LEGAL OPINION
Question: Bila terhadap sebidang tanah, berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap telah ditentukan siapa yang menjadi pemilik sah yang berhak atas tanah, lantas penghuni tanah/rumah tersebut tidak juga mau menyerahkan tanah/rumah tersebut kepada pemilik yang sah berdasarkan putusan perdata yang telah berkekuatan hukum tetap, maka apakah penghuni ilegal tersebut dapat dipidana?
Brief Answer: Bisa, namun bukan memakai pasal “penyerobotan tanah” yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (karena mensyaratkan setidaknya pemilik sah telah menguasai fisik objek tanah/rumah paling tidak satu malam sebelum diserobot pihak lain), namun dapat merujuk keberlakuan PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 51 TAHUN 1960 TENTANG LARANGAN PEMAKAIAN TANAH TANPA IZIN YANG BERHAK ATAU KUASANYA (meskipun ancaman sanksi pidana penjaranya amat ringan).
Ancaman sanksi pidana penjara yang dapat dijatuhkan meski bersifat ringan, hanya maksimum 3 (tiga) bulan kurungan, namun ancaman sanksi tersebut sudah cukup untuk dijadikan dasar peringatan bila dirumuskan secara cermat dalam somasi. Pemakaian tanah tanpa izin yang berhak tidak diperbolehkan, tetapi juga tidak dibenarkan jika yang berhak itu memberikan tanahnya dalam keadaan terlantar.
PEMBAHASAN:
Dalam putusan Mahkamah Agung RI perkara pidana register Nomor 416 K/Pid/2006 tanggal 28 Juli 2006, seorang petani didakwa ke hadapan persidangan Pengadilan Negeri karena berdasarkan Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor 3141 PK/Pdt/2000 tanggal 19 Agustus 2003 untuk hak kepemilikan sebidang Tanah Persil No. D1 Luas 0.600 Da berada pada kepemilikan Keluarga Tjipto Dihardjo, akan tetapi semenjak putusan tersebut Keluarga Saudara Sastro Dihardjo, tetap menguasai, memiliki dan menanami tanah tersebut tanpa seijin Keluraga Tjipto Dihardjo. Atas kejadian tersebut keluarga Tjipto Dihardjo tidak bisa menggarap dan menanami lahan.
Jaksa menuntut Terdakwa dengan Pasal 6 Ayat 1 Sub a, b dan c UU RI No. 51 PRP tahun 1960, dimana kemudian Terdakwa telah dinyatakan bersalah melakukan kejahatan seperti tercantum dalam putusan Pengadilan Negeri Banjarnegara tanggal 24 Juni 2004 Nomor 03/Pid/C/2004/PN.Bjn, dengan amar putusan:
1. Menyatakan bahwa Terdakwa SASTRO DIHARDJO bin MARKASAN tersebut di atas telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “MEMAKAI TANAH TANPA IJIN YANG BERHAK”;
2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa SASTRO DIHARDJO bin MARKASAN oleh karena kesalahannya tersebut dengan pidana penjara selama 2 (dua) bulan;
3. Memerintahkan pidana tersebut tidak perlu dijalankan, kecuali jika dikemudian hari ada putusan Hakim yang menentukan lain, disebabkan Terdakwa sebelum lewat masa percobaan selama 4 (empat) bulan melakukan sesuatu perbuatan pidana;
Dalam tingkat banding, adapun putusan Pengadilan Tinggi Jawa Tengah di Semarang No. 168/Pid/2004/PT.Smg tanggal 13 Desember 2004 yang amar lengkapnya sebagai berikut:
- Menerima permintaan pemeriksaan banding dari kuasa hukum Terdakwa;
- Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Banjarnegara tanggal 24 Juni 2004 Nomor : 03/Pid.C/2004/PN.Bjn, yang dimohonkan banding;
Terdakwa mengajukan upaya hukum kasasi dengan dalil bahwa permasalahan hukum tersebut merupakan perkara perdata, bukan pidana. Terhadap permohonan tersebut, Mahkamah Agung membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terlepas dari keberatan-keberatan kasasi tersebut Mahkamah Agung berpendapat bahwa :
- Menurut Pasal 45 A Undang-undang No. 5 Tahun 2004 perkara-perkara pidana yang ancaman pidananya dibawah 1 tahun, maka tidak dapat diajukan kasasi;
- Oleh karena ternyata berkas perkara kasasi ini sudah terlanjur dikirim ke Mahkamah Agung, maka Mahkamah Agung harus memutus perkara tersebut, dan menyatakan bahwa permohonan kasasi tersebut tidak dapat diterima;
“M E N G A D I L I :
“Menyatakan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : SASTRO DIHARDJO bin MARKASAN tersebut tidak dapat diterima.”
