Penundaan Kenaikan Upah Bukan Berarti Menghapus Kewajiban yang Ditunda, Hanya Tertunda, telaah Hak Normatif Buruh/Pekerja

ARTIKEL HUKUM
Mahkamah Konstitusi RI dalam putusannya register perkara Nomor 72/PUU-XIII/2015 tanggal 29 September 2016 telah menguji materiil (judicial review) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang diajukan oleh dua orang ketua umum serikat pekerja.
Yang menjadi sorotan pihak Pemohon, ialah ketentuan Pasal 90 Ayat (2) UU Ketenagakerjaan yang berbunyi:
Bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 dapat dilakukan penangguhan.”
Sementara itu Penjelasan Resmi Pasal 90 Ayat (2) UU Ketenagakerjaan menyatakan sebagai berikut:
Penangguhan pelaksanaan upah minimum bagi perusahaan yang tidak mampu dimaksudkan untuk membebaskan perusahaan yang bersangkutan melaksanakan upah minimum yang berlaku dalam kurun waktu tertentu. Apabila penangguhan tersebut berakhir maka perusahaan yang bersangkutan wajib melaksanakan upah minimum yang berlaku pada saat itu tetapi tidak wajib membayar pemenuhan ketentuan upah minimum yang berlaku pada waktu diberikan penangguhan.
Pemohon menyebutkan, tujuan dari dibentuknya konsep Upah Minimum, ialah guna terpenuhinya kebutuhan hidup minimal buruh dan keluarganya disamping melindungi daya beli buruh dan keluarganya sementara kebijakan upah minimum juga memiliki fungsi sebagai jaring pengaman sosial (social safety net) yang bertujuan menjaga agar tingkat upah pekerja tidak merosot hingga level yang sangat rendah.
Pasal 90 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan melarang pengusaha untuk membayar upah lebih rendah dari upah minimum, sebagai ketentuan imperatif—dimana pelanggaran terhadapnya diancam sanksi pidana sebagaimana tertuang dalam Pasal 185 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan.
Upah Minimum dimaksudkan sebagai perlindungan negara terhadap pekerja dari tindakan eksploitasi yang dilakukan oleh pengusaha sekaligus sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Semestinya, ketika masa penangguhan berakhir, pihak pengusaha wajib membayar upah tertangguh kepada buruh selepas tahun penangguhan, bukan menjadi penghapus kewajiban memberi hak minimum buruh/pekerja.
Penyalahgunaan celah penangguhan ini kerap dimainkan pihak pengusaha, dengan mengajukan penangguhan ulang pada tahun berikutnya, sehingga pengusaha yang sama kemudian mendapat penangguhan kembali atas Upah Minimum tahun-tahun berikutnya. Praktis selama ini buruh hidup dibawah standar Upah Minimum. Praktik penyalahgunaan demikian terjadi di berbagai kota dan kabupaten di Indonesia.
Penjelasan Resmi Pasal 90 Ayat (2) UU Ketenagakerjaan memberi ruang kepada pengusaha untuk tidak wajib melaksanakan pembayaran atas kekurangan upah yang diberikan penundaan selama 12 bulan. Undang-Undang Ketenagakerjaan justru memberi celah kepada pengusaha untuk tidak patuh terhadap hukum.
Sebelumnya Mahkamah Konstitusi pernah menguji materiil ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan perihal penangguhan Upah Minimum, dimana Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa ketidakmampuan membayar Upah Minimum tidak boleh diartikan sebagai “lonceng kematian” bagi perusahaan, yang bila terdesak untuk “gulung tikar” berarti menyebabkan hilangnya lapangan kerja bagi buruh, meski tidak boleh disalahgunakan untuk mengingkari kondisi riil bahwa perusahaan sejatinya telah mampu membayar upah minimum. Jika terjadi perselisihan tentang penangguhan upah minimum, Mahkamah Konstitusi melanjutkan, seharusnya Pengadilan Hubungan Industrial dapat memutuskannya, karena hal itu menyangkut hak-hak buruh. Seharusnya frasa “tenggang waktu tertentu” ditegaskan dalam putusan hakim; demikian disebutkan Mahkamah Konstitusi dalam putusan sebelumnya pada tahun 2010 (putusan perkara Nomor 61/PUU-VIII/2010).
