dengan legal standing-nya sendiri, entah untuk membantah ataupun menguatkan dalil-dalil Pemohon Uji Materiil. Tidak hanya Pihak Terkait yang berkepentingan langsung, berkepentingan tidak langsung pun dapat dikategorikan sebagai Pihak Terkait dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi RI.
Hanya saja yang patut disayangkan, entah karena kurangnya sosialisasi oleh instansi MK RI itu sendiri atau mungkin sikap apatisnya anggota masyarakat dengan kesibukannya sendiri, jarang terdengar penggunaan mekanisme yang sebenarnya telah dibuka serta disedikan oleh hukum acara MK RI ini, lengkap dengan tata caranya.
PEMBAHASAN:
PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 06/PMK/2005
TENTANG
PEDOMAN BERACARA DALAM PERKARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG
Pasal 13
(1) Pemeriksaan persidangan sebagaimana dimaksud Pasal 12 adalah:
a. pemeriksaan pokok permohonan;
b. pemeriksaan alat-alat bukti tertulis;
c. mendengarkan keterangan Presiden/Pemerintah;
d. mendengarkan keterangan DPR dan/atau DPD;
e. mendengarkan keterangan saksi;
f. mendengarkan keterangan ahli;
g. mendengarkan keterangan Pihak Terkait;
h. pemeriksaan rangkaian data, keterangan, perbuatan, keadaan, dan/atau peristiwa yang bersesuaian dengan alat-alat bukti lain yang dapat dijadikan petunjuk;
i. pemeriksaan alat-alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.
Pasal 14
(1) Pihak Terkait yang dimaksud Pasal 13 ayat (1) huruf g adalah pihak yang berkepentingan langsung atau tidak langsung dengan pokok permohonan.
(2) Pihak Terkait yang berkepentingan langsung adalah pihak yang hak dan/atau kewenangannya terpengaruh oleh pokok permohonan.
(3) Pihak Terkait sebagaimana dimaksud ayat (2) dapat diberikan hak-hak yang sama dengan Pemohon dalam persidangan dalam hal keterangan dan alat bukti yang diajukannya belum cukup terwakili dalam keterangan dan alat bukti yang diajukan oleh Presiden/Pemerintah, DPR, dan/atau DPD.
(4) Pihak Terkait yang berkepentingan tidak langsung adalah:
a. pihak yang karena kedudukan, tugas pokok, dan fungsinya perlu didengar keterangannya; atau
b. pihak yang perlu didengar keterangannya sebagai ad informandum, yaitu pihak yang hak dan/atau kewenangannya tidak secara langsung terpengaruh oleh pokok permohonan tetapi karena kepeduliannya yang tinggi terhadap permohonan dimaksud.
(5) Pihak Terkait sebagaimana dimaksud ayat (1) harus mengajukan permohonan kepada Mahkamah melalui Panitera, yang selanjutnya apabila disetujui ditetapkan dengan Ketetapan Ketua Mahkamah, yang salinannya disampaikan kepada yang bersangkutan.
(6) Dalam hal permohonan Pihak Terkait tidak disetujui, pemberitahuan tertulis disampaikan kepada yang bersangkutan oleh Panitera atas perintah Ketua Mahkamah.
Pasal 18
(1) Pembuktian dibebankan kepada Pemohon.
(2) Apabila dipandang perlu, Hakim dapat pula membebankan pembuktian kepada Presiden/Pemerintah, DPR, DPD, dan/atau Pihak Terkait.
(3) Presiden/Pemerintah, DPR, DPD, dan/atau Pihak Terkait dapat mengajukan bukti sebaliknya (tegen-bewijs).
Pasal 21
(1) Saksi dapat diajukan oleh Pemohon, Presiden/Pemerintah, DPR, DPD, Pihak Terkait, atau dipanggil atas perintah Mahkamah.
(2) Pemeriksaan saksi dimulai dengan menanyakan identitas (nama, tempat tanggal lahir/umur, agama, pekerjaan, dan alamat) saksi dan kesediaannya diambil sumpah atau janji berdasarkan agamanya untuk menerangkan apa yang didengar, dilihat, dan dialaminya sendiri.
Pasal 22
(1) Ahli dapat diajukan oleh Pemohon, Presiden/Pemerintah, DPR, DPD, Pihak Terkait, atau dipanggil atas perintah Mahkamah.
(2) Keterangan ahli yang dapat dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang tidak memiliki kepentingan yang bersifat pribadi (conflict of interest) dengan subjek dan/atau objek perkara yang sedang diperiksa.
Pasal 23
(1) Pemeriksaan terhadap pihak terkait dilakukan dengan mendengar keterangan yang berkaitan dengan pokok permohonan.
(2) Pihak Terkait yang mempunyai kepentingan langsung sebagaimana dimaksud Pasal 14 ayat (5) dapat diberikan kesempatan untuk:
a. memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis;
b. mengajukan pertanyaan kepada ahli dan/atau saksi;
c. mengajukan ahli dan/atau saksi sepanjang berkaitan dengan hal-hal yang dinilai belum terwakili dalam keterangan ahli dan/atau saksi yang telah didengar keterangannya dalam persidangan;
d. menyampaikan kesimpulan akhir secara lisan dan/atau tertulis.
Pasal 34
Pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan sebagaimana dimaksud Pasal 32 huruf d meliputi ringkasan:
a. pendirian Pemohon terhadap permohonannya dan keterangan tambahan yang disampaikan di persidangan;
b. keterangan Presiden/Pemerintah, DPR, dan/atau DPD;
c. keterangan Pihak Terkait; dan
d. hasil pemeriksaan alat-alat bukti;
dari berbagai pengalaman judicial review yang dimohonkan ke hadapan Mahkamah Konstitusi, terdapat beragam norma hukum undang-undang yang bersifat sensitif dan memiliki multi-stakeholder yang berkepentingan. Dimana tanpa peran ataupun kehadiran berbagai pihak terkait yang berkepentingan tersebut, asas audi alteram partem tidak berjalan secara seutuhnya.
Sudah saatnya kalangan Hakim Konstitusi menanggalkan mitor bahwa “hakim mengetahui hukumnya” (ius curia novit). Tiada hakim yang menguasai seluruh seluk-beluk bidang hukum, terlebih bila bersinggungan dengan bidang diluar hukum.
Melihat substansi pengaturan dalam hukum acara pengujian undang-undang diatas, sebenarnya Mahkamah memiliki kewenangan untuk memanggil ahli ataupun saksi untuk didengar keterangannya guna memberikan input secara berimbang menghadapi gencaran/gempuran sudut pandang pihak Pemohon. Inilah yang disebut dengan asas fair play. Sering terjadi, Parlemen bersama Eksekutif lebih pandai membentuk undang-undang ketimbang menjalankan terlebih mempertahankannya, terutama ketika rezim penguasa berganti.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.