Dalam kasus lain, Pengadilan Tinggi Medan dalam putusannya perkara pidana register Nomor 272/PID.SUS./2015/PT.MDN tanggal 27 MEI 2015, dimana pada tahun 2014 telah terjadi tindak pidana menguasai lahan tanah tanpa izin pemilik yang sah yang dilakukan oleh Agus Pranoto, yang mengakibatkan kerugian kepada saksi korban sebesar Rp.1.850.000.000,00; sehingga perbuatan Terdakwa dinilai melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf a jo. Pasal 2 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 51 Tahun 1960.
Atas tuntutan Jaksa, putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam tanggal 18 Pebruari 2015 Nomor 12/Pid.C/2015/PN.Lbp. telah menjatuhkan putusan yang amarnya berbunyi sebagai berikut :
- Menyatakan Terdakwa AGUS PRANOTO telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah perbuatan memakai tanah tanpa izin yang berhak;
- Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa AGUS PRANOTO oleh karena itu dengan pidana penjara selama 15 (lima belas) hari;
- Menyatakan bahwa pidana tersebut tidak perlu dijalankan, kecuali bila di kemudian hari ada perintah lain dalam putusan Hakim, karena terdakwa belum lewat masa percobaan selama 1 (satu) bulan melakukan perbuatan yang dapat dipidana;
Terdakwa mengajukan upaya hukum banding, dimana terhadapnya Pengadilan Tinggi kemudian membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa setelah membaca dengan seksama dan cermat berkas perkara No. 12/Pid.C/2015/PN.Lbp. Pengadilan Tinggi berpendapat sebagai berikut :
- bahwa catatan putusan yang dibuat oleh Hakim tingkat pertama terhadap terdakwa telah tepat dan benar serta terpenuhi dengan sempurna unsur unsur pasal 6 ayat (1) huruf a jo Pasal 2 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 51 tahun 1960 tentang larangan Pemakaian Tanah Tanpa izin yang berhak atau kuasanya.
- bahwa hukuman kurungan selama 15 (lima belas) hari dan pidana tersebut tidak perlu di jalankan, kecuali bila di kemudian hari ada perintah lain dalam putusan Hakim karena terdakwa belum lewat dengan masa percobaan selama 1 (satu) bulan melakukan perbuatan yang dapat dipidana menurut Pengadilan Tinggi telah tepat dan adil;
- bahwa menurut pasal 6 ayat (1) huruf a jo. Pasal 2 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang–Undang No. 51 Tahun 1960 tersebut ancaman pidana adalah hukuman kurungan selama 3 (tiga) bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah). Oleh karena itu amar putusan Hakim tingkat pertama menyebutkan dengan pidana penjara selama 15 (lima belas hari, menurut Pengadilan Tinggi harus di ubah yang sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang No. 51 Tahun 1960 tersebut diatas, yang amarnya sebagaimana tersebut dibawah ini;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan–pertimbangan tersebut diatas, Majelis Hakim Tingkat Banding berpendapat putusan Hakim tingkat pertama telah tepat dan benar, akan tetapi mengenai redaksi hukuman perlu disesuaikan dengan ketentuan PERPU No. 51 tahun 1960 untuk itu putusan Hakim tingkat pertama di ubah sebagaimana tersebut dibawah ini;
“M E N G A D I L I :
- Menerima permintaan banding dari Terdakwa .
- Mengubah putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam N0.12/Pid.c /2015/PN.Lbp. tanggal 18 Pebruari 2015 yang dimintakan banding tersebut, sekedar redaksi penjatuhan pidana, yang amar selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
- Menyatakan Terdakwa AGUS PRANOTO telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan pelanggaran memakai tanah tanpa izin yang berhak.
- Menjatuhkan pidana kepada terdakwa AGUS PRANOTO oleh karena itu dengan hukuman kurungan selama 15 (lima belas) hari.
- Menyatakan bahwa hukuman kurungan tersebut tidak perlu dijalankan, kecuali bila di kemudian hari ada perintah lain dalam putusan Hakim, karena terdakwa belum lewat masa percobaan selama 1 (satu) bulan melakukan perbuatan yang dapat dipidana.”