Pemohon mendalilkan, perusahaan yang telah mendapat izin penangguhan pelaksanaan Upah Minimum dari kepada daerah, maka pelaksanaan Upah Minimum tersebut tidak dapat diperselisihkan antara pekerja dengan pengusaha, karena pembayaran upah dibawah ketentuan Upah Minimum oleh perusahaan telah disetujui oleh surat keputusan kepala daerah—sehingga menjadi bergeser pada sengketa tata usaha negara terhadap penetapan pemerintah atas izin penangguhan.
Salah seorang saksi yang diajukan oleh Pemohon menguraikan, UMK Kabupaten Bogor pada tahun 2014 sebesar Rp2.242.240;-. Akibat adanya penangguhan, karyawan di PT. Anugerah Maju Perkasa mendapatkan upah sebesar Rp2.002.000;- sedangkan sisa upah yang ditangguhkan selama 12 bulan belum dibayar kepada masing-masing karyawan. Dengan demikian, kerugian setiap karyawan sebesar Rp240.242;- per bulan. Adapun jumlah karyawan adalah 510 orang, sehingga total kerugian seluruh karyawan pada tahun 2014 sebesar Rp122.523.420;- per bulan dikali 12 bulan, menjadi sebesar Rp1.470.281.040;-.
Selanjutnya, UMK Kabupaten Bogor pada tahun 2015 sebesar Rp2.658.155;-. Akibat adanya penangguhan, karyawan di PT. Anugerah Maju Perkasa mendapatkan upah sebesar Rp2.002.000;-. Adapun kekurangan upah per bulan akibat penangguhan sebesar Rp458.155;-. Total kerugian per karyawan dari bulan Januari 2015 sampai Agustus 2015 sebesar Rp.3.665.240;- sedangkan jumlah karyawan yang ada adalah 600 orang (tidak mampu membayar sesuai UMK namun merekrut tenaga kerja baru), sehingga total keseluruhan berjumlah Rp2.199.144.000;-.
Saksi lainnya menguraikan, pada tahun 2014 UMK Kota Tangerang adalah Rp2.444.350;- namun PT. UFU menangguhkan dan memberi upah sebesar Rp2.050.000;- selama 12 bulan, sehingga total seluruh karyawan berjumlah 1.500 orang ialah sebesar Rp8.148.318.000;-. PT. UFU selama penangguhan tidak pernah membayarkan sisa yang ditangguhkan.
Pada tahun 2013, PT. UFU juga menangguhkan upah. Upah UMK tahun 2013 sebesar Rp2.200.000;- dan perusahaan membayar dengan upah yang berbeda-beda. Pada bulan Januari menggunakan upah Rp.1.381.000;-, Februari menggunakan upah Rp1.550.000;- dan pada bulan Mei menggunakan upah Rp. 1.700.000;- sehingga kerugian buruh akibat penangguhan 12 bulan untuk seluruh total karyawan ialah sebesar Rp10.270.500.000;-.
Di PT. UFU terdapat dua serikat pekerja, mayoritas dan yang minoritas. Saksi termasuk merupakan anggota serikat pekerja non-mayoritas, sementara PT. UFU menggunakan serikat pekerja yang mayoritas. Pada tahun 2014, terbit SK Gubernur Banten yang menangguhkan pembayaran sesuai UMK karena PT. UFU membuat kesepakatan dengan serikat pekerja mayoritas yang tidak lain merupakan serikat pekerja “ boneka”.