Dalam kasus lain, putusan Pengadilan Tinggi Bandung perkara pidana tingkat banding register Nomor 319/Pid/2014/PT.Bdg tanggal 4 Desember 2014, dimana pada tahun 2014 telah terjadi pemakaian tanah oleh Terdakwa tanpa ijin yang berhak atau kuasanya yang sah yang dilakukan oleh H. PUDIN TABRONI dengan cara menguasai objek tanah milik pelapor masing-masing tanah seluas 1.330 M² dan seluas 1.400 M², dengan meratakan tanah dalam objek tanah untuk akses jalan menuju galian tambang milik tersangka tanpa sepengetahuan atau seijin dari pemilik tanah yang sah. Akibat kejadian tersebut korban mengalami kerugian lebih dari Rp. 270.000.000,- dan kemudian setelah mengetahui kejadian tersebut korban langsung melaporkan kejadian tersebut ke Polres Subang guna dilakukan proses hukum, tindakan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 2 Jo Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 51 PRP tahun 1960.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Subang, tertanggal 08 September 2014 Nomor 08/Pid.R/2014/PN.Sng telah menjatuhkan putusan, yang amarnya berbunyi sebagai berikut:
1. Menyatakan terdakwa H. PUDIN TABRONI tersebut terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “MEMAKAI TANAH TANPA IJIN YANG BERHAK ATAU KUASANYA YANG SAH”;
2. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa tersebut oleh karena itu dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan;
3. Memerintahkan pidana tersebut tidak perlu dijalankan kecuali kalau dikemudian hari ada perintah lain dalam Putusan Hakim, bahwa terpidana sebelum waktu percobaan selama 4 (empat) bulan berakhir telah bersalah melakukan sesuatu tindak pidana.”
Terdakwa mengajukan upaya hukum banding, dimana terhadapnya Pengadilan Tinggi membuat putusan sebagai berikut:
“M E N G A D I L I :
- Menerima permintaan banding dari kuasa hukum terdakwa;
- Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Subang, Tanggal 08 September 2014, Nomor 08/Pid.R/2014/PN.Sng yang dimintakan banding tersebut.”
Dalam kasus lainnya, Pengadilan Tinggi Padang dalam putusannya perkara pidana register Nomor 37/PID/2014/PT.PDG. tanggal 1 April 2014, para Terdakwa didakwakan telah melakukan Tindak Pidana Perampasan Hak (Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak atau Kuasanya) terhadap tanah sawah milik pihak lain oleh para Terdakwa.
Adapun cara pelaku melakukan Perampasan Hak ketika itu adalah dengan mencangkul tanah sawah milik korban, kemudian menanam padi di lokasi tersebut tanpa sepengetahuan ataupun seizing korban maupun keluarga korban yang lainnya. Atas kejadian tersebut korban merasa tidak senang dan dirugikan, selanjutnya melaporkan kejadian ke Kantor Polsek Gunung Talang untuk Proses Hukum. Perbuatan Para Terdakwa melanggar Pasal 6 UU No. 51/Prp/1960.
Hakim tunggal pengadilan tingkat pertama yang mengadili perkara ini telah menjatuhkan putusan, yang amarnya berbunyi sebagai berikut :
1. Menyatakan Terdakwa I ASRIL Pgl UYUANG dan Terdakwa II OYONG VOLTA Pgl OYONG terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana “Memakai Tanah Tanpa Ijin Yang Berhak Atau Kuasanya Yang Sah”;
2. Menjatuhkan pidana terhadap para Terdakwa oleh karena itu dengan pidana kurungan masing-masing selama 15 (lima belas) Hari dengan ketentuan pidana tersebut tidak perlu dijalankan, kecuali dikemudian hari ada perintah lain dalam putusan Hakim, bahwa terpidana sebelum waktu percobaan selama 1 (satu) Bulan berakhir, telah bersalah melakukan suatu tindak pidana;”
Para Terdakwa mengajukan banding, dengan argumentasi bahwa perkara tersebut adalah perdata bukan pidana. Pengadilan Tinggi kemudian membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap materi memori banding diatas, pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi adalah sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan Para Saksi dan keterangan Para Terdakwa dipersidangan (vide : Catatan/Putusan Nomor :02?Pid.C/2014/PN.KBR, halaman 2), dihubungkan dengan keterangan Para Saksi tersebut dan keterangan Para Terdakwa dalam Berita Acara Pemeriksaan tanggal 22 Agustus 2013, 24 Agustus 2013, 26 Agustus 2013 dan 29 Agustus 2013 (Vide: Berkas Perkara Nomor BP/01/I/2014/RESKRIM, tanggal 15 Januari 2014), terbukti hal-hal sebagai berikut :
1. Saksi Pelapor/Korban Drs. ZULHERMAN Glr. Lenggang Sutan, beserta Kaumnya telah menguasai objek sengketa yaitu tanah sawah 21 (dua puluh satu) piring, sejak sebelum tahun 1957, secara turun-temurun;
2. Saat Para terdakwa merampas atau mengambil alih objek sengketa pada tanggal 21 Agustus 2013, objek sengketa tersebut masih dalam penguasaan pihak pelapor/korban, sebagaimana dinyatakan oleh Para Terdakwa bahwa selama ini yang menguasai objek sengketa adalah ZULHERMAN (Vide: Berita Acara Pemeriksaan tanggal 24 Agustus 2013, halaman 2, angka 7);
3. Pengambil alihan objek sengketa oleh Para Terdakwa adalah tanpa seijin dari pihak saksi Pelapor/korban yang menguasai objek tersebut secara terus-menerus dan efektif, dan pengambil-alihan tersebut juga tanpa dasar atau alas hak apapun, sebagaimana dinyatakan oleh Para Terdakwa bahwa Para Terdakwa tidak bisa membuktikan secara tertulis tentang bukti kepemilikan objek sengketa tersebut (Vide Berita Acara Pemeriksaan, tanggal 24 Agustus 2013, halaman 2,angka 5);
“Menimbang, bahwa dengan tambahan pertimbangan diatas, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi sependapat dengan pertimbangan dan putusan Hakim Tingkat Pertama, yaitu bahwa Para Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Memakai Tanah Tanpa Ijin yang Berhak atau Kuasanya yang Sah”, Sebagaimana dimaksud oleh ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf a Perpu Nomor : 51 Tahun 1960, dan pertimbangan serta putusan Hakim Tingkat Pertama tersebut diambil alih dan dijadikan pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi dalam memutus perkara a quo;
“Tindakan para Terdakwa mengambil alih objek sengketa pada tanggal 21 Agustus 2013, dari penguasaan Saksi Korban Drs. ZULHERMAN GLR. LENGGANG SUTAN, adalah tindakan main hakim sendiri karena tanpa didasari dengan alas hak yang sah, dan melanggar ketentuan-ketentuan hukum pidana;
“Seandainya Para Terdakwa merasa mempunyai hak atas tanah / objek sengketa, seharusnya Para Terdakwa mengajukan gugatan perdata melalui Pengadilan Negeri untuk menuntut haknya tersebut, dengan mengajukan bukti-bukti yang antara lain dilampirkan dalam memori bandingnya;
“Menimbang, bahwa dengan menambah pertimbangan, dan mengambil alih pertimbangan dan putusan Hakim Tingkat Pertama, maka Majelis Hakim Pengadilan Tinggi memutus dengan menguatkan putusan Pengadilan Negeri Koto Baru tanggal 17 Januari 2014 Nomor : 02/Pid.C/2014/PN/KBR, yang dimohonkan banding;
“M E N G A D I L I :
- Menerima permintaan banding dari Para Terdakwa;
- Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Koto Baru tanggal 17 Januari 2014, Nomor 02/Pid.C/2014/PN.KBR, yang dimintakan banding tersebut.”
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG
NOMOR 51 TAHUN 1960
TENTANG
LARANGAN PEMAKAIAN TANAH TANPA IZIN YANG
BERHAK ATAU KUASANYA
Menimbang:
a. bahwa oleh Kepala Staf Angkatan Darat selaku Penguasa Perang Pusat untuk daerah Angkatan Darat berdasarkan Undang-undang Nomor 74 Tahun 1957 tentang "Keadaan Bahaya" (Lembaran Negara tahun 1957 Nomor 16) telah dikeluarkan Peraturan Penguasa Perang Pusat Nomor Prt/Peperpu/011/1958 tentang "Larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya", yang kemudian ditambah dan diubah dengan Peraturan Penguasa Perang Pusat Nomor Prt/Peperpu/041/1959;
b. bahwa berhubung dengan ketentuan dalam pasal 61 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 23 tahun 1959 tentang "Keadaan Bahaya" (Lembaran-Negara tahun 1959 Nomor 139) jo. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 22 tahun 1960 (Lembaran Negara tahun 1960 Nomor 66) waktu berlakunya Peraturan-peraturan Penguasa Perang Pusat tersebut akan berakhir pada tanggaI 16 Desember 1960;
c. bahwa dewasa ini perlindungan tanah-tanah terhadap pemakaian tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah masih perlu dilangsungkan, lagi pula kepada penguasa-penguasa yang bersangkutan masih perlu diberikan dasar hukum bagi tindakan-tindakannya untuk menyelesaikan pemakaian tanah demikian itu;
d. bahwa ketentuan-ketentuan dalam Ordonansi "Onrechtmatige occupatie van gronden" (Staatsblad 1948 Nomor 110) dan Undang-undang Darurat Nomor 8/1954( (Lembaran Negara tahun 1954 No. 65) serta Undang-undang Darurat No. I/1956 (Lembaran Negara tahun 1956 No. 45) karena berbagai pertimbangan tidak dapat dipakai 1agi;
e. bahwa berhubung dengan hal-hal tersebut diatas dan mengingat sifat masalahnya sebaiknya soal termaksud sekarang diatur dalam bentuk peraturan perundang-undangan biasa;
f. bahwa karena keadaan yang memaksa soal tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;
Mengingat:
a. pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
b. Undang-undang Pokok Agraria (Undang-undang No.5 tahun 1960);
Mendengar:
Musyawarah Kabinet Kerja pada tanggal 13 Desember 1960;
MEMUTUSKAN:
Dengan mencabut :
a. Ordonansi "Onrechtmatige occupatie van gronden" (Staatsblaad 1948 No. 110);
b. Undang-undang Darurat No.8 tahun 1954 (Lembaran-Negara tahun 1954 No. 65);
c. Undang-undang Darurat No.1 tahun 1956 (Lembaran-Negara tahun 1956 No. 45);
Menetapkan:
PERATURAN PEMERINTAH PENGANTI UNDANG-UNDANG TENTANG LARANGAN PEMAKAIAN TANAH TANPA IZIN YANG BERHAK ATAU KUASANYA.