Terhadap permohonan Pemohon, Mahkamah Konstitusi membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Menimbang, ... . Terkait hal tersebut, terdapat potensi bahwa hak konstitusional para Pemohon akan dirugikan dengan berlakunya Pasal 90 Ayat (2) UU 13/2003 beserta Penjelasannya dan kerugian dimaksud menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, apabila pengusaha tidak membayarkan upah sebagaimana ketentuan yang berlaku. Bahwa kerugian konstitusional para Pemohon tidak akan terjadi apabila permohonan para Pemohon dikabulkan.
“Bahwa Mahkamah pernah memutus norma Pasal 90 ayat (2) UU 13/2003 sebagaimana tertuang dalam Putusan Nomor 61/PUU-VIII/2010, tanggal 14 November 2011 yang amarnya menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya, sehingga dalam hal ini berlaku ketentuan Pasal 60 UU MK yaitu bahwa terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian alam Undang-Undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali, kecuali jika materi muatan dalam UUD RI 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.
“Dalam Putusan Nomor 61/PUU-VIII/2010 a quo, yang menjadi dasar pengujian adalah Pasal 28D ayat (1) UUD RI 1945. Adapun dalam perkara a quo, yang menjadi dasar pengujian adalah Pasal 28D ayat (2) UUD RI 1945. Dengan demikian, norma UUD RI 1945 yang dijadikan dasar pengujian dalam perkara a quo berbeda dengan Putusan Nomor 61/PUU-VIII/2010. Berdasarkan uruaian tersebut maka Mahkamah menilai permohonan a quo tidak ne bis in idem sehingga selanjutnya Mahkamah memeriksa pokok permohonan a quo;
“Menurut Mahkamah, upah minimum selain merupakan upaya perlindungan dasar bagi pekerja/buruh, juga sebagai jaring pengaman (safety net) yang dimaksudkan agar upah tidak jatuh merosot sampai pada level terendah. Pada prinsipnya pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana yang ditetapkan oleh Gubernur atau pejabat yang bersangkutan karena penetapan oleh Gubernur/pejabat tersebut telah memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan dan/atau Bupati/Walikota.
“Faktanya, tidak semua pengusaha mampu memberikan upah minimum kepada pekerja/buruh, sebagaimana telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Putusan Nomor 61/PUU-VIII/2010, bertanggal 14 November 2011. Oleh karenanya penangguhan pembayaran upah minimum oleh pengusaha kepada pekerja/buruh dimungkinkan dengan tujuan untuk memberikan perlindungan baik kepada pengusaha maupun kepada pekerja/buruh yang bersangkutan. Dari sudut pandang pengusaha, penangguhan pembayaran upah minimum memberikan kesempatan kepada pengusaha untuk memenuhi kewajiban membayar upah sesuai dengan kemampuan pada periode tertentu atau kurun waktu tertentu.
“Adapun dari sudut pandang pekerja/buruh, penangguhan pembayaran upah minimum memberikan perlindungan kepada pekerja/buruh untuk tetap bekerja pada perusahaan tersebut sekaligus memberikan kepastian hukum mengenai keberlangsungan hubungan kerja.
“Namun, pertanyaan selanjutnya yang harus dijawab adalah apakah penangguhan pembayaran upah minimum pengusaha kepada pekerja/buruh dengan serta-merta menghilangkan kewajiban pengusaha untuk membayar selisih upah minimum dengan pembayaran yang dilakukan oleh pengusaha selama masa penangguhan?
“Menjawab pertanyaan tersebut, Pasal 90 ayat (1) UU 13/2003 menyatakan bahwa “Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89”. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut merupakan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara dan/atau denda sebagaimana diatur dalam Pasal 185 ayat (1) dan ayat (2) UU 13/2003. Berdasarkan pertimbangan tersebut, pembayaran upah minimum oleh pengusaha kepada pekerja/buruh adalah keharusan dan tidak dapat dikurangi.