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini yang dimaksudkan dengan :
1. tanah ialah :
a. tanah yang langsung dikuasai oleh Negara;
b. tanah yang tidak termasuk huruf a yang dipunyai dengan sesuatu hak oleh perseorangan atau badan hukum.
2. yang berhak : ialah jika mengenai tanah yang termaksud dalam:
1/a. Negara dalam hal ini Menteri Agraria atau pejabat yang ditunjuknya;
1/b. orang atau badan hukum yang berhak atas tanah itu,
3. memakai tanah : ialah menduduki, mengerjakan dan/atau mengenai sebidang tanah atau mempunyai tanaman atau bangunan diatasnya, dengan tidak dipersoalkan apakah bangunan itu dipergunakan sendiri atau tidak.
4. Penguasa Daerah ialah :
a. untuk daerah-daerah yang tidak berada dalam keadaan bahaya seperti yang dimaksudkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 23 tahun 1959 (Lembaran-Negara tahun 1959 No. 139): “Bupati atau Walikota/Kepala Daerah yang bersangkutan, sedang untuk Daerah Tingkat I Jakarta Raya : Gubernur/Kepala Daerah Jakarta Raya”;
b. untuk daerah-daerah yang berada dalam keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat sipil, darurat militer atau keadaan perang, masing-masing Penguasa Darurat Sipil Daerah, Penguasa Darurat Militer Daerah atau Penguasa Perang Daerah yang bersangkutan, seperti yang dimaksudkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 23 tahun 1959 (Lembaran-Negara tahun 1959 No. 139)
Pasal 2
Dilarang memakai tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah.
Pasal 3
(1) Penguasa Daerah dapat mengambil tindakan-tindakan untuk menyelesaikan pemakaian tanah yang bukan perkebunan dan bukan hutan tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah, yang ada didaerahnya masing-masing pada suatu waktu. [Note SHIETRA & PARTNERS: Peraturan inilah yang menjadi dasar hukum bahwasannya Eksekusi Pengosongan bukan monopoli lembaga peradilan. Sayangnya, bagian Penjelasan Umum menyatakan bahwa kewenangan ini dapat dilakukan tanpa peran peradilan sepanjang negara dalam keadaan darurat semata.]
(2) Penyelesaian tersebut pada ayat (1) pasal ini diadakan dengan memperhatikan rencana peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan.
Pasal 4
(1) Dalam rangka menyelesaikan pemakaian tanah sebagai yang dimaksudkan dalam pasal 3, maka Penguasa Daerah dapat memerintahkan kepada yang memakainya untuk mengosongkan tanah yang bersangkutan dengan segala barang dan orang yang menerima hak dari padanya.
(2) Jika setelah berlakunya tenggang waktu yang ditentukan didalam perintah pengosongan tersebut pada ayat (1) pasal ini perintah itu belum dipenuhi oleh yang bersangkutan, maka Penguasa Daerah atau pejabat yang diberi perintah olehnya melaksanakan pengosongan itu atas biaya pemakai tanah itu sendiri. [Note SHIETRA & PARTNERS: Tanpa jurusita pengadilan sekalipun, Pemda setempat memiliki kewenangan untuk melakukan eksekusi pengosongan sebagai suatu kewenangan prerogatif selama masih dalam teritori pemerintahannya. Namun keberlakuan ketentuan ini kemudian dibatasi daya berlakunya. Lihat bagian Penjelasan Umum dibawah.]
Pasal 5
(1) Pemakaian tanah-tanah perkebunan dan hutan yang menurut Undang-undang Darurat No.8 tahun 1954 (Lembaran-Negara 1954 No. 65) jo. Undang-undang Darurat No. 1 tahun 1956 (Lembaran-Negara tahun 1956 No. 45) harus diselesaikan, dan yang pada tanggal mulai berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini belum diselesaikan menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Darurat tersebut, selanjutnya akan diselesaikan menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri Agraria, setelah mendengar Menteri Pertanian.
(2) Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam ayat (1) pasal ini, maka Menteri Agraria dengan mendengar Menteri Pertanian, dapat pula mengambil tindakan-tindakan untuk menyelesaikan pemakaian tanah-tanah perkebunan dan hutan tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah, yang dimulai sejak tanggal 12 Juni 1954.
(3) Didalam rangka menyelesaikan pemakaian tanah-tanah perkebunan dan hutan itu Menteri Agraria dan instansi yang ditunjuknya mempunyai wewenang pula sebagai yang dimaksud dalam pasal 4.
(4) Didalam menggunakan wewenangnya sebagai yang dimaksud dalam pasal ini, maka mengenai penyelesaian pemakaian tanah-tanah perkebunan Menteri Agraria harus memperhatikan kepentingan rakyat-pemakai tanah yang bersangkutan, kepentingan penduduk lainnya didaerah tempat letaknya perusahaan kebun dan luas tanah yang diperlukan perusahaan itu untuk menyelenggarakan usahanya, dengan ketentuan, bahwa terlebih dahulu harus diusahakan tercapainya penyelesaian dengan jalan musyawarah dengan fihak-fihak yang bersangkutan.
Pasal 6
(1) Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam pasal-pasal 3, 4 dan 5, maka dapat dipidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah):
a. barangsiapa memakai tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah, dengan ketentuan, bahwa jika mengenai tanah-tanah perkebunan dan hutan dikecualikan mereka yang akan diselesaikan menurut pasal 5 ayat (1):
b. barangsiapa mengganggu yang berhak atau kuasanya yang sah didalam menggunakan haknya atas suatu bidang tanah;
c. barangsiapa menyuruh, mengajak, membujuk atau menganjurkan dengan lisan atau tulisan untuk melakukan perbuatan yang dimaksud dalam pasal 2 atau huruf b dari ayat (1) pasal ini;
d. barangsiapa memberi bantuan dengan cara apapun juga untuk melakukan perbuatan tersebut pada pasal 2 atau huruf b dari ayat (1) pasal ini.
(2) Ketentuan-ketentuan mengenai penyelesaian yang diadakan oleh Menteri Agraria dan Penguasa Daerah sebagai yang dimaksud dalam pasal-pasal 3 dan 5 dapat memuat ancaman pidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) terhadap siapa yang melanggar atau tidak memenuhinya.
(3) Tindak pidana tersebut dalam pasal ini adalah pelanggaran.
Pasal 7
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 16 Desember 1960.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 14 Desember 1960.
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
SUKARNO.
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 14 Desember 1960.
PEJABAT SEKRETARIS NEGARA,
ttd.
SANTOSO.
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1960 NOMOR 158
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG
NOMOR 51 TAHUN 1960
TENTANG
“LARANGAN PEMAKAIAN TANAH TANPA IZIN YANG
BERHAK ATAU KUASANYA”
1. Dengan ini banyak sekali tanah-tanah, baik yang ada didalam maupun diluar kota-kota besar, dipakai oleh orang-orang tanpa izin dari penguasa yang berwajib atau yang berhak. Pemakaian tanah tersebut meliputi pula tanah-tanah perkebunan.
Pemerintah pada umumnya dapat memahami keadaan yang tidak sewajarnya itu, yang disebabkan karena sangat kurangnya persediaan tanah bagi rakyat, baik untuk perumahan maupun untuk bercocok tanam.
2. Dalam pada itu untuk pembangunan Negara, penggunaan tanah haruslah dilakukan dengan cara yang teratur. Pemakaian tanah secara tidak teratur, lebih-lebih yang melanggar norma-norma hukum dan tata-tertib, sebagaimana terjadi dibanyak tempat, benar-benar menghambat, bahkan seringkali sama sekali tidak memungkinkan lagi dilaksanakannya rencana pembangunan dipelbagai lapangan.
Pembuatan bangunan-bangunan didalam kota untuk tempat tinggal, berjualan dan lain sebagainya yang berjejal-jejal dan tidak teratur letak dan tempatnya, dari bahan-bahan yang mudah terbakar, tidak saja menambah besarnya kemungkinan kebakaran, tetapi dipandang dari sudut kesehatan dan tata-tertib keamanan sungguh tidak dapat dipertanggung-jawabkan.
Belum lagi diperhitungkan berapa kerugian yang diderita Negara dan masyarakat, misalnya dari tindakan-tindakan yang berupa perusakan tanah-tanah perkebunan, yang merupakan salah satu cabang produksi yang penting bagi perekonomian Negara dewasa ini, pun telah sama-sama kita maklumi pula.