“Adapun penangguhan pembayaran upah minimum sebagaimana diatur dalam Pasal 90 ayat (2) UU 13/2003 pada dasarnya tidak serta-merta menghilangkan kewajiban pengusaha untuk membayar selisih upah minimum dengan pembayaran yang dilakukan oleh pengusaha selama masa penangguhan tersebut.
“Dengan kata lain, selisih upah minimum dengan pembayaran yang dilakukan oleh pengusaha selama masa penagguhan adalah hutang pengusaha yang harus dibayarkan kepada pekerja/buruh. Hal tersebut demi memberikan perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi pekerja/buruh untuk dapat menerima penghasilan yang layak bagi kemanusiaan sekaligus memberikan tanggung jawab kepada pengusaha agar yang bersangkutan tidak berlindung di balik ketidakmampuan tersebut.
“Pembayaran upah di bawah upah minimum oleh pengusaha yang didasarkan atas penetapan pejabat yang berwenang/Gubernur atas permintaan dari pengusaha sangat rentan terhadap penyalahgunaan kewenangan oleh penguasa (abuse of power). Oleh karena itu selisih upah minimum dengan pembayaran yang dilakukan oleh pengusaha tetap menjadi kewajiban pengusaha untuk membayarnya.
“Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan tersebut diatas, menurut Mahkamah, terdapat inkonsistensi norma antara Pasal 90 ayat (1) dan Pasal 90 ayat (2) UU 13/2003 dengan Penjelasan Pasal 90 ayat (2) UU 13/2003. Inkonsistensi dimaksud telah menimbulkan penafsiran yang berbeda terkait penangguhan pembayaran upah minimum pengusaha kepada pekerja/buruh. Keadaan yang demikian bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD RI 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum” yang menyebabkan buruh terancam haknya untuk mendapat imbalan yang adil dan layak dalam hubungan kerja, sehingga ketentuan a quo juga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) UUD RI 1945. Oleh karena itu Mahkamah berpendapat, untuk menghindari terjadinya ketidakpastian hukum serta mewujudkan keadilan bagi pengusaha dan pekerja/buruh, Mahkamah harus menegaskan bahwa Penjelasan Pasal 90 ayat (2) UU 13/2003 sepanjang frasa “tetapi tidak wajib membayar pemenuhan ketentuan upah minimum yang berlaku pada waktu diberikan penangguhan” bertentangan dengan UUD RI 1945.
“Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.
AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
1.1. Penjelasan Pasal 90 ayat (2) sepanjang frasa “tetapi tidak wajib membayar pemenuhan ketentuan upah minimum yang berlaku pada waktu diberikan penangguhan” Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.2. Penjelasan Pasal 90 ayat (2) sepanjang frasa “tetapi tidak wajib membayar pemenuhan ketentuan upah minimum yang berlaku pada waktu diberikan penangguhan” Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
2. Permohonan para Pemohon terhadap Pasal 90 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) tidak dapat diterima;
3. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;
4. memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.”
Hukum yang baik bersifat “rapat”, dalam arti menutup setiap kemungkinan “celah hukum” yang dapat disalahgunakan. Dari berbagai putusan uji materil Mahkamah Konstitusi terhadap UU Ketenagakerjaan, dapat kita lihat bagaimana regulator penyusun undang-undang dapat memiliki motif buruk dengan memasukkan kepentingan pihak-pihak tertentu.
Telah lebih dari satu dekade UU Ketenagakerjaan berlaku, berarti telah selama itu pula celah (loop hole) penangguhan Upah Minimum menjadi ladang empuk pengusaha. Hal ini bukan mitos, namun memang benar adanya sebagaimana penulis cermati praktik di lapangan.
Bila saja uji materiil dalam perkara diatas tidak diajukan sampai satu abad mendatang, berarti selama itu pula hukum yang tidak murni demikian disalahgunakan oleh pihak pengusaha.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.