Demikianlah maka bagaimanapun juga pemakaian tanah-tanah secara demikian itu, sunguhpun dapat dipahami sebab-musababnya tetapi tidaklah dapat dibenarkan, dan karena itu harus dilarang.
3. Berhubung dengan itu maka oleh Penguasa Militer/Kepala Staf Angkatan Darat telah dikeluarkan Peraturan Penguasa Militer/Kepala Staf Angkatan Darat No. Prt/PM/014/1957 tentang “Larangan pemakaian tanah tanpa izin pemiliknya atau kuasanya”, yang didasarkan atas “Regeling op de staat van oorlog en beleg” (Staatsblad 1939 No. 582). Berhubung dengan berlakunya Undang-undang No. 74 tahun 1957 (Lembaran-Negara tahun 1957 No. 160) tentang “Keadaan Bahaya” Peraturan tersebut diganti dengan Peraturan Kepala Staf Angkatan Darat selaku Penguasa Perang Pusat untuk daerah Angkatan Darat No. Prt/Peperpu/011/1958. Peraturan ini kemudian ditambah dan diubah dengan Peraturan Penguasa Perang Pusat No. Prt/041/1959 hingga meliputi pula tanah-tanah perkebunan.
Kini Undang-undang No. 74 tahun 1957 tersebut telah diganti pula dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 23 tahun 1959 tentang "Keadaan Bahaya" (Lembaran-Negara tahun 1959 No. 139). Berhubung dengan itu maka Peraturan-peraturan Penguasa Perang Pusat No. Prt/Peperpu/011/1958 dan Prt/Peperpu/041/1959 itu waktu berlakunya akan berakhir pada tanggal 16 Desember 1960 berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 22 tahun 1960.
4. Dengan tidak berlakunya lagi Peraturan-peraturan Penguasa Perang Pusat tersebut maka berlakulah kembali Ordonansi “Onrechtmatige occupatie van gronden” (Staatsblad 1948 No. 110) dan Undang-undang Darurat No.8 tahun 1954 (Lembaran Negara tahun 1956 No. 45) tentang “Penyelesaian soal pemakaian tanah perkebunan oleh Rakyat”. Tetapi ordonansi tersebut dalam Staatsblad 1948 No. 110 itu karena keberatan-keberatan tehnis, kini tidak dapat dilaksanakan. Demikian pula atas dasar keberatan-keberatan praktis kedua Undang-undang Darurat tersebut perlu diganti.
Berhubung dengan itu oleh karena perlindungan tanah-tanah terhadap pemakaian yang tidak teratur dan melawan hukum itu dewasa ini masih perlu dilangsungkan, lagi pula kepada penguasa-penguasa yang bersangkutan masih perlu diberikan dasar-dasar hukum bagi tindakan-tindakannya untuk menyelesaikan pemakaian tanah yang demikian itu, perlu diadakan peraturan baru yang dapat dilaksanakan secara yang lebih effektif.
Mengingat masalahnya yang tidak bersifat “sementara”, maka dipandang lebih baik jika peraturan itu tidak dikeluarkan lagi dalam bentuk peraturan yang didasarkan atas ketentuan Undang-undang Keadaan Bahaya, melainkan dalam bentuk perundang-undangan biasa.
Oleh karena keadaan mendesak maka peraturan yang dimaksud itu ditetapkan sebagai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang.
5. Pemerintah menginsyafi, bahwa pemecahan masalah pemakaian tanah secara tidak sah itu memerlukan tindakan-tindakan dalam lapangan yang luas yang mempunyai bermacam-macam aspek, yang tidak saja terbatas pada bidang agraria dan pidana, melainkan juga mengenai lapangan-lapangan sosial, perindustrian, Pemerintah memandang perlu mengambil tindakan untuk mencegah meluasnya perbuatan yang dimaksudkan diatas dan mengeluarkan peraturan sebagai dasar hukumnya dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang ini.
6. Pertama-tama Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (disingkat: Perpu) ini menyatakan bahwa pemakaian tanah tanpa izin dari yang berhak atau kuasanya yang sah adalah perbuatan yang dilarang dan diancam pula dengan hukuman pidana (pasal 2 yo. pasal 6 ayat (1) huruf a).
Mengingat akan sifat perbuatannya maka yang dapat dipidana itu tidak saja terbatas pada pemakaian-pemakaian tanah yang dimulai sesudah berlakunya Perpu ini, tetapi juga pemakaian yang terjadi (dimulai) sebelumnya dan kini masih tetap berlangsung.
Dalam pada itu tidaklah selalu harus dilakukan tuntutan pidana menurut pasal 6 tersebut. Menteri Agraria dan Penguasa Daerah menurut pasal 3 dan pasal 5 dapat mengadakan penyelesaian secara lain, dengan mengingat kepentingan fihak-fihak yang bersangkutan, pula dengan mengingat rencana peruntukan dan penggunaan tanah yang dipakai itu. Pemakaian tanah tanpa izin yang berhak tidak diperbolehkan. Tetapi juga tidak dibenarkan jika yang berhak itu memberikan tanahnya dalam keadaan terlantar. Bahkan menurut pasal-pasal 27, 34 dan 40 Undang-undang Pokok Agraria hak milik, hak-guna bangunan dan hak guna-usaha hapus jika tanahnya diterlantarkan.
Agar supaya untuk memperoleh penyelesaian dapat diselenggarakan secara yang effektif, maka jika dipandang perlu Menteri Agraria dan Penguasa Daerah dapat memerintahkan kepada yang memakainya untuk mengosongkan tanah yang bersangkutan [pasal 4 dan pasal 5 ayat (3)].
Dengan demikian maka untuk mengadakan pengosongan tidaklah diperlukan perantaraan pengadilan. Sudah barang tentu jika memang perlu, selain perintah pengosongan dapat pula dilakukan tuntutan pidana.
Dengan demikian maka tindakan-tindakan untuk mengatasi dan menyelesaikan soal pemakaian tanah-tanah secara tidak sah itu dapat disesuaikan dengan keadaan tanah dan keperluannya, dengan mengingat faktor-faktor tempat, waktu, keadaan tanah dan kepentingan fihak-fihak yang bersangkutan.
7. Mengingat bahwa dewasa ini Negara kita masih dalam keadaan bahaya dalam berbagai tingkatan (keadaan perang, keadaan darurat militer dan keadaan darurat sipil), maka selama keadaan bahaya itu masih berlangsung dipandang perlu untuk mengikutsertakan Penguasa-penguasa Keadaan Bahaya Daerah dalam pelaksanaannya (pasal 3 dan pasal 4).
Oleh karena pemakaian tanah-tanah yang dimaksudkan itu tidak sama disemua tempat maka titik-berat kebijaksanaan dalam pelaksanaannya diserahkan kepada Penguasa-penguasa Daerah, hingga dapatlah diperhatikan segi-segi dan coraknya yang khusus, sesuai dengan keadaan setempat.
Dalam pada itu mengingat akan faktor-faktor yang membedakan tanah-tanah perkebunan (dan hutan) dengan tanah-tanah lainnya maka khusus mengenai tanah-tanah perkebunan (dan hutan) itu dipandang perlu untuk memusatkannya pada Menteri Agraria (dan Menteri Pertanian), hingga terjamin garis kebijaksanaan yang seragam, terutama karena soal perkebunan itu kebanyakan tidaklah dapat hanya dilihat sebagai persoalan daerah-sedaerah semata-mata (pasal 5).
Sebagai dasar kebijaksanaan dalam menggunakan wewenang yang dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) maka ditetapkan dalam ayat (4), bahwa terlebih dahulu haruslah diusahakan tercapainya penyelesaian dengan jalan musyawarah dengan fihak-fihak yang bersangkutan. Jika jalan musyawarah tidak membawa hasil maka Menteri Agrarialah (setelah mendengar Menteri Pertanian) yang akan menetapkan penyelesaiannya dengan memperhatikan kepentingan rakyat pemakai tanah yang bersangkutan, kepentingan penduduk lainnya didaerah tempat letaknya perusahaan kebun dan luas tanah yang diperlukan perusahaan itu untuk menyelenggarakan usahanya.
Didalam pasal 5 diadakan perbedaan antara pemakaian tanah perkebunan dan hutan yang dimulai sejak tanggal 12 Juni 1954 dan sebelumnya [ayat (2) dan ayat (1)]. Pemakaian tanah sebelum tanggal tersebut, yaitu tanggal mulai berlakunya Undang-undang Darurat No. 8 tahun 1954, harus diselesaikan, karena memang ditentukan demikian dalam Undang-undang Darurat tersebut.
Biarpun pemakaian-pemakaian tanah sejak tanggal itu perlu diselesaikan pula, tetapi karena mulai tanggal tersebut sudah ada peraturan yang tegas melarang pemakaian tanah yang dimaksudkan itu, maka didalam usaha penyelesaiannya sudah sewajarnya jika diambiI sikap yang lain terhadap para pemakai yang betsangkutan dari pada terhadap para pemakai sebelum tanggal 12 Juni 1954 itu. Terhadap para pemakai yang terakhir inipun tidak dapat dilakukan tuntutan pidana (pasal 6 ayat (1) huruf a).
8. Dengan adanya penjelasan tersebut diatas kiranya tidak perlu lagi diberikan penjelasan pasal demi pasal.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2106
